Pertemuan
ketua yayasan yang diadakan hari itu bertempat pada sebuah aula sekolah
Internasional di kawasan Bogor. Pertemuan itu bertujuan untuk membahas beberapa
kurikulum sekolah yang kabarnya akan segera diganti. Sebagai wakil dari yayasan
yang tengah berkembang, dengan serius Raka mengikuti jalannya pertemuan itu.
“Sepertinya
saya pernah bertemu anda,” ujar seorang pria berkemeja biru muda yang duduk di
samping Raka ketika pertemuan itu selesai. Raka berpikir sejenak.
“Maaf,
tapi saya tidak bisa mengingatnya,” ujarnya penuh sesal. Pria itu terkekeh
pelan. umurnya mungkin tidak terpaut terlalu jauh dengan Raka, ia memiliki mata
yang cemerlang dengan senyuman khas pemuda sukses yang menawan.
“Itu
bukan masalah, mungkin kita hanya tidak sengaja bertemu. Saya Raihan dari
yayasan pondok pesantren Darul hifzi,” ujarnya seraya mengulurkan tangannya.
Raka tersenyum dan menyambut jabatan tangannya, baru sedetik ia mengenal pemuda
itu, namun rasanya ia sudah menyukainya.
“Saya
Raka, wakil dari yayasan Al-Farizi,” ujarnya.
“Ah, jadi
anda pemuda yang fenomenal itu…” Raihan berdecak kagum. Matanya melebar. “Sebuah
kehormatan bisa bertemu anda di sini,” ujarnya, rasa senangnya tampak begitu
jelas dari wajahnya.
“Anda
berlebihan. Saya hanya mewakili pemiliknya.”
“Tapi
anda melakukan perkerjaan itu dengan sangat baik. Dari yang saya dengar anda
bisa membawa murid-murid anda ke perlombaan sains internasional yang diadakan
di Jepang 3 bulan yang lalu,”
“Itu
sepenuhnya bukan karena saya. Itu karena usaha anak-anak yang selalu giat
mempelajari hal baru dan tenaga pengajar yang luar biasa,” bisik Raka. Raihan
mengangguk dan menepuk bahu Raka perlahan.
“Saya
benar-benar merasa terhormat bisa bertemu anda di sini. Kita akan bertemu lagi,
segera.” Ujarnya. Raka mengernyit namun tidak melontarkan rasa herannya. Bahkan
hingga akhirnya pemuda itu mengucap salam dan berlalu pergi. Raka hanya terdiam
sambil menggeleng heran.
Raihan tersenyum
tipis sambil terus menatap hujan dari balik jendela di kantornya. Kemudian senyumannya
melebar ketika mendengar ketukan dan suara lembut yang mengucapkan salam di
pintunya. Siluet gadis itu sedikit tetlihat dari jendela di hadapan Raihan,
hingga mau tidak mau ia menoleh untuk membalas salam kakak iparnya.
“Kau
terlambat,” bisik Raihan dingin. Anna tidak menjawab. “Tapi kau tidak perlu
kawatir. Ibu benar, kakek sudah mempercayakan yayasannya kepada orang yang
tepat,” tambahnya seraya bangkit dari kursinya. “Mau kopi?” tanyanya.
“Tidak,
terima kasih.” Jawab Anna pelan. lagi-lagi Raihan menunjukan senyuman miringnya
yang menawan. Ia berjalan perlahan mengitari kantornya yang lebih tampak
seperti perpustakaan canggih dengan rak-rak buku di setiap sisi dindingnya, dan
furniture terbaru yang berwarna silver dan hitam. “Aku harus segera pergi. Aku ingin
bertemu dengannya,” ujar Anna. Raihan menaikan sebelah alisnya, rahangnya
sedikit mengeras.
“Bukankah
sudah ku katakan bahwa ia adalah orang yang baik. Apa kau tidak percaya padaku?”tanyanya
santai, namun Anna bisa merasakan nada sinis yang tersamarkan dari suaranya.
“Maafkan
aku, aku harus segera pargi,” ulang Anna dan beranjak dari kursinya. Raihan
tersenyum sarkastis. Matanya menyipit sambil terus menatap hujan yang semakin
membesar.
“Terserah
kau,” balasnya datar. Anna menghela nafas panjang dan berlalu dari ruangan itu
dengan sebuah salam yang tak terjawab.
