Selasa, 09 Oktober 2012

In another life...


In another life...

        Hari itu hujan terus menguyur raya. Seakan mendengar rintihan kehausan selama musim panas ini. aku duduk di balik jendela usang sanggar Pelangi. Di sampingku, Fabian masih memainkan gitarnya. Menyanyikan lagu kesukaannya, The secret – one replubic. “Yan, menurut kamu aku masih keliahatan kanak-kanak banget ya?” tanyaku tanpa memalingkan pandangan dari hujan. Fabian menghentikan permainan gitarnya. Menatapku sesaat kemudian terkekeh pelan. Aku menatapnya kesal.
        “Sorry, sorry...” ujarnya di tengah tawanya. “Tumben kamu tanya kaya gitu, baru sadar ya kalau kamu itu kaya anak kecil...” tambahnya. Wajahku memerah kesal. Tubuhku memang mungil, namun bukan berarti dia dapat dengan seenaknya berkata begitu. Melihatku marah Fabian menghentikan tawanya secara paksa. ia menghela nafas panjang kemudian tersenyum tipis. “Eh, tapi kalau dilihat-lihat kamu memang sudah dewasa yah....” Fabian terus menatapku.
        “Ah, aku serius!!!” ujarku kesal sekaligus risih dengan tatapan sahabatku yang satu ini. Fabian kembali tertawa.
Senja itu takkan pernah bisa kulupakan. Sebuah pelajaran baru, jangan pernah bertanya hal-hal yang serius pada seorang Andrew Fabian, karena itu hanya akan mengundang tawanya yang menjengkelkan. Dan masalah terbesarnya saat ini adalah kenyataan bahwa kami bersahabat. Bahkan aku cinderung terlalu bergantung kepadanya. Aku memiliki trauma akan keramaian, kesunyian, kesendirian, ketinggian dan hal-hal sepele lainnya yang membuatku tak bisa berdiri sendiri. dan Fabianlah yang selalu berada di sampingku.
Seperti biasa Fabian berdiri disamping mobil yaris hitamnya sambil tersenyum tipis. Aku selalu membenci gayanya yang selalu tebar pesona dan membuat hampir seluruh gadis di sanggar tempat kami belajar melirik kagum kepadanya. Si besar kepala!!!
        “Masih marah??” godanya seraya membukakan pintu mobil untukku. Tentu saja gengsiku lebih besar daripada fobiaku saat itu. Aku memalingkan wajahku tak acuh. “Nggak usah, aku bisa pulang sendiri,” ujarku ketus. Dia tersenyum semakin lebar.
        “Hm, aku minta maaf soal tadi, sekarang ayo pulang,” ujar Fabian akhirnya. tetapi egoku masih terlalu tinggi. “Aku bilang nggak usah!! Lagian aku mau pulang sama... kak Rama,” bisikku tanpa sadar saat melihat sosok jangkung berjalan kearah kami. Senior kami, seorang mahasiswa hukum semester 8 yang begitu menawan. Ialah salah satu alumni sanggar Pelangi yang sukses menembus dunia entertaiment.
        “Hai Kimi... Fabian...” sapa kak Raka ramah. Aku merasa cahaya bintangnya semakin terlihat. Aku masih terpaku. Fabian menyambut uluran tangannya. “Wah, kalian masih akrab aja,” tambahnya. Aku hanya terdiam.
