“sejak kedatanganmu 3 bulan
yang lalu, bibi lihat kau jadi sering melamun. Apakah kau merindukan kota
Jakarta itu nak?” Tanya Aisyah. Zahra segera menutup bukunya dan menggeleng
pelan. “Lalu apa yang kau lamunkan?”
“Entahlah bi, hanya
pengandaian…” jawab Zahra datar.
“Zahra…”
“Aku tau bi, hanya saja
rasanya begitu menyenangkan jika semua pengandaian itu bisa menjadi nyata.
Mungkin saat ini aku masih bisa bersama Ayah dan Bunda,”
“Zahra!”
“Maafkan aku bi…” bisiknya
parau sebelum menangis di pelukan bibinya. Kenyataan pahit ketika kehilangan
kedua orang tuanya telah meremukan pribadi muslimah yang terbangun di dalam
diri Zahra. Hingga akhirnya bibinya lah yang kembali membantunya berdiri
seperti sedia kala.
“Lebih baik esok kau pergi
mengunjungi ayah dan bunda,” bisik Aisyah lembut.
“Tidak bisa bi… aku tidak
bisa menahan malu untuk berhadapan dengan mereka, aku tidak bisa bi…”
“Kau bisa nak, kau adalah
putri mereka. Mereka akan memaafkan segala kesalahanmu asalkan kau berubah,”
“Aku mengerti,”
***
Raka mengaguk patuh dalam
keheningannya. Ia melirik sosok gadis cantik yang tengah mengajar kelas lukis
sesaat, kemudian kembali tertunduk dalam.
“Zahra adalah gadis yang
baik dan terlahir dari keluarga yang baik pula. Umi mengenal orang tuanya sejak
bertahun-tahun yang lalu hingga menganggap mereka sebagai keluarga sendiri.
Ketika lulus SMA Zahra bersikeras kuliah di Jakarta meski ayah dan bundanya
memintanya kuliah di Bandung menemani umi mengurus panti. Hingga akhirnya orang
tuanya meninggal setahun yang lalu dalam sebuah kecelakan pesawat
menghancurkannya begitu dalam.
“Dia adalah gadis yang baik
Ka. Umi tau itu, dia hanya kehilangan arah. Dan dia membutuhkan orang-orang
seperti mu untuk menuntunnya kembali ke jalan yang benar,
“Raka… bisakah kau kembali
mencintai orang lain lagi??’
Raka membetulkan letak kaca
matanya. Wajahnya yang tampan kembali dingin seperti biasa. Senyuman langka
yang dulu selalu tampak pun tak lagi terlihat.
“Ka,” tegur Arya yang
tengah membawa setumpuk kitab. “Aku rasa Zahra bukan pilihan yang buruk,”
ujarnya seraya melirik sosok cantik Zahra dari balik jendela di samping Raka.
“Dia memang tidak secantik Anna, namun seperti Anna, diapun memiliki sebuah
daya tarik yang menyenangkan,” tambahnya seraya tersenyum. “Lagi pula sampai
kapan kau akan menangisi wanita yang sudah menikah?”
Pertanyaan itu seakan
menohok dada Raka sebegitu dalamnya hingga untuk beberapa saat ia lupa
bagaimana caranya bernafas. Kenyataan itu selalu membuatnya melamun lama dan
kosong.
“Kau mau kemana?” Tanya
Arya ketika Raka mengambil kunci mobilnya.
“Ada perkumpulan ketua
yayasan di Bogor,” jawab Raka.
“Hati-hati,”
“Ya, asalamu’alaikum,”
“Walaikum salam,” jawab
Arya seraya menghela nafas panjang. Ia tau kata-katanya tadi begitu tidak
pantas. Namun ia lelah melihat sosok sahabatnya yang terus menerus terpuruk
dalam lukanya untuk sang bunga.
Zahra menghentikan
langkahnya ketika berpapasan dengan Raka yang berjalan kaku di hadapannya. Baru
kali ini Raka melihat kedua mata indah itu dengan seksama. Sesegera mungkin ia
langsung menundukan kembali wajahnya. “Maafkan aku Zahra…”
batinnya pelan seraya berlalu pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Tunggu,” ujar Zahra cepat.
Raka menghentikan langkahnya namun tidak menoleh. “Kau akan kemana?”
“Bogor, perkumpulan ketua
yayasan,” jawab Raka sedingin mungkin.
“Bisakah kau tidak pergi?”
