Rabu, 27 Maret 2013

PELANGI HITAM - PUTIH -03-


RAIHAN

MATAKU MELEBAR KETIKA tubuh gadis di sampingku memeluk tangan kiriku. Tapi bukan itu yang membuatku tersentak. Teriakannya yang keras, yang memintaku untuk berhentilah yang membuatku membeku.
Aku hanya ingin melindunginya, aku ingin menenangkannya, aku ingin menjaganya, ya, alasan klise di balik kenyataan bahwa aku ingin memilikinya.
Namun kini, satu detik saja aku terlambat menginjak rem, maka aku akan menghancurkan sosok yang paling ku inginkan di dunia ini. Aku akan melukainya, atau mungkin membunuhnya.
Dengan cepat aku menginjak rem dan membanting kemudi ke sebelah kiri, membuat mobil kami berputar sekali dengan suara decitan ban yang akan terdengar memekakan telinga jika tidak ada suara derasnya hujan. Namun licinnya jalanan karena hujan hari itu justru memperarah keadaan. Aku tidak bisa mengendalikan kemudi lagi, tekanannya terlalu kuat.
Hatiku terasa begitu perih ketika merasakan tubuh gadis di sampingku semakin menegang ketakutan, suara teriakannya menyatu dengan hujan hingga akhirnya mobil kami berhenti setelah membuat goresan melingkar di jalan raya yang langsung tertutup hujan itu. Kami beruntung karena mobil yang berlalu lalang tidak lah terlalu padat, hingga tidak ada satu mobilpun yang ikut lepas kendali dan menabrak mobil kami.
Aku menghempaskan tubuhku ke sandaran kursi, nafasku masih memburu, mataku terbelalak menatap jalanan yang di tutupi hujan deras, tanganku masih mencengkram kemudi dengan sangat erat, hingga buku-buku jariku memutih.
Isakan tangis gadis di sampingku mengembalikan sadarku. Dengan perlahan aku menoleh pada sosok yang masih bersembunyi di balik tanganku. Cengkramannya terasa sangat kuat, membuatku yakin ia memang sangat ketakutan. Dan kenyataan itu menggoncang jiwaku. Aku ingin melindunginya, membuatnya bahagia. Bukan menakuti dan membuatnya menangis.
Aku ingin ia tau bahwa aku mencintainya.
“Maaf…” bisikku terbata. Gadis di sampingku masih menangis tergugu. “Zahra… maafkan aku…” ujarku lagi. Dengan perlahan ia mengankat wajahnya, dan melepaskan cengkramannya, duduk meringkuk di kursinya, sambil memeluk kedua lututnya, wajahnya masih pias karena syok.
Ia menyandarkan kepalanya ke jendela, dan memejamkan matanya dengan perlahan. Membuatku khawatir apakah dia pingsan atau apa.
“Zahra… kau baik-baik saja?” tanyaku ketakutan. Gadis itu kembali membuka matanya, membuatku merasa benar-benar seperti bajingan brengsek ketika melihat pandangan matanya yang terluka-ketakutan-dan tampak pasrah. “Aku akan membawamu pulang,” bisikku dan kembali menggenggam erat kemudiku. Namun tanpa amarah kali ini.
***
Perjalanan yang selanjutnya terasa begitu sunyi, dua jam perjalanan tersisa sebelum kami sampai di panti, dan sepanjang perjalanan aku bisa melihat Zahra masih begitu syok. Ia sudah menurnkan lututnya, kini duduk normal di sampingku. Matanya terus menatap keluar jendela, dengan tangan yang saling bertautan di atas pangkuannya. Aku tau dia masih ketakutan, tapi aku tidak bisa melakukan apapun untuk menenangkannya, dan untuk sesaat aku kembali berpikir apakah aku benar-benar pantas untuknya.
Aku tidak pernah berniat untuk jatuh cinta pada gadis manapun lagi. Aku sudah pernah terluka dan tidak berniat untuk kembali terjatuh. Tapi ketika pertama kali melihatnya, melihat dua mata coklatnya yang tajam, aku tau aku sudah jatuh cinta. Begitu mudah, begitu sederhana. Aku mencintainya meski tampak jelas dia sama sekali tidak menyukaiku. Terlebih lagi, ketika itu dia sudah memiliki tunangan.
Tapi sosoknya sudah membuatku gila sejak pertama kali melihatnya. Aku jatuh cinta tanpa mengetahui namanya, aku jatuh cinta bahkan sebelum melihat mata indah itu berkedip, atau mulut manisnya berbicara. Aku jatuh cinta dengan cara yang tidak ku mengerti. Meski selama ini aku selalu mencibir pada kisah-kisah percintaan yang kadang ditunjukan orang-orang di sekelilingku untuk sekedar membuatku iri dan akhirnya memutuskan untuk mencari pendamping hidup.
Sejujurnya, bagiku wanita hanya seperti barang. Ada yang berharga, ada juga yang seperti sampah. Namun jika kau berusaha, tidak ada barang yang tidak bisa di beli dengan uang. Semuanya hidup demi uang bukan? Barang antik pun akan terjual jika pembelinya berani membayar mahal. Begitu pula dengan wanita, secantik apapun bisa kau dapatkan asalkan kau siap membayar mahal. Dan, well… selayaknya barang, wanitapun bisa di tukar, dipinjamkan, atau bahkan di buang ketika bosan.
