Selasa kelabu, Dara berdiri kaku di samping
pusaran ibundanya. Wajah cantiknya terlihat sangat pucat. Stela dan Damar,
turut hadir dipemakaman Ny.Daniela.
“Ra, sabar yah, aku akan selalu ada di samping
kamu,” ujar Stela. Namun Dara hanya terdiam. Dilihatnya wajah sang ayah yang
juga murung. Namun ia sudah tidak peduli. Ia sendiri tidak kuasa menahan sepi.
Pada awalnya ia pikir walau kedua orang tuanya berpisah, ia masih tetap bisa
bertemu dengan keduanya. Namun kini apa yang bisa ia lakukan? Terlalu jauh
jarak dan dimensi yang memisahkannya dengan sang ibunda. Tiba-tiba hati Dara
terasa benar-benar kacau. Ia berlari tanpa arah, menembus kerumunan orang yang
masih mematung di tepi makam ibunya. Stela nengejarnya karena khawatir.
“Dara awas!!!” teriak Stela saat Dara berlari
ke jalan tanpa melihat kesekelilingnya. Tiba-tiba sebuah lengan kekar menarik
tubuhnya sesaat sebelum sebuah mobil menyentuh sosok Dara.
Ciitt….
Suara decitan rem itu terdengar memekakan
telinga, membuat semua orang menoleh. Dara membeku di pelukan Damar.
“Kamu nggak apa-apa?” Tanya Damar khawatir.
Dara menggeleng perlahan. tiba-tiba Tn.Harry berlari menghampiri kerumunan itu.
Dara tersenyum manis. Papa datang…
pikirnya sejenak. Namun entah mengapa Tn Harry malah memutar arahnya. Ia
berlari kearah mobil yang hamour saja menewaskan putrinya.
“Maya…” panggil Tn.Harry panik. Ia menuntun
sang pengemudi yang masih syok keluar dari mobilnya.
“Mas, aku kaget. Aku takut,” ujar wanita itu
lirih. Tn. Harry memeluknya dengan lembut. Sementara itu Dara masih terpaku
dalam pelukan Damar. Hatinya begitu sakit, namun ia tau sakit ini bukan
diakibatkan kecelakaan tadi. Tapi lebih sakit lagi, seakan seluruh dunianya
jatuh runtuh diatas kepalanya.
“Dara, apa yang kamu lakukan?! Kamu
keterlaluan!” bentak Tn.Harry geram. Dara menatap ayahnya dengan tatapan
ketakutan. Damar mempererat dekapannya. “Kamu hampir saja mencelakakan Maya!”
teriak ayahnya lagi. Dara menatapnya tidak percaya. Ia melepaskan pelukan Damar
dengan paksa dan berusaha menjelaskan dengan bahasa isyaratnya yang terbata,
bahwa ini bukanlah kesalahannya. Tetapi yang ia dapatkan adalah sebuah tamparan
keras di pipi kirinya.
“Om! Om apa-apaan? Bukan Dara yang salah, tapi
wanita ini!” teriak Stela histeris. Tn.Harry menatap mereka geram sebelum
berlalu pergi dengan wnaita bernama Maya itu. Dara terjatuh di atas lututnya.
Ia menangis sejadi-jadinya, hatinya sakit. Perih teramat dalam.
“Dara, kamu harus kuat,” Stela memeluk Dara
dengan lembut. “Ra, ini dari tante Daniela, tadi mba Yuni yang menitipkannya,”
Stela memberikan selembar surat pada Dara.
“Sudah sore, sebaiknya kita pulang,” usul Damar
lelah. kedua sahabatnya mengangguk lesu.
***
Dara terdiam sendiri di dalam kamarnya yang
bernuansa hijau. Dihirupnya aroma melati yang tumbuh subur di teras rumah itu.
Tiba-tiba ia teringat surat dari mamanya.
27 februari 2008
Selamat
ulang tahun sayang, maafkan mama yang tidak bisa mengucapkannya secara langsung
kepadamu. Tapi sungguh, mama selalu mengingat hari istimewamu, karena mama
sangat mencintaimu, putriku…
Mama
senang karena kamu lebih memilih papa dari pada mama, kerena mama tau, papa
lebih baik dai pada mama. Meskipun tentu saja itu sangat menyakitkan untuk
mama.
Sayang…
mama pergi. Entah sementara atau selamanya, tapi ada satu hal yang harus kamu
ketahui, sayang dan cinta mama hanya untukmu, buah hati mama…
Maafkan
mama sayang, mama tidak bermaksud berpisah dengan papamu. Tapi keadaan yang
meminta mama. Dan sekarang mama tau, dalam beberapa masalah, perpisahan adalah
jalan yang terbaik.
Sayang,
jadilah putri yang baik. Turutilah perintah papamu, mama akan selalu memperhatikanmu
meski mungkin mama tidak bisa berdiri di sampingmu lagi,
Sekali
lagi mama minta maaf Dara, mama selalu menyayangimu.
Penuh
kasih
Untuk
putriku, Andhara Raina
Dara menutup surat itu dengan hati-hati. Ia
tidak ingin benda terakhir pemberian mamanya basah oleh air matanya. “Aku juga
sayang mama,” batinnya pilu.
***
Satu tahun kemudian.
Kini rumah besar nomor 44 di jalan melati itu
benar-benar sepi, karena hanya diisi oleh seorang gadis bisu. meski setiap hari
Damar dan Stela selalu berada di rumah itu. Tetapi tetap saja yang ia inginkan
adalah kehadiran ayahnya yang tampaknya kini begitu sibuk dengan segudang
pekerjaannya dan calon istrinya, Maya.
Senin pagi di bulan desember. Dara menuruni
tangga dengan sedikit tergesa-gesa, karena ia tau ayahnya baru saja pulang.
“Dara tanda tangan di sini.” Ujar Tn. Harry
saat Dara sampai di hadapannya. Dara mengerutkan keningnya dan mengambil kertas
yang tergeletak di atas meja itu. “Sudahlah, kamu tidak perlu membacanya, cepat
tanda tangan!” ujar Tn.Harry kesal. Namun Dara masih tetap membaca surat itu.
tiba-tiba jantungnya mulai berdetak lebih kencang, matanay memanas menahan
tangis. ingin rasanya ia merobek-robek kertas yang meminta persetujuannya atas
pernikahan ayahnya dengan wanita lain. Tapi ia sudah tidak memiliki kekuatan
sedikitpun. “Ayo cepat tanda tangan!” bentak Tn.Harry, tubuh Dara sedikit
bergetar ketakutan. Tetapi bukannya menandatangi kertas itu, ia malah berlari
ke kamarnya, Tn.Harry menatap marah kearahnya dan langsung menarik lengan Dara
hingga ia terjatuh ke lantai.
“Dara!!!” teriak Stela histeris dari ambang
pintu rumah besar itu. “Apa yang om lakukan?!” tudingnya kesal melihat tubuh
Dara yang terluka. “Apa om sudah gila? ingat om, Dara adalah putri om sendiri!”
tutur Stela tegas. Tn.Harry menatap gadis cantik itu geram dan melayangkan
sebuah tamparan keras kepadanya. Dara langsung menghampiri Stela yang terhuyung
ke belakang.
“Sudah pa, aku akan menandatanganinya,” ujar
Dara dengan bahasa isyaratnya yang terpatah-patah. Tn. Harry menatapnya tajam
dan tersenyum sinis. Dara mengumpulkan kertas yang berserakan di lantai dan
menandatanganinya dengan cepat. Ia sudah tidak peduli dengan apa yang tertulis
di sana, yang ia inginkan sekarang adalah, ayahnya pergi dari hadapannya.
“Stela, maaf…” ujar Dara di sela-sela isakan
perihnya.
“Ra, aku baik-baik saja,” bisik Stela pelan. Ia
semakin tidak berani mengutarakan maksud kedatangannya hari itu pada sang putri
bisu.
***
“Dara, coba lihat!” ujar Damar seraya
menunjukan sebuket bunga matahari yang baru saja ia petik. Hari ini ketiga
sahabat itu tengah berada di Bandung untuk berlibur sejenak. Dara tersenyum
tipis dan mengambil bunga-bunga cantik itu dari tangan Damar.
“Sudah sore, Sebaiknya kita segera kembali ke
vila,” usul Stela, Damar menoleh sekilas kearahnya.
“Sekarang?” Tanya Damar yang tampaknya masih
enggan mengusik ketenangan sang putri bisu. “Sebentar lagi yah La,” pinta
dammar, seraya menatap sosok cantik yang masih tersenyum menatap bunga
mataharinya. Stela menghela nafas panjang sebelum akhirnya mengangguk dan duduk
di samping Dara.
Malam mulai menyingsing, menggantikan terik
yang membakar kulit. Angin lembut membelai wajah ketiga remaja itu. Damai dan
tenang. Dara tersenyum bahagia. Sebenarnya hari ini adalah hari pernikahan
ayahnya dengan maya, namun entah mengapa ia lebih memilih menghabiskan waktunya
bersama kedua sahabat terbaiknya.
“Ayo pulang…” ujar Dara ketika warna senja itu
benar-benar menghilang.
Dara menatap langit penuh bintang itu dengan
takjub. Di sampingnya Damar tengah tersenyum manis sambil menggenggam tangan
lembut Dara. Tak jauh dari sana, Stela mematung di ambang pintu, ia menatap
kedua sahabatnya dengan perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan, tentu saja
bahagia dan anehnya, sedikit perih. Diukirnya sebuah senyum manis meski hatinya
mulai mari rasa.
“Suatu saat nanti aku akan membawamu ketempat
di mana kita bisa melihat bintang lebih indah lagi,” ujar Damar seraya memeluk
bahu Dara. Dara tersenyum senang penuh harap.
Stela berjalan mendekati mereka dengan tiga
gelas teh hangat, saat itu pula Dara langsung melepaskan pelukan Damar dengan
kikuk. “Kurasa teh hangat akan menambah keindahan mala mini,” ujar Stela dengan
senyuman manisnya. Dara tersenyum manis dan mengangguk, mengisyaratkan sebuah
kata terima kasih yang tak pernah terdengar.
1 komentar:
thank you very much for the information provided
Posting Komentar