Senin, 08 Oktober 2012

SOULMATE -03-


TIGA.
          Riana terluka.
          Ia menangis siang dan malam. Namun ia selalu mengatakan bahwa tangisnya bukan karena kehilangan Romi. Hanya saja ia merasa begitu bodoh karena bisa tertipu laki-laki itu. Kini ia hanya berjalan seperti robot. Tanpa senyuman dan air mata. Tatapannya kosong. Dan membuatku semakin tersiksa. Kini pikiranku hanya terisi oleh sensasi hatinya yang megharu biru.
          “Ri, ada yang ingin bertemu dengan Liana…” ujar mom suatu hari. Namun Riana tidak bergeming. “Ri…mom tau kamu masih sedih, namun kamu tidak bisa menyiksa Liana seperti ini…” ujar mom lagi.
          “Apa! menyiksa?” bentak Riana tiba-tiba. Aku sendiri sampai terkejut mendengar suaranya yang begitu keras. “Mom pikir aku menyiksa Liana, begitu?” tanya Riana geram. “Mom, it’s my body…right? Then let me manage it by my self…” tuturnya tajam. Andai bisa menangis aku pasti sudah menangis sedari tadi. Tapi toh, yang ia katakan memang benar.
          “Ri… mom minta maaf…”
          “Mom, aku minta maaf… tapi aku tidak bisa terus-terusan seperti ini. Aku ingin menjadi diriku sendiri. Aku tidak ingin memiliki dua kepribadian… aku ga ingin memiliki dua jiwa…” tangisnya pecah. Mom memeluknya erat. Aku sendiri merasa begitu sedih.
          “Ri, mom minta maaf…tapi saat itu memang tidak ada pilihan lain, mom tidak siap bila harus kehilangan kalian berdua,” tangis mom pun pecah.
          “Mom, maafkan aku. Aku memang egois… aku terlalu memikirkan diriku sendiri. Aku harusnya sadar, kalau bukan karena Liana mungkin aku sendiri sudah mati…” tutur Riana. “Baiklah mom, sebaiknya kita segera bersiap, nanti orang yang menunggunya pergi karena bosan,” mom menatapnya tak percaya, kemudian mengaguk senang.
          Riana mencoba beberapa baju koleksinya. Namun sama sekai tidak meminta pendapatku. Ia sengaja tidak bertanya kepada mom siapa yang sedang menungguku. Tentu saja agar aku penasaran setengah mati. Ia tersenyum senang saat mendengar pikiranku yang akan membunuhnya dengan tangannya sendiri.
          “Bagaimana mom?” tanya Riana saat mengenakan sebuah dress cantik selutut. Warnanya putih dengan aksen renda besar di sekitar lehernya. Bahannya sehalus sutra, dan beberapa hiasan bunga kecil berwarna merah menyala tampak menghidupkan gaun itu. Namun tetap saja aku tidak setuju. Karena selama ini aku lebih suka dengan gaun sederhana yang tidak memiliki aksen apapun.
          Riana membiarkan rambutnya tergerai, namun memberikan sepasang jepit kupu-kupu cantik di sisi kanannya. Aku meringis pelan saat ia menyentuh koleksi perhiasannya. Aku memang tidak suka memakai aksesoris apapun. Dan itulah yang membuatku tampak seperti putri yang sangat sederhana.
          Saat Riana mengarahkan tubuhnya ke cermin, aku bisa melihat sosok diriku dan dirinya menyatu. Gaun itu tampak melukiskan kepribadianku yang lembut sedangkan warna-warna lainnya melukiskan pribadi Riana yang begitu bersemangat.
          Wajah cantiknya hanya berhias beberapa warna lembut seperti coklat dan sedikit peach. Membuat kecantikan memancar begitu saja. Aku merasa begitu cantik. Meski tentu saja bukan kecantikanku seutuhnya.
          “Ayo turun...” ujar mom.
          “Hm, Li…aku serahkan semuanya…” ujarnya seraya memejamkan metanya. Dan saat ku membuka mata ia seakan menghilang. Itulah keajaiban kami. Meskipun dalam satu raga namun kami memiliki dua jiwa.
          Betapa terkejutnya aku saat melihat Are dengan berjuta pesonannya tengah menungguku di ruang tamu. Seakan terpana, ia menatapku tanpa berkedip. Wajahku langsung merona merah.
          “Hai…” sapaku pelan. Are langsung tersadar dari lamunannya. Dan tersenyum lebar.