Raihan masih
menyipit menatap hujan ketika pintu itu tertutup perlahan dari luar. Ia menggumamkan
gerutuan pelan, melupakan salam yang harusnya ia jawab. Matanya nanar menatap
plang besar bertuliskan sekolah internasional yang ia bangun dari nol tanpa bantuan
siapapun sebagai selingan dari pekerjaannya sebagai direktur dari perusahaan
baja terbesar di kawasan Anyer. Namun sepertinya tulisan sekolah internasional
itu perlahan terhapus oleh hujan, terhapus begitu saja seperti eksistensi dirinya
di hati keluarganya.
Anna
mendesah dan melirik jam tangannya. berkali-kali ia berdoa agar ia tidak
terlambat dan menghilangkan kesempatan bertemu dengan wakil yang ditunjuk
kakeknya untuk menggantikan suaminya selama setahun belakangan ini.
“Ibu
Anna,” panggil seorang wanita berkerudung peach. Anna menghentikan langkahnya
dan menoleh. Kemudian ia tersenyum pada gadis itu. “Saya pikir ibu tidak jadi
datang. Saya sudah mengatakan pada pak Raka jika ibu ingin bertemu dengannya,”
ujar gadis itu. Anna mengerutkan keningnya, sebelah alisnya sedikit terangkat.
“Pada
siapa?” tanyanya ingin tahu. Gadis yang kerap di panggil Nila itu mengangkat
wajahnya dan menatap sosok cantik di hadapannya dengan heran.
“Pada pak
Raka, wakil yang di tunjuk pak Darmawan,” jawab Nila. “Nah itu dia pak Raka,”
ujarnya lagi seraya tersenyum santun pada sosok jangkung berkemeja abu-abu.
Anna
masih mengerutkan keningnya, mencoba mencerna kata-kata gadis di hadapannya
ketika dengan lantang gadis itu memanggil sosok tampan yang begitu familiar
dengan dirinya. Entah disadari atau tidak, matanya membulat menatap sosok itu,
entah mengapa ia merasa seperti baru saja terlepas dari ikatan tali temali yang
begitu menyesakan, hingga rasanya ia bisa kembali menemukan udara yang
menyegarkan ketika matanya menatap sosok yang tengah mematung beberapa meter di
hadapannya. Senyumannya perlahan terukir, matanya sedikit kabur karena genangan
air mata yang menutupinya. Kerinduannya kepada pemuda itu menyesakan hatinya.
Ia ingin
berlari kepadanya, menyentuh wajahnya, memastikan bahwa sosok itu memang nyata,
sosok itu bukan sekedar sosok yang hadir di mimpi-mimpi semunya. Ia ingin
menghampirinya, mengutarakan kerinduannya, mengutarakan rasa cintanya yang
selama ini tak tersentuh.
Namun,
rasa dingin dari benda berkilau yang melingkari jari manisnya seakan membekukan
langkahnya, menohok jantungnya, menghancurkan kepala dan seluruh angan semunya,
mengguyurkan air garam pada lukanya yang tidak pernah mengering.
“Ibu
Anna.” Panggilan gadis itu mengembalikan Anna pada kesadarannya. “Perkenalkan,
ini adalah pak Raka. Orang yang ditunjuk langsung oleh Pak Darmawan untuk
menggantikan pak Alan,” ujarnya. Anna mengatupkan kedua tangannya, mengucapkan
salam dalam diam. Tubuhnya kaku karena gejolak hatinya.
“Senang
akhirnya bisa bertemu anda ibu Alan,” ujar Raka dingin. Anna merasakan tubuhny
mulai kembali terpilin ketika mendapati tatapan dingin dari pemuda di
hadapannya. Sebisa mungkin ia mempertahankan matanya tetap awas, berkali-kali
ia menarik nafas untuk menenangakan gemuruh hatinya. Ia tidak boleh menangis,
tidak boleh menangis karena hal itu.
Ia benar-benar
merasa muak atas dirinya sendiri, bagaimana mungkin ia masih bisa merasakan
sakit yang teramat dalam ketika bertemu dengan pemuda itu. bagaimana mungkin
setelah dua tahun lamanya perasaannya tidak pernah hilang?? Bagaimana mungkin??
“Saya
permisi dulu,” ujar Nila seraya menginggalkan kedua atasannya di lorong gedung
serbaguna yang sepi itu.
“Ayo kita
duduk di…”
“Tidak!”
potong Anna cepat, bahkan mungkin terlalu cepat hingga membuat Raka tertegun
menatapnya. “Maksudku… kita tidak… mempunyai… banyak waktu…” tambahnya
terbata-bata. Wajah Raka mengeras, tatapannya dingin dengan tangan yang terkepal.
