Sabtu, 09 Maret 2013

CAHAYA CINTA -14-





Hujan… Hujan turunlah… pinta katak itu di samping danau yang mengering.
Anna masih mengingat kisah katak dan hujan yang memilukan itu. Ia tidak terlalu yakin di usia berapa tepatnya sang ibu mengisahkan cerita katak dan hujan itu. Namun hingga saat ini ia masih bisa mengingat seluruh detailnya. Bagaimana katak itu tidak pernah berhenti berdoa akan turunnya hujan di kala kemarau panjang yang mematikan. Hingga akhirnya katak itu sakit. Ia tau dia akan mati, meski saat itu juga hujan turun membasahi raya. Namun ia tetap berdoa dan meminta hujan pada sang kuasa. Katak-katak lain mencemoohnya yang tidak pernah berhenti berdoa. Dan ketika hujan itu turun tepat di hari kepergian sang katak malang, katak-katak yang lainnya baru tersadar, jika doanya selama ini bukan diperuntukan bagi dirinya sendiri. Namun bagi saudara-saudaranya yang lain.
Anna kecil akan menangis tersedu jika mendengar kisah itu, dan mempertanyakan mengapa katak malang itu tidak hidup saja? Mengapa begini dan mengapa begitu? Namun dengan lembut ibunya akan mengatakan bahwa semua itu adalah takdir Illahi. Tidak ada yang mampu mengubahnya, tidak ada yang mampu mengubah takdir yang sudah di gariskan sang Khalik untuk makhluknya.

