Senin, 25 Maret 2013

PELANGI HITAM PUTIH -02-


ZAHRA

SEPERTINYA AKU TERLALU banyak melamun, hingga ketika bu Aini menutup kelasnya, aku masih terbengong-bengong dengan catatan yang kosong. Risa yang duduk di sampingku melirikku dengan pandangan heran, kemudian kembali melirik kertas kosong di hadapanku. Aku hanya mengangkat bahu dengan mimik ragu, lalu menghela nafas panjang dan menyandarkan punggungku ke sandaran kursi, kembali menatap hujan yang belum juga mereda.
Kebanyakan dari teman-teman satu kelasku adalah orang-orang yang sudah berkeluarga, hingga ketika aku bertemu dengan Andhini dan Hana aku langsung merasa ‘klop’ karena kebetulan kami memiliki nasib yang sama, tiga-tiganya gadis lajang. Ketika aku melihat sosok Risa yang duduk sendiri satu minggu yang lalu, aku mendekatinya. Aku tau dia sudah menikah, namun umurnya tidak terpaut jauh dari kami, hanya berbeda satu tahun di atasku, 23 tahun, dan baru saja menikah 4 bulan yang lalu. Dan sepertinya, meski ia sudah menikah ia masih belum bisa bergabung dengan ibu-ibu yang mendominasi kelas non regular kami.
Aku tinggal di sebuah rumah sewaan tidak jauh dari kampus bersama Hanna dan Andhini, meski dalam seminggu kami hanya memiliki tiga hari jadwal kuliah; jum’at, sabtu, dan minggu. Dan sisanya ku habiskan di bandung untuk membantu bibi mengurus panti asuhan yang kini sudah merambah menjadi madrasah, dan sekolah SMP dengan guru-guru terpercaya atas bantuan seorang kakek Darmawan yang kebetulan memiliki nama Darmawan juga.
Hari ini hari minggu, itu artinya aku akan pulang ke Bandung dan kembali lagi ke Jakarta pada jum’at pagi. Namun untuk pertama kalinya aku tidak ingin pulang ke panti. Well, konyol memang, tapi aku lebih memilih tinggal di rumah sewaan kami di sini dari pada harus pulang di antar pemuda sialan itu.
Ah tapi, dia pasti sudah pulang karena bosan. Aku melirik jam dinding yang tertempel di atas white board. Sudah tiga jam berlalu, bahkan hampir empat jam. Mustahil rasanya jika pemuda itu tetap berada di bawah. Lagi pula ini kan bukan FTV!
“Kau mau menginap di sini?” tegur Andhini. Aku terkesiap dari lamunanku dan langsung memasukan barang-barangku dengan asal ke dalam tas. Ketiga sahabatku menunggu di ambang pintu. Risa berdiri di depan lorong dengan ponsel di telinganya.
“Damar sudah datang?” tanyaku ketika berjalan di sampingnya. Risa memasukan teleponnya ke dalam saku gamisnya dan mengangguk.
“Di bawah,” katanya sambil melirik hujan dari jendela di sampingnya. Kami berjalan dalam diam menuju lift. Hanna membuka bungkusan cokelat di sampingku ketika lift bergerak turun, dan mengunyahnya dengan santai. Aku menggeleng-geleng pelan sambil menatapnya. Andhini menggeram di samping Risa dan merebut coklat itu dari Hanna.
“Kau bilang mau diet!” pekiknya. Aku bersyukur hanya ada kami berempat di dalam lift, kalau tidak… aku tidak yakin bisa menahan malu melihat kelakuan teman-temanku.
Pintu lift terbuka. Andhini dan Hanna masih saling melanjutkan genjatan senjata mereka. Dhini menggenggam erat coklat Hanna, membuat gadis subur di sampingku bersidekap dengan wajah yang menunjukan kekesalannya. Langkah kami terhenti ketika melihat sosok Damar berjalan perlahan ke arah kami. Seperti biasa ia selalu terlihat rapih dan mempesona, dengan stelan kemeja dan celana bahannya yang berwarna abu-abu. Ia adalah seorang head officer salah satu bank syariah di Jakarta, dan istimewanya lagi, ia selalu menyempatkan diri untuk menjemput Risa.
Aku tersenyum santun kepadanya ketika ia menyapa kami setelah menyapa Risa. “Wah, romantis yah…” gumam Hanna dengan wajah yang sedikit konyol, Dhini menyikut lengan kanan gadis itu perlahan.
“Sudah selama ini, dan kau baru menyadari keromantisan mereka,” cibir Dhini.