        “Kakak mau apa kesini?” tanyaku susah payah. Kak Raka dan Fabian menatapku dengan tatapan aneh. Kemudian sosok tampan itu tersenyum lebar. “Sebenernya kakak mau ketemu kamu, tapi kayaknya kalian mau pulang ya?” tanya kak Raka. Ia menatapku dan Fabian secara bergantian. Baru saja Fabian membuka mulutnya aku langsung memotong.
        “Ah nggak kok kak, lagipula Fabian masih harus siaran,” jawabku cepat. Fabian melirikku, namun aku tak peduli. “Oh, bagus kalau begitu. Ayo, mungkin kita bisa bicara sambil makan spageti kesukaan kamu,” ujarnya. Aku tersenyum lebar. Kak Raka mengucapkan beberapa kata berbasa-basi pada Fabian sebelum mengajakku pergi.
Aku menang!!!! Sorakku dalam hati. Aku sangat puas. Fabian pasti sangat kesal karena harus pulang sendiri, dan hey lihat.... aku bersama seorang bintang!!!! Selama ini aku selalu berharap bisa berjalan dengan kak Raka. Kami pasti akan menjadi pusat perhatian. Para gadis pasti akan iri kepadaku. Dan keesokan harinya wajah kami akan ada di sampul majalah gosip “Sang bintang baru Raka Erlangga tertangkap kamera sedang bersama dengan gadis misterius yang begitu cantik” –well, kata terakhir memang terlalu berlebihan. Tapi itulah intinya, lalu wartawan akan mengejar kami meminta beberapa penjelasan tentang hubungan kami. Dan saat itulah kak Raka akan mengenalkanku sebagai pacarnya.... wow!!!!
“Kim...” aku terkesiap dari lamunanku. “Kelihatannya kamu sibuk banget sama lamunanmu,” ujarnya. Wajahku tersipu malu. “Maaf yah, setelah satu tahun nggak pernah ketemu, tiba-tiba aku culik kamu dari Fabian gini,”
“Ah, nggak apa-apa kok kak,” jawabku malu-malu.
“Hm... sebenernya aku tiba-tiba keingetan sanggar. jadi hari ini sehabis syuting aku datang. Dan aku bersyukur banget karena bisa ketemu kamu,” wajahku terasa memanas. Untungnya kak Raka tetap terfokus pada jalan raya dihadapannya. “Hm... mungkin aku seharunya nggak pernah ikut audisi itu, jadi aku masih tetap bisa sama kalian, di sanggar...”
“Eh nggak...” potongku cepat. Kak Raka melirik sesaat. “Kakak adalah kebanggaan kami, berkat kakak eksistensi sanggar semakin maju. Aku bangga sama kakak,” ujarku jujur. Kak Raka tersenyum manis. “Dan sampai kapan pun aku akan terus menjadi penggemar setia kak Raka,” kak Raka tertawa lebar. “Padahal aku tuh kagum sama kamu,” ujarnya. Tenggorokanku tercekat, bagaimana mungkin seorang Raka Erlangga kagum pada gadis biasa sepertiku. Aku bahkan jauh dari kriteria cewek idaman yang tertera di profilnya beberapa minggu yang lalu di majalah kesukaanku. Aku tidak cantik, aku tidak pintar, aku tidak dewasa, aku sama sekali jauh dari kriterianya, tapi bagaimana mungkin dia mengaguminku.

Kami sampai di salah satu mall besar di jakarta. Benar saja dugaanku, sebagai salah satu pemeran utama sebuah sinetron, wajah kak Raka tentu mudah dikenali. Aku benar-benar puas melihat mereka melirik kami. Kak Raka mengajakku masuk kedalam Pizza Hut, memilih meja disudut ruangan. Gayanya yang dewasa sangat berbeda dengan Fabian. Tapi aku sedikit merindukan kursi biasa yang ku tempati dengan Fabian bila pergi kesini.
“Jadi, kamu dan Fabian?” lagi-lagi kak Raka membangunkanku dari lamunan yang kembali terukir sesaat yang lalu. Aku terkekeh pelan. “Hm, aku lagi males ngomongin dia kak, akhir-akhir ini dia buat aku jengkel terus,” curhatku.
“Maksudku, kalian masih bersahabat?” tanya kak Raka sedikit kikuk. Aku menatapnya sesaat.
“Hm... maunya sih nggak kak, tapi mau gimana lagi, rumah kami satu komplek, lagi pula mama pasti khawatir banget kalau aku pergi-pergi sendirian,” jawabku pelan. Aku tersenyum tipis mengingat sosok sahabat karibku yang satu ini. “Kalau kakak yang mengganti perannya untuk menemani kamu gimana?”
“Hah??” aku melongo. Kak Raka tampak semakin kikuk.
“Apa kamu masih akan terus bersahabat dengannya kalau aku yang menggantikan perannya untuk menemanimu,” aku mengerutkan keningku tidak mengerti. “Kak, dia sahabatku,” jawabku pelan.
“Kim, kamu harus tau... di kehidupan ini tidak ada persahabatan antara cewek dan cowok yang benar-benar murni bersahabat. Selalu ada cinta diantara keduanya,” ujarnya. Aku memalingkan wajahku. “Tapi kak...”
“Kim, kita harus pergi sekarang, ada wartawan. Kamu keluar lewat depan nanti kita ketemu di mobil,” ujar kak Raka saat melihat beberapa orang dengan kamera. Aku sedikit syok. Dan sesaat kemudian sosok jangkung dihadapanku menghilang meninggalkanku sendiri. satu hal yang tidak pernah dilakukan Fabian kepadaku.
Aku berjalan linglung. Lupa arah mana yang harus aku lewati. Padahal selama ini aku sudah beribu kali pergi ke mall ini. kepalaku mulai terasa perih tak tertahankan. Perutku mual. Mataku mulai berkaca-kaca. Andai ia disini menemaniku...
Sejam kemudian barulah aku sampai kemobil kak Raka. “Astaga Kim, kamu buat aku khawatir, kamu kemana saja dari tadi, aku coba telepon tapi nggak aktif. Maaf ya, untuk pemula sepertiku, aku harus menjaga image,” ujarnya lagi. aku mengaguk dan tersenyum perih. “sebaiknya aku antar kamu pulang,” ujarnya. Aku kembali mengaguk. Mungkin karena bosan menungguku ia menyalakan radio dan suara itu mulai menggeletik hatiku. Andrew Fabian, sang penyiar radio yang terkenal kocak dan ceria hari ini terdengar begitu lesu. Aku mengenali suara lain disampingnya. Amara gadis cantik yang jelas-jelas sangat mengagumi sosok sahabatku.
“Ini suara Fabian?” tanya kak Raka. Aku mengaguk sekali. Letih berpura-pura tersenyum antusias.
“Oke guys, kita buka lagi untuk para penelepon yang ingin berbagi kisah...” suara Amara yang syahdu terdengar ceria dengan terpaksa. “Hm... oke, selagi menunggu penelepon yang masuk, kita akan putarkan beberapa lagu...” tambahnya. Fabian masih terdiam.
“Tunggu,” ujarnya tiba-tiba. “Aku ingin menyanyikan sebuah lagu,” ujarnya. Aku bisa merasakan keterkejutan semua orang. Baru kali ini Fabian melakukan hal seperti ini. ia memang memiliki suara yang luar biasa indah. Namun ia bukan tipikal orang yang suka menonjolkan diri.
“Well...hm...lets check it out,” ujar Amara terdengar sedikit ragu. Dan disanalah ia, sahabat kecilku... Andrew Fabian dengan suara emasnya menyanyikan sebuah lagu yang tak pernah ku dengar sebelumnya. Karena mungkin baru kali ini ia merasakan perih yang entah tak terucap dengan sekedar kata-kata.
you left me on parch, with a rose in my hand.
Hou could you be so cold?
How could you make the door slam?


