Minggu, 17 Maret 2013

CAHAYA CINTA -16-




Mendung sudah berlalu… membawa kelabu itu hingga ke angkasa…
Tetesan hujan terakhir sudah berhenti sejak beberapa saat yang lalu, menyisakan sisa-sisa air di udara, menawarkan kesejukan yang begitu nyaman terasa...
Dan ketika matahari itu muncul malu-malu di balik kabut tipis sang senja, aku tau… cahayanya akan segera hadir… cahaya cinta yang akan menunjukan pesona menawan sang senja. Cahaya cinta yang akan membantuku untuk kembali menjadi sosok yang akan tersenyum menatap seluruh ciptaan-Mu ya Allah…
***
                                                                                          20 Januari 2009

Assalamualaikum saudariku,
Semoga Allah selalu memberikan seluruh limpah nikmatnya padamu.
Sebelumnya, maafkan aku karena baru sempat membalas surat terakhirmu hari ini…
Kau tidak perlu berterima kasih padaku, kau tidak pantas melakukan itu. kau lah yang melakukan seluruh kebaikan itu dan seharusnya aku yang berterima kasih padamu, atas segalanya… semua yang telah kau lakukan untukku, untuk kami…
Dan kau tidak perlu meminta maaf. Aku yang harusnya meminta maafmu, betapa naifnya diriku berada di antara kalian berdua. Betapa jahatnya aku…
Aku harap kau mau memaafkanku.
Maafkan aku…
Aku memang mencintai Raka, dan aku tidak ingin membohongi diriku sendiri tentang rasa itu. Namun, bukankah kau pernah mengatakan, sejauh apapun cinta itu terpisah, jika Allah sudah mentakdirkan mereka untuk bersama, mereka akan bersama. Begitu pula dengan kalian.
Aku baik-baik saja, kalian tidak perlu mengkhawatirkanku. Dan janganlah kau menyalahkan Raka karena semua keputusan ini. Sebenarnya aku lah yang memintanya untuk melakukan shalat istikharah, dan kau lah yang diberikan sang Khalik sebagai jawaban dari doa-doanya, dan aku ikhlas.
Aku bahagia atas kebahagiaan kalian.  Tersenyumlah saudariku, maafkanlah semua kesalahanku di masa lalu. Aku mencintai kalian, dan aku akan terus mencintai kalian karena Allah.
Karena Allah tidak menyukai umatnya yang saling membenci.
Maafkan aku yang sudah membuatmu terluka di hari yang lalu, namun aku berjanji untuk tidak akan mengulang kesalahanku lagi.
Berbahagialah kalian dalam pernikahan yang indah itu, berbahagialah, karena aku akan bahagia ketika melihat kebahagiaan di matamu…

Gadis itu menyeka air matanya dengan perlahan, bibirnya terkatup rapat untuk menjaga isakan itu agar tidak menembus pertahanannya. Buru-buru di hapusnya tetesan air mata yang jatuh tak sengaja mengenai kertas itu. kertas berwarna putih bersih yang belum selesai ia baca, namun sudah mampu menumpahkan seluruh air matanya.

Raka mencintaimu, dia sangat mencintaimu. Aku bisa melihat hal itu dari matanya meski ia berkali-kali mengelak. Tapi cinta itu terlalu murni, cinta itu terlalu indah untuk disembunyikan, dan aku tau kau juga sangat mencintanya. Jangan menyangkal. Kau sudah melewati banyak kisah yang menguras air matamu, mungkin kini waktunya kau sedikit tersenyum. Tidak perlu kau pikirkan tentang diriku, sudah ku katakan aku akan baik-baik saja. Aku adalah gadis yang kuat.
Cintailah cinta Ann…
Cintailah cinta…
Aku mendoakan kebahagian kalian.
                