Hanna mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan menatap gadis itu dengan pandangan siap beperang. “Bukan Risa dan Damar. Well, mereka memang romantic, tapi ya aku sudah tau sejak lama. Tapi dia, pemuda itu!” Hanna menunjuk ke depan dengan telunjuknya yang tampak seperti ibu jari milikku atau Risa, dan jelas tampak seperti dua ibu jari Dhini jika di satukan.
Kami semua menoleh pada arah yang ditunjuk Hanna. Dan saat itu juga aku merasa berjuta rasa berkecamuk dalam hatiku. Terutama perasaan tidak percaya, namun alih-alih menemuinya dengan senyuman, seperti yang Risa lakukan ketika bertemu dengan Damar, aku malah berbalik, bersiap melarikan diri secepat mungkin.
“Kau tidak bisa lari.” Suara itu membekukan tubuhku. Aku berdiri membelakanginya, kedua tanganku mengepal di kedua sisi tubuhku. Aku tau, seharusnya aku tersanjung dengan perlakuan manisnya yang rela menungguku hingga kurang lebih 4 jam lamanya di kampus. Tapi semua tentangnya hanya membuatku marah dan marah dengan alasan yang masih tidak bisa ku mengerti. “Aku harap kau tidak kecewa karena aku tidak menunggumu di tengah guyuran hujan.” Ujarnya dengan sedikit nada geli. Wajahku memerah.
“Haha ini kan bukan serial FTV,” ujar Hanna sambil tertawa, tampaknya sudah lupa dengan kekesalannya pada Dhini. Aku melirik sengit sosok besarnya.
“Ya sudah, aku harus pergi.” Ujar Risa memecah keheningan yang sempat tercipta setelah tawa konyol Hanna berhenti. “Zahra, ku rasa sebaiknya kau pulang bersamanya, sudah terlalu sore, sepertinya bu Aini benar-benar mengganti jam ajarnya yang minggu kemarin terlewat karena beliau pergi ke luar kota. Dan hujan pula, untuk kebaikanmu sendiri pulanglah bersamanya.” Tutur Risa lembut. Aku mendesah dan melirik Damar, betapa beruntungnya ia memiliki Risa sebagai pendamping hidupnya.
“Ku rasa pulang sendiri akan lebih aman dari pada pulang bersamanya,” desisku sinis. Dhini mengunci rapat-rapat mulutnya, meski aku tau ia tengah menahan tawa.
“Kau akan pulang bersamaku.” Ujar pemuda itu dengan penekanan di setiap kata-katanya.
“Kalau aku tidak mau?!” tudingku sambil berbalik, menatap lurus-lurus mata tajamnya. Ia menyipitkan matanya dan menarik tanganku.
“Aku tidak pernah menanyakan apakah kau mau atau tidak. Aku tidak peduli.” Katanya seraya menarikku menerobos hujan dan berjalan ke mobilnya. Tubuhku yang masih terlalu syok tidak sempat memberontak. Hingga aku sudah berada di dalam mobil, duduk diam dengan bagian atas jilbabku sedikit basah, aku baru tersadar. Aku bisa melihat Hanna melambai-lambaikan tangannya dengan senyuman lebar, Dhini mengangkat dua ibu jarinya, dan Risa hanya tersenyum sambil mengangguk di samping Damar. Sedangkan aku masih melongo bodoh di dalam mobil pemuda gila itu.
Aku mulai memikirkan berbagai macam cara untuk keluar dari mobil ini. Hujan di luar sana masih sangat deras, dan tampaknya bertambah deras. Aku melirik ke luar jendela, aku bisa saja melompat keluar, namun mengingat berita meninggalnya seorang mahasiswi karena melompat dari angkutan umum, aku langsung menghapus pilihan itu dari pikiranku. Terlebih ketika pemuda di sampingku terus menambah kecepatan mobilnya.
“Pakai sabuk pengamanmu!” katanya dengan nada memerintah. Aku mencibir dan bersidekap. Benar-benar seperti bocah kecil yang tengah marah karena tidak di belikan mainan ke sukaannya. Konyol memang, tapi aku memang tidak ingin melakukan apa yang dia inginkan. Aku masih membencinya!
“Pakai. Sabuk. Pengamannya!” ia mengulangi kata-katanya dengan penekanan yang lebih kuat lagi. Aku sempat merinding juga karena suaranya, namun aku tidak mungkin melakukan apa yang ia katakan! Memangnya siapa dia?!
Kemudian tanpa di duga-duga ia menghentikan mobilnya di bahu jalan. Tubuhku sampai condong beberapa senti ke depan karena rem dadakannya, kemudian dengan cepat kembali bersandar ke kursi. Jantungku berdetak kencang karena terkejut. Dengan segera ia mencondongkan tubuhnya di atasku, meraih sefty belt yang berada di sampingku. Aku melotot menatapnya, dan saat itu juga tangaku reflex meraih sesuatu di pangkuanku, dan memukul wajahnya dengan cukup keras.
