Rabu, 10 Oktober 2012

PUTRI KELABU -12-


BAB DUA BELAS.

Ku pendam erat-erat semua luka itu. setidaknya ada hal lain yang harus ku khawatirkan saat ini. Sahabatku Luna. Meski dalam hati aku tidak habis pikir, bagaimana bisa seluruh luka ini terus menggerogoti kehidupanku.
“Luna...” bisik Kirana ketika kami sampai di kamarnya. Aku menatapnya tidak percaya. Sosok cantik itu benar-benar sahabatku. Luna Fayrish. Ia tampak tenang dalam tidurnya. Pucat dan sedikit botak karena kemoterapinya. Tapi ia masih sahabatku. Sahabat terbaikku.
Aku berdiri disamping tubuhnya. menggenggam tangannya hati-hati. Seakan ia adalah porselen antik yang begitu rapuh. Kirana terisak di samping kepala Luna yang perlahan bergerak. Ia membuka matanya perlahan. Dan menatap kami tidak percaya. Seulas senyuman tersungging di wajah cantiknya. “Kalian...” bisiknya lemah. Aku mengaguk dan mencoba tersenyum. Aku merindukannya, teramat sangat. Melihat kami menangis seperti ini Luna menggeleng perlahan. “Tenanglah, aku baik-baik saja,” bisiknya tercekat. Aku menatapnya perih kemudian menangis terisak di atas tangannya.


Tampaknya aku dan rumah sakit sudah bersahabat begitu erat. Hingga kini lagi-lagi aku harus menangis terisak di sisi orang yang ku kasihi. Luna terlihat lebih segar ketika dokter selesai memberikannya obat.
“Kau baik-baik saja?” tanyaku. Pertanyaan bodoh! Tapi aku ingin mendengar bahwa ia baik-baik saja! Ia tidak menjawab hanya mengaguk. Selama sepersekian detik kami hanya saling terdiam. Kirana masih belum bisa menghilangkan isakan tangisnya. “Mengapa kau tidak memberitahu kami?” tanyaku. Seharusnya marah namun terlebih pedih.
“Maaf,” hanya kata itu yang terdengar. Aku tidak tau harus berkata apa lagi. Sepanjang malam itu kami hanya saling menggenggam satu sama lain, dan terlelap dalam kerinduan dan perih.


“Luna!!!” pekikku ketika terbangun keesokan harinya dan mendapati ranjang Luna kosong. Hatiku langsung diliputi ketakutan yang teramat sangat. Aku berlari keluar kamar. Dan betapa leganya aku ketika ia berada di koridor bersama Kirana. “Kau mengagetkanku,” ujarku seraya memeluknya takut. Ia tersenyum, tampaknya lebih sehat dari kemarin.
“Kau terlihat sangat lelah, jadi kami tidak membangunkanmu,” ujar Kirana. “Ayo waktunya sarapan. Aku sudah membelikan kau sarapan juga, ayo makan,” aku berjalan disamping kursi roda Luna. Kami duduk menghadap jendela besar yang memperlihatkan sebagian besar gedung-gedung indah di daratan singapura.
“Aku tidak percaya bisa bertemu dengan kalian lagi,” bisik Luna pelan. Kirana menggigit rotinya perlahan. Luna menerawang jauh keluar jendela. “Aku pikir akan mati tanpa melihat kalian,” aku tercekat. “Tapi aku senang kalian di sini,” ia menatap kami bergantian.
“Jangan bicara begitu, cepat habiskan makananmu,” ujar Kirana ketus. Aku tau ia sedang menyembunyikan kesedihannya. Namun ia bukanlah pembohong ulung.
“Rachel, aku sudah dengar tentang kakek dari Kirana,” ujarnya. Aku menatap Luna. “Aku turut mendoakan kesembuhannya,” aku tersenyum tipis. “Kau harus kuat,” Kirana menatapku pedih. “Terkadang, jalan kehidupan ini memang begitu terjal. Namun untuk mencapai kebahagian itu kita harus bertahan...” Luna menghela nafas panjang. “3 tahun yang lalu...” katanya lemah. “Saat aku tengah begitu bersemangat memulai lembar kuliah seperti kalian, orang tuaku meninggal dunia karena kecelakaan pesawat,
“Aku terjatuh sedemikian dalamnya hingga ingin menghilangkan diri sendiri. Aku mencoba bunuh diri, namun tidak pernah berhasil. Hingga aku memutuskan untuk menjatuhkan diri dari apartemenku. Dari ketinggian 9 lantai mustahil aku masih tetap hidup. Namun saat itu aku mengingatmu,” ia menoleh pada Kirana. “Betapa takutnya kau pada ketinggian,” tambahnya. “Aku mengurungkan niatku. Aku tidak ingin tubuhku hancur, hingga akhirnya aku memutuskan untuk meminum obat-obatan hingga over dosis. Itu juga mengingatkanku padamu,” ia menoleh padaku.
“Namun aku tidak memiliki pilihan lain. Hingga akhirnya seseorang menghentikanku, memarahiku seperti kalian memarahiku. Membuatku merasa begitu berarti. Aku merasa kembali hidup. Dan saat itulah aku sadar, bahwa kalian adalah alasan lain untukku tetap hidup di dunia ini. Namun lagi-lagi aku mendapatkan sebuah kenyataan pahit. Aku didiagnosa mengidap kanker payudara setahun yang lalu,” ia tersenyum getir. Aku menangis. “Kalian tau, sesungguhnya aku sudah siap untuk mati. Bukankah itu yang selama ini aku cari?? Namun aku khawatir ketika aku mati, bukan hanya aku yang pergi... namun akupun akan merenggut kehidupannya.
“Aku mencoba bertahan karenanya. Namun rasanya aku terlalu lemah,”
“Kau bisa bertahan... tentu saja, dan kami di sini untuk mendukungmu,” ujar Kirana aku mengaguk mengiyakan. “Dan anyway, pria itu pasti sangat beruntung karena dicintai olehmu,”
“Tidak. Akulah yang beruntung memilikinya. Kalian pikir, siapa lagi yang akan mencintai gadis tidak sempurna sepertiku?” tanyanya lemah. Baru saja aku akan menyangkal perkataannya, namun pintu yang mendadak terbuka mengalihkan perhatian kami untuk sesaat.





1 komentar:

Nunaalia mengatakan...

Kasihan Luna...
Tapi sp pria yg baik itu ya...?
Aduh, jgn sampai pria itu ternyata Raka! *gigit-gigit kuku