Senin, 08 Oktober 2012

SOULMATE -02-


DUA.
Reuni…


          Gedung aula sekolah SMA ku terlihat begitu indah. Berhias pita-pita cantik berwarna-warni dengan lampu-lampu kecil yang juga beraneka warna. Aroma bunga mawar, krisan, melati, kenanga dan lavender langsung menusuk hidungku saat tubuhku melewati pintu utama.
          Rasanya seperti kembali ke beberapa tahun yang lalu. Saat rok abu-abu masih menjadi sahabat setiaku. Namun saat menyadari wajah-wajah baru yang familier itu aku kembali tersadar. Lagu Christina Agullera terdengar sahdu diantara kami. Beberapa anak tengan berdansa di tengah aula yang sudah disulap menjadi dance floor mini yang manis. Sekelompok yang lain tengah berdiri disamping meja berisikan berbagai macam makanan dan minuman. Aku sendiri masih mematung di ambang pintu. Rasanya begitu menyenangkan berada di tempat indah yang begitu familiar bagiku.
          “Liana…is it you?” tanya seorang gadis bergaun biru selutut ragu-ragu. Aku menatapnya dan tersenyum manis. “Oh my God, Li… benarkah ini dirimu?” tanya Fathia ragu. Sekali lagi aku hanya tersenyum simpul. Tiba-tiba Fathia memelukku erat. “Kau berhutang penjelasan kepada kami Li…” ujarnya. Aku hanya mengaguk sekali.
          “Hei… please, aku ga mau orang-orang beranggapan kalau aku membuatmu menangis…” candaku. Fathia melepas pelukannya dan menarikku ke suatu tempat.
          “Hm…” Fathia berdehem pelan saat kami sampai di depan sekerumunan orang. Karena ini adalah pesta topeng aku jadi tidak bisa mengenali siapa saja yang ada di hadapanku. Namun nampaknya mereka cukup mengenali diriku yang hanya berbalut gaun putih sederhana namun tentu saja bermerk -karena setau ku, Riana tidak memiliki gaun murahan-. Dan gaun ini adalah gaun yang paling sesuai dengan seleraku.
          “Liana…?” tanya seorang gadis cantik bergaun merah menyala. Ia menggeleng tak percaya, kemudian memelukku erat. Astaga separah inikah kerinduan mereka kepadaku?
          Perlahan-lahan aku mulai menyadari siapa saja yang ada di  hadapanku saat ini.
          Fathia, gadis pintar yang ambisius dan Fatan kekasihnya. Wine, gadis cantik yang mengenakan gaun merah menyala, sesuai dengan kepribadiannya yang begitu berani. Gilang, pemuda tampan mantan ketua osis kami. Hollie, sahabat indo kami yang meski berbadan besar namun memiliki wawasan yang begitu luas. Qia gadis bodoh namun menyenangkan. Dan yang terakhir Citra serta tunanggannya -yang dulunya akulah yang memperkenalkan mereka-.
          Setelah melepas rindu dengan berpelukan, mereka benar-benar mengintrogasiku. Dan entah mengapa kebohongan itu terasa nyata. Dan mereka bisa percaya begitu saja. Puas mengintrogasiku mereka bercerita pengalaman masing-masing.
          “Li, Riana mana?” tanya Citra. Aku tersenyum dan menggeleg. “Oya, aku dengar dia akan segera bertunangan dengan Romi?” aku mengaguk pelan.
          “So, how about you ?” goda Gilang. Aku hanya mengangkat bahu.
                                                          ***
          Pesta ini benar-benar menyenangkan. Namun aku tidak terbiasa berada di tengah orang banyak. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke belakang aula. Seingatku di sana ada sebuah kolam renang yang dulu sering aku datangi kala bosan.
          Tiba-tiba langkahku terhenti saat mendapati sebuah alunan piano dari atas panggung di sebelah kiri aula. Aku memalingkan wajahku sesaat. Dan dunia seakan berhenti berputar. Kebahagiaan merasuki seluruh relung hatiku. Rasanya seperti mimpiku menjadi kenyataan. Air mataku menetes perlahan. Dan itu adalah tanda kebahagiaanku yang begitu mendalam.
          Sosok pemuda jangkung yang kerap menemaniku di saat gundah. Seorang sahabat yang rela memikul beban sahabatnya. Seorang pria yang tanpa ku sadari kerap menghiasi lembaran buku diaryku. Astaga, akhirnya aku bisa kembali melihat sosok tampan yang memiliki tatapan tajam namun menyejukan. Dengan senyuman manis yang selalu terlukis di balik bingkai wajahnya yang begitu sempurna.