Isakan tangis Zahra begitu pelan dan samar, namun bisa mengeruk seluruh isi hati Anna hingga berdarah. Ia sendiri tidak tau apa yang kini ada di dalam hatinya, apa yang tengah ia rasakan. Ia mencintai Raka, sangat mencintainya, namun ia tidak pernah ingin menyakiti hati lain. Bukan hal itu yang ia inginkan. Anna sudah lama memahami semua itu, sebesar apapun cintanya pada pemuda tampan berbudi baik itu jika ia memang bukan jodoh yang ditakdirkan Allah untuknya, maka semuanya akan sia-sia belaka. Menghilang dan tenggelam.
Remasan tangan Aminah pada jemarinya kembali membangunkan Anna dari lamunan semunya. Mata tua itu berbinar penuh harap. Senyumannya mengembang, dan hati kecil Anna mulai ragu, mampukah ia menyakiti wanita yang begitu disayanginya itu. Tapi hatinya benar-benar terpilin mendengar isakan Zahra yang begitu samar, ia pernah merasakan bagaimana perihnya semua kekecewaan dan ketakutan itu, dan sejujurnya ia pun masih merasakannya hingga saat ini. Dan ia tidak ingin membiarkan wanita lain merasakannya. Meski harus ia akui, sebagian kecil dirinya merasa begitu tersanjung ketika wanita tua di hadapannya menyebutkan namanya.
Dengan perlahan namun pasti Anna menggelengkan kepalanya pada Aminah, wajahnya menyiratkan kepedihan yang teramat sangat ketika mata tua di hadapannya mendadak sayu.
“Aku bersedia.”
Ruangan yang hanya berisikan lima jantung manusia yang berdetak itu langsung hening seketika. Aisah menatap keponakannya dengan pandangan yang menyiratkan kecemasan.
“Aku bersedia jika Raka akan menikahi Anna. Aku bersedia.” Jawabnya sambil meremas roknya semakin keras, membuat kerutan-kerutan di sekeliling genggamannya semakin jelas terlihat.
“Zahra?” bisik Raka, matanya menatap tajam sosok gadis itu.
“Aku tau kalian saling mencintai. Bagaimanapun aku berusaha, aku tidak pernah bisa menjadi pengganti Anna. Aku hanya akan menjadi bayangan di antara kalian. Dan aku lelah. Aku sangat lelah. Tapi aku juga mencintaimu…” ia memandang Raka dengan wajahnya yang dipenuhi air mata luka. “Aku tidak bisa hidup tanpamu. Maafkan aku, aku tidak bisa membiarkanmu pergi. Namun aku bersedia menjadi yang kedua. Aku bersedia menjadi bayangan kalian…”
Anna menatap gadis itu penuh kepedihan. Betapa kejamnya ia hingga membuat gadis secantik Zahra merasa tidak aman dengan perasaannya sendiri. Betapa jahatnya ia…
“Aku tau, aku sangat egois. Aku ingin melihat kalian bahagia, tapi aku tidak bisa membiarkanmu pergi… maafkan aku…”
“Zahra hentikan.” Tegur Raka begitu dingin.
“Maafkan aku…” bisik Zahra sambil terus menggeleng-geleng hingg tetesan air matanya jatuh ke sembarang arah. Saat itu juga Anna langsung memeluknya, mendekapnya dengan penuh kasih.
“Tidak Zahra, kau tidak perlu meminta maaf. Kau tidak salah, rasa cintamu sama sekali tidak bersalah. Aku yang telah mengacaukan semuanya. Aku yang salah karena berdiri diantara kalian berdua. Aku yang telah melukaimu, jadi ku mohon terimalah maafku ini,” Anna menangis sesenggukan di balik pundak Zahra. “Dan kau tidak perlu takut lagi… aku akan pergi…” bisiknya seraya melepaskan pelukannya pada gadis itu. “Aku akan pergi jauh, entah untuk sementara atau selamanya dan aku ingin kau kembali merasa tenang. Raka sangat mencintaimu, dia akan menjagamu.” Suara Anna terdengar seperti bisikan yang begitu lirih.
“Kalian akan menjadi pasangan yang sangat menawan. Kau akan menjadi mempelai yang paling cantik, jadi lupakanlah ketakutanmu akan wanita bodoh yang tidak tahu diri ini. Aku akan pergi—“
“Tapi kau mencintai Raka.” Bisik Zahra.
Anna tersenyum manis dan menoleh pada sosok Raka yang masih membeku menatap perih kepadanya. “Dia adalah sahabat terbaikku. Dan akan selalu begitu. Mungkin sampai nanti, sampai kami akhirnya menutup mata.” Setetes air mata menghiasi pelupuknya ketika mengatakan semua itu. “Sudahlah, hapus air matamu, bersiaplah untuk menjadi pengantin tercantik. Aku akan mendoakan kebahagiaan kalian.” Anna menyeka air mata yang menghiasi wajah cantik Zahra dengan jemarinya kemudian menghela nafas panjang. “Sudah waktunya aku pergi, Assalamu’alaikum ummi, ibu maafkan aku…” bisiknya ketika mencium punggung tangan wanita itu. “Selamat tinggal Raka, jaga ia baik-baik.” Tambahnya.
“Biarkan aku mengantarmu,”
