Jumat, 19 Oktober 2012

PUTRI KELABU -17-


BAB TUJUH BELAS


Jalan itu tampak begitu berdebu. Namun aku menikmati pemandangannya. Menikmati semua gerakan debu yang terombang-ambing dalam buaian angin sore. Kirana duduk dihadapanku dengan kopinya. Turut terhanyut dalam pemandangan berdebu sore itu. ia berdehem pelan, membersihkan tenggorokannya. aku masih belum tau maksud kedatangannya hari ini ke rumah sakit. Namun wajah itu terlihat berbeda. Tidak ada tanda-tanda keceriaan disana. Aku bersyukur karena ia bukan membawa berita mengerikan tentang Luna.
“Raka dijodohkan dengan gadis lain,” aku membeku mendengar kata-katanya. “Luna benar-benar kalut mendengar berita itu. dia sempat drop,” aku menggenggam cangkirku erat-erat. “Aku sangat khawatir karenanya. Luna takut Raka akan berpaling pada gadis yang tentunya lebih sempurna itu darinya. Ia sangat mencintai Raka, dan aku rasa begitu pula sebaliknya. Tapi dari yang aku dengar, ibunya adalah orang yang sangat keras kepala. Aku khawatir Luna tidak akan bisa meraih impian terbesarnya. Menikah dengan pria yang mencintainya tulus. Klise bukan?” Kirana menatap kopinya. “Hm, aku harus segera kembali,” bisiknya. aku menatap beberapa anak yang tengah berlari riang.
“Ki, katakan pada Luna, ia tidak perlu khawatir. Aku akan memastikan gadis itu akan mendapatkan cintanya, impiannya,” aku terdiam mengatur nafasku.
“Hidupnya tidak akan lama lagi. Ku harap kau mengerti apa yang ku maksudkan. Kau tau, ini sangat berarti untuknya,”
“Aku mengerti, pergilah,” bisikku tanpa menoleh. Kirana mendesah panjang sebelum berlalu tanpa menyentuh kopinya sekalipun. Bahkan rasanya semua ini sudah dapat ku tebak sejak awal.
Tidak, tentu saja bukan hanya mereka yang peduli pada Luna. Akupun peduli padanya. Aku menyayanginya sebagaimana aku menyayangi diriku sendiri. Namun entah mengapa aku merasakan berbagai penghianatan di dalam jiwaku. Betapa mudahnya orang-orang membenciku karena hal ini. Betapa mudahnya orang-orang memandang rendahku karena mau merebut Raka dari sosok sahabatku yang sekarat.

Tante Lia duduk diam menatap langit dari jendela kamar kakek. “Kalau tante memang ingin aku bersama Raka. Aku harap tante mengizinkan ia menikahi Luna,” bisikku lagi. Om Arya memejamkan matanya, terduduk di sofa. “Tante... Om, kami sudah dewasa. Kami bisa menentukan jalan hidup kami sendiri,”
“Bagaimana dengan perasaanmu?” tanya tante Lia akhirnya. Aku tersenyum selebar mungkin.
“Aku baik-baik saja. Luna adalah sahabatku, begitu pula Raka. Aku menyayangi mereka berdua,” jawabku. Tante Lia berjalan mendekatiku. Memelukku erat. “Alya sangat menyayangimu, begitu pula kami terhadapmu,” bisiknya di telingaku. Aku mengaguk setegar mungkin. “Aku akan merestui mereka, jika itu yang membuatmu bahagia,” aku tersenyum lebar. Air mataku mengalir tak tertahankan.
“Terima kasih,” bisikku tertahan. “Terima kasih banyak...”
                                                ***
Aku memejamkan mataku perlahan ketika hembusan angin menerpa wajahku. Begitu lembut dan menenangkan. Aku sudah mendapat telepon penuh haru dari Kirana pagi tadi. Bahkan Vero memelukku penuh terima kasih beberapa saat yang lalu. Kini gadis itu sudah kembali ke Singapura untuk menemani Luna lagi. Aku tersenyum memandang wajah kakek yang tampak tenang di belakangku.  Andai saja aku bisa menyimpan ketenangan itu.
“Kimi...” aku tercekat melihat mata kakek perlahan terbuka.
“Kakek!!!” pekikku girang, memanggil dokter dengan berkali-kali menekan bel darurat di samping ranjang kakek. Kakek memelukku lemah. Aku menangis di dadanya yang bergetar. “Tuhan... terima kasih,” bisikku bahagia.

