Senin, 08 Oktober 2012

SOULMATE -04-


EMPAT
          One tears.


          ‘Jadi bagaimana harimu ?’ tanya Riana saat kami sudah bersama lagi. Aku mendesah. ‘apa tidak berjalan baik ?’
          ‘Baik,’ jawabku singkat. Ia mengangkat kedua alisnya. Kemudian meneruskan kegiatannya untuk mempercantik diri. Aku terlalu berbeda dengannya dalam hal ini. Aku bahkan tidak mengetahui secara pasti nama barang-barang yang ada di meja riasnya. ‘Trims buat gaunnya, dan emm jepitannya juga,’  Riana mengaguk sekilas. ‘Dan untuk hari ini juga,’
          ‘Berhenti berterima kasih,’  ujarnya, terlihat jengkel. Aku tersenyum dan ia turut tersenyum. ‘Apa semuanya berjalan lancar ?’ tanyanya lagi.
          ‘Well, lancar. Jika pandangan kita akan kata itu sama,’  jawabku. Riana memalingkan wajahnya.
          ‘Kita tidak jauh berbeda,’ bisiknya. Aku mendesis. Kau salah Ri, bahkan kita terlalu berbeda dalam banyak hal untuk di katakan memiliki hubungan darah sebagai kakak dan adik. Tapi aku tidak ingin mengatakan hal ini kepadanya. Aku takut menyakiti perasaannya.
          ‘Aku mengantuk, kau siap untuk tidur?’ aku mengaguk. Well, seakan aku bisa menolak saja!!
                                                                   ***
          Pagi yang semu. Riana membuka sedikit jendelanya agar bisa melihat keluar. Mendung. Ia menggerutu tidak jelas sebelum menghampiri mom yang masih sibuk dengan tanamannya di halaman belakang. Sepertinya ia tidak menyadari kehadiran kami. Riana berdehem pelan.
          “Oh, hai sayang…” selalu kata itu yang terucap. Mom tidak terlalu sering memanggil kami dengan nama. Hanya sayang, cinta, honey dan kata-kata lainnya. Mungkinkah terlalu menyakitkan untuk menentukan siapakah yang berada di hadapannya saat ini?
          “Dad mana?” tanyaku pelan. Mom bangkit meluruskan punggungnya.
          “Pagi-pagi sekali ia sudah berangkat, kalian mau sarapan?” nah itulah masalahnya. Kata kalian yang selalu mom pakai terkadang membuat Riana kesal. Ia merasa mom tidak sepenuhnya berharap ia yang hadir di sana. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Memang apa lagi yang bisa ku perbuat. Berteriak kepada Riana, bahwa semua pikirannya itu benar. Dan membuatnya semakin terluka? atau option ke dua, membentak mom. Dan mengatakan bahwa Liana sudah lama mati dan takkan pernah hadir kembali. Ah, baru memikirkannya saja hatiku sudah sakit.
          Tiba-tiba pintu di ketuk. Kami menoleh. Well, Riana menoleh dan langsung berlalu untuk membukakan pintu.
          ‘Biar aku saja,’ usulku. Riana tidak menjawab. Tapi kami tau apa yang sedang kami takutkan. Romi berdiri di ambang pintu. ‘Sudah ku katakan biar aku saja,’
          ‘Aku harus belajar menghadapi,’ ujar Riana tegas. Tapi aku memberontak.
          ‘Dia pria brengsek Ri,’ ujarku mengingatkan. Romi perlahan maju. Tangan Riana terulur memintanya untuk tetap diam di tempatnnya.
          “Ada apa?” tanya Riana setenang mungkin. Padahal aku tau betul bagaimana sakitnya ia saat ini. Dan itu membuatku ingin mencabik-cabiknya.
          ‘Dasar Srigala berbulu… ah berbulu landak,’ ujarku saat mendapatkan kata-kata yang tepat. ‘Luar dalamnya menyakitkan, pria tidak tau diri!!’ makiku. Riana mendesah.
          ‘Cukup Li,’ sergah Riana.
          ‘Aku tidak akan membiarkannya melakukan hal yang semena-mena terhadapmu lagi,’ tuturku tegas.
          “Ri, aku tau ini adalah kau,” ujar Romi lembut. Aku tertawa sinis.
          ‘Memang dia pikir siapa lagi,’
          ‘Cukup Li, dia tidak tau apa-apa, wajar saja ia beranggapan bahwa kita masih memiliki…’ Riana tidak meneruskan pemikirannya. Romi menggenggam tangan Riana erat. Refleks aku menariknya. Riana terlihat geram. Dan aku tidak peduli.
          “Ri aku benar-benar minta maaf, aku tidak pernah bermaksud begitu, aku bisa menjelaskan,” Romi memohon dengan sangat. Aku bisa melihat pertahanan Riana mulai hancur. Tiba-tiba sebuah mobil lain berhenti di depan rumah kami.
          “Romi,” panggil seorang gadis lantang. Riana menoleh. Dan kini aku bisa merasakan emosinua memuncak. Kalau itu adalah aku, tentu aku akan segera mencabik-cabik mereka berdua.
          “Anes?” geram Romi pelan. Anes menghampir kami dan langsung menggandeng tangan Romi dengan mesra. Meski Romi langsung melepaskannya secara paksa, kami sudah melihatnya. Dan aku tau hati Saudari kembarku mulai hancur berkeping-keping.
          “Cukup menjelaskan!!” ujar Riana dingin dan sinis.
          Brak…
          Pintu tertutup di depan kedua wajah menjijikan itu dengan kencang. Aku tersenyum senang. Namun sedetik kemudian aku terhenyak melihat Riana menangis begitu hebatnya. Baru kali ini aku melihatnya menangis seperti itu. Bahunya berguncang hebat. Aku mencoba menenangkannya. Mom pun turut membantu. Namun percuma. Saudariku sudah kepalang terluka.
                                                          ***

0 komentar: