“Kau
Anna?” Anna mengerutkan keningnya ketika mendengar pertanyaan yang terlontar
dari bibir gadis cantik di hadapannya.
“Iya, apa
saya mengenal anda?” Tanya Anna hati-hati. Darah Zahra kembali berdesir. Suaranya
bahkan begitu lembut dan indah. aroma tubuhnya yang begitu harum dan menyegarkan
membuat Zahra hampir saja terbuai karenanya.
“Aku
Zahra, ini pertama kali kita bertemu,” ujarnya setenang mungkin. “Aku yang
menggantikan posisimu di panti, ketika kau meninggalkan panti dan anak-anak itu
begitu saja,” tuturnya. Anna tercekat sejenak. Mata indahnya sedikit menyipit.
“Aku
tidak meninggalkan mereka begitu saja,” bisik Anna dengan kerutan di keningnya.
“Aku—“
“Ya, aku
tau.” Potong Zahra cepat. “Tapi Anna, dengarlah. Jika kau datang hari ini untuk
kembali meninggalkan mereka, maka aku akan menghalangimu,” ujarnya. Anna
menggeleng tidak mengerti. “Kau tau, selama dua tahun ini mereka berusaha
bangkit tanpa dirimu. Berusaha kembali menjalani kehidupan mereka, kehidupan
panti itu. Dan aku tidak ingin setelah dua tahun yang melelahkan itu semuanya
akan kembali rusak hanya karena kau menunjukan dirimu, meski hanya sedetik
saja,”
Anna
terdiam. Matanya menatap bebatuan yang melapisi aspal di jalan utama. “Mungkin
dirimu tidak pernah merasakannya.” Zahra menarik nafas dalam-dalam sebelum
kembali berbicara. “Kau tidak pernah merasakan bagaimana sakitnya ketika kau
ditinggalkan oleh orang-orang yang kau sayangi. Kau tidak pernah tau bagaimana
perihnya. Kehidupanmu sudah bahagia, kau sudah menikah dan memiliki keluarga
yang sempurna. Tidak bisakah kau berhenti mengganggu kehidupan mereka. ini akan
menjadi semakin sulit ketika akhirnya kau kembali pergi untuk meninggalkan
mereka lagi…”
“A…aku…”
“Anna,
pergilah. Bukankah kau sudah bahagia dengan keluargamu. Demi Tuhan, kau sudah
menikah. Tidak bisakah kau pergi dari kehidupan anak-anak itu, pergi dari
kehidupan Raka. Berhenti menyakitinya. Ku mohon…” suara Zahra begitu lirih.
Begitu pelan penuh dengan kepedihan. Anna tersenyum tipis, kemudian mengangguk.
Mata indahnya tampak meredup.
“Kau
benar, maafkan aku. Tidak seharusnya aku datang.” Bisik gadis itu pelan.
“Maafkan
aku,” ujar Zahra.
“Tidak.
kau tidak perlu meminta maaf, justru aku sangat berterima kasih karena kau telah
mengingatkanku. Terima kasih Zahra,” bisiknya lagi sebelum berlalu pergi. Zahra
menatap kepergian gadis itu dalam diam, hatinya terasa lega sekaligus perih.
Anna memang gadis yang istimewa, ia begitu sempurna baik fisik maupun hatinya. Ia
tentu bahagia dengan kehidupannya, tidak seperti kehidupannya yang berantakan.
***
“Zahra!”
panggilan itu tidak hanya membekukan tubuh Zahra, namun juga sosok gadis cantik
yang berada tidak jauh dari sana. Ia menghentikan langkahnya untuk sesaat,
hatinya kembali terpilin perih karena ingin berbalik, dan sekedar melihat wajah
sahabatnya. Namun kata-kata Zahra kembali terngiang di telinganya, hingga ia
hanya tertunduk dan kembali melanjutkan langkah tertatihnya.
“Raka?”
Zahra sedikit kikuk.
“Aku
mencarimu,” ujar Raka pelan. Zahra menggigit bibir bawahnya, berpikir dengan
keras alasan apa lagi yang akan ia berikan. “Aku lihat tadi kau sedang
berbicara dengan seseorang?”
“Ah,
bukan siapa-siapa. Aku pikir aku mengenalnya, tapi ternyata aku salah orang,”
jawab Zahra setenang mungkin. Raka mengernyit, namun ia tidak mempertanyakan
lagi hal itu. Ia hanya mengangguk dalam diam. “Ada apa? Kenapa kau mencariku?”
“Hana
mencarimu, dia akan tampil sebentar lagi,”
Zahra memaki
di dalam hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa lupa kalau ia harus menghias
kerudung Hana sebelum tampil pada perlombaan puisi sebentar lagi. “Ayo kita
pergi,” ujarnya seraya berjalan mendahului Raka yang masih terdiam di
tempatnya, matanya menyipit ketika menangkap bayangan sosok anggun di ujung
jalan utama itu. Namun secepat kilat ia menggeleng dan menertawakan dirinya
sendiri, sepertinya setelah kejadian hari itu, semua gadis di matanya akan
berubah menjadi sosok bidadari yang menawan hati itu.
***
“Semuanya
sudah beres pak,” ujar seorang pemuda berkemeja coklat pelan. Sosok angkuh yang
duduk di balik meja itu berdeham pelan. Ia terus memandang keluar jendela,
tangannya saling bertautan, wajahnya yang tampan berhias senyuman miringnya
yang khas, begitu mempesona dan sinis. Pemuda berkemeja coklat itu mengangguk
penuh hormat sebelum berlalu pergi dari ruangan mewah yang terkesan kelam itu.
Dihadapan
pemuda itu sebuah berkas tentang sekolah-sekolah berbasis agama islam tampak
menumpuk dengan sangat rapih. Ia mendengus jijik sebelum berjalan ke bar kecil
di sisi lain kantornya. Ah… waktu yang
sangat tepat untuk merayakannya. Batinnya dengan kepuasan yang tak
dibuat-buat. Dengan perlahan ia menuangkan sebotol wine ke dalam gelasnya,
menyesapnya perlahan. Kemudian kembali tersenyum mencibir pada kenangan masa
kecilnya.
Tok tok
tok. Wajah tampannya menoleh pada pintu ketika ia mendengar ketukan itu.
“Pak
Reynaldi, Mr. Chad sudah datang,” ujar sekretarisnya. Senyuman pemuda berkemeja
hitam itu semakin melebar. Ia mengangguk sekali, kemudian mengayunkan gelas
kristalnya pada wanita itu, memintanya pergi.
Sempurna sudah
semua rencananya. Lelaki tua itu tidak akan bisa berkutik. Ia akan melihat
bahwa kekuatannya dalam dunia pendidikan akan segera runtuh perlahan-lahan. Dan
mereka akan mengakui kekuatannya. Ya, mereka akan mengakui kemampuannya, dalam
mendapatkan apapun yang ia inginkan.
Pemuda itu
menghentikan langkahnya ketika melewati lorong panjang yang berdindingkan kaca
tebal. Matanya melebar ketika melihat kerumunan orang-orang di lapangan depan
gedung serba guna. Jemarinya terkepal, namun senyumannya masih begitu sinis,
mencemooh gadis-gadis kecil yang tengah terpaku pada kuas dan kanvas mereka.
Tersenyum mengejek pada binar indah yang terpancar dari mata-mata penuh harap
itu, semuanya itu hanya mimpi. Dan mimpi
hanyalah mimpi. Kekuasaan adalah segala-galanya. Berkali-kali ia
mengucapkan kata-kata itu di dalam hatinya, kemudian berlalu pergi menuju ruang
rapat tidak jauh dari ruangannya.
Namun sedetik
kemudian langkahnya kembali terhenti ketika tidak sengaja ia melihat sosok
anggun yang berjalan diantara mobil-mobil di jalan utama. Ia mengernyit dan
kembali menoleh. Jantungnya berdebar kencang ketika menyadari sosok itu,
terlebih ketika ia melihat getaran di bahu sang gadis, yang menunjukan
isakannya yang tertahan. Pemuda itu menelan ludahnya dengan susah payah,
secepat kilat ia berbalik menuju lift.
“Pak
Reynaldi pertemuannya…” pekik Melisa ketika melihat atasannya masuk kedalam
lift.
“Batalkan.”
Jawab pemuda itu sebelum pintu lift tertutup. Melisa terpaku dalam
keterkejutannya, kemudian dengan kikuk menoleh pada sosok berambut pirang yang
berdiri di depan pintu ruang rapat.
“Raihan
reynaldi.” Bisik pria paruh baya itu pelan, wajahnya menunjukan sebuah ekspresi
yang tak terbaca. Namun Melisa tau ini tidak akan menjadi awal yang baik untuk
atasannya.
***
“Tunggu!”
pekik Raihan sesaat sebelum Anna memasuki mobilnya. Baik Anna maupun Rudi sang
supir langsung menoleh padanya. “Ikut denganku,” ujar Raihan seraya meraih
pergelangan tangan Anna. Anna mengerutkan keningnya pada pemuda itu.