          “Oh, hai…” katanya kikuk. “Well, tante kami pergi dulu…” ujar Are. Mom mengaguk senang.
                                                          ***
          Semilir angin menemani kesunyian yang tercipta di antara kami. Aku dan Are. Kami berjalan beriringan di dekat danau tidak jauh dari rumahku. Suasananya sunyi dan sangat tenang.
          Aku tidak berani melirik ke arahnya. Takut ia memergokiku sedang memandangnya. Ia menghentikan langkahnya tepat di bawah pohon kelapa yang menjulang tinggi.
          “Hm…” Are memejamkan matanya. Aku menghela nafas lega. Dengan begitu aku bisa sedikit memandangi wajahnya yang begitu tampan.
          Tiba-tiba ia membuka matanya. Aku terhenyak. Dan ia menatapku heran. Aku memalingkan wajahku ke sisi yang lain. Mencoba berpura-pura terfokus pada sesuatu di depanku.
          “Sudah lama rasanya kita tidak berjalan seperti ini,”
          “Well, sudah lebih dari 4 tahun ku rasa,” tambahku. Ia tersenyum tipis.
          “Kau keberatan bila aku mengajakmu berjalan lebih jauh lagi ?” tanyanya ragu. Aku menggeleng pelan. Tentu saja aku akan dengan senang hati. bahkan mungkin aku akan bersedia berjalan berkilo-kilo meter jauhnya asalkan tetap berada di sampingnya.
          “Kau masih suka es krim coklat ?” aku memandangnya sesaat. Tatapan kamu beradu. Dan aku bisa melihat sosoknya yang rupawan lebih dalam lagi.
          “Entahlah, banyak hal berubah dalam hidupku,” termasuk selera makanku. Sejak kecil Riana sangat tidak menyukai rasa manis yang terdapat dalam setiap gigitan coklat. Dan tentu saja ia akan membunuhku,-well membunuh pikiranku, lebih tepatnya- jika aku sampai memasukan cairan manis itu ke dalam tubuhnya.
          “Ya aku bisa lihat…” ia memandangi dressku. Sudah ku bilang ini sangat berlebihan. Kemudian memandang jepit kupu-kupu di rambutku. Refleks aku menyentuhnya dengan jemariku. “Seleramu membaik sepertinya…” ujarnya. Aku melotot kepadanya. Astaga kata-kata yang cukup menyakitkan jika ku tela’ah lebih dalam.
          “Hah, lucu!!” desisku. Ia terkekeh. Tampan dan selalu begitu. Aku terpesona.
          “Well, aku tidak pandai berbohong kau tau… meski itu mungkin akan membuatmu lebih nyaman, tapi ku rasa selera Riana lebih baik dari pada seleramu,” aku menggeram. Taruhan pasti wajahku memerah. Ia semakin bersemangat menggodaku.
          “Oke. Cukup!! kau harusnya tau, kau sudah menyakiti egoku,” tuturku dingin. Ia menghentikan tawanya namun masih tetap tersenyum.
          “Sorry ma’am,” ujarnya pelan. Namun tanpa rasa bersalah. “Baik untuk menebus rasa bersalahku, aku akan mentraktirmu makan cake coklat terlezat di sini,” aku mengerang. “Hm, aku kira Riana hanya mengacaukan seleramu dalam hal fasion, tapi ternyata juga dalam hal makanan,” ujarnya sok dramatis.
          “Tapi aku tidak akan menolak jika kau memaksaku untuk memakan sepotong atau dua potong cake, mungkin…” aku bergumam pelan. –sudahlah, urusan Riana toh bisa di selesaikan nanti-. Are tertawa keras.
          “Ternyata kau masih tetap dirimu, syukurlah,” aku mengerutkan kening. “Aku kira Riana benar-benar sudah mengacaukan dirimu, mengendalikan dirimu,” aku terhenyak. Ia kurang lebih benar.
          “He eh,” aku memalingkan wajahku sesaat.
          “Oke, ayo kita pergi,” Are menyentuh pergelangan tanganku dan berlalu pergi. Aku menatap tangan kami yang saling bertautan. Aku bisa merasakan genggaman Are semakin kuat setiap detiknya. Dan sejujurnya itu membuatku sedikit kesakitan.
          Aku menatapnya masih dengan tidak percaya. Ini seakan mimpi. Dan parahnya aku khawatir ia tidak nyata. Tapi aku tau, warnanya terlalu terang untuk di katakan sekedar mimpi. Bahkan perasaan bahagia ini terlalu indah untuk di biaskan menjadi ketidak nyataan.
