Mendung masih menghiasi langit saat Dara keluar
dari sekolahnya. Mungkin sebentar lagi
akan turun hujan, pikir Dara. Dan sesaat kemudian setetes air hujan
mengawali tetesan yang lain, membuat Dara terpaksa mematung di halte.
“Dara, kamu belum pulang? Ayo masuk!” teriak
Stela dari dalam mobilnya. Tanpa pikir panjang Dara langsung memasuki mobil
Stela. “Oya, ada anak baru lho di kelasku,” ujar Stela antusias. Dara menoleh sekilas dan tersenyum tipis. “Namanya Damar. Orangnya manis… mirip-mirip Steve Imanuel,”
Stela terkekeh pelan mendengar kata-katanya sendiri. Lagi-lagi Dara hanya bisa
tersenyum tipis.
“Ra, sudah sampai,” ujar Stela ketika sampai di depan
rumah Dara.
***
Dara menatap langit malam yang tak berbintang. Lagi-lagi
terdengar teriakan keras dari kamar kedua orang tuanya. Entah apa yang membuat
mereka selalu bertengkar. Namun, Dara sudah mulai terbiasa, ia sudah lelah
menangis, ia sudah lelah berpura-pura tersenyum diatas tangisannya. Seperti saat
ini, ia tidak pernah lagi tersenyum. karena ia tau, itu tidak akan memperbaiki
keadaan.
Prang…
Piring-piring terbang itu kembali membentur
dinding dan lantai yang menjadi saksi bisu pertengkaran mereka di malam yang
kelabu. Dara meneteskan air matanya perlahan, hingga akhirnya ia terlelap dalam
kelelahannya.
Sinar lembut sang mentari membangunkan Dara
keesokan harinya. ia beranjak dari tempat tidurnya dan bersiap pergi kesekolah.
Dilihatnya meja berbentuk oval itu dengan sedih. Tidak ada siapapun disana,
hanya makanan-makanan yang mungkin lezat namun tidak menarik. Membuat Dara
enggan untuk menyentuhnya.
***
Pantulan bola basket terdengar nyaring. Dara menolehkan
wajah cantiknya yang muram, kemudian kembali menelusuri koridor sekolah yang
sepi.
“Hei…” panggil seseorang. Dara menoleh namun
tak menjawab. “Hm, kenalkan aku Damar,” ujar pemuda itu lantang. Dara membalas
uluran tangan Damar dan menariknya kembali dengan cepat. Damar mengerutkan
keningnya heran. “Boleh aku tau siapa nama kamu?” tanyanya. Dara membeku, wajah
cantiknya sedikit memucat. Damar menatapnya dengan tatapan tidak sabar. Namun belum
sempat ia kembali mengulang pertanyaannya, Stela sudah berlari menghampiri
mereka.
“Hai Damar,” sapa Stela girang. “Wah sepertinya
kalian sedang berkenalan,” ujar Stela. Dara menatapnya sesaat. Stela tersenyum
tipis seolah-olah mengerti kata-kata yang terukir dalam benak sahabat
terbaiknya. “Damar, kenalkan dia Dara,” ujar Stela, sesaat sebelum Dara berlalu
pergi. “Dia bisu,” bisik Stela pelan. namun bisa membuat Damar menahan nafas
karena terkejut.
“Gadis cantik itu bisu?” tanyanya tidak
percaya. Stela mengangguk perlahan. “Hm… La, aku harus pergi,” Damar
melambaikan tangannya sebelum menghilang di balik lapangan. “Dara!!” panggil
Damar. Dara menghentikan langkahnya dan berbalik. “Hh… aku… hh… minta… hh… maaf…”
ujar Damar dengan nafasnya yang masih terengah-engah. Dara mengeluarkan
selembar kertas dari sakunya dan menuliskan sebuah kalimat.
‘Untuk apa?’
Damar membaca kertas itu sesaat. “Sorry, aku
nggak tau kalau kamu bisu,” ujar Damar penuh penyesalan. Dara tersenyum manis
dan kembali menulis.