“Tidak!” seluruh wajah di tempat itu langsung menoleh ke arah pintu. Seorang pria jangkung dengan jas abu-abu tampak berdiri di sana. Wajahnya menyiratkan kemarahan yang teramat sangat.
“Raihan?” bisik Anna.
“Aku yang akan membawanya pulang.” Ujar Raihan dingin, kata-katanya tampak jelas ditunjukan pada Raka, namun tatapannya tidak pernah terlepas dari sosok Zahra yang kini tengah mematung menatapnya.
Anna berjalan perlahan menuju pintu. “Aku akan memanggil Aisah dulu.” Ujarnya ketika melewati sosok Raihan.
“Dia sudah di mobil.” Jawab Raihan tanpa memandangnya, suaranya terdengar begitu lirih, namun wajahnya tetap menunjukan sisi tegas dan liciknya yang jelas sangat berbahaya. Anna mengangguk, dan untuk yang terakhir kalinya ia menoleh sambil mengucapkan salam sebelum akhirnya berlalu pergi dengan Raihan yang berjalan tepat di belakangnya.
Ketika melihat sosok mungil Aisah tengah tertidur di kursi belakang, Anna hanya tersenyum tipis dan duduk di samping kursi kemudi. Ia menyandarkan kepalanya yang terasa berat dan kosong, mata indahnya terus memandang jalanan yang padat dari jendela mobil Raihan.
“Kau baik-baik saja?” Tanya Raihan memecah keheningan. Anna mengangguk sangat pelan, kemudian air mata itu mengalir perlahan. “Bisakah kau tetap tinggal di sini?” Anna menoleh dengan pandangan penuh Tanya pada sosok tampan di sampingnya. “Aku ingin melihatmu bahagia, tapi jika kau berada sejauh itu… akan sangat sulit rasanya untuk menjagamu.”
“Kau tidak perlu menjagaku Raihan,” bisik Anna. “Aku sudah memikirkannya matang-matang, kakek dan ibu sudah menyetujui. Kami juga sudah mempersiapkan rumah sakit untuk kak Alan.”
“Anna…”
“Aku tau ini sangat buruk, ini seperti aku tidak bisa menerima kenyataan, menerima takdir yang sudah dituliskan Tuhan untuk kita semua. Tapi aku hanya ingin memulai hidupku kembali, sudah terlalu lama aku terpuruk dalam kepedihan itu. kini aku memiliki Aisah, aku harus tegar untuknya, untuk menjaganya.”
Raihan mencengkram erat kemudinya, mata elangnya menatap jalanan tanpa berkedip. “Apa kau akan kembali?” tanyanya. Anna kembali menyandarkan kepalanya pada kursi penumpang itu, ia tidak mengangguk atau menggeleng, karena sebesar apapun keinginannya untuk kembali, ia tetap tidak akan pernah bisa melangkah lagi.
***
Zahra tersenyum malu-malu ketika mendengar pujian beberapa ibu-ibu yang datang untuk membantunya menyiapkan pesta pernikahan yang di percepat dua minggu itu. Wajah cantiknya tidak pernah berhenti tersenyum, membuat suasana panti yang ramai itu kian semarak dengan canda tawa. Sudah satu minggu ia tidak bertemu Raka dengan alasan sedang dipingit, dan sejujurnya itu benar-benar membuat hatinya resah karena merindu.
Pesta pernikahan itu akan diadakan sangat sederhana. Namun kebahagiaan Zahra adalah kebahagian yang tiada tara. Ia berdiri mematung di balik jendela, menatap halaman panti yang sudah berhiaskan tenda putih dengan warna emas di setiap pusatnya, kursi-kursi plastik yang di tutupi sarung yang senada dengan warna tendanya di buat melingkari meja bundar yang juga bertamplakkan kain putih dengan renda berwarna emas yang begitu romantis dan elegan. Pelaminannya sendiri sudah di atur sedemikian rupa hingga bisa terlihat dari berbagai sudut tenda itu. Ada taman buatan di hadapannya, lengkap dengan air mancur mini yang begitu manis, pot-pot untuk potongan bunga hidup sudah diletakan di kedua sisi pelaminan, meski masih kosong namun rasanya Zahra bisa merasakan semerbak aromanya, mawar, melati, krisan, sedap malam dan lainnya.
Meja untuk makanan pun sudah di persiapkan, semuanya bernuansa putih dan emas, begitu sederhana namun jelas istimewa. Seperti cintanya pada pemuda tampan itu. Ia kembali merasakan mual karena gugup ketika mengingat bahwa sebentar lagi ia sudah akan menjadi istri sah dari pangeran impiannya. Pemuda tampan yang sudah membuatnya menghabiskan sebagian besar stok air matanya.
“Zahra, di sini kau rupanya,”ujar Amy. “Ada telepon untukmu, aku tidak tau dari siapa. Segeralah.” Tambah gadis berkerudung hijau itu. Zahra mengerutkan keningnya, kemudian berjalan perlahan ke ruang tamu yang kini pun telah berhiaskan kain-kain putih yang mengkilap di setiap sisinya.
“Hallo, Asalamu’alaikum,”
“Batalkan pernikahan itu sekarang juga!”