Semudah itu.
Hingga aku melihat sosok cantik berkerudung abu-abu di sampingku. Ketika itu, di tengah mendung, dengan mata sembab dan wajah yang pucat, aku tanpa sengaja bertemu dengannya, dan jatuh cinta.
Memikirkan kata cinta itu membuat tubuhku menegang. Atau lebih tepatnya memikirkan gadis di sampingku lah yang membuat tubuhku kaku. Aku tidak pernah segugup ini sebelumnya. Aku adalah seorang direktur, dan memiliki berpuluh-puluh perusahaan dalam berbagai bidang yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Tapi ketika berhadapan dengannya, sekuat apapun usahaku, aku akan selalu merasa takut dan cemas. Aku takut dia terluka, aku takut dia tidak bahagia, aku takut…
Dan kejadian beberapa saat yang lalu membuatku berpikir, apakah aku pantas untuknya. Bagaimana jika semua ketakutan, kepedihan dan lukanya itu disebabkan olehku. Bagaimana jika dia justru akan menangis ketika bersamaku? Bagaimana jika…
Ah Persetan!!! Aku mencintainya, dan akan mendapatkannya!
***
“Nak Raihan tidak masuk dulu?” Tanya wanita paruh baya yang mereka panggil ummi. Aku tersenyum santun dan menggeleng. Setelah mengantarkan Zahra sampai di depan pintu panti tempat tinggalnya selama ini,  aku berbalik memohon pamit. Aku masih menatap gadis itu dari dalam mobil, seakan tersadar akan sesuatu, gadis itu menoleh, menatap tajam tepat kearahku. Dan aku merasa tatapannya menyiratkan kebenciannya padaku, bahkan mungkin mengharapkanku mati di perjalanan pulang kali ini.
Aku tidak takut mati, aku tidak keberatan sama sekali, toh jiwaku memang sudah lama mati. Namun tidak saat ini, tidak ketika aku masih bisa melihat goresan luka di mata indahnya. Tidak sebelum ia akan benar-benar tersenyum bahagia, dan saat itu mungkin aku bisa mati dengan tenang. Tanpa permintaan siapapun.
Sejenak sebelum benar-benar mengeluarkan mobilku dari halaman panti itu, aku kembali menoleh. Namun kali ini bukan untuk Zahra atau siapapun, aku hanya ingin menoleh dan memastikan bahwa pikiranku selama ini tidaklah benar. Mungkin mataku sedikit bermasalah hingga akhirnya malah berhayal melihat gadis itu lagi. Gadis yang sempat ku kenal beberapa waktu yang lalu.
***
“Ada apa?” tanyaku ketika melihat sosok jangkung Lucky tengah berdiri membelakangiku. Ia berdiri mematung sambil menatap kemilau lampu kota bandung dari jendela besar apartemenku.
“Aku mencarimu kemana-mana.” Ujarnya datar. Ku hempaskan tubuhku di sofa setelah sebelumnya melemparkan kunci mobilku ke atas meja. Memijit pangkal hidungku untuk meringankan peningku.
“Ada masalah apa?”
“Tidak ada, hanya saja kau sudah harus menandatangani semua berkas itu.” Lucky menunjuk tumpukan berkas di atas meja dengan tatapannya. Aku melirik kertas-kertas itu sekilas, dan sepertinya Lucky bisa membaca kejengahanku pada kertas-kertas itu, karena ia segera menambahkan. “Perjanjianmu dengan mr. Chad sudah harus dilakukan.” Ujarnya mengingatkan. Aku mengangguk dan meraih berkas itu.
Aku membaca lampiran kedua dari berkas itu dan menemukan sebuah nama yang ku kenal dengan cukup baik. Untuk sesaat aku merasakan bayangan keraguan menyelinap dalam diriku, namun pada akhirnya aku langsung menanda tangani berkas itu dalam diam. Lucky menatapku, seperti biasa, ia adalah sosok yang bekerja dalam kebisuan. Satu hal yang selalu membuatku merasa cocok dengannya. Lucky tidak pernah sekalipun berpura-pura ramah pada siapapun, bahkan pada atasannya, yaitu aku sendiri. Ia mengatakan apa yang ia pikirkan, melakukan apa yang ku perintahkan. Tapi dia bukan sahabatku, hingga rasanya, sebesar apapun keinginanku untuk berbagi kisah tentang khayalanku akan wanita itu, aku tetap tidak bisa mengatakannya, meski mungkin itu akan membuatnya sedikit bahagia.
***

3 komentar:

Unknown mengatakan...

ya ampun, Ayolah Zahra move on. kasian aa Raihan.

Unknown mengatakan...

Yach.. Raihan cra pdkt Πγª Ɣªήğ lembut dong. Heheh.

Unknown mengatakan...

@mba Nao..... susah tau move on ituuu... *malah curhat* hihihihihi

@mba Nira: klo Raihan lembut, ntar di panggilnya Alan ke 2, hehe... tapi dia lembut kok... :)