Rabu, 10 Oktober 2012

PUTRI KELABU -14-


BAB EMPAT BELAS

Hujan masih mengguyur raya ketika aku keluar dari toko makanan terdekat. Aku membeli beberapa roti dan selai kesukaan Luna. Aku mendesah, menyesali kata-kata Kirana yang menyarankanku untuk membawa payung. Entah mengapa perasaanku kali ini begitu getir sekaligus hambar. Aku seakan tidak memiliki perasaan di permukaan, dengan mudahnya aku bisa membuat wajahku sedatar mungkin. Membuat orang lain percaya kalau aku baik-baik saja.
“Aku sudah menyuruhmu membawa payung,” ujar Kirana. Aku mencari asal suaranya dan melihat ia berdiri tepat di hadapanku. Aku menyeringai. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya ketika kami berjalan beriringan. Aku menatapnya bingung. “Kau terlihat seperti memendam sesuatu,” suaranya tampak samar di tengah derasnya hujan.
“Aku oke,” jawabku singkat.
“Hel,” Kirana menangkap lenganku sebelum kami masuk kedalam rumah sakit. “Kita di sini bukan untuk saling menyakiti,” ujarnya. Aku mendesah dan mengaguk.
“Aku hanya menghawatirkan kakek,” jawabku atas pandanganya.


Luna tersenyum senang ketika melihat aku dan Kirana memasuki kamar rawat inapnya. Raka masih menggenggam jemari Luna, membuatku –yang entah mengapa- langsung mengalihkan pandanganku kesisi lain ruangan ini.
“Aku membelikan selai strawberi kesukaanmu,” ujarku. Luna tersenyum manis dan mengaguk. Aku duduk di samping ranjangnya. Beserbangan dengan Raka. “Terima kasih,” bisiknya lemah. “Aku senang bisa bertemu kalian di sini,” ujarnya. Aku terdiam. “Aku tidak tau sampai kapan bisa tetap membuka mata seperti ini, berbicara pada kalian, tersenyum...” ia menyentuh wajah tampan Raka dengan jemarinya. “Aku minta maaf,” bisikknya. Kirana menatap hujan dari balik jendela besar. Air matanya mengalir perlahan.
“Kau tau Hel, sekarang aku merasa sangat tenang melihat kalian semua dalam keadaan yang baik,” ia menatap kami satu persatu. “Jika suatu hari aku pergi...”
“Tidak,” potong Raka cepat. Dan saat itulah aku bisa kembali melihat wajahnya yang penuh ketakutan dan kesedihan, begitu kontras dengan keseharian Raka yang begitu santai. Dadaku mendadak sakit. “Kau tidak bisa pergi kemanapun. Kau harus di sini, tetap di sini,” Raka menggenggam erat jemari Luna, seakan dengan begitu Luna akan tetap berada di hadapan kami. Luna tersenyum dan mengaguk, memuntahkan genangan air di matanya yang indah.
“Aku juga tidak pernah ingin meninggalkan mu,” bisiknya tulus. Entah mengapa air mataku mengalir perlahan.
Krek.
Tiba-tiba pintu terbuka.
“Kak Luna,” sapa gadis cantik dengan blazer kuning yang begitu cocok dengan kulit putihnya. Aku tersentak. Veronica. Vero menatap kami semua bingung. Wajahnya mendadak pucat.
“Hai Vero, masuklah. Kenalkan ini sahabat yang selalu kakak ceritakan. Rachel dan Kirana,” terang Luna. Vero masih tertegun di ambang pintu. namun sedetik kemudian ia mengaguk dan berjalan mendekati kami. Menjabat tanganku dan Kirana. Ia mengucapkan kata hai yang tidak bersuara padaku. Kemudian  menatap Raka, menuntut penjelasan. Luna tersenyum lebar. Aku mundur beberapa langkah untuk menenangkan gemuruh hatiku.
Kami semua hampir terlonjak kaget ketika mendengar ponselku berdering. Aku langsung mengangkatnya. Tante Lia.
“Ya tante,” bisikku. Keempat pasang mata itu menatapku cemas. “Aku mengerti,” ujarku lirih. Dan air mata itu mengalir di sana. Mendobrak segala pertahananku. “Aku mengerti,” ujarku sekali lagi. Kemudian menutup teleponku.
“Ada apa?” tanya Kirana khawatir.
“Kakek masuk ICCU lagi,” bisikku tercekat. Kirana memelukku erat. Luna menatapku sedih. Aku bisa melihat wajah Raka mengeras, bahkan Vero tampak terpaku menatap sepatu ketsnya, menangis. “Aku harus pulang,”
“Biar aku mengantarmu,” itu suara Raka. Aku menoleh kearahnya cepat. Aku ingin mengaguk. Tentu saja, aku membutuhkannya saat ini. Namun pandanganku beralih pada gadis yang terbaring di hadapnnya. Dia lebih membutuhkanmu. Batinku berteriak kepadanya.
“Aku bisa pulang sendiri,” jawabku. Kirana menggeleng. “Kalian tenanglah di sini. Aku akan baik-baik saja sungguh.” Ujarku. “Kau harus menjaganya,” tambahku ketika Kirana menangis di pundakku.
“Biar aku yang mengantarmu,” bisik Vero setelah diam cukup lama. Kami semua menoleh kepadanya bingung. Luna dan Kirana bingung karena menganggapnya orang asing untukku, sedangkan aku dan Raka menatapnya ngeri akan keadaan. “Kebetulan aku juga harus pergi ke Indonesia. Kak Luna kalau kakak tidak keberatan aku akan pergi dulu, dan segera kembali lagi,” ujarnya, tampak begitu menyayangi Luna.
“Terima kasih sayang,” Luna meremas jemari Vero. “Tolong jaga ia untukku,” bisiknya. aku melirik Raka yang masih mengejang diam. Ia melirik Vero dalam satu lirikan cepat dan Vero mengaguk.


“Kau tidak perlu melakukannya,” bisikku ketika kami sampai di bandara. Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam, hanyut dalam pikiran masing-masing. Vero tidak menjawab. Ia berjalan cepat di hadapanku.
“Aku minta maaf,” bisiknya. aku tertawa pelan. “Aku tidak pernah tau kalau kau adalah sahabatnya,” tambahnya. “Aku selalu mendengar cerita kalian darinya, tapi bodohnya aku karena tidak pernah menyadari kalau kau adalah Rachelnya,” aku menggeleng.
“Sudahlah itu tidak lagi penting,” bisikku perih. Kini semuanya mulai tampak jelas. Ketakutan Raka, maksud permintaan maafnya dan kata-kata terlambatnya. Semuanya sudah sangat jelas.

2 komentar:

Nunaalia mengatakan...

makin ikutan sedih untuk Kimi...hiks hiks

Nunaalia mengatakan...

makin ikutan sedih untuk Kimi...hiks hiks