          Tapi aku masih tidak bisa berkutik. Aku takut mengedip. Takut saat membuka mata lagi ia sudah menghilang. Aku tau ini konyol. Tapi aku tidak ingin mengambil resiko. Well, kalaupun ini hanya mimpi, aku ingin mimpi ini bisa berjalan lebih lama lagi.
          Aku merasa dilema di dalam diriku sendiri. Bagaimana bisa aku tersenyum bahagia, sementara bagian tubuhku yang lain menderita. Riana masih belum sepenuhnya sembuh dari keperihannya atas apa yang dilakukan pemuda brengsek itu.
          “Li…” Are mengibaskan tangannya di depan mataku. Aku terkesiap. “Ada apa ? apa yang sedang kau pikirkan?” tanyanya sedikit cemas. Aku tersenyum tipis melihat kecemasannya.
          “Tidak apa-apa, aku hanya sedang berpikir tentang masa lalu. Astaga aku sangat merindukan yang lainnya. Padahal baru beberapa hari yang lalu kita mengadakan reuni,” ujarku setenang mungkin. Are terlihat kikuk. Apa aku salah bicara ?
          “Well, kita bisa mengadakan reuni lagi kapan-kapan,” usulnya.
          “Cukup membantu,” jawabku pelan kemudian memasukan sesendok penuh cake coklat kesukaanku.
          “Are, Liana ?” seseorang memanggil kami. Aku yang terlebih dahulu menoleh. Tiara dan Citra. Aku tersenyum lebar dan langsung melambaikan tanganku yang bebas kepada mereka.
          “Wow, jadi ada reuni lanjutan, hah ?” tanya Tiara. Aku melihat Are tersenyum tipis. “Oya, trims atas undangannya. Aku dan Dian pasti akan datang,” tutur Tiara. Aku menatapnya tidak mengerti.
          “Li, kelihatannya enak, apa ini ?” tanya Citra. Aku mengerutkan kening. Ia terlalu bodoh bila beranggapan bisa mengalihkan perhatianku. Lagi pula hanya orang tolol yang tidak mengenali cake coklat yang sedang ku makan. Memang bentuknya seperti apa hah ? bola bisbol ?
          “Hm,” aku berdehem pelan. Tau tidak akan bisa mengalihkan perhatianku, Citra menegakan lagi tubuhnya yang sempat membungkuk. Kemudian menatap Are dan Tiara secara bergantian.
                                                                   ***
          “Jadi bisa tolong dijelaskan?” tanyaku saat kami berdua lagi. Are menatap jauh keluar sana. Kemudian menoleh kepadaku. Aku menunggu.
          “Tentang?” tanyanya pelan. Aku menggeram.
          “Astaga, aku juga tidak tau minta penjelasan atas apa,” sindirku. Ia menyerah, sepertinya. Ia membungkuk menatap cakenya yang sudah tinggal setengah. Ia menggerakan jemarinya di bawah meja. Aku tidak tau apa persisnya yang ia lakukan.
          “Eh Li, ada yang mau aku bicarakan,” ujar Citra tiba-tiba. Bahkan terlalu tiba-tiba kurasa. Dan terkesan tidak alami. Well, walaupun kami bersahabat, tapi bukan berarti kami bisa mengusik privasi satu sama lain secara tiba-tiba, bukan?
          Aku menatapnya meminta penjelasan. Kemudian melirik ke arah pintu keluar.
          “Tiara sudah pulang,” ujarnya seakan menjawab pertanyaanku yang tak terlontar.
          “Duduklah,” titahku. Ia melirik sekilas kearah Are.
          “Ini hal yang sedikit sensitif,” ujarnya pelan. Aku mendesah. Sejak kapan Citra bisa begitu tidak sopan. Hingga menyela pertemuan seseorang dan mementingkan kepentingan pribadinya.
          Aku masih menatapnya. Kemudian berpaling kepada Are yang membisu.
          “Aku tidak ingin menyakitimu, sungguh. Tapi saat ini aku sedang bersama Are,” tuturku pelan. Are tersentak ketakutan.
          “Tidak, tidak apa-apa. Kau pergilah,” aku menatapnya tidak percaya. “Aku akan baik-baik saja, sepertinya ia benar-benar membutuhkanmu,” ujar Are. Aku menggeram pelan. Tentu ia akan baik-baik saja, tapi bagaiman denganku ? baru saja aku merasakan sedikit kebahagiaan. Ah Citra, ku harap masalahmu bisa membayar semua ini dengan setimpal.