          “Because tonight will be the night that I will fall for you
          Over again don’t make me changes my mind…
          I want live to see you in another day, I swear it true…
          Because the girl like you is imposible to find…”
          Aku tersentak kaget saat tatapannya mengarah padaku ketika menyanyikan sebait lagunya yang indah. Aku langsung memalingkan wajahku. Entah mengapa air mata yang kini mengalir terasa begitu pedih. Apakah karena aku sadar akan apa yang tersirat dari balik semua lagunya. Bahkan di balik tatapan matanya.
          Kini aku benar-benar tidak bisa menahan tangis. Dan instingku memintaku untuk segera pergi.
          Aku berdiri sendiri di samping kolam renang yang sunyi. Rembulan tampak bersinar enggan di balik rimbunan awan. Ku tatap pantulan wajah cantik yang terukir di balik jernihnya air. Setetes air mata membuat bayangan itu memudar karena gelombang-gelombang kecil yang tercipta.
          “Hai!” aku tersentak kaget dan langsung menoleh. Ia disana. Dengan tuksedo yang begitu pas membalut tubuh jangkungnya.
          “Mm…hai…” balasku kikuk. Wajah tampannya tampak bercahaya. Seakan kebahagiaan terbesar berada di genggaman tangannya.
          “Bulannya indah…” ujarnya tanpa memalingkan wajahnya dari rembulan. Aku menatapnya ragu. Kemudian turut menatap rembulan. “Aku tau…” ujarnya pelan. Aku menatapnya tidak mengerti. “Can I have this dance with you ?” tanyanya saat sebuah lagu merdu mengalun dari dalam aula. “Can I have this dance?” ulangnya lagi. Aku tersentak kaget dan langsung mengaguk. Tentu saja aku akan mengatakan iya. Setidaknya, mungkin ini akan menjadi yang terakhir bagiku untuk menikmati kesempurnaan ciptaan Tuhan.
          Ku sandarkan kepalaku di dadanya yang bidang, dan membiaran air mata ini mengalir membasahi bagian depan kemejanya. Ia tidak berkomentar. Hanya mengayunkan tubuhku maju mundur sesuai irama. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang seirama. Andai waktu berhenti saat ini…
          Musik telah berhenti, namun Are nasih tetap mengayunkan tubuhku. Dan aku tidak menolak. Ini mungkin akan jadi sesuatu yang takkan pernah ku rasakan lagi di lain waktu dalam hidupku.
          “Jangan berhenti…” rengekku saat ia menghentikan langkahnya. Ku cengkram kemejanya kuat-kuat. Dan sesaat kemudian aku bisa merakan tetesan air mengenai tubuhku.
          “Hujan…” bisiknya di telingaku. Aku melepaskan pelukannya dan menatap hujan yang mulai membesar. “kita harus pergi…” ujarnya lembut.
          “Aku ingin tetap disini…” ujarku pelan. Are tersenyum manis dan menggeleng.
          “Terkadang ada satu hal yang tidak bisa kita lakukan meskipun kita ingin…” ujarnya. Aku tersentak kaget saat mendengar kata-katanya. Ia menatapku heran saat aku mundur beberapa langkah. “Li, ada apa?” tanyanya panik. Aku tau, saat ini pasti wajahku tampak ketakutan dan sulit dibaca. “Well, aku tidak bermaksud meninggalkanmu, aku Cuma mau kita pindah kesuatu tempat, karena hujannya semakin membesar…” teriaknya mencoba menandingi suara hujan yang menggema. Aku menggeleng pelan. Aku tau, dia tidak akan pernah bisa menginggalkanku, sebagaimana aku terhadapnya. Namun ia benar, terkadang ada hal yang tidak bisa kita lakukan meskipun kita ingin…
          “I have to go…” ujarku seraya berpaling dan tidak pernah menoleh lagi.
                                                          ***
          Akhirnya aku menyesali kedatanganku ke tempat ini. Akhirnya aku mengangisi keputusanku sendiri.  Dan akhirnya aku kembali terpuruk dalam kenyataan yang pahit.
          Ku tatap pantulan wajah itu di cermin. Hm, aku tau…walau bagaimana pun inilah jalan yang ku pilih. Dan tidak seharusnya aku menyesali semua yang sudah terjadi.
          Di luar hujan masih turun dengan derasnya. Namun sepertinya tidak mampu mengusik kebahagiaan yang tercipta dalam ruangan besar itu. Beberapa anak kecil berlarian ke sana kemari. Aku tersenyum tipis. Andai bisa, dulu aku slalu berharap langsung menikah setelah SMA. Agar aku bisa menjadi ibu muda. Tapi toh, mimpi hanyalah mimpi…
          Tiba-tiba aku mendengar suara Romi di luar toilet. Aku tersentak kaget. Bukankah ia mengatakan kepada Riana bahwa ia takkan datang? Baru saja ingin ku buka pintu, namun ku urungkan saat mendengar suara lain di luar sana. Suara seorang gadis yang tampaknya cukup ku kenal.
