Valerina membulatkan matanya, menatap Raka tidak percaya. Ia tidak
mengerti dengan apa yang tengah pemuda itu katakana. “Hey kau baik-baik saja?!”
Tanya Raka khawatir. Valerina mengerjapkan matanya beberapa kali. “Astaga, kau
membuatku takut,” ujarnya seraya memeluk gadis cantik di hadapannya. Membuat
Valerina kembali merasakan debaran jantungnya yang tidak menentu. Ia hampir
saja mendorong keras pemuda itu. namun toh ia hanya bisa terdiam di dalam
pelukannya.
“Tunggu dulu, jelaskan padaku apa maksud kata-katamu tadi.” Tanya
Valerina. Raka melepaskan pelukannya, namun masih meletakan tangannya di atas
bahu Valerina. Valerina menatapnya sinis.
“Kumohon, jangan menatapku seperti itu. semua ini atas kehendak Luna.
Dia memintaku meninggalkannya.” Valerina semakin tidak mengerti. “Dia tau aku
mencintaimu,” tambahnya. Valerina menggeleng perih. Ia tidak kuasa menahan
tangis, membayangkan bagaimana perasaan Luna. “Sstt… jangan menangis,” Raka
menghapus air mata Valerina dengan lembut.
“Tidak, jangan membodohiku. Bagaimana dengan putrinya, Rachel?”
tudingku. Raka tersenyum lembut.
“Rachel memang putrinya, tapi bukan putriku.” Ujar Raka. Dan saat itulah
mereka mendengar suara bel berbunyi. “Itu pasti Fabian, suaminya, dokter yang dulu
ku bayar untuk merawatnya.” Valerina
menggeleng tidak percaya. Air matanya kembali menetes. “Kumohon, jangan
menangis…” Raka memeluk gadis itu penuh kasih. Bukan, tentu saja bukan hanya
untuk mengobati kerinduan gadis itu padanya, tetapi terlebih untuk mengobati
rasa rindunya sendiri. “Aku sangat merindukanmu,” bisiknya di atas rambut
Valerina.
***
Kirana tersenyum tipis saat melihat sosok sahabatnya keluar dari kamar
tidur tamu. Matanya masih terlihat sembab, namun wajahnya tampak begitu segar
dan rona itu, ya rona yang dulu ia lihat pun kembali muncul. “Bagaimana
tidurmu?” Tanya Kirana, ia tersenyum nakal pada sahabatnya. “Mana Raka?”
“Masih tidur,” jawab Valerina. Ia menuangkan secangkir kopi untuknya.
“Mengapa kau tidak menceritakannya padaku?” tuding Valerina.
“Apa?” Tanya Kirana polos.
“Pernikahan Luna dan Fabian,” Kirana terkekeh pelan.
“Aku lupa, hehehe…” tawanya. “Lagi pula bukankah menyenangkan ketika kau
mendengarnya langsung dari Raka?” wajah cantik Valerina memerah. “Tapi aku
ingin mengetahui cerita selengkapnya. Apakah Luna marah padaku?”
“Ah, selalu saja ingin tau!” Kirana mendesah sarkatis. Kemudian kembali
tersenyum penuh rahasia. “Kau dan Luna begitu mirip. Ia juga sangat khawatir
dengan perasaanmu, terlebih ketika kau akhirnya pergi. Aku rasa hal tersebut
sangat mengguncangnya.” Kirana menghela nafas sebentar. “Kemudian ia meminta
Raka pergi meninggalkannya, dan menikah dengan Fabian.” Valerina menatap Kirana
perih. “Dan ketika mengandung Rachel, kami semua sudah memintanya untuk
menggugurkannya sejak awal. Namun ia begitu takut. Ia memanggilnya dengan
namamu, dan selalu berkata kalau ia takut kau akan marah jika ia menggugurkannya.
Ia selalu memikirkanmu,” Valerina menatap cairan hitam di cangkirnya dengan
pilu.
“Mama…” bisik gadis kecil itu tiba-tiba. Rambut kritingnya berantakan,
ia berjalan pelan sambil mengucak matanya. Valerina menatapnya penuh haru
kemudian memeluk sosok mungil yang menggemaskan itu penuh kasih.
“Sayang, ayo kita ke tempat bunda,”
“Tapi kalau ibu peli ketemu bunda, nanti bunda mati…” ujar gadis itu
lugu. Valerina menatapnya perih, kemudian ia menggeleng perlahan.
“Tidak sayang, bunda akan bangun saat bertemu dengan ibu peri,” ujar
Kirana. Raka yang baru saja keluar dari kamarnya tersenyum tipis. Wajah
segarnya tampak begitu lega ketika melihat sosok terkasihnya masih ada di rumah
itu. ternyata ini memang bukan sebuah mimpi.
Raka menggendong Rachel. “Ayo kita beri salam selamat pagi pada bunda,”
ujarnya. Valerina tersenyum tipis melihat kehangatan Raka pada gadis kecil itu.
Kirana tidak bisa menyembunyikan senyuman harunya.