I can deal with a lie of pain, 
But this I don't know.
It's like another level I have
never dealt before.

If i ever fall in love again, (yeaaah)
Will i ever be the same again? (nooo)
Cause i lost what i had,
And i'll never get it back
No matter what i try to do.

Cause every time i think about you,
I think about pain.
I remember every singel word you say.
Like deja vu,
You say we're through.
And now that's all i think about When i think about you.

And it burns, And it burns, And it burns.
And it burns, And it burns, And it burns.

i've some a long way, But then i see you again.
I can't belive you say, That you still want to be friends.

I guess you moved on, I wish that i'd done the same.
But i'm still black and blue.
Just cant forget that day.

If i ever fall in love again, (yeaaah)
Will i ever be the same again? (nooo)
Cause i lost what i had,
And i'll never get it back
No matter what i try to do.

To many times that i've tried to forget your name.
But i still feel the same.
How long will i have to wait till i feel okay.



Setetes air mata mewakili keperihanku atas keperihan lainnya yang tiba-tiba merasuki hatiku. Rasanya baru kali ini aku menyadari apalah yang harus kulakukan. Kak Raka terdiam disampingku, dan aku sama sekali tak lagi memperdulikannya. Ia memang selalu menjadi bintang kesukaanku. Namun bukan cintaku. Bukan orang yang selalu ku harap ada disampingku.
“Kak, berhenti disini aja, aku akan ketempat siaran,” ujarku. Wajah kak Raka sedikit mengeras. Ia menghentikan mobilnya secara mendadak. “Maaf, tapi kakak adalah bintang terindah buatku, dan kakak harus ingat, aku masih disini menjadi penggemar setia kakak, tapi aku nggak bisa pergi dari dia. Mungkin kakak benar ada cinta di antara kami. Dan aku nggak mau kehilangan itu kak, maaf aku harus pergi...” ujarku sebelum berlalu.

Mereka bilang mimpi itu indah, hari ini baru ku tau, bukan mimpi yang indah. Mimpi tak pernah menentu!! Yang indah itu hayalan!! hayalan yang bisa kau buat sendiri sesuai dengan keinginanmu!
Aku masih mengingat tentang saat itu. Saat dimana hatiku hancur dan meninggalkan berbagai fobia pada diriku. Pada ulang tahunku yang ke 10, orang tuaku berpisah. Berita mengagumkan itu ku terima dihari final lomba musik yang ku ikuti. Setelah itu semua kisahnya berjalan dengan mudahnya. Menambah kepahitan diatas kepahitan yang lain. Keramaian dan kesunyian itu.... kemudian kepedihan itu menutup mataku. Hingga sosok kecil lain menghampiriku. Ia tidak berkata apapun. Tidak seperti mereka yang terus memintaku kembali bernyanyi. Ia hanya menggenggam tanganku dan mengajariku kembali bernafas.
Namun aku terlambat menyadarinya...
“Kimi... tante rasa ini ditulis untukmu,” ujar Tante Mel, ibu Fabian. Ia menyerahkan sebuah kotak sepatu yang berisi penuh surat. Aku menyeka air mataku perlahan. “Tante tidak mau kamu menyesal, jadi tante rasa kamu lebih baik membacanya sekarang,” tambah tante Mel sebelum kembali terpaku menanti keajaiban yang datang.
Aku membuka kotak itu, mengambil sepicuk surat teratas.

                                                        26 maret 2012
Dear Issabela Kimberly... my little Kimmy
Seharusnya saat kamu baca surat ini kita nggak akan pernah kembali saling bertatapan. Well... maaf, tapi aku tidak ingin merusak rasa persahabatan yang ada di antara kita, jadi begini mungkin lebih baik.
Aku sayang kamu Kim... sejak awal kita bertemu. tapi aku sadar, di matamu aku hanya seorang sahabat. Tapi aku tidak pernah menyesal atau sedih karenanya, kalau itulah satu-satuna cara untuk terus berada disamping kamu.
Kim... maaf, aku pergi terlebih dulu. Tapi sungguh kalau boleh memilih dan pasti dikabulkan. Aku selalu mau berada disamping kamu, menjaga kamu selamanya. Tapi mungkin Tuhan mempunyai rencana lain Kim...
Hari ini, aku lega lihat kamu dan Raka. Aku senang kamu mempunya orang lain. Jadi saat aku pergi kamu nggak akan sendiri. tapi maaf aku merasa sedikit sedih karenanya. Tapi Kim, aku janji... aku akan bahagia atas kebahagiaan kamu...
Kim... aku sayang kamu, dulu, sekarang dan sampai nanti...
Kamu harus tegar. Kamu harus bisa berdiri sendiri. kamu nggak usah takut, aku akan selalu ada di hati kamu selama kamu nggak pernah lupain aku....
Aku akan selalu temani kamu Kim.... seperti bintang menemani rembulan. Meski kadang tak nampak namun selalu ada. Aku sayang kamu Kim... tapi ntuk saat ini aku harus pergi.
Jangan sedih... kamu harus bahagia... bahagia dan bahagia...
Aku tau kamu masih trauma untuk menyanyi... tapi bukankah akan sangat sulit untuk merubah cita-cita terdalam kita Kim?? Aku yakin kamu akan menjadi bintang yang paling bersinar.
Keep your dream... I’ll be with you to make it comes true...
And in another life you would be my girl, we keep all our promisses, by us againts the world...
                                       
                                                                With love
                                                              Andrew Fabian


“Kim,” mama menyentuh pundakku dan aku melihatnya menggeleng perlahan. “Dokter sudah menyerah, namun sepertinya ada suatu hal yang menahannya, mama khawatir itu kamu,” bisik mama lagi. aku menatapnya perih.
“Lalu apa yan bisa Kimi perbuat ma?? Menyuruhnya pergi, begitu?! Ma.... Kimi bukanya nggak mau, tapi Kimi nggak tau bagaimana caranya membiarkan orang yang kita sayangi itu pergi begitu aja. Kimi sudah terlalu sedih kehilangan papa, dan sekarang Kimi nggak mau kehilangan yang lainnya... Kimi nggak mau sendirian!!!” tangisku pecah. Mewakili berjuta perih yang tertumpuk dalam hati. Aku tau, sejak kecelakaan kemarin di depan kantor siaran, aku memang belum menemuinya. Entahlah hanya saja perih itu terlalu menyelimuti hatiku. Ketakutan akan kehilangan untuk yang kesekian kalinya.
Tante Mel berdiri di samping sosok Fabian yang terdiam tak bergerak. Aku melangkah perlahan. “Hai,” sapaku pelan. “Hm.... kamu tau.... seharusnya sekarang kamu jemput aku dari kampus dan kita berangkat ke sanggar,” aku menyeka air mataku. “Tapi, buat hari ini aku nggak akan marah, asalkan kamu bangun.... please....” mama merangkul pundakku yang bergetar. “Andai aku tau kemarin adalah hari terakhir kita, aku pasti akan selalu sama kamu, maaf... tapi aku butuh kamu, aku sayang kamu.... please...” ku kecup keningnya yang pucat. “Tapi jika memang inilah saatnya, kamu bisa pergi... kamu tenang aja, aku disini akan baik-baik aja.... bukan berarti aku menyerah, tapi aku hanya nggak mau menjadi yang terdepan untuk melawan takdir,”
“Kimi...” bisik tante Mel pelan. Sebisa mungkin aku tersenyum kepadanya kemudian mengaguk santun. “In another life i would be your girl, i would make you stay... so i dont have to say you were the one that got away...” bisikku di telinga pemuda yang paling kusayangi sesaat sebelum semuanya berhenti berputar.

2 tahun kemudian
“Inilah pemenang untuk penyanyi pendatang baru terbaik... Issabela Kimberly!!” riuh tepuk tangan langsung menggema. Seorang gadis cantik berambut panjang naik keatas panggung. Ia menerima piala pertamanya dengan bangga. Satu piala awal untuk berbagai penghargaan yang selanjutnya.

THE END

1 komentar:

Nunaalia mengatakan...

hiks hiks... cherry, knp siy suka sekali bikin cerita yg sedih2???