“Aku
mengerti,” ujarnya seraya bersandar di dinding. Matanya menatap lurus kedepan,
berusaha sebisa mungkin mengalihkan pandangannya dari sosok cantik di
sebelahnya.
“Apa
kabarmu?” Tanya Anna mencoba memecah kekakuan diantara mereka.
“Aku
baik-baik saja. Bagaimana denganmu dan suamimu?” tanyanya. Anna memalingkan
wajahnya sesaat. Dengan susah payah menjaga air matanya agar tidak jatuh.
“Aku
baik-baik saja, dan pernikahanku luar biasa indah.” Anna menggigit bibir
bawahnya hingga amis itu terasa memenuhi indra pengecapannya sebelum kembali
berbicara. “Alan adalah suami yang sangat baik.” Tambahnya dengan suara pelan.
Ia tidak tau apa yang sedang dilakukannya. Namun jiwanya yang terluka karena
penolakan Raka beberapa tahun yang lalu membuatnya ingin mengatakan semua itu.
“Syukurlah
kalau begitu. Aku bahagia atas kebahagiaanmu,” bisiknya pelan. Wajahnya masih
membeku dengan goresan mimik yang tak terbaca.
“Terima
kasih,” jawab Anna. “Sepertinya waktu kita sudah habis,” bisik Anna. Raka membeku
di sampingnya.
“Aku
pikir kau ingin membicarakan tentang yayasan,” ujar Raka setenang mungkin. Anna
tersenyum dan menggeleng.
“Sepertinya
sudah tidak perlu. Aku percaya pada keahlianmu,” ujar Anna dengan senyuman
manisnya. Raka hanya terdiam. “Lagi pula, aku harus segera pergi… Assalamua’alaikum…”
“Walaikum
salam,” jawab Raka. Anna mengangguk sekali kemudian berlalu pergi secepat
mungkin. Ia sudah tidak tahan dengan desakan air mata yang memenuhi pelupuk
matanya. Ia sudah tidak tahan dengan gemuruh hatinya yang seakan memaksanya
mendobrak pertahanannya. Ia sudah tidak tahan dengan semua itu…
Anna memaki
dirinya sendiri. Merasa nista karena kelakuan dan perasaannya. Ia sudah
bersuami, namun bagaimana mungkin ia masih memiliki perasaan itu untuk pria
lain?? Terlebih lagi, pria itu adalah pria yang menolaknya beberapa tahun yang
lalu.
Raka
menatap kepergian gadis cantik itu dalam diam. Telapak tangannya mulai terasa
keram karena terus terkepal kuat, namun rasanya itu tidak bisa menahan perasaan
yang berkecamuk di dalam hatinya.
Berkali-kali
ia beristigfar, memohon ampun pada sang Khalik atas perasaan yang ia miliki. Namun
iapun hanyalah manusia biasa, yang tidak bisa menghapuskan rasa cintanya pada
sang bidadari.
Raka
melemparkan tinjunya dengan keras kedinding di belakangnya. Baru kali ini ia
lepas kendali, dan benar-benar tidak bisa berdiri dengan kewarasannya. Ia memaki
dirinya sendiri yang dulu selalu menutup mata akan kisah pernikahan sang
bidadari. Bahkan dengan angkuhnya ia tidak pernah membca nama yang bersanding
dengan nama Anna di kartu undangan pernikahannya.
Pernikahan,
ya. Wanitanya kini sudah menikah. Betapa bodohnya ia masih mencintai wanita
itu. betapa bodohnya…
Dengan perlahan
Raka berjalan keluar dari gedung serbaguna itu. Matanya masih nanar menatap
jalanan. Dengan susah payah ia mengucap tasbih untuk kembali mengembalikan
kewarasannya. Namun entah mengapa ia tetap tidak bisa menahan setetes air mata yang
mengalir begitu saja.
Ini tidak tidak boleh terjadi. Aku harus
menghapus semua rasa itu. Dia sudah menikah, dan dia bahagia. Aku harus
menghapuskan rasaku, harus, meskipun dengan begitu aku harus memusnahkan diriku
sendiri.
***
2 komentar:
Yagh,,,b'urai airmata lagi,,,
Knpa doyan bangetz b'galau ria sigh??
Hadewh,,,
thank you very much for the information provided
Posting Komentar