Jumat, 19 Oktober 2012

PUTRI KELABU -19-


BAB SEMBILAN BELAS


Suasana tegang langsung menyelimuti ruangan besar di hotel itu. dua orang dokter yang sengaja datang untuk merawat Luna langsung sibuk memeriksanya. Namun mereka mengatakan Luna hanya syok.
Aku sendiri masih terpaku dalam diamku. Berharap dalam cemas akan keadaan yang mungkin saja terjadi. Tubuhku menggigil membayangkan hal terburuk yang bisa dialami Raka. Tante Lia menangis dalam dekapan om Arya. Aku dan Kirana duduk terpaku di sudut ruang pertemuan itu. semuanya masih dalam ketakutan yang nyata. Sesaat kemudian Luna siuman. Ia menangis histeris. Aku tidak bisa menenangkannya, aku sendiri ketakutan hingga tidak mmapu bergerak. Are merangkul pundakku erat. Memastikan kalau semuanya akan baik-baik saja. Meski iapun sedikit ragu.
Tiba-tiba pintu aula itu terbuka.
“Maaf sudah membuat kalian menunggu,” ujar sosok jangkung itu santai. Spontan beberapa orang langsung memeluknya. Ia menatap kami heran. “Ada apa?” tanyanya panik, dan kembali menghela nafas lega ketika melihat Luna baik-baik saja di hadapannya.
“Kami dengar pesawatmu kecelakaan,” jawab tante Lia.
“ya, tapi hanya tergelincir sedikit. Kemudian kami di pindahkan kepesawat yang lain,” ujarnya tenang. Aku menatapnya kesal. Sangat teramat kesal. Bagaimana mungkin ia bisa bersikap setenang itu. tanpa sadar aku berjalan menghampirinya.
Plak!
Sebuah tamparan kencang mendarat di pipi kirinya. Semua orang menatapku terkejut. “Berani-beraninya kau membuat Luna seperti ini,” desisku. Tubuh Raka mengejang mendengar kata-kataku.
“Rachel...” bisik Kirana. Aku menatapnya sesaat sebelum berlalu pergi. Lelah akan semua drama konyol ini.
                                                ***
Hari ini adalah hari besar sahabatku. Namun aku sama sekali tidak bisa menghapus air mata ini. aku muak pada diriku sendiri yang tampak tidak berdaya dalam perih ini. aku ingin mendampinginya, tersenyum tulus dan mendoakannya dengan sungguh-sungguh. Namun aku mendapati tubuhku hanya bisa mengeluarkan air mata.
Aku menatap pantulan wajah itu di cermin. Tatapannya kosong, matanya sembab karena menangis semalaman.
Ku kenakan gaun satin berwarna hitam dengan perlahan. Gaun itu begitu indah membungkus pas tubuhku. Begitu lembut dan ringan. Membuatku merasa seperti kapas. Aku membiarkan rambut hitamku tergerai, memberikannya jepit berbentuk bunga kecil untuk memberikan aksen natural. Kamudian memasangkan dua bunga lili terjepit indah 5 cm diatas telingaku. Aku besyukur karena Luna meminta kami menggunakan topeng, karena setidaknya dengan begitu aku bisa menutupi sembab ini.