“Aw!!” teriaknya sambil mundur ke kursinya dan melepaskan seft belt yang tadi sudah di raihnya. Aku terengah-engah menatapnya, wajahku memerah kesal sambil terus menggenggam benda yang ku gunakan untuk memukul pelipisnya yang kini tampak memerah.
“Apa yang mau kau lakukan?!!” tudingku marah. Ia memicingkan matanya.
“Aku ingin memasangkan sabuk pengamanmu, bukankah sudah ku katakan!” ia balas berteriak. Aku melongo menatapnya, satu hal lain yang ku benci dari diriku sendiri adalah, aku akan menangis ketika merasa benar-benar kesal. Dan saat ini aku benar-benar ingin menangis. Bukan karena takut atau apapun. Tapi rasa kesal dalam hatiku rasanya sudah benar-benar menumpuk hingga siap meledak.
“Aku bisa melakukannya sendiri!” suara hujan di luar sana membaurkan suara teriakkanku. Membuatku ingin mengulang teriakanku agar dia tau betapa aku tengah kesal kepadanya. Betapa aku membencinya!
“Kalau begitu lakukan!!” teriaknya dengan tatapan yang menunjukan kemarahan. “Kalau kau merasa bisa melakukan semuanya sendiri, lakukanlah. Jangan membuat orang ingin melakukannya untukmu!”
Aku tidak mengerti dengan apa yang ia katakan. Namun suara teriakannya membuat tubuhku bergetar marah. Dengan kasar ku raih seft belt di sampingku, menariknya hingga ke atas tubuhku, dan menguncinya di sisi yang lain di kursiku. “Puas!?” tudingku, menatap tajam ke arahnya. Suaraku cukup dingin, bagai hawa yang di bawa hujan hari itu. dingin dan menusuk.
Pemuda itu menyandarkan kembali tubuhnya di sandaran kursi, kedua tangannya mencengkram erat-erat kemudi, matanya menatap lurus jalanan yang berkabut di hadapan kami. Dan sejenak, aku merasa takut jika kemarahannya akan membahayakan kami. Jalanan tengah licin, dan aku yakin seratus persen dia tidak akan bisa berkonsentrasi.
Ternyata benar dugaanku, ia langsung menginjak gasnya, menambah kecepatan mobilnya terus menerus, seakan yang terjadi di luar sana bukanlah hujan lebat yang menutupi jarak pandang, melainkan hanya sepoi angin yang bahkan tidak bisa menerbangkan secuil kapas. Aku tersentak ke belakang sandaran kursi beberapa kali. Tanganku menggenggam erat kedua sisi kursi di samping pahaku. Aku ingin berteriak! Kecepatan ini membuatku mual, aku takut!
“Berhenti!” aku ingin berteriak, tapi suara yang keluar justru hanya sebuah decitan kecil seperti seekor tikus yang tengah ketakutan di kelilingi oleh kucing-kucing besar yang tampak lapar.
Kami sudah melewati puluhan mobil di belakang, menerima beribu klakson kesal dari berbagai pengemudi, hingga rasanya tubuhku lemas tak berdaya. Bagaimana mungkin ia bisa mengemudi secepat ini dengan jarak pandang yang terbatas karena jalan tol kala itu benar-benar sudah di tutupi hujan berserta kabut kelabunya.
“RAIHAN BERHENTI!!!!!” teriakku kencang seraya memeluk tangan kirinya ketika aku melihat sebuah mobil bus berada beberapa meter di depan kami, bahkan mungkin sedetik kemudian, dengan kecepatan menggila seperti ini, kami sudah akan berada di bawah ban mobil itu, atau mungkin terguling, dan ditabrak oleh mobil yang datang dari arah berlawanan. Lalu mati.



INDEKS

5 komentar:

Unknown mengatakan...

raihan ini adikna Alan kan??

Unknown mengatakan...

mereka ngga kecelakaan kan .
Zahra kenapa benci banget Raihan O:-)
si Raihan kenapa ngga dari dulu coba mengejar Zahra .

Unknown mengatakan...

Ktemu sma2 keras kepala.. Heheh. Zahra blm bsa mlupkan Raka ya.. Ga sabar nunggu lanjutan Πγª .

Anonim mengatakan...

Lanjut dong ka :) seru bgt

Unknown mengatakan...

@Rindang Aditya : Iya... :)

@mba Nao : hehe kan Raihan baru ketemu ama Zahra mba nao... :) :)

@Mba Nira : lanjutannya sedang di proses... :) :)

mkasi yah semuanya atas kunjungannya...

xoxo cherry :*