Selasa, 09 Oktober 2012

SOULMATE -05-


LIMA
THE SECRET...


Riana menyeka air matanya perlahan kemudian menatap wajahnya di cermin.
‘Maaf, gara-gara aku kita jadi terlihat jelek,’ ujarnya pelan. Aku tersenyum tipis. Walaupun benar, aku merasa ini yang terbaik. Aku lebih senang Riana mengetahui kebusukan Romi sebelum mereka menikah. Namun aku tau, semua angan yang sudah terlanjur tercipta tentu akan sangat menyakitkan terasa.
‘Kau tetap cantik,’ ujarku pelan. Ia mencoba tersenyum. ‘Tapi ku rasa sebaiknya kau segera keluar kamar, mom pasti sangat khawatir,’ ujarku lagi. Riana mengaguk perlahan kemudian berjalan keluar.
“Akhirnya kalian keluar kamar,” ujar mom seraya memeluk kami. Aku bisa merasakan kekhawatirannya dari debaran jantungnya. “Sayang, bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya mom.
“Kami baik-baik saja mom, tapi mungkin aku butuh sedikit udara segar,” ujar Riana dan aku tidak menolak.
“Hm, sebenarnya tadi Citra menelepon, ia meminta Liana untuk mencoba gaunnya sekali lagi,” ujar mom ragu. Aku langsung terkejut. Aku tidak mau membuat Riana tertekan karena diriku.
“Kebetulan kalau begitu, aku sedang ingin keluar,”
‘Bohong,’ desisku. ‘sudahlah Ri, lebih baik kita ke taman atau cari tempat lain,’
‘Hey, aku tidak akan merepotkanmu,’ balas Riana. Aku mendesis. Tentu saja ia takan merepotkanku tapi akulah yang akan merepotkannya. ‘lagi pula aku bisa membantumu untuk memilih gaun cantik nanti,’ tambahnya. Aku melotot kemudian mencibir. Tiba-tiba Riana terkekeh pelan. Mom masih mematung menunggu kami berbincang dengan sabar. Dan ia selalu begitu. Andai aku menjadi dia mungkin aku bisa gila karena melihat putri satu-satunya sering bertingkah aneh.
“Jadi bagaimana? Kalian akan pergi?”
“Ya, tentu...” ujar Riana riang. Meski rasanya aku senang melihat senyumannya tapi aku merasa sedikit merasa risih.
                                                ***
“Akhirnya kau datang,” ujar Citra. Aku tersenyum begitu pula Riana. Citra terlihat begitu cantik dengan gaun putih panjang semata kaki dengan aksen renda yang begitu manis. Ia benar-benar cantik.
“Apa kau akan memakai gaun ini di pertunanganmu nanti?” tanya Riana tiba-tiba. Citra tersenyum dan mengaguk.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Citra.
‘Ri stop!!!’ desisku.
“Hm, ini terlalu polos untuk gaun pertunangan, bagaimana kalau renda ini di berikan sedikit warna peach atau mungkin ungu muda agar sedikit lebih hidup,”
‘astaga Ri stop!!’ ujarku keras. Citra menatap kami tidak percaya. Meneliti kami dari ujung kaki sampai ujung rambut. “Well, tapi kalau kau suka, kurasa ini cukup cantik...” ujarku mencoba mengusir rasa penasaran yang tampak dimatanya. Citra mengerutkan keningnya. “Lihat, kamu tetap cantik menggunakan gaun manapun,” aku membalikan wakahnya ke cermin.
“Oke cukup!!” bentaknya. Aku langsung tersentak. “Ri, mana Liana?” tanyanya ketus. Aku dan Riana langsung terdiam seribu bahasa. Jantung kami berdetak kencang, keringat dingin mulai membanjiri kening kami. “Ri, aku tau ini kau,” ujarnya. Riana membalikan wajahnya. “Aku bisa mengenali kalian berdua dengan mudah,” ujarnya lagi. Tiba-tiba Riana langsung menyeringai lebar.
“Sorry,” ujarnya pelan. “Well, Liana tidak bisa datang, jadi aku yang menggantikan, lagi pula, dia pikir mungkin aku lebih bisa membantu dalam hal fashion,” ujarnya lagi. Aku menatapnya tidak percaya. Kebohongan yang manis. Citra meghela nafas panjang.
“Ok, mungkin ia benar,” bisiknya. Aku tau dia tentu sangat kecewa. Dan aku merasa sangat bersalah. Namun berkali-kali Riana mengingatkanku bahwa ini adalah yang terbaik.
“Jadi bagaimana dengan usulanku tadi?” tanya Riana. Citra mengangkat wajahnya yang lesu.