Aku terhenyak menatap sosok Luna yang begitu cantik dengan gaun pengantinnya. Minimalis namun bisa menunjukan seluruh kecantikannya. Ia membingkai sisa-sisa rambutnya hingga menjadi helaian indah yang jatuh di sisi kiri bahunya. Ia mengenakan topeng putih berbulu yang begitu cantik.  Tubuhnya terlihat begitu rapuh. Namun ia bahagia… ya ia sangat bahagia. Dan tentu saja itu membuatku tersenyum penuh kebahagiaan juga. Tuhan… ia begitu indah.
Luna menatapku dari pantulan cermin di hadapannya. Ia tersenyum kepadaku, dan aku mendekat. “Kau sangat cantik,” bisiknya. Aku menggeleng. Akulah yang seharusnya mengatakan hal ini pada Luna, bukan sebaliknya. Tapi aku menemukan diriku tercekat dalam kebekuan.
“Ini adalah harimu. Kaulah yang akan menjadi pusat perhatian di hari ini. Semua mata akan tertuju padamu, mengagumi kecantikanmu.”
“Apakah kau pikir aku terlihat cantik?” Tanya Luna. Aku tercekat kemudian membalikan tubuhnya hingga berhadapan denganku.
“Kau lebih dari cantik.” Bisikku.
“Tapi aku merasa tidak cantik.” Aku bisa melihat mata indahnya diliputi ketakutan. Aku meraih sebuah lipstick dari meja rias di hadapannya.
“Kau hanya sedikit pucat,” suaraku bergetar. Dengan perlahan kupakaikan lipstick itu di bibir indahnya. “Lihat,” aku membalikan kembali tubuhnya menghadap cermin. “Kau sangat teramat cantik.” Ujarku. Luna mengaguk.
“Terima kasih,” ujarnya tiba-tiba. Memelukku erat. “Terima kasih untuk semuanya, kau selalu baik kepadaku. Aku tidak tau, akankah aku bisa melakukan hal yang sama kepadamu.” Ia menangis di pundakku.
“Cukup jaga dirimu baik-baik. Itu lebih dari segalanya untukku.” Luna mengaguk. “Aku ingin kau hadir di acara pernikahanku juga,” bisikku perih. Lagi-lagi Luna mengaguk. Namun kini terasa begitu menyakitkan.
“Begitu juga dengan pernikahanku,” Kirana berdiri di ambang pintu. Kemudian berjalan mendekati kami. Memelukku dan Luna secara bersamaan. “Hey, sebenarnya aku kesini untuk menjemput kalian, acaranya sudah akan di mulai,” aku melepas pelukanku dan merapihkan gaun Luna. Ia tersenyum, mengaguk. Untuk kali itu aku merasa senyumanku mengembang tulus. Memperlihatkan betapa bahagianya aku bersama kedua sahabatku di sini.. Pernikahan ini akan menjadi pernikahan terindah yang akan ku hadiri sepanjang kehidupanku.
“Aku harap aku tidak mengganggu, tapi kau benar-benar harus segera keluar,” ujar Vero di ambang pintu. Kami bertiga refleks mengaguk bersama. Aku membiarkan Vero membawa Luna dengan kursi rodanya, dan berjalan di belakangnya bersama Kirana. Tiba-tiba Kirana memelukku erat.
“Terima kasih,” bisiknya di telingaku. “Aku tau kau sangat terluka.” Tambahnya. Aku menatapnya tidak mengerti. “Aku benar-benar minta maaf karena selama ini tidak pernah memikirkan perasaanmu.” Aku tersenyum dalam diam. “Kau sangat baik karena mau merelakan Raka untuk Luna. Aku tau sejak awal bertemu Raka. Tapi aku selalu menutupinya. Aku selalu menghindari kenyataan ini. Kenyataan bahwa kau dan Luna mencintai pria yang sama,”
“Sudahlah.” Kataku dingin. Walaupun sebenarnya aku tidak pernah bermaksud begitu. “Aku baik-baik saja, dan lagi pula aku selalu baik-baik saja,” tambahku. Kirana mengaguk dan melepaskan pelukannya. “Aku hanya berharap satu hal, tolong jaga Luna.” Meskipun tampak heran mendengar kata-kataku, Kirana tetap mengaguk. Kemudian kami kembali berjalan ke luar hotel.
Acara sudah hampir dimulai. Semua tamu sudah duduk di tempatnya. Luna sudah siap dengan seluruh pengiring pengantinnya. Dan ia pun begitu. Ia sudah siap di sana. Berdiri menatap sosok mempelai pengantinnya. Begitu tampan seperti biasa. Bahkan mungkin lebih tampan. Tegap dan bijaksana. Aku merasa jantungku terhimpit. Sesak menderu diriku. Tuhan… ku mohon…
Aku merasakan tatapan kakek menghujam diriku. Wajahku memucat seiring berjalannya Luna dengan pengiringnya. Sepelan mungkin aku bergerak. Namun bukan mengiringinya. Aku bergerak mundur, menunduk. Membiarkan air mataku menetes perlahan. Hatiku benar-benar sakit menahan tangis.
Tuhan, ku mohon, kuatkanlah diriku untuk kali ini saja… kuatkanlah diriku….
Cintaku untuk pangeran itu harus segera musnah. aku tidak akan pernah bisa membiarkan cinta memuakan ini menghancurkan hati sang putri. Tidak!! Tidak akan pernah!!!
Are menangkap pergelangan tanganku ketika aku berlari di parkiran. Aku terkejut dan menangis di pelukannya. Aku menangis keras, tergoncang sepenuhnya. “Please, bawa aku pergi…” bisikku terisak. Are mengaguk dalam diamnya. Kemudian menuntunku ke mobilnya. Kakek sudah ada di sana.








1 komentar:

Nunaalia mengatakan...

oh...utglah raka tidak bnran kecelakaan.

kalo jd kimi, gw pasti dari awal ga akan sangup ada d tempat itu. ada baiknya kimi memang pergi...

cherry, nyesek bgt siy liat kesedihan kimi.. hikss