Keysa
menatap atasannya tidak percaya. Gadis itu tampak begitu natural, tersenyum dan
tertawa, dan lebih hidup. Wajah kakunya seakan menghilang sedikit demi sedikit.
Menampilakn aura cantik yang begitu indah di pandang. Bahkan gaya bicaranya
sudah melembut, dan ia yakin ini ada hubungannya dengan sosok dokter tampan
yang kerap menjemputnya pulang dari butik.
Gadis itu
memang selalu cantik dengan caranya. Namun Keysa sebagai asisten pribadinya
selalu merasa ia tengah terluka. Tatapan matanya tampak selalu gelap dan perih.
Jadi tentu saja saat pandangan itu menampakan binarnya ia bahagia bukan main.
Ia menyayangi Valerina lebih dari dirinya sendiri. Terlebih saat ini, saat
senyuman itu sudah menyentuh matanya indahnya.
“Bagaimana
kalau musim ini kita menggunakan tema fullcolour,” usul Keysa suatu hari.
Valerina yang tengah tertegun di ruang kerjanya melirik tumpukan bahannya yang
hampir keseluruhan berwarna kelabu dan gelap.
“Entahlah,
aku tidak tau bagaimana menyatukan warna warna itu,”
“Aku tau
siapa yang bisa membantu,” ujar Keysa penuh semangat. Valerina hanya mendesah
pelan kemudian melirik jam tangannya. “Kita bisa membicarakannya besok, kau
bisa pulang dengannya lebih cepat hari ini. Serahkan saja semua urusan butik
padaku.” Ujar Keysa. Valerina terkekeh pelan dan menggeleng. “Kau tau,
terkadang aku lebih bisa membayangkan dirimu memakai jas putih dokter dari pada
berdiri di tengah tumpukan bahan dan sketsa ini,” ujarnya seraya merapihkan
beberapa design di atas meja.
“Aku memang
pernah menjadi mahasiswi kedokteran selama tiga tahun,” ujar Valerina. Tanpa
sadar Keysa menjatuhkan tumpukan kertasnya begitu saja.
“Dan kau
malah beralih menjadi designer?” tanyanya tidak percaya. Valerina menerawang
jauh.
“Ya,
seperti itulah.” Jawabnya, kemudian meraih selembar kertas kosong, memainkan
pensilnya perlahan, lima menit kemudian ia mendesah dan meletakan sketsanya.
Keysa melongo menatap design kasar sebuah dress manis di hadapannya. Dalam jangka waktu lima menit dan gadis itu
bisa membuat sebuah design dress semanis ini? Keysa mendelik ngeri dan
kagum. “Aku rasa musim ini kita akan menggunakan tema valentine.” Ujar
Valerina. Keysa tersenyum, mengaguk senang.
***
Are
tersenyum lebar ketika melihat gadis cantik itu duduk di depan butiknya. Ia
sengaja melambatkan laju mobilnya untuk melihat sosok cantik Valerina lebih
lama. Tiga tahun berlalu, dan gadis itu sudah banyak berubah. Wajahnya tampak
lebih dewasa dan anggun. Rambutnya tidak lagi ikal seperti dulu, meski masih
tetap indah, namun kini lurus sebahu. Matanya indah seperti biasa, namun memang
tidak berbinar lugu seperti dulu. Ia tampak begitu cantik dan indah.
Are tau,
bibir indah itu selalu ingin melontarkan beberapa pertanyaan tentang
sahabat-sahabatnya. Namun, entah bagaimana kemudian pertanyaan itu menghilang
begitu saja. Dan Are tidak sampai hati menceritakan kisah sepeninggalannya tiga
tahun yang lalu. Ia tidak ingin merusak sedikit binar matanya yang baru saja ia
temukan kembali.
“Kau
menungguku?” Tanya Are ramah. Valerina mendesah kesal kemudian melirik jam
tangannya. Marah akan keterlambatan Are. “Maaf, mencari bunga ini sedikit lebih
sulit dari pada mencari bunga biasa,” ujarnya seraya memberikan Valerina
sebuket lily indah. Wajah Valerina langsung melunak. Ia memang menyukai bunga
indah itu.
“Terima
kasih, tapi kau tetap belum mendapatkan maafku,” ujarnya. Are pura-pura
mendesah frustasi. Kemudian duduk di samping gadis terkasihnya. Ia menatap
Valerina yang masih memandangi lily itu. “Aku jadi menyesal membawa bunga itu.”
ujarnya. Valerina meliriknya sekilas, kemudian kembali menyentuh kelopak bunga
itu dengan lembut. “Astaga, aku benar-benar iri padanya.” Ujar Are dengan nada
kesal yang tidak dibuat-buat ketika Valerina mencium kelopak bunga itu.
“Ada apa
sih denganmu?” Tanya Valerina akhirnya.
“Lihat,
betapa menyenangkannya menjadi bunga itu. kau tidak pernah melepaskan
pandanganmu darinya, kau bahkan menciumnya.” Ujar Are kesal. Valerina menatap
sosok tampan di sampingnya tidak percaya. Wajah jenakanya membuat Valerina
tidak bisa menahan tawanya. Namun sedetik kemudian ia menarik lengan kiri Are,
membuatnya mendekat dan berhenti mendesah kesal. Are melongo ketika Valerina
mencium lembut pipi kirinya dengan singkat.
“Terima
kasih,” bisiknya. “Aduh,” Valerina mengusap keningnya yang terbentur pelan
dengan kaca mata Are. Are menghela nafas panjang kemudian menatap gadis yang
masih meringis di sampingnya.
“Lakukan
yang benar jika kau memang ingin,” ujarnya seraya melepas kaca matanya kemudian
mencium lembut bibir Valerina.
1 komentar:
wah val beneran sam are niy???
Posting Komentar