saudarimu, 
Sybila Bilqis Az Zahra                                                                 

***
“Kak Raka akan menginap di sini?” Tanya Aisah sambil menatap lekat-lekat sosok tampan yang sejak dua jam yang lalu duduk tenang di ruang tamu rumah mereka. Raka menatap sosok mungil itu sambil tersenyum tipis, hanya berselang enam bulan, namun rasanya gadis itu sudah terlihat begitu dewasa.
“Tidak sayang, kakak hanya menyampaikan surat yang dititipkan kak Zahra, setelah itu kakak akan pergi.”
“Pulang ke Indonesia?” Tanya Aisah, matanya sedikit membulat tidak percaya. “Mengapa kakak tidak bilang,” keluhnya cemas. “Bisakah kakak tinggal sebentar lagi, aku ingin menulis surat untuk Anisa, lusa adalah hari ulang tahunnya. Dia pasti akan sedih jika tidak menerima kado dariku.” Ujar Aisah. Raka kembali tersenyum dan mengangguk perlahan.
“Tidak Aisah,” ujar Anna tiba-tiba. Aisah menatap ibunya dengan pandangan memohon. “Sudah larut, kau harus beristirahat.”
“Tapi bunda…”
“Masih ada hari esok, kau harus tidur sekarang. Dan lagi pula kak Raka akan bermalam di sini, besok kau bisa menulis kartu ucapanmu di pesawat.”
Mata Aisah membulat tidak percaya. Sosok Luna yang sedari tadi hanya terdiam pilu di kursinya, ikut menatap sosok Anna.
“Anna…” bisik Raka.
“Tidurlah,” katanya pada Aisah.
“Apa kita akan pulang?” rajuk Aisah. Anna duduk di samping putrinya, membelai lembut kepala gadis berumur 9 tahun itu penuh kasih. Mata indahnya menatap gadis itu dengan pandangan meminta maaf yang teramat dalam, membuat sosok mungil Aisah menggigil di kursinya. “Aisah tidak ingin pulang jika tidak bersama bunda…” ujarnya mulai terisak. “Aisah akan menulis surat untuk Anisa, dan akan terus menemani bunda di sini. Nenek dan kak Raka boleh pulang, tapi Aisah akan tetap bersama bunda di sini, Aisah sudah berjanji pada ayah untuk menjaga bunda…”
“Aisah…”
“Tidak bunda… jangan suruh Aisah pulang… apa bunda sudah tidak sayang Aisah?” air mata gadis kecil itu terus menetes, meski sang ibunda sudah memeluknya erat-erat.
“Anna, pulanglah bersamaku. Aku tidak akan mengartikan kepulanganmu seperti yang mereka pikirkan. Kau berhak tidak menerima kehadiranku, tapi setidaknya pulanglah. Semua orang merindukanmu.”
Anna mempererat pelukannya pada sosok mungil Aisah sebelum merasakan pertahanannya akan semua rindu itu mulai hancur.
***
            Bandung 4 Januari 2009
Hujan di luar sana masih mengguyur raya dengan derasnya, namun tetap tidak bisa membaurkan suara isak tangis yang terdengar dari sebuah kamar gelap di panti asuhan itu. Gadis itu menanggis tergugu di atas sajadahnya, ia baru saja menunaikan shalat subuhnya, dan kini, ketika hujan di luar sana turun dengan begitu derasnya, ia pun ikut menangis dengan begitu perihnya.
“Zahra,” panggil Amy pelan. Ia menatap sedih sosok sahabatnya yang masih menangis di atas sajadahnya. Zahra menoleh perlahan, menunjukan mata sembabnya. “Raka sudah datang.” Bisik Amy. Zahra mengangguk perlahan dan bangkit dari duduknya, tubuhnya sekit limbung karena terlalu lemah, namun dengan bantuan Amy ia bisa berdiri dengan tegak.
Berulang-ulang Zahra melafalkan salawat nabi untuk menenangkan hatinya. Ia sudah membuat keputusan. Sudah begitu lama, bahkan sejak hari pertama ia mendengar kabar kecelakaan Raka 6 bulan yang lalu, tepat di malam hari pernikahannya, dan semuanya semakin terasa mantap hingga ia melihat mata pemuda itu kembali terbuka.