Suara di sebrang sana begitu dingin penuh dengan nada ancaman yang mampu membuat tubuh Zahra merinding meski ia masih belum paham dengan apa yang didengarnya.
“Apa?” tanyanya bingung.
“Batalkan pernikahanmu!” bentak suara itu.
Zahra mendengus. Siapa dia? Apa-apaan ini? Mengapa ia harus membatalkan pernikahannya sendiri? “Siapa ini?” Tanya Zahra.
“Dengar. Batalakan semuanya, atau aku akan membuat semuanya batal dengan caraku.” Suara itu begitu kejam, penuh ancaman. Namun Zahra tidak bergeming, hati kecilnya malah memaki siapapun yang berada di sebrang telepon itu. Ia benar-benar tidak mengerti, dan sampaik kapanpun ia tidak akan membatalkan pernikahannya. Terlebih karena penelepon asing yang aneh itu.
“Aku tidak akan pernah membatalkannya!” Zahra menekankan setiap kata-katanya.
“Kau akan menyesalinya…” bisik suara itu lebih kejam. Dan teleponnya terputus begitu saja sesaat sebelum Zahra ingin menumpahkan amarahnya. Ia menghela nafas panjang sambil menatap pesawat telepon di genggamannya. Kemudian mendengus jijik sebelum berlalu pergi ke kamarnya untuk menenangkan hatinya dengan melihat kebaya cantik yang kini masih tersimpan rapih di dalam lemarinya.
***
Hingga menjelang malam Zahra masih tidak bisa berhenti tersenyum, lupa sudah kisah penelepon asing siang itu. Ia merasa begitu gugup selayaknya calon mempelai lain pada umumnya. Ia berjalan mondar-mandir ke seluruh arah, namun tidak ada satu hal pun yang benar-benar ia lakukan. Sosoknya akan menjadi resah sendiri dalam duduknya, kemudian ia akan tersenyum dan meletakan apa yang di sentuhnya begitu saja, lalu berlalu pergi. Amy terkikik pelan ketika melihat Zahra berjalan di hadapannya untuk yang kesekian kalinya. Ia menggeleng-geleng mewajarkan, karena dulu, dulu sekali… ia pun pernah merasakan hal yang sama… bahagia-gugup-tidak sabar-takut-bahagia-tidak sabar- gugup- dan gugup… meski akhirnya kisahnya tidak seindah itu. Tanpa sadar Amy membelai perutnya perlahan, kemudian memejamkan matanya sambil menghela nafas panjang. Sebuah kebiasaan baru yang selalu ia lakukan ketika kenangan pahit itu menghampirinya.
“Melamun lagi,” tegur Arya dari belakang. Kemeja hijaunya di gulung sampai siku dengan telapak tangan yang kotor setelah membereskan jalanan untuk tamu yang datang esok hari.
“Aku tidak melamun.” Jawab Amy sambil terus melipat tisu untuk diletakan di meja tambahan.
“Arya!” baik Arya maupun Amy langsung menoleh ke asal suara itu. Zahra tampak berdiri dengan wajah yang sedikit memerah. Kerudung birunya berkibar karena sepoi angin dari kipas yang berada tepat di sampingnya. “Aku ingin berbicara padamu sebentar.” Ujarnya sedikit kikuk dan gugup. Amy yang duduk bersama beberapa gadis kecil langsung menaikan sebelah alisnya penuh Tanya. “Tapi tidak di sini.” Bisik Zahra seraya melirik sosok Amy dari balik punggung bidang Arya.
Amy terkekeh dan melambaikan tangannya, mempersilahkan mereka pergi. “Pergilah.” Katanya sambil tersenyum.
“Kami pergi dulu Amy, mungkin gadis ini ingin menanyakan keberadaan calon suaminya untuk kesekian kalinya.” Ujar Arya santai, yang langsung mendapatkan tatapan geram dari Zahra. Amy tertawa lebar.
“Aku kan sudah bilang jangan beritahu pada siapapun!” geram Zahra.
“Sudahlah Zahra, kau tidak perlu malu karena merindukan calon mempelaimu di hari sebelum pernikahan kalian.” Ujar Amy gemas sambil menjawil hidung indah Zahra dan berlalu ke dapur dengan sekardus tisu yang sudah rapih. Meninggalkan sosok Zahra yang masih melongo – malu.
“Kurasa Amy benar.” Gumam Arya sambil menatap kepergian Amy dengan pandangan terpesona. Zahra menggeram pelan dan memutar bola matanya pada pria itu.
“Apapun yang dikatakan Amy kau akan selalu membenarkannya!” sergah Zahra jengah. Kemudian seakan beru tersadar akan sesuatu, ia langsung menatap tajam sosok yang masih terpaku menatap kepergian Amy, meskipun tentu saja gadis itu sudah menghilang di balik dapur. “Kau menyukai Amy?” tuding Zahra.
“Apa?? Aku??? Tidak mungkin!!” Arya menggerak-gerakan tangannya di depan dadanya, menegaskan penyangkalannya, matanya sedikit menyipit ketika ia mengatakan semua kata-kata sangkalannya sambil tersenyum kikuk.