Are tersenyum lebar disampingku. Ia menggenggam jemariku ketika memperhatikan dokter memeriksa kakek, dan melepas beberapa alat yang lain. Aku sudah mengabari yang lainnya. Dan aku tau tante dan om Arya sedang dalam perjalanan kembali ke Indonesia.
“Terima kasih Dokter,” bisik kakek lemah seraya menatap lurus pada Are. Aku mengerutkan keningku tidak mengerti. Yang selama ini menjaga kakek adalah aku, tapi mengapa Are adalah orang yang mendapatkan ucapan terima kasih dari kakek??
“Maaf sudah membuat kakek lama menunggu. Bahan-bahan obatnya sungguh sulit ditemukan,” ia tersenyum. Kakek juga. Aku semakin tidak mengerti.
“Bukan untuk obat saja, tapi untuk menjaga cucuku,” wajahku memerah ketika sadar genggaman tangan Are yang tidak juga terlepas. Aku menghentakannya, ia nyengir. Aku berjalan menghampiri kakek dan menuntut penjelasan atas semuanya. “Kakek memang memintanya meracik obat ini, seminggu sebelum kakek kambuh. Hm... sudah berapa lama kakek tertidur?? Sepertinya kakek banyak bermimpi tentang seorang gadis menangis di samping kakek,” wajahku memerah.
“Kalau kalian tidak keberatan, aku harus pergi sebentar,” ujarnya. Aku dan kakek mengaguk dan mengucapkan terima kasih dengan tulus.
Sesaat kemudian pintu terbuka, dan ia disana. Berdiri terengah-engah. Rambut tembaganya tampak lebih berantakan dari pada biasanya. Ia hanya mengenakan T-shirt dan Jeans hari ini. begitu tampan dan santai.
“Raka,” sapa kakek ramah. Raka berjalan tertatih menghampiri kakek dan mencium punggung tangannya. Aku menatapnya penuh rindu. Andai daja aku bisa kembali melihat senyumannya, andai saja aku bisa kembali memandang mata abu-abunya. Raka berbincang sejenak dengan kakek. Begitu normal, begitu menyenangkan. Membuatku semakin perih menyadari semuanya akan berubah sebentar lagi.
“Ayah,” panggil tante Lia. Ia berlari memeluk kakek.
“Thalia... Arya...” kakek membalas pelukan tante dan om Arya. Aku bisa melihat kebahagian di setiap pandangan mata itu. tiba-tiba tubuhku menegang, mendapati Raka menatapku tajam. Ia mengisyaratkanku untuk mengikutinya keluar kamar. Aku melirik kakek, om dan tante Lia yang masih berbincang ragu. Kemudian berjalan beberapa meter di belakangnya.

Kami berdiri dalam diam di taman rumah sakit yang sepi. Aku mendapati tubuhku sedikit menggigil, entah karena tegang atau karena hembusan angin yang cukup kencang sore itu.
“Apa yang sudah kau lakukan?” tanyanya datar. Aku menatap punggunya tidak mengerti. “Apa yang kau katakan pada mom?” aku tersentak.
“Hal yang kau inginkan,” bisikku, sedikit terkejut mendengar suara dinginku. Raka berbalik menatapku.
“Kau salah,”
“Salah?” aku menatapnya tidak mengerti. “Sudahlah, aku sudah lelah dengan semua kepura-puraan ini. kau mencintai Luna, begitu pula sebaliknya. Dan kau lihat, kakek sudah siuman. Jadi kau tidak punya alasan untuk khawatir padaku lagi,”
“Kau salah,” ulangnya. Aku mendesah frustasi.
“Ya, aku selalu salah. Selalu aku...” bisikku tidak kuasa menahan getar dalam suaraku. “Maaf,” aku mengatur nafasku sebaik mungkin. “Aku memang salah dengan mengatakan bersedia untuk menjadi yang kedua setelah Luna. Tentu saja itu sepenuhnya salah. Aku tidak akan bisa menggantikan Luna, aku tau itu, dan kau memang tidak pernah melakukannya. Aku hanya ingin membuat tante Lia tenang. Dan suatu saat nanti aku akan mempunyai alasan yang lebih baik lagi untuk menghindarimu,”
Raka mencibir perih. “Menghindariku?” tanyanya pelan.
“Ya. Menghindarimu, dan semua tentangmu,” bisikku, menatap lurus kedalam matanya. Raka terlihat begitu kacau. Bahkan pandangan itupun terlihat memilukan. Aku ingin segera memalingkan wajahku. Namun pandangan matanya seakan mengunciku. Membeku dalam luka. “Luna lebih membutuhkanmu,” bisikku akhirnya. Tatapan itu mencair. Memperlihatkan sisi rapuhnya yang lain. Setetes air mata menghiasi pipiku.
“Ya,” jawabnya atas semua pandangan memilukanku. “Maafkan aku karena tidak bisa terus berada di sampingmu,” Raka berjalan perlahan kearahku. Mengecup keningku begitu dalam. Aku menikmati moment itu. ketika perasaan itu begitu nyata dan menyakitkan. “Aku menyayangimu,” bisik Raka. Nafasku tercekat.
“Aku juga menyayangimu,” bisikku saat ia sudah berlalu pergi. Aku merasakan sesuatu menghimpit dadaku. Tangis yang selama ini tertahan dalam diriku yang terdalam. Luka itu. perih itu. semuanya menyatu, memberontak dalam diriku, meledak.
Aku menangis sesenggukan di kursi taman. Menangisi semua nasib burukku dalam hidup ini. mengutuki kebodohanku. Ingin rasanya aku menahannya pergi. Mengatakan bahwa akupun membutuhkannya, aku mencintainya. Namun aku tidak akan menebar luka pada hati siapapun. Tidak, tidak akan pernah.



1 komentar:

Nunaalia mengatakan...

KAsian kimi, hrs merelakan cinta demi sahabatnya, beraaat bgt!
untung aja kakek sdh siuman, setidaknya 1 kesedihan berkurang, meskipun luka cinta itu akan ttp menganga... sabar ya kimi...