          Aku mendesah. Berpaling sejenak. Kemudian berdiri.
          “Well, maaf kalau begitu,” ujarku pelan. Are menatap kami bergantian.
          “Kau berhutang padaku,” bisik Citra sinis. Aku menatapnya tidak mengerti. Tau aku memperhatikan, Citra langsung menatapku. “Kau berhutang membantuku…” ujarnya kikuk. Nadanya berbeda dengan yang tadi. Jelas tadi dia seakan membenciku. Namun sekarang terkesan memohon. Uh… aku hampir sinting. Dan aku tidak ingin benar-benar menjadi sinting saat ini. Riana masih membutuhkan diriku.
          “Oke kita pergi,” ujarku setelah berpikir cukup lama.
                                                          ***
          Aku menatap Citra sedikit kesal. Namun tidak menolak saat lengan jenjangnya meraihku ke dalam kamar pas.
          “Hm…” ia berpikir sejenak. Kemudian mengambil pilihan gaun yang lain. “Bagaimana dengan yang ini ?” Citra berpikir lagi sejenak. Ia sama sekali tidak memperdulikan keluh kesah serta protesku. Ia tetap asyik memjejalkan berbagai gaun aneh di tubuhku.
          Aku melirik jam tanganku. Sudah hampir malam rupanya. Mom pasti mengkhawatirkan ku.
          “Well, yang ini…” bisik Citra membuyarkan lamunanku. Aku terkesiap melihat gaun cantik yang di pegangnya. Gaun itu berwarna ungu muda dengan aksen renda selembut sutra di sekeliling pundaknya. Aku tau pengetahuanku tentang fashion sangatlah dangkal, namun aku bisa membedakan mana gaun yang cantik dan tidak. Toh aku masih waras.
          “I… ini… ?” aku menatap Citra tidak percaya.
          “Kau lihat, gaun ini sangat cocok untuk mu, well… cukup manis dan anggun bila kau yang memakainya,” hah, bila aku yang memakainya. Lalu apa dia tidak cukup manis bila memakainya ? tentu tidak cukup manis. Karena pasti jawabannya sangatlah manis, atau mungkin sempurna. Ku pikir-pikir mungkin yang cocok menjadi sahabat Citra adalah Riana, bukan aku. Mereka mungkin bisa saling berdiskusi tentang baju apa yang akan mereka pakai dua jam mendatang.
          “Kau suka ?” Citra menegurku lagi. Aku menatapnya lelah. “Kau pasti suka. Kau sangat cantik dengan ini,” ia menatap gaun pilihannya dengan puas. Aku hanya terdiam. Toh sama saja aku menerima atau menolaknya. Ia akan tetap bersikeras dengan keputusannya. Tapi aku ingin mencoba.
          “Ra, ini berlebihan,” ujarku pelan. Ia menatapku tidak percaya.
          “Berlebihan ?” pekiknya. “Hei, ini adalah hari pertunanganku dengan Arya. Dan kau bilang aku berlebihan ?!! aku hanya ingin membuatmu terlihat cantik. Well, jangan tersinggung,” ia terlambat. Aku sudah tersinggung.
          “Kau selalu terlihat cantik sebenarnya, hanya saja aku tidak ingin melihatmu tampil sederhana di salah satu hari besarku. Kau sahabatku. Dan aku ingin yang terbaik untukmu…” tutur Citra. Aku tertegun. Terharu atas semua yang ia katakan. Ah Citra kau terlalu mengagungkanku. Kau tidak tau seburuk apa diriku. Maaf, andai bisa ingin ku beberkan semua rahasia memuakan ini kepadanya.
          Air mataku menetes.
          “Aku selalu bahagia untuk kalian,” ujarku pelan. Citra merangkulku.
          “Dan akupun akan membantumu untuk menemukan kebahagiaanmu,” tidak, ini semua sudah terlambat citra…
          “Well, sudah. Jangan mengharu biru lagi. Ayo kita bersenang-senang. Menurutmu dasi warna apa yang cocok di pakai Arya?” aku tersenyum tipis dan mulai turut mencari dasi yang cocok. Stidaknya mungkin ini hal terakhir yang bisa aku lakukan untuknya.
                                                          ***              

0 komentar: