“Hai,”
aku membeku mendengar suara itu, hatiku mencelos mengingat pemilik suara tenang
yang begitu tegas dan dengan jelas menunjukan sosok wibawanya yang luar biasa
tampan. Tanganku yang terulur pada pintu kaca di hadapanku membeku tak
bergerak, bagai adegan slow motion
dalam film aksi. Aku ingin membalas sapaannya, memutar tubuhku dan tersenyum
manis padanya, mengucapkan kata ‘hai’ yang sama dengan nada santai dan tenang,
seakan aku baik baik saja, dan sama sekali tidak terluka. Namun
nyatanya, aku terlalu pengecut untuk sekedar menoleh kepada sosok jangkung di
belakangku.
“Kau mau pergi?” tanyanya ketika aku hanya terdiam di depan pintu
kaca. Aku tidak bisa menjawab, bukan tidak ingin, namun tidak mampu. Lidahku kelu
bagai es krim yang beku, yang sekali saja ku gerakan maka es krim itu akan
patah menjadi dua.
“Di
luar hujan masih terlalu deras, kalau kau mau pulang setidaknya tunggu lah
hujan mereda,” usulnya. Begitu perhatian, begitu baik, begitu mempesona. Aku hampir
saja berbalik dan menghambur ke pelukannya. Namun aku sudah meneguhkan hatiku,
aku tidak akan pernah berbalik padanya. Tidak akan pernah. Dia pikir aku domba
yang bodoh, yang dengan mudah akan kembali jatuh ke pelukannya??!
Sialnya,
bagian lain dalam tubuhku memang menginginkan hal itu. Aku merindukannya. Aku mencintainya,
bahkan meskipun akhirnya hanya luka yang ku dapatkan dari rasa cinta ini. Tapi demi
Tuhan, aku memang sangat mencintainya. Aku mencintainya bahkan ketika mataku
terpejam.
Tapi
itu hanya kisah lama. Kisahku, dia dan hujan yang membeku.
“Aku
pikir kita tidak akan bertemu lagi,” katanya seraya berjalan kesampingku. Aku terdiam.
Aku juga berpikiran yang sama. Hingga rasanya aku begitu terkejut ketika
melihat sosok tampannya berbalut tuksedo hitam di pesta sahabatku ini. “Hm,
sudah lima tahun,” desahnya seraya menatap hujan dari balik pintu kaca di
hadapan kami.
Ya,
sudah lima tahun, dan tidak ada yang berubah. Rasa cintaku, rasa sakitku….
“Aku
sangat merindukanmu,” suaranya berupa bisikan, namun mampu membuat tubuhku
hancur dalam sekali kedipan. “Aku harap kita bisa mengulang lagi semua kisah
kita,” tambahnya pelan. Aku ingin memakinya, mengatakan padanya bahwa itu
adalah mimpi terbesar dalam hidupku. Namun nyatanya aku hanya terdiam.
“Maafkan
aku, aku mencintaimu,” bisiknya. Aku sudah tidak tahan dengan semua lelucon
ini. Aku juga mencintainya, lebih dari apapun.
“Elena,
Alvin!” panggilan itu membekukan tubuhku. Kami menoleh bersamaan. Kemudian seorang
gadis cantik berjalan kearah kami. Senyumannya begitu indah, menunjukan
kebahagiaannya di hari pernikahannya. Aku tersenyum dan sekali lagi mengucapkan
selamat untuknya. Ia menggangguk dan berterima kasih.
“Alvin,
mama dan papa ingin bertemu denganmu sebelum kita berangkat bulan madu,” kata
sahabatku kepada pemuda itu. aku tersenyum dan mengangguk ketika gadis itu
memandangku. Kemudian menarik pria bertuksedo hitam itu menjauh.
Aku
tersenyum dalam kesunyian hatiku, menangis dalam diamku. “I love you too Alvin,
but we are never ever getting back together,” bisikku sebelum berlalu menerjang
hujan.
5 komentar:
We're never ever getting back together? It sounds like Taylor Swift's song? Am I right,my dear Cherry?
Thank you,my dear akhir short story-nya ak suka...jiwa teguh yg mantap melangkah diantara kegetiran
bagus mbak !
Haduuhh ..
Penyanyi fav saiia itu . :D
mba aini -> yep mba, its Tay's song.
hu uh mba, lagian ga ada yang bisa di lakukan lagi, hehehe, he've been married with some other girl,
mba mikha -> terima kasiii mba, she's my fav too. cantik, cantik dan cantik. :D
anyway, ga ush panggil aku mba... :) cherry aja...
aiish cherry bkin tambah galau aja..
menggalau di tengah kesunyian malam~
Posting Komentar