Raka langsung berdiri ketika melihat Zahra yang datang bersama Amy, dengan cepat ia menggantikan Amy untuk menahan tubuh Zahra dan mendudukannya di sofa sebelahnya.
“Aku baik-baik saja, hanya sedikit kelelahan.” Ujar Zahra seraya melepaskan genggaman Raka dengan perlahan dari lengannya. Kemudian dengan lemah ia mengedarkan pandangannya pada sosok-sosok lain di ruangan itu. Bibinya, Amy, Arya, Darmawan dan Raka yang duduk di sebelahnya.
“Ada apa Zahra?” Tanya Ummi. “Mengapa kau meminta kami berkumpul sepagi ini di sini?”
“Tidak apa-apa ummi, aku hanya ingin mengatakan sesuatu. Aku sudah membicarakan sebelumnya hal ini dengan kakek,” ujarnya seraya menatap sosok tua Darmawan yang mengangguk mengiyakan. “Aku pikir, sudah waktunya Raka untuk menjemput Anna.”
Tubuh Raka membeku di sampingnya. Wajahnya mengeras, menunjukan bahwa pemuda itu tengah berusaha untuk menahan emosinya.
Dengan lembut Zahra menyentuh kepalan jemari pemuda disampingnya. “Raka…” bisiknya lembut.
“Sudahlah Zahra, kau sedang kelelahan. Kau terlalu banyak berpikir, sebaiknya kau istirahat.” Ujar Raka. “Jangan bicarakan hal yang tidak penting lagi. Kita akan segera menikah.”
“Tidakkah kau mengerti…” potong gadis itu lemah. “Kita tidak akan pernah menikah, tidak akan pernah bisa. Kau bukan untukku, kita tidak akan pernah bersama.”
“Zahra…” tegur Amy.
“Tidakkah kau mengerti Raka? Aku bukan jodohmu, sebesar apapun cintaku padamu. Tapi Anna. Dia lah yang diciptakan Tuhan untukmu.”
“Kau bukan Tuhan. Kau tidak bisa menentukan siapa jodohku atau siapa jodohmu. Kita semua hanya mahluk-Nya yang bisa berserah diri pada semua takdir-Nya.”
“Begitu pula dirimu.” Zahra menatap lekat-lekat pemuda di sampingnya, kemudian dengan perlahan ia melirik ummi yang mengangguk kepadanya. “Dan kalau begitu, beristikharah lah…”
“Zahra aku tidak ingin memilih.”
“Itu bukan pilihan. Itu adalah cara seorang muslim untuk menentukan jalannya.”
“Tapi aku akan menikahimu.”
“Kenapa?”
“Zahra—“
“Katakan kenapa kau akan menikahiku?”
“Karena aku mencintaimu.” Ujar Raka setelah diam sejenak. “Dan aku tidak perlu melakukan istikharah untuk itu. keputusanku sudah bulat. Aku akan menikahimu.”
“Kau tau, rasanya hatiku begitu bahagia mendengar kau akan menikahiku. Sangat bahagia, hingga bahkan aku berpikir, kalaupun aku mati sekarang aku tidak akan menyesal. Aku sangat mencintaimu, aku tidak tau mengapa, namun rasanya begitu mudah untuk menanamkan rasa itu. Meski itu hal yang salah…”
“Itu bukan hal yang salah Zahra, aku juga mencintaimu.”
“Kalau begitu kau tidak perlu takut melakukannya, jika sebesar itu cintamu padaku, kau tidak perlu takut menerima jawaban lain dari-Nya.”
Raka terdiam, dan kebisuan itu membuat Zahra tersenyum tipis. Ia menyeka air matanya dengan perlahan. “Aku minta maaf bibi, kakek… dan kalian berdua. Tapi aku harus melakukan ini. Aku tidak meragukanmu, aku tau kau adalah sosok terbaik.” Ujar Zahra seraya menatap sosok di sampingnya lagi. “Tapi aku ingin kau kembali menegaskannya. Untuk dirimu sendiri. Demi Allah Raka, aku sangat mencintaimu, aku tidak bisa hidup tanpamu. Tapi jika kau bukan jodoh yang dituliskan Allah untukku. Aku tidak bisa memaksa.”
“Aku akan melakukannya jika itu maumu.” Ujar Raka akhirnya, Zahra tersenyum tipis dan mengangguk.
“Terima kasih.” Bisik Zahra penuh kepedihan.

Dan begitulah permintaan Zahra di pagi hari berhujan itu. Hingga beselang tiga minggu kemudian, Zahra tidak sama sekali menantikan kedatangan Raka untuk menjelaskan jawaban atas segala doanya. Tubuhnya yang sempat melemah belakangan ini sudah kembali membaik. Ia sudah kembali mengajar di madrasah-madrasah panti, dan kini mulai di sibukan dengan kuliah S2 di salah satu universitas islam negri di Bandung.
Hingga hari itu, senin 19 januari 2009, tanpa di sangka-sangka Raka datang menemuinya. Langkah Zahra yang baru saja keluar dari kelasnya mengajar langsung terhenti. Setetes air mata mengalir bersamaan senyuman manisnya yang mempesona. Ia mengangguk santun penuh hormat.
“Tunggulah sebentar, aku ingin menitipkan sepucuk surat untuk Anna.” Ujarnya seraya berjalan melewati sosok Raka yang berdiri di ambang pintu. Raka menangkap pergelangan tangan gadis itu, hingga Zahra menghentikan langkahnya beberapa kaki di belakang Raka.
“Aku mencintaimu.” Ujar Raka.
“Aku juga mencintaimu kak,” bisiknya sebelum melepaskan pegangan Raka dan berlalu ke kamarnya untuk menangis.
***
Sore itu juga Zahra dan yang lainnya mengantar Raka ke bandara untuk menyusul Anna ke Kairo dan memintanya pulang. Bahkan sosok Raihan pun datang ketika mendengar kabar keberangkatan Raka. Ia tersenyum tipis dan berdiri di samping Zahra yang tersenyum manis pada Raka.
“Pergilah,” ujar Zahra dengan senyumannya yang tulus. “Aku akan baik-baik saja di sini, bawalah kembali gadis itu pulang ke tanah airnya. Dia pasti sangat merindukan semuanya.”
“Aku akan tetap menjagamu.” Ujar Raka sungguh-sungguh. Zahra mengangguk pelan.
“Kau harus menjagaku, harus. Sebagaimana seorang kakak menjaga adiknya…” ujar Zahra. Aminah tersenyum tipis penuh haru.
“Pergilah, atau kau akan ketinggalan pesawat,” ujar Raihan. Raka tersenyum dan menepuk pundak pemuda itu.
“Tolong jaga adikku.” Katanya sebelum mengucapkan salam dan berlalu pergi.
“Mengapa kau membiarkannya pergi?” Tanya Zahra kepada Raihan tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok Raka yang semakin jauh. Raihan menaikan sebelah alisnya dan menoleh pada gadis di sampingnya. “Kenapa kau tidak menahannya?”
“Kenapa aku harus menahannya?” Tanya Raihan tidak mengerti.
“Bukahkah kau tau jika Raka pergi kesana, maka mereka akan kembali bersama.”
“Aku tau.”
“Lalu mengapa?”
“Aku tidak mengerti arah pembicaraanmu.”
Zahra menggeram gemas, “Bukankah kau mencintai Anna? Tapi kenapa kau membiarkan Anna bersama dengan Raka?! Mengapa kau tidak menahan kepergian Raka?!”
Raihan menatap gadis di sampingnya dengan kening yang berkerut, kemudian ia tertawa lebar. Hingga membuat beberapa orang menoleh, tertarik mendengar tawanya.
“Aku memang menyayangi Anna, tapi itu semua karena aku menghormati kak Alan. Well, Anna memang sosok yang sempurna untuk dijadikan pendamping hidup. Tapi bukan gadis seperti itu yang ku inginkan. Aku mempunyai sebuah ego yang menggunung tinggi, dan Anna tidak akan bisa mendakinya. Aku membutuhkan seorang gadis yang lebih kuat. Bukan berati dia tidak kuat, Anna sangat kuat, dia sudah membuktikannya dengan ketegarannya selama ini. Tapi pada dasarnya, bukan Anna yang bisa membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama…”
“Kau berbelit-belit. Aku tidak mengerti. Tapi yang jelas, kau melakukan semua ini untuknya.”