          Ragu-ragu ku langkahkan kaki keluar toilet. Dan akhirnya aku terpaku di depan pintu yang terbuka setengah. Aku menggigit bibirku keras-keras agar tidak berteriak. Kepalaku sakit melihat segala sesuatu yang ada di hadapanku. Berbagai perasaan langsung berkecamuk dalam benakku. Bagaiman ini semua terjadi. Romi dengan Anes, teman sebangku Riana semana SMA, melakukan hal yang tidak sepatutnya dilakukan. Terlepas dari semua anggapan Riana tentang Romi, aku semakin muak akan semua ini. Dan sekarang aku ragu, haruskah aku memanggil Riana.
          Brak…
          Tanpa sengaja Anes menjatuhkan sebuah pot bunga kecil karena keterkejutannya saat melihatku. Romi sendiri tampak kalang kabut membetulkan pakaiannya.
          “Liana…” bisik Romi ragu. Aku menatap mereka dengan tatapan kosong. Ragu ingin melakukan apa. Namun akhirnya aku menghela nafas panjang. Mereka berdiri menunduk di hadapanku. Seakan mereka adalah murid bermasalah yang sedang berhadapan dengan guru BP.
          Aku sendiri bingung hendak melakukan apa. Rasanya semua kenyataan ini membuatku terlalu lelah. Namun aku tidak mungkin pergi begitu saja, berpura-pura tidak tau kemudian merestui Romi untuk menjadi iparku.
          “Hm…well…” aku mencoba bersuara setenang mungkin. Meski rasanya terlalu besar sensasi perasaan Riana disini. “Aku terkejut…” ujarku diplomatis. Anes sudah mulai menangis.
          “Aku ingin bicara empat mata dengan mu…” ujar Romi. Yang sepertinya di tunjukan kepada Anes. Aku mengangkat bahu tidak acuh. Kemudian berbalik.
          “Tidak ada yang perlu dikatakan kurasa…” tuturku tanpa menatap mereka berdua. Tiba-tiba Anes berlari kearahku.
          “Li, maaf… aku tau ini semua kesalahanku, tapi sungguh aku tidak bisa melupakan Romi begitu saja… dia cinta pertamaku,” ujarnya parau. Romi tampak salah tingkah dengan pengakuan Anes kepadaku. Aku berbalik menatapnya.
          “Lalu apa yang kau ingin aku lakukan sekarang, hah?” tanyaku, masih mencoba setenang mungkin.
          “Aku tidak tau, tapi kalau boleh meminta. Tolong sampaikan padanya jangan merebut Romi dari ku…” ujarnya. Aku terbelalak kaget, begitu pula Romi. Romi menarik tubuh Anes menjauh dariku. Dan aku sendiri masih mematung dengan perasaan yang semakin berbelit. “Katakan padanya, jangan merebut Romi dariku…” teriak Anes histeris. Aku bisa melihat Romi menyeret Anes dengan paksa.
          Tiba-tiba air mataku mengalir. Namun aku sadar ini bukan air mataku. Tapi Riana.
          Sedetik kemudian aku mulai bisa merasakan sakit yang mendalam dari hatiku. Dan barulah aku sadar betapa kerasnya Riana menahan sakitnya sedari tadi.
          “Cukup…” ujar Riana akhirnya. Aku sendiri mencoba berfikir sesuai dengan keadaannya. Romi dan Anes langsung tertegun. Suara lembut Riana tampak terdengar begitu berat.
          “Liana…” bisik Romi memastikan. Riana menggeleng. Kemudian dengan sigap menarik rambut pirangnya ke belakang hingga membuat sebuah butut kuda yang indah. Selama ini, perbedaan kami memag tipis. Aku paling tidak suka rambut panjang kami yang lembut diikat. Namun berbeda dengannya yang tidak suka membiarkan rambutnya tanpa ikatan sedikit saja.
          “Riana…” kini giliran Anes yang bersuara. Riana menatap mereka tajam.
          “Well, selamat malam…” ujar Riana pelan sebelum berbalik. Aku tak  mengerti dengan sikapnya. Romi dan Anes menatap kepergian kami dengan membisu.
          ‘Mengapa kamu melakukan itu ?’ tanyaku pelan. Riana menggeleng perlahan. ‘Maafkan aku Ri, aku tidak bermaksud menyakitimu…’
          “Bukan kau yang menyakitiku, lagi pula… seluruh hidupku toh memang berisikan rasa sakit…” tuturnya pelan. Andai bisa tersenyum tentu aku akan tersenyum. Namun bukan senyuman yang di penuhi kebahagiaan, hanya senyuman yang melukiskan betapa perihnya hidup ini.
          ‘Ayo pulang…aku lelah…’ ujarku. Ia mengaguk dan berlalu pergi.
                                                          ***

0 komentar: