Jumat, 19 Oktober 2012

PUTRI KELABU -16-


BAB ENAM BELAS


Aku berjalan cepat di koridor kampusku. Beberapa buku terdiam manis di dekapanku. Aku sudah memulai kuliah untuk mengusir semua tekanan yang ku alami beberapa hari belakangan ini. Ini memang sedikit membantu.
“Rachel,” tegur seseorang. Aku menoleh. “Aku memanggilmu berkali-kali,” pemuda itu berlari menghampiriku. Wajahnya yang tampan tampak berpeluh. Ia membetulkan letak kaca mata tak berbingkainya. Jas putih labnya masih ia kenakan. “Aku hampir tidak percaya kau ada di sini,”
Aku pun tidak percaya.
“Bagaimana keadaanmu? Dan kakek mu? Maaf aku tidak ikut dengan yang lainnya menjenguk kakekmu. Aku ada sebuah proyek. Tapi semuanya sudah hampir selesai sekarang, aku yakin akan sukses,” ia nyengir menunjukan wajah jenakanya. Entah mengapa bibirku pun turut tertarik, menyerupai garis lengkung yang pernah ku kenal sebagai senyuman. “Kau tenang saja,” ia meletakan kedua tangannya di bahuku. “Setelah semua ini selesai, aku akan bersamamu untuk melihat kesembuhan kakek,” ujarnya optimis. Aku terharu menatapnya. “Tidak, tidak jangan menangis,” ia menyeka air mataku.
“Trims Re,” bisikku sesaat sebelum ia menarikku ke dalam pelukannya.

Aku sudah lupa bagaimana baiknya teman-temanku di sini. Betapa menyenangkannya berkemul dengan waktu perkuliahan, buku dan para dosen. Kesibukanku di rumah sakit seakan menarikku ke dasar dunia lain, hingga menutup diriku dari sisi dunia yang lainnya, yang tanpa ku sadari, sangat ku rindukan.
Are menggenggam erat tanganku ketika kami berjalan dan tertawa di dalam kelas. Aku merasakan perlahan semua himpitan itu mulai menghilang.
“Kau pasti menyesal karena tidak bisa melihat bagaimana bodohnya Are membelah tubuh katak waktu itu,” gurau Kana. Teman satu kelasku. Aku melirik Are yang langsung mengelak atas tuduhan Kana.
“Aku punya bukti!” teriak Desi seraya mengangkat handphonenya. “Aku merekamnya!!” tambahnya. Sontak wajah tampan Are langsung memucat. “Tapi bohong...” tambah Desi. “Tapi lihat wajahmu sudah seperti mayat hidup! Pucat pasi!” aku terkekeh menyadari kebenaran kata-kata Desi. Are menatap garang padaku.
“Ada apa?” tanya Are ketika tiba-tiba wajahku membeku.
“Aku memikirkan kakek,”
“Jangan bodoh! Kakekmu adalah salah satu direktur rumah sakit Siloam, kau pikir mereka tidak akan menjaganya?!” aku menatap are. Ia benar, namun tetap saja aku khawatir akan dirinya. “Tenanglah,” Are menarikku, memeluk bahuku erat. “Ia akan segera sembuh, aku janji,” bisiknya. entah mendapat kepercayaan dari mana aku mengaguki kata-katanya.