“Aku tidak melakukan apapun untuk siapapun. Dan kalaupun aku melakukan sesuatu, itu untuk diriku sendiri. Aku sangat mendukung perpisahanmu dengan Raka karena aku mencintaimu. Karena aku… bukan karena Anna, dan kalaupun kebetulan itu juga berakibat positif untuknya, aku senang.”
“Apa?!” Zahra terpekik dengan mata membulat.
“Ah, bodoh. Aku mencintaimu, apa kau tidak mengerti juga?!” tanyanya kesal.
“Tapi aku tidak mencintaimu.” Desis Zahra dengan nada sedikit mencibir.
“Aku tidak memintamu untuk mencintaiku,” Raihan mengangkat bahunya tak acuh. Kemudian kembali menatap orang-orang yang terus berlalu lalang di hadapan mereka. “Aku tidak peduli. Cinta atau tidak, kau akan menjadi milikku.” Ujarnya tegas, membuat sosok Zahra memerah marah di sampingnya. “Dan lagi pula, sudah terbukti bukan, jika kau dan Raka memang tidak di takdirkan bersama, jadi mungkin kau memang digariskan untukku.”
“Kau terlalu sombong. Bagaimana jika ternyata Anna menolak kehadiran Raka?”
“Jangan mengelak. Bukankah kau sendiri sudah mengetahui jawabannya dari shalat istikharahmu sebelum kau memintanya melakukan hal yang sama?” tuding Raihan dengan senyuman geli, namun pandangan yang begitu serius. Tubuh Zahra benar-benar mendidih.
“Apa kau cenayang?!” pekiknya.
“Bukan, tapi aku memiliki informan terpercaya.” Ujarnya seraya mengedip pada kakeknya yang terkekeh-kekeh melihat perseteruan mereka.
“Kakek…” desis Zahra putus asa.
“Raka!!! Astaga… aku terlambat…” pekik Amy yang baru saja sampai di bandara. Ia terengah-engah menatap pintu yang baru saja dilewati Raka.
“Amanda Christie…”
Zahra mengerutkan keningnya ketika mendengar suara bisikan dari pemuda di sampingnya. Ia langsung menoleh dan menatapnya dengan pandangan ‘apa’. Tapi pemuda itu masih diam, matanya tertuju pada satu arah, terpaku ke depan dengan mulut yang sedikit ternganga. Sebuah mimic terkejut yang mendapatkan nilai 9.9 dari skala 1-10.
“Raihan?” tegurnya ketika pemuda berkemeja cokelat itu tidak juga tersadar dari keterkejutannya. Hingga tegurannya yang ke tiga kali, sosok Raihan masih membeku di sampingnya, bagai seorang kolektor prangko yang takjub ketika menemukan prangko asli sebesar Koran di hadapannya.
Tidak. Tapi mimiknya lebih dari sekedar takjub. Mimiknya lebih menyerupai ekspresi terkejut yang sangat ‘terkejut’. Zahra mulai panik, kalau-kalau ternyata pemuda di sampingnya terkena serangan jantung dini. Karena mendadak wajah itu tampak sangat pucat dengan mata kosong dan bibir yang membiru.
“Apa kita bisa memanggilnya kembali?” Tanya Amy di sampingnya. “Aku juga ingin menitipkan sebuah surat untuk Anna.”
“Tenanglah,” ujar Zahra, memutuskan tidak peduli pada apapun yang terjadi kepada sosok pria di sampingnya. “Kau akan bisa memberikan surat itu langsung kepadanya,”
“Apa dia akan pulang?” Tanya Amy dengan mata berbinar. Di genggamnya erat-erat kertas yang baru ia tulis beberapa saat yang lalu.
Zahra mengangguk dan tersenyum, matanya kembali menatap jauh ke depan. “Ya, mereka semua akan segera pulang, secepatnya.” Bisiknya penuh keyakinan. Seyakin ia pada cahaya indah yang perlahan muncul di antara kabut-kabut tipis selepas hujan hari itu.
-the end-
Funny how the heart can be deceiving
More than just a couple times
Why do we fall in love so easy
Even when it's not right