“Tuan
muda,” tegur sosok paruh baya yang masih berdiri di samping pintu Anna. “Tuan
besar tidak mengizinkan anda menemui nona Anna,” tuturnya, namun pemuda bermata
tajam itu tidak menggubrisnya. Tatapannya terkunci pada mata indah gadis di
hadapannya.
“Ikut
aku.” Ulangnya lebih pelan namun penuh penekanan.
“Raihan?”
Anna menatap adik iparnya tidak mengerti. klakson mobil terdengar
bersahut-sahutan di belakang mobil Raihan yang terparkir di tengah jalan. “Raihan,
mobilmu,” bisik Anna, namun seakan terbuat dari batu, wajah itu tetap dalam mimik
yang sama, begitu dingin dan keras kepala pada pendiriannya.
“Ikut
aku,” ulangnya, kini tampak seperti ancaman.
“Tuan
muda…” Rudi menyentuh pergelangan tangan Raihan. “Lepaskan nona Anna,” ujarnya.
Namun sosok itu sama sekali tidak bergerak. Anna menarik nafas dalam-dalam,
kepalanya sudah hampir pecah karena suara klakson dari rentetan mobil yang
berbaris di belakang mobil Raihan.
“Baik.” Katanya
tegas. Mata tua Rudi langsung melebar gelisah. “Tidak apa-apa pak. Aku akan
baik-baik saja,” ujar Anna dengan lembut pada pria tua itu. Wajah tampan Raihan
langsung mencair dengan kepuasan. Senyuman miringnya kembali muncul, diiringi
dengusan mencemooh pada perkataan Anna.
Anna
menyipitkan matanya pada sosok tampan itu. Ia tidak tau apa yang Raihan
inginkan, namun ia benar-benar sudah tidak tahan dengan perlakuan adik iparnya
yang terkadang sering di luar ambang batas. “Kalau kau ingin pergi, sebaiknya
cepat. Aku tidak ingin mobil di belakangmu terus bertambah banyak,” ujarnya
dingin. Raihan tersenyum sarkastis kemudian menarik tangan Anna ke mobilnya. Dengan
cepat membukakan pintu untuk Anna dan masuk ke kursinya sendiri.
Anna
mengangguk pelan pada sosok tua Rudi yang masih ternganga di depan mobilnya.
“Apa yang
kau lakukan di sini?” Tanya Raihan ketika ia menjalankan mobilnya.
“Bukan
urusanmu.” Jawab Anna cepat. Matanya memandang keluar jendela. berusaha sekuat
mungkin menahan air mata yang entah sejak kapan berkumpul di pelupuk matanya. Namun
hatinya yang lelah membuatnya ingin menangis dan berteriak, membuatnya ingin
bersembunyi dari kenyataan.
Raihan
menatap jalan di hadapannya dengan enggan, namun ia lebih tidak bisa lagi
melirik sosok menawan di sampingnya yang tampak jelas tengah terluka. Ia menggenggam
erat kemudinya, mencoba fokus pada jalanan berdebu di depannya.
Ia kembali
menambah kecepatannya, meskipun ia sendiri tidak tau akan membawanya kemana.
***
Pukul 16:20
Raihan
menghentikan mobilnya di depan sebuah baguan yang begitu besar. Anna yang
sedari tadi tertidur langsung ternganga melihat pemandangan di hadapannya. Deburan
ombak yang berada tidak jauh dari tempat mobil mereka terparkir menggelitik
indra pendengarannya. Aroma asin yang membaur dengan air itu entah mengapa
membuat hatinya sedikit bersorak, bagai bocah yang baru pertama kali melihat
pantai. Raihan tersenyum tipis melihat reaksi gadis di sampingnya. Bahkan ia
bisa merasakan setitik kebahagiaan di hatinya yang sudah lama membeku tak
tersentuh.
Mungkin bagi
beberapa orang yang baru pertama kali melihat sosok jangkung itu, mereka akan
tertipu oleh senyuman menawan khas pemuda yang mendapatkan kesuksesaanya di
usianya yang masih muda. Namun untuk orang yang sudah lama mengenalnya, akan
segera tertunduk takut di hadapannya. Ia memang memiliki wajah yang luar biasa
tampan dengan senyuman yang mempesona, namun tatapan matanya begitu tajam dan
menusuk. Menunjukan sisi jiwanya yang membeku dalam kegelapan.
“Mengapa
kau membawaku kesini?” Tanya Anna ketika tersadar dari keterpesonaannya.