“Aku senang melihatmu kembali,” ujar Kana ketika kami duduk di kantin kampus yang cukup ramai. Baru kali ini Are membiarkanku sendirian, setelah sekian lama ia mendampingiku di kampus hari ini. Panggilan di lab apoteker tampaknya membuat ia begitu ketakutan. “Kami semua ikut prihatin akan apa yang terjadi pada kakekmu,” ujarnya. Aku mengaguk berterima kasih. “Are juga tampaknya sangat khawatir,” tambahnya, pandangannya menerawang jauh kedepan. “Namun dia memiliki cara tersendiri untuk menunjukannya padamu,” Kana kembali ke sisiku. Ia tersenyum manis.
“Rachel!!” teriak Are. Aku dan Kana sampai terkejut karenanya. “Ayo pulang, aku sudah selesai di sini,” teriaknya lagi. Aku mengerutkan keningku tidak mengerti. Kana tersenyum kecil.
“Dasar, bocah itu!” bisiknya. Are masih tertawa lebar. Ia memang bisa menenangkan gemuruh hatiku, seperti Raka menenangkanku, namun tentu saja dengan caranya sendiri.
                                                ***
“Maaf membuat kakek menunggu,” aku mendelik ketika mendengar bisikan Are di telinga kiri kakek. Namun aku tidak menanyakan apa maksudnya. Ia nyegir menatapku. Selalu kekanak-kanakan. Mengingatkanku pada sosok seseorang, sosok sahabat kecilku yang kini telah berubah menjadi sosok pria tampan, yang dingin dan begitu dewasa.
Aku tercekat ketika melihat Raka memasuki kamar kakek. Ia mengenakan setelan rapihnya seperti biasa. Aroma maskulin tubuhnya langsung menyeruak. Raka menatap Are, menilai. Are berjalan santai kearahnya. “Hai, aku Are,” ujarnya. Raka masih terdiam. Baru kali ini aku melihatnya tampak tegang ketika berhadapan dengan orang lain. “Apa kau bisa berbicara bahasa indonesia?” tanya Are setelah Raka terus diam.
“Ya, maaf. Aku Raka,” balasnya, menjabat tangan Are. Kemudian Are berbalik kearahku.
“Hai,” sapaku pada Raka, kikuk. “Dia teman kampusku,” entah mengapa aku langsung memberikan sebuah penjelasan singkat tentang sosok berkaos abu-abu ini padanya. Ia mengaguk dan berjalan mendekati ranjang kakek, kini terlihat lebih tenang.
“Bagaimana keadaan kakek?” tanyanya, masih menatapku dengan tajam.
“Stabil,” bisikku. Ia mengaguk sekali, kemudian melirik Are yang masih duduk di sofa. “Aku harus ke kantor sekarang,” ujarnya kembali dingin dan menusuk. Aku mengaguk pelan. Raka berbalik tiba-tiba dan menarikku kedalam pelukannya. Aku tersentak. Sedetik kemudian ia sudah berlalu pergi. Aku melongo dibuatnya. Apa-apaan tadi??
                                                ***
“Rachel!” teriak Are di depanku. Aku tersadarkan dari lamunanku. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya khawatir. Aku menatapnya bingung. Terlebih saat ia sibuk memeriksa tubuhku. Aku mendelikan mataku menyadari betapa silaunya matahari pagi ini. Astaga, di mana aku??
“Rachel, bicaralah!” perintah Are. Aku menatap wajahnya kosong. Ia tampak begitu khawatir.
“Aku... ba... baik saja,” bisikku terpatah-patah. Are mendesah lega kemudian memelukku erat. Wajah jenakanya kembali muncul, meski masih dengan raut cemas.
“Syukurlah,” bisiknya lega. Aku merebahkan kepalaku di dadanya yang bidang. Calon dokter anak ini benar-benar tengah ketakutan. Membuatku ingin memeluknya dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.
“Apa yang terjadi?” tanyaku lugu. Ia menatapku tidak percaya. Ketakutan itu perlahan mencair, kemudian aku bisa melihat senyumannya kembali menghiasi wajah tampannya. Ia menggeleng perlahan.
“Tidak ada yang penting,” bisiknya seraya mengangkat tubuhku dari jalanan. Apa?? Aku memutar mataku menyadari keberadaanku. Kami berada di lapangan parkir kampus 2, dan aku baru saja tergeletak di jalan itu, di tengah-tengah kerumunan orang-orang. Sebenarnya apa yang sudah terjadi padaku??
Are mendekapku di dalam gendongannya. Aku bisa mencium aroma tubuh Are yang bercampur cologne kesukaannya, begitu fresh dan menyenangkan. Berbeda dengan aroma Raka yang maskulin dan memabukan. Astaga, kenapa sekarang aku mulai membanding-bandingkan mereka?

“Kau baik-baik saja?” tanya Mario, anak Lab yang menyukai Kana. Aku melongo.
“Dia baik-baik saja,” Are yang menjawab dengan cengirannya. Ia mendudukanku di sofa lab. “Dia hanya syok,” Are mengambilkan segelas air untukku. Mario dan yang lainnya langsung berlutut di hadapanku.
“Astaga kau mengagetkan kami. Kau pikir kau bisa menghindari pengendara motor itu, hah??!” tuding Mario. Aku terkesiap dan mulai teringat akan kejadian beberapa saat yang lalu. Ketika aku tanpa sadar menyebrang tanpa melihat ke kanan dan kiri. “Sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan??!! Kau hampir mati, tau??!!!”
Aku menatap Are yang masih menyeringai. Namun kali ini senyuman itu tidak menyentuh matanya. Senyuman palsu.
“Sudahlah guys, dia harus beristirahat sekarang,” ujar Are ringan. Mario masih menggerutu atas sikapku yang dianggap sangat berbahaya. Aku melihat tubuh Are perlahan rileks di sampingku. Ia memejamkan matanya kemudian memijit pangkal hidungnya. Aku membisikan kata maaf. Ia menoleh dan menatapku tanpa berkata apapun. “Jangan pernah mengulanginya lagi,” ujarnya setelah diam beberapa saat. Aku bergeming. Bagaimana mungkin aku bisa menghilangkan lamunan tentang Raka?







1 komentar:

Nunaalia mengatakan...

Ditengah kesedihannya kimi ternyata msh py teman-teman yg baik n perhatian, jadi sdkit terhibur jdnya.
Are ini suka sm rachel ya cher??
btw kimi knp sering pingsan ya???