“Apa
aku mengenalmu?” tanyaku ragu. Wajah di hadapanku tersenyum tipis. Matanya yang
indah berbinar lembut penuh kasih.
“Seharusnya,
iya.” Jawabnya, masih dengan senyuman manis yang menghiasi wajah lembutnya. Aku
mengangkat sebelah alisku, sedikit bingung dengan wanita ini. Wajah itu begitu
familiar di mataku, namun otakku tidak bisa mengumpulkan informasi apapun
tentangnya. Tentang sosok cantik yang begitu lembut di hadapanku.
“Maaf?”
bisikku benar-benar tulus. “Tapi aku tidak mengenalmu,” bisikku. Ia masih
tersenyum.
“Kau
pernah mengenalku,” ujarnya. “Ketika kau masih memiliki mimpi itu,”
Aku
terdiam. Kemudian menggeleng. Mimpi?? Aku tidak pernah memiliki mimpi. Well,
kalaupun ada mungkin sudah ku kubur dalam-dalam.
“Ya,
saat kau belum mengubur semua mimpi indah itu,” bisiknya. Aku tersentak ketika
mendengar kata-katanya. Apakah wanita ini bisa membaca pikiranku?
“Kau
memiliki mimpi yang indah, kau memiliki harapan terbesar. Semangatmu,
senyumanmu, semua keindahan itu…”
“Aku
tidak pernah memilikinya,” potongku cepat. Wajah di hadapanku membeku, namun
binarnya tidak menghilang.
“Kau
memiliki mimpi itu. sebuah kepercayaan bahwa kau akan mencapai seluruh mimpi
dan anganku,”
“Itu
adalah diriku yang bodoh. Diriku yang menutup mataku sendiri dari kenyataan. Bersembunyi
di balik mimpi-mimpi semu,”
“Tapi
kau pernah memiliki kepercayaan itu,” wajahnya berubah sedih. Aku mencibir
sarkastis.
“Itu
adalah diriku yang bodoh,” ulangku sarkastis. Wajah cantik itu menatapku dengan
padandangan anehnya.
“Apa
aku terlihat bodoh?” tanyanya pelan. “Apa aku yang mempercayai mimpi itu
terlihat bodoh?” ulangnya lagi ketika aku hanya terdiam. Perlahan namun pasti
gadis dihadapanku menyentuh pergelangan tanganku yang memerah. Aku membeku tak
bisa bergerak. Air mataku menetes perlahan.
“Kau
terlihat indah. begitu manis dengan binar penuh kepercayaan akan masa depan.
penuh harapan,” bisikku perih.
“Kalau
begitu, jadilah begitu. Kembalikan kepercayaan itu,” bisiknya. Aku menggeleng
perlahan. untuk sesaat genggamanku pada benda tajam itu mengendur.
“Maafkan
aku, tapi aku lelah bermimpi, aku lelah memiliki harapan yang akhirnya hanya
menjatuhkanku semakin dalam. Maafkan aku, tapi kini aku sudah kehilangan semua
harap itu,” bisikku perih, lebih perih dari pada sakit yang timbul karena
sayatan dalam di pergelangan tanganku.
Wajah
dihadapanku membeku, matanya menatapku perih. aku tersenyum mengejek. Tertawa sinis
pada sosok dalam diriku yang masih ingin bermimpi, namun maaf, seluruh
kenyataan ini begitu pahit, seluruh jalan hidupku terlalu berliku. Hingga aku
lelah untuk kembali bermimpi.
Karena
aku tau, sekeras apapun usahaku untuk mempercayai bahwa suatu hari nanti aku
akan bisa terbang, semuanya hanyalah omong kosong, sia-sia belaka. Karena semua
orangpun tahu jika kucing tidak pernah bisa terbang.
Tapi
ya, aku mengakui, aku memang pernah memiliki mimpi itu…
2 komentar:
Meonggg...aish,Cherry #tepokjidat!
Njekethek,tibak'e kucing... Ini masih kucing yg sama yg jatuh cinta ama cowok-nya si pemilik kucing,ya?
wkwkkwkw iya mba, ini kucing emang aga2 centik bin imajinerr... hihihi
Posting Komentar