“Untuk
membuatmu bahagia.” Jawab Raihan santai. Anna mengerutkan keningnya pada pemuda
itu. “Kau terlihat bahagia Ann ketika melihat itu,” ujar Raihan dengan nada
mencibir seraya menunjuk pantai dengan pandangannya. Anna menatapnya tidak
mengerti, namun belum sempat ia mengutarakan keheranannya pemuda angkuh itu
sudah keluar dari mobilnya, berjalan perlahan ke pintunya, kemudian membukakan
pintu di samping Anna.
“Ini
Vilaku,” ujarnya ketika Anna kembali ternganga melihat bangunan megah di
hadapannya. “Kau lihat bangunan hotel itu?” Tanya Raihan seraya menunjuk
bangunan yang berada beberapa kilo meter dari tempat mereka. Anna menyipitkan
matanya untuk melihatnya lebih jelas lagi. “Itu adalah proyek Resort terbaruku,
dan… Alan.” Suaranya berupa sebuah bisikan ketika menyebutkan nama itu. Anna
tercekat, entah mengapa hatinya kembali sedih mendengar nama itu.
“Ahh…
sudahlah, ayo masuk. Udaranya semakin dingin,” ujar Raihan seraya berjalan mendahului
Anna. Vila itu begitu besar dengan gerbang megah yang berhiaskan
tumbuhan-tumbuhan indah. Halamannya mampu menampung 4 mobil, ditambah garasi
yang juga besar dan menyatu dengan ruang billiard yang mewah. Ada tangga kecil
yang menuju pintu utama rumah itu, tangga yang dihiasi oleh tumbuhan merambat
berbunga ungu. Ayunan besar menghiasi sisi lain rumah itu, seakan di bangun
untuk senyaman mungkin untuk setiap keluarga yang datang kesana. Bagian dalam
vila itu benar-benar terasa nyaman, dengan nuansa coklat dan krem yang terkesan
hangat. Ruang tamunya tidak terlalu besar, namun ruang keluarganya begitu luas
dengan permadani-permadani indah berbulu lembut. Ada tangga kecil lain yang
menuju lantai dua. Secara keseluruhan vila itu tampak begitu nyaman, namun
terkesan misterius.
“Ini
adalah rumah impianku dan Alan,” ujar Raihan seraya meletakan kantung belanjaan
di konter dapur. “Rumah tepi pantai yang besar, dengan ayunan lebar yang bisa
membuat kami bersantai.” Ujarnya seraya menatap lautan yang menjadi pemandangan
di depan vila itu. “Namun seiring berjalannya waktu, ketika kami akhirnya mampu
mengumpulkan uang dan membangun vila ini, ia malah meminta banyak hal padaku,” Raihan tertawa mengejek. “Ia meminta ruang keluarga yang besar agar bisa
menampung keluarga barunya,” Raihan menoleh perlahan pada sosok Anna yang
terpaku di tengah ruang keluarga itu. “Tapi pada akhirnya ia tidak pernah
menggunakan tempat ini,” bisik Raihan, suaranya terdengar lelah dan perih.
Namun dengan piawai ia kembali menyembunyikan semua luka itu.
“Oya,
tidak ada makanan di sini, jadi aku membeli beberapa barang di supermarket
sebelum masuk kawasan ini, ketika kau tidur. Aku tidak tau apa yang harus ku
beli. Jadi, aku hanya mengambil barang-barang ini.” Ujar Raihan tidak yakin. “Kau
bisa memasak kan?” tanyanya. “Kuharap ini cukup untuk kita, karena aku malas
kalau harus memancing di hari berangin seperti ini,” ujarnya lagi seraya
berjalan mengitari dapur. Ia melambaikan tangannya tak acuh pada kantung
belanjaan yang tertumpuk di dapur. Anna tersenyum sambil menggeleng. Barang –barang
itu seperti dipersiapkan untuk sebulan lamanya.
Dengan perlahan
ia berjalan ke dapur, kemudian kembali terkekeh melihat barang-barang yang di
beli oleh pemuda itu. Secara keseluruhan semua yang Raihan beli adalah makanan
cepat saji yang simple dan mudah. Namun jumlahnya yang berlebihan lagi-lagi
membuat Anna tersenyum sambil terus menggeleng-geleng.
“Ah, dan
Anna… kau boleh memilih kamar manapun.” Ujar Raihan sebelum menghilang di balik
sebuah pintu kamar yang berada di bagian belakang vila itu. Anna mengangguk dan
mendesah lelah. Ia berjalan perlahan mengitari ruang keluarga yang besar itu,
kali ini ia tidak tertarik untuk menjelajahi tempat itu, ia hanya ingin mencari
kamar yang cocok dengannya, shalat, dan beristirahat.