“Adakah alasan untukku
tidak pergi?” dari sudut matanya Raka bisa melihat Zahra menggeleng perlahan.
“Aku akan kembali,” ujar Raka akhirnya. “Assalamu’alaikum,”
“Walaikum salam,” jawab
Zahra serak.
***
Bintang-bintang tampak
berkilauan meski tanpa rembulan yang menemani. Seorang kakek tua duduk
menghadap langit dengan sebuah cerutu yang tak terhisap di tangan kanannya.
Mata rabunnya menatap jauh kebalik kelamnya malam.
“Ayah, sebaiknya segera
masuk,” ujar seorang wanita paruh baya. Kakek tua itu mengaguk sekali dan
kembali terpaku pada langit. Seakan tengah berbincang dengan orang yang paling
dikasihinya.
“Luna, apakah aku salah?”
Tanya kakek tua itu parau.
“Kita semua merasakan hal
yang sama ayah,” jawab putrinya pelan.
“Luna, mungkin sudah
waktunya kita menyerah,”
“Ayah,”
“Sepertinya aku bisa
melihat senyumannya di atas sana,” bisik kakek tua itu terdengah lelah. Sontak
saja wanita purh baya itu langsung menangis didekat kursi ayahnya. Tanpa mereka
sadari sepasang mata yang lain turut menitikan air matanya di balik sebuah pintu
yang tertutup rapat.
Wajah cantiknya tampak
pucat, mata sendunya kini kehilangan binar, hanya mengisakan sisa-sisa air mata
kering di sekelilingnya. Ia membelai lembut wajah tampan yang sama pucatnya
dengannya, bahkan mungkin lebih pucat.
“Kak, aku mohon… sadarlah,”
bisiknya parau. Ia menatap berbagai mesin canggih di samping ranjang suaminya
yang kaku tak bergerak. Benda-benda tak bernyawa itu tampak begitu berharga
untuknya. Meski ia sadar tidak ada yang mampu mengubah takdir yang ada. “Kak,
aku minta maaf karena tidak bisa menjadi istri yang baik untuk kakak, maaf…
namun andai boleh meminta dan pasti dikabulkan, aku berjanji akan mengabdikan
seluruh hidupku bersamamu,”
“Anna…”
“Kakek, kita tidak boleh
menyerah,” Anna menangis sesenggukan di pelukan kakek tua itu.
“Tidak pernah ada yang
ingin menyerah Ann,” bisik Luna dari balik pundak ayahnya. “Dia putra ibu
satu-satunya. Dia begitu baik hati dan penyayang, karena itulah Tuhan mengirim
istri sebaik dirimu untuknya. Terima kasih Ann.. dan maafkan ibu yang telah
membawamu dalam lubang kesedihan ini,”
“Ibu, tidak… ini adalah
jalanku… aku tidak pantas mendengar kata-kata ibu seperti itu. Kak Alan adalah
suamiku, sudah seharusnya aku disini untuk menjaganya, karena itu lah ku mohon
kakek jangan menyerah dengannya saat ini… ku mohon,”
“Anna…”
“Ku mohon,”
***
“Ann, kau akan pergi?” tanya Luna keesokan paginya ketika melihat sosok cantik itu tengah rapih dengan busana muslimahnya.
“Iya bu, ini adalah yayasan
milik kak Alan. Aku akan menggantikan posisinya untuk sementara,”
“Tapi ibu dengar ayah sudah
mempercayakannya pada seseorang,”
“Syukurlah kalau begitu.
Tapi bu, aku masih ingin mengetahui jalannya rapat secara langsung,”
“Baiklah kalau begitu,
hati-hati,”
“Aku akan menemui ayah dan
kakek di kantor seusai rapat, Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikum salam,” Luna tersenyum tipis seraya
melirik putranya yang masih terbujur koma. “Kau mendapatkan hal yang terindah
nak… sadarlah…” bisik ibu paruh baya itu perih.
3 komentar:
Ziaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,,,,,
Lanjutin critanyaaa,,,,,,,
Si Alan jangan dmatiin,,
Alan teteup ma Anna adja,,
Si Raka ma Zahra adja,,
Btw,,namany si Anna cakep nian saiaaank,,,
ayo donk alan cpt bangun kasian sm anna klw harus nunggu lama
part selanjutnya jng lama2 y mbg cherry *maksa y*
thank you very much for the information provided
Posting Komentar