“Patut di coba kurasa,” ujarnya pelan. Namun seiring berjalannya waktu aku bisa melihat ia mulai menikmati diskusi fashion bersama Riana. Sudah ku katakan, Riana memang lebih cocok menjadi sahabatnya di bandingkan dengan ku.
Aku menghentikan langkah Riana tiba-tiba. Riana mengerutkan keningnya saat melihat gaun pengantin di balik salah satu lemari kaca. Gaun itu sangat manis, elegan dan anggun.
“Cantik bukan?” tanya seorang wanita paruh baya.
“Ya sangat cantik,” ujarku. Riana tak sepenuhnya setuju. “Ini dipesan langsung oleh sang mempelai pria, namun sayangnya kekasihnya tidak begitu menyukai gaun ini,” ujar wanita yang ku duga sebagai designer di toko itu lemah.
“Bagaimana mungkin ada wanita yang tidak menyukai gaun ini?” tanyaku pelan. Wanita itu mengangkat bahunya.
“Padahal pemesannya adalah seorang pengusaha muda yang sangat mengerti fashion. Tapi yah mau bagaimana lagi,” ujarnya lemah. Aku tersenyum tipis menguatkan. “Lihat, ini adalah koleksi gambar gaun pengantinnya,” wanita itu menunjukan setumpuk kertas yang ia bawa.
Deg...
Aku terdiam. Senyumanku menghilang seketika. Kertas-kertas buram itu terlihat kabur dimataku. Riana menatap gambar-gambar itu tidak percaya. Tujuh lembar sketsa gaun pengantin manis yang selalu ku damba sejak kecil. Tujuh sketsa gaun pengantin yang selalu ku bawa kemanapun ku pergi. Tujuh sketsa gaun pengantin yang beberapa tahun silam ku cari dan akhirnya menyerah... karena kupikir mereka hilang dan takkan kembali.
Tapi ternyata aku salah menerka, gaun yang selalu hadir dimimpiku, kini ada di hadapanku. Bahkan satu diantaranya sudah menjadi nyata. Mimpi itu...
“Siapa yang memesan gaun ini?” tanyaku kikuk.
“Mereka berdua,” tunjuk wanita paruh baya itu kepada sepasang kekasih yang tengah berdiri di ambang pintu masuk.
Nafasku tercekat. Wajahku mulai memanas. Dan kurasa Riana merasakan itu. Ia mencoba terlihat sewajar mungkin. Menutupi gemuruh besar di hatiku. Dari ujung pandanganku aku bisa melihat sosok Citra yang memucat di ujung ruangan. Ia menatap kami dan pasangan itu bergantian.
‘bisa kita pergi?’ tanyaku perih. Riana tidak menjawab. Namun kemudian ia berbalik.
“Ri,” Citra menggenggam lengan Riana. “Please jangan katakan hal ini padanya,” ujar Citra pelan. Aku mengginggit bibir bawahku menahan tangis.
“No, I’ll never tell her,” ujar Riana tercekat. Aku terdiam. Perih mulai menghantam dada kami karena tangis yang tertahan.
“Citra,” panggil seorang gadis. Kami menoleh. Dan mereka disana. Gadis dengan rambut panjang sebahu. Ia terlihat cantik hanya sedikit manja. “Astaga kita bertemu lagi disini,” ujar gadis itu riang.
Deg...
Aku melihatnya. Ia disana. Berdiri terpaku melihat kami. Sedikit terkejut. Ia memalingkan wajahnya kepada Citra yang masih tersenyum palsu.
“Kenalkan ini Riana,” ujar Citra refleks, yang kurasa lebih ditujukan kepada pemuda di hadapannya. Are terlihat sedikit lega.
“Hai, aku Sylvia, dan ini tunanganku, Are,” tutur gadis cantik itu. Aku tersentak dan lengsung membalas uluran tangannya. Riana mencoba tersenyum sewajar mungkin. Meski akhirya ia menyerah.
“Senang bertemu denganmu, ya aku sudah mengenal tunanganmu, kami pernah satu sekolah dulu,” tutur Riana. “Tapi kurasa sudah saatnya aku pergi sekarang, senang bertemu kalian, bye...” ujar Riana semanis mungkin. Wajah Are dan Citra sedikit menegang. Sekali lagi Riana tersenyum kemudian berlalu pergi.
                                                ***

2 komentar:

narnia mengatakan...

cherry..
ini bakal dilanjutin ga?
hhehe

Unknown mengatakan...

iya mba, nti klo udh dapet feelnya lagi, hehehe.
ih ternyata warnanya aneh yah??? jadi ga kebaca dehhh