‘Nggak apa-apa kok,’
“Hm, boleh aku jadi teman kamu?” Tanya Damar
tiba-tiba. Matanya berbinar penuh harap. Dara menatapnya tidak percaya, sebelum
akhirnya mengangguk senang.
***
27 February 2008
Senin yang
sendu… aku terduduk sendiri di depan meja riasku. Ku tatap pantulan wajahku di
cermin, berusaha mengukir senyum palsu seperti biasanya. Namun bukannya wajah
tersenyum yang kulihat, malah sebaliknya. Wajah dicermin itu seakan mengejekku
karena sudah lupa caranya tersenyum…
Senin yang
semu…
Hari ini
adalah hari ulang tahunku. Dan orang tuaku memintaku untuk menghadiri
perceraian mereka. Aku tersenyum pahit penuh luka. Perih rasanya mengingat kata
yang selalu ku takutkan selama ini…
Ku tatap
wajah semu di hadapanku dengan pilu. Apakah selama ini wajahku selalu
menampilkan kebahagiaan? Sampai-sampai tidak ada satu orangpun yang datang
untuk menghapus air mataku?
Samar-samar
ku dengar teriakan mama memanggilku. Dengan langkah berat aku menghampirinya
yang sudah berada di mobil. Sedangkan papa berada di mobil yang lain. Aku sendiri
lebih memilih pergi bersama papa, karena aku sama sekali tida tega melihat
wajah mama yang tampak sangat terpukul.
Pukul 11.25
sidang terakhir itu selesai. Aku bisa melihat sirat kelegaan dari wajah kedua
orang tuaku. Tapi bagaimana denganku? Haruskah aku merasa lega seperti mereka?
apa wajahku sedang tersenyum sehingga tidak ada satu orangpun yang menahan
bahuku agar tidak terjatuh?
Ingin rasanya
aku memberontak. Berteriak dengan suara yang lantang. Namun, aku tidak kuasa…
karena aku hanyalah seorang gadis bisu yang tidak bisa berbuat apa-apa. Kadang aku
bertanya-tanya mengapa aku bisa mendengar? Padahal bukankah kebanyakan orang
bisu itu tidak bisa mendengar? Dan akupun berharap tidak bisa mendengar! Agar aku
tidak perlu mendengar tawa papa seusai sidang…
Aku bersedih,
namun tidak untuk menangis, hanya ingin mengetahui kapan semua ini akan usai.
Aku menepi
bukan lelah mengarungi, hanya saja aku tak kuasa menahan semua pahit hidup ini.
Andai aku
bisa meminta dan pasti dikabulkan… aku memilih mati…
Bukan aku
tidak mensyukuri hidup ini, hanya saja aku sudah terlalu lelah menjalani semua
kisah semu ini…
***
Sidang sudah usai, sekarang tinggalah Dara yang
harus memilih dengan siapa ia akan tinggal setelah ini. Entah mengapa
pilihannya jatuh pada papanya, dan ternyata sang ibunda bisa sangat menerima,
bakan di wajahnya tersirat kelegaan yang mendalam. Seakan baru saja terlepas
dari beban yang teramat berat. Dara meringis pilu. Ia benar-benar tidak berani
melihat mamanya yang kabarnya akna pergi ke Meksiko. Dara sudah tidak peduli,
hatinya terlalu sakit dengan semua ini…
Pukul 15:30 Dara baru saja sampai di rumah
mewahnya. Kesepian itu mulai menyeruak. Kini tidak ada lagi sosok ibu yang
selalu ia nanti untuk memeluknya. Dara menangis pilu, namun seperti biasa,
tanpa suara. Hanya sebuah isakan yang mengiris hati. Tiba-tiba telepon
berdering. Dengan lesu Dara mengangkatnya. Setetes air mata mengawali
kepedihannya yang baru. Tubuhnya terjatuh lemas di samping meja telepon. Hatinya
sakit menahan luka yang benar-benar memuncak. Sebuah kabar kelabu yang baru telah
menghiasi harinya yang semu.
0 komentar:
Posting Komentar