“Oh,” bisik Zahra santai. “Tadinya ku pikir jika kau mencintai Amy, aku akan mengambilkan sebuah melatiku ketika acara ijab qabul besok. Kau tau mitosnya? Mereka bilang gadis yang mendapatkan melati itu akan segera menyusul menikah.” Zahra mengangkat bahunya tak acuh, kemudian memutar tubuhnya bersiap pergi.
“Benarkah?” Tanya Arya antusias dengan mata yang berbinar penuh harapan. Zahra sampai tidak bisa menahan tawanya. Ia tertawa terpingkal di hadapan pria itu, hingga membuat beberapa orang yang berllau lalang menatap heran padanya.
“Ya Allah Arya, itu hanya mitos, aku tidak percaya. Dan apakah kau percaya?” tanyanya di sela tawanya. Arya langsung menegakan tubuhnya sambil mendesis. “Maaf… maaf…” bisiknya susah payah. “Tapi aku akan mengambilkannya untuk Amy.” Ujarnya dengan mata jahil yang begitu hidup. Meski masih kesal, namun akhirnya Arya mengangguk antusias, menepiskan rasa malunya.
“Terima kasih…”
“Eh, tapi itu tidak cukup dengan kata terima kasih. Sekarang kau harus meneleponkan Raka untukku, aku ingin mendengar suaranya.”
“Tapi kalian akan bertemu besok…” desah Arya lelah. “Mengapa kau tidak istirahat saja agar besok bisa bagung dengan keadaan segar bugar.” Tuturnya. Zahra menatapnya dengan menaikan sebelah alisnya. Menunjukan kata ‘Mau tidak?’ dengan tatapannya. Akhirnya Arya menyerah dan meraih ponsel di saku celananya.
Tepat pada saat itu seorang bapak paruh baya yang sedari sore menyiapkan keperluan-keperluan terakhir pesta pernikahannya besok, memasuki ruang tamu dengan nafas terengah.
“Raka Kecelakaan!”
***
“Raka kecelakaan.”
Deg…
Setetes air mata jatuh begitu saja, meski sang pemilik mata indah itu masih belum kembali ke bumi dari keterkejutannya. Dengan susah payah ia menelan ludahnya, menghela nafas panjang, kemudian menutup matanya, membuat air matanya semakin deras menetes.
“Astagfirullah… Inalillahi wa inailaihi rajiun…” bisiknya perih.
“Ibu baru saja mengetahuinya dari kakek, sekarang kakek sedang berada di rumah sakit. Mobil yang dikendarai Raka tertabrak truk dan masuk ke jurang pukul setengah delapan. Bagian sisi mobilnya hancur. Tapi ia masih selamat, hanya saja bagian kiri perutnya terluka, terluka parah, hingga merusak sebagian ginjal dan hatinya. Dia harus segera melakukan transplantasi Anna, atau dia tidak akan selamat…” wanita itu menangis terisak di sofa, di depan sosok cantik yang kini tampak bagaikan mayat hidup, dengan wajah yang pucat pasi, mata yang menatap kosong pada kegelapan malam dengan air mata yang tidak pernah berhenti mengalir. Tubuhnya sudah lemas, ia sudah tidak bisa bergerak, meski hanya untuk mengedipkan kelopak matanya, hatinya terlalu sakit.
“Anna… Raka membutuhkan persetujuanmu sayang…” Luna meremas tangan menantunya dengan perlahan, Anna menoleh kaku padanya, matanya menatapkan luka yang sangat mendalam. “Ibu sudah mengikhlaskan Alan—“
“Tidak…. Tidak bu… tidak… ku mohon…” Isakan Anna langung pecah berkeping. Matanya kembali hidup dengan segala luka yang semakin dalam dan dalam. Air matanya terus menetes, kepalanya menggeleng-geleng pelan sambil terus mengatakan satu buah kata ‘tidak’ berulang kali. “Tidak bu… ku mohon… tidak kak Alan… tidak…”
“Anna tapi mungkin inilah alasan Alan bertahan sampai hari ini nak. Mungkin inilah takdir yang dituliskan Allah untuknya. Agar dia tetap berguna bagi orang-orang di sekelilingnya.”
“Astagfirullah… ibu… ku mohon… jangan lakukan itu… tidak… tidak suamiku… tidak suamiku ibu… tidak…” ujar Anna penuh ketakutan sebelum akhirnya kehilangan kesadarannya.
***

5 komentar:

Unknown mengatakan...

Cherry sedih bngt hiks.hiks tp tetep berharap kisah Raka & Ana bakal happy ending;-)

lovelywoman1 mengatakan...

finally, akhr'y Raka muncul.. Cinta sgi bnyak yg mengaharukan...

Bnyak spekulasi ne di otak qu cher..
lanjut cher.. Lanjut! :D
Thanks ya..

Unknown mengatakan...

mba renny... ini aku jualan tissue..
*plaakk!!
hehehe bentar lagi selesai kok mba... :)

Sila... ssttt... apa hayo spekulasi2 nya??? :) :) bentar lagi selesai looh..

Unknown mengatakan...

hmm,,,,kayakny bakal ada twist nih,,,

Ziaaa.....

Nunaalia mengatakan...

“Aku yang akan membawanya pulang.” Ujar Raihan dingin, kata-katanya tampak jelas ditunjukan pada Raka, namun tatapannya tidak pernah terlepas dari sosok Zahra yang kini tengah mematung menatapnya.

apa arti tatapan raihan pada zahra ya???

apakah yg nyelakain raka itu
raihan??