Air mata
Anna perlahan menetes ketika memasuki sebuah kamar bernuansa biru laut. Warna kesukaan
suaminya, Alan. Dengan perlahan ia memasuki kamar itu dan terdiam lama untuk
mengenang seluruh asanya.
***
“Kak
Alan?!” panggil Anna ketika ia menerobos masuk pintu kamar bernuansa biru itu.
Air matanya langsung meleleh melihat ranjang putih itu tampak kosong, bahkan
alat-alat rumah sakit yang selama ini selalu menemani sosok suaminya juga
menghilang. Kamar itu tampak begitu rapih dengan perabotan yang indah dan baru.
Sebuah lemari besar menggantikan posisi meja tempat monitor jantung yang dulu
selalu menemani tidurnya. Ia menggeleng frustasi, hatinya begitu sedih
menyadari keterlambatannya.
Alan
Viandhika Al-farizi, suaminya yang begitu ia cintai, sosok hangat yang hanya ia
kenal beberapa saat, sosok menawan yang selama ini ia nanti. Kini semuanya
menghilang. Sosok itu menghilang dari hadapannya.
Anna
menangis keras di ambang pintu, tubuhnya ambruk, terduduk lemah di atas
lututnya. Ia menangis tersedu-sedu, hatinya begitu sakit menghadapi seluruh
kenyataan pahit itu. Ia mengutuki kebodohannya yang menyia-nyiakan waktunya
selama ini. Ia mencintai pemuda itu, ia menyayanginya, menghormati suaminya
dengan seluruh jiwanya.
Ia mencintainya.
Dan ia
terluka ketika akhirnya semua itu menghilang…
“Aku
pikir kau sudah mengikhlaskanku Anna…” suara itu begitu tenang dan lembut. Anna
tercekat, dengan perlahan ia menolehkan kepalanya. Matanya melebar melihat
sosok itu. Sosok tampan yang tersenyum manis kepadanya, namun tatapannya
menyiratkan kepedihannya.
“Kak
Alan?” Anna menatapnya tidak percaya. Alan mengangguk dan air mata itu menetes
perlahan dari sudut matanya yang indah. Anna menggigit bibirnya untuk menahan
ledakan emosinya, dengan susah payah ia berdiri, dan berjalan tertatih pada
sosok terkasihnya, sosok yang selama ini di nantinya, siang dan malam, sosok
suaminya tercinta. “Kak Alan…” tangis Anna pecah ketika ia jatuh pada pelukan
Alan. Dihirupnya dalam-dalam aroma tubuh itu, mencoba menyatukan seluruh
kepingan hatinya yang selama ini hancur berantakan. Ia mendekap erat tubuh
Alan, menumpakan seluruh kerinduannya, seluruh lukanya, seluruh penantiannya,
seluruh cintanya.
“Maafkan
aku Ann..” bisik Alan pelan di telinga kiri gadis itu. Ia membelai lembut
kepala Anna. Namun gadis itu tetap menangis, menangis dengan sangat keras
hingga membuat hatinya terpilin perih. Sesakit
inikah lukamu Ann? Sedalam inikah kepedihanmu? Batinnya pedih. Ia mengecup puncak
kepala Anna. Mencoba memberikan ketenangan yang ia sendiripun tidak miliki.
Anna
membenamkan wajahnya di dada bidang Alan. Menumpahkan seluruh air matanya, ia
tidak peduli pada noda yang ia tinggalkan di kemeja abu-abu Alan. Ia tidak
peduli. Ia hanya ingin mendekap suaminya seperti ini. Lebih lama lagi, atau
mungkin untuk selamanya.
6 komentar:
cherr,,,, aku bingung...
alan itu sebenarnya masih hidup apa dah meninggal??
ann bukannya tadi jalan sama raihan??
pernuh teka teki ceritanya, jadi gak sabar nih nunggu kelanjutannya,,,,
btw thanks dah posting ya non,,, aku suka bgt ma cerita yang ini...
hehehe mba fathyy...
iya dia jalan sama Raihan..
tp Alan belum meninggal, no!!!
dia koma mba fathy.... tapi siapa yang tau klo ternyata Tuhan ngasih dia kesempatan kedua... hihihi *spoiler.
wow !! *hatt off
bikin penasaran cher, ini cinta segi 5 ya? Ditunggu lanjutannya cherry;-)
Ziaaaaaaaa,,,,,
Danke so much dear,,
dua nama yg sangadh Indah,,,
Sangadh Islami,,
Whoaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,,,
Ziaa,,,kw m'buat hariku yg cerah brubah m'jadi galau,,,
thank you very much for the information provided
Posting Komentar