Where there is desire
There is gonna be a flame
Where there is a flame
Someone's bound to get burned
But just because it burns
Doesn't mean you're gonna die
You've gotta get up and try try try
Gotta get up and try try try
You gotta get up and try try try

Ever worried that it might be ruined
And does it make you wanna cry?
When you're out there doing what you're doing
Are you just getting by?
Tell me are you just getting by by by

Where there is desire
There is gonna be a flame
Where there is a flame
Someone's bound to get burned
But just because it burns
Doesn't mean you're gonna die
You've gotta get up and try try try
~~~~~~~~~~
tangerang 17032013. 12;16 AM

15 komentar:

Unknown mengatakan...

waah tamat, hehe
endingnya sungguh membahagiakan :)
tp bikin penasaran, ada apa dgn raihan dan amy? *nah loh
hehe

lovelywoman1 mengatakan...

yah tamat.. T.T
Berpisah deh ma cinta segi banyak.. Tp aq suka ending'y.. Raka-Anna, Raihan-Zahra/Amy?

Thanks cher :)

Fathy mengatakan...

Zia ƍäªk trma......

Itu gmna kisah raihan n zahra n ami n aryaaaaa????

Raka jahat....

Btw ​​​☂♓ÅNK•̃ Ɣ☺ΰ Ɣª dear,,,,

White Riding Hood mengatakan...

cakep....!!! coba sinetron di indonesia ceritanya kayak gini. saya pasti jadi suka sinetron :D

Unknown mengatakan...

kisah Raka n anna gimana nih ???
pengarangnya siapa yah ini ???

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

Masama mba sila.... :) :)

Unknown mengatakan...

Masama mba thy... :* :* :*
Makasih jg atas semua semangatnya...

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

Kelanjutannya ada di pelangi hitam putih yah...
Aku pengarangnya... *tersenyum malu2*

isna mengatakan...

Cherry kenapa ga dipos ke watty aja, aku yakin pasti banyak yang suka, ciayo ya....

Unknown mengatakan...

Makasi mba Isna... :))
hehe watty ku udh jarang di tengok, masih nubi dan blum mau masuk lagi... :))

Nunaalia mengatakan...

aah cherry setuju n seneng bgt sama endingnyaaa!! sesuai harapan awal hehe....

tp bnr pertanyaan yg lain, ada apa sm raihan waktu liat amy? apa jgn2 raihan langsung suka juga sama amy kaya pertama liat zahra??? haduh raihan...! *tepok jidat

Unknown mengatakan...

Makasi mba nunaa atas komentar2nya.. *kisskiss*

Hehe kisah kelanjutannya ada di pelangi hitam putih mba.. :)

Unknown mengatakan...

Makasi mba nunaa atas komentar2nya.. *kisskiss*

Hehe kisah kelanjutannya ada di pelangi hitam putih mba.. :)