***
“Bagaimana keadaannya?” Tanya Kirana. Fabian menoleh sesaat dan
tersenyum.
“Dia sudah lebih baik,” selalu itu yang menjadi jawabannya. Fabian
membelai lembut wajah Luna penuh kasih. Valerina berdiri kaku di ujung kamar
itu. masih merasa takut untuk menghampiri gadis yang selama ini sangat di
rindukannya. Raka tersenyum dan merangkul sosok cantik itu dengan lembut. Ia
mengaguk mantap ketika Valerina menatapnya penuh ragu.
“Hai Na,” bisik Valerina pelan. Ia mencium kening sahabatnya penuh
kasih. Air matanya menetes perlahan. “Apa kabarmu hari ini? Aku sangat
merindukanmu,” bisiknya perih. Sekelebat kenangan tentang indahnya persahabatan
mereka mulai memenuhi benaknya. “Kirana bilang kau ingin menemuiku, dan aku
disini sekarang, bisakah kau membuka matamu… aku ingin melihatmu tersenyum,”
Kirana menatap Valerina dan Luna dengan sedih. Kedua sahabat kecilnya, teman
mainnya dalam segala tingkah konyol yang selalu mengundang tawa bahagia.
“Dan, terima kasih karena telah menungguku. Kau tau, putrimu sangat
cantik sepertimu.” Valerina menyentuh pipi Rachel perlahan. “Kau harus bangun
dan melihatnya sendiri.” Raka merangkul pundak Valerina yangs sedikit
terguncang.
“Ra…chel,” semua mata terbelalak mendengar suara lemah itu. Fabian
langsung mendekati sosok istrinya. Ia memeriksa beberapa alat yang menempel di
tubuh Luna, kemudian memeriksa pupil matanya. Kirana mengambil Rachel yang
kembali meronta, merengek Karena di jauhkan dari sosok bundanya. Raka menarik
tubuh Valerina menjauh, memberikan akses yang lebih luas untuk Fabian. Mata
Valerina nanar menatap sosok Luna.
“Aku mendengarnya mengucapkan namaku.” Ujarnya serak. Raka menggaguk.
“Kami semua juga mendengarnya sayang,” bisiknya. Ia pun turut berharap
cemas akan kesadaran Luna. Dan ketika Fabian mundur beberapa langkah, kemudian
menoleh, seluruh wajah itu memucat ketakutan. Kecuali Rachel yang masih
menangis di pelukan Kirana.
“Ini adalah sebuah keajaiban,” bisik Fabian tidak percaya. Kemudian
mendekatkan wajahnya pada sisi kiri wajah Luna. “Sayang, kau bisa mendengarku?”
tanyanya pelan. Namun tidak ada apapun yang terjadi.
“Mengapa ia diam saja?” Tanya Kirana mulai panik.
“Koma selama dua tahun akan membuat seluruh tubuhnya kaku,” ujar Fabian.
“Luna, kau tidak perlu bicara. Dengar, jika kau bisa mendengar suaraku, cukup
tarik nafas panjang saja,” ujarnya. Dan sedetik kemudian tubuh Luna merenggang,
ia menarik nafas lebih lama. Valerina menatapnya tidak percaya. Ia menangis haru
di pelukan Raka yang juga terpaku menatapnya. Kirana memeluk Rachel erat.
“Syukurlah,” bisik Fabian. “Aku akan melepaskan alat-alat ini, kau harus tetap
bersamaku, oke?” kemudian ia menoleh pada orang-orang di belakangnya. “Bisakah
kalian keluar sebentar, aku akan melepas alat-alat bantunya.” Meskipun enggan akhirnya mereka semua berlalu
dari kamar Luna.
Raka meremas jemari Valerina ketika gadis itu masih menangis
sesenggukan. Rachel tampak sudah teralihkan sepenuhnya dengan mainan barunya.
Kirana duduk cemas di samping Valerina.
“Aku tau ia akan sadar,” bisik Kirana. “Terima kasih Tuhan, terima kasih
Hel. Ini semua karena dirimu.” Ujarnya. Valerina menyandarkan kepalanya di bahu
Kirana. Ia menangis pelan penuh kebahagiaan.
Dua jam berlalu, dua jam yang begitu menyiksa bagi mereka. Kemudian
Fabian keluar kamar dengan wajah cerahnya. “Kalian sudah bisa menemuinya,” ujar
Fabian. Valerina dan Kirana langsung berlari masuk ke kamar Luna. Raka
tersenyum tipis kemudian menggendong Rachel dengan lembut.
“Akhirnya kau sadar,” bisik Kirana. Luna menatap mereka bahagia. Matanya
tampak masih belum terbiasa dengan cahaya.
“Ka… kalia..n..” bisiknya lemah.
“Sstt… tidak perlu bicara. Kau hanya perlu tetap bersama kami,
selamanya…” Valerina menggenggam jemari Luna penuh kasih. Membuat gadis itu
meneteskan air matanya perlahan.
1 komentar:
mengharukan sekali, luna akhirnya siuman...
dan yg lebih menyenangkan ternyata raka ga jadi nikah sm luna hehe...
Posting Komentar