‘Elena
kau harus bertahan!!’ aku tersentak ketika mendengar teriakan penuh rasa
khawatir itu, jelas tersimpan ketakutan pada diri pemilik suara itu. aku bisa
merasakannya. ‘Kau dengar aku Elena?? Kau harus bertahan! Kau dengar??!’ ia
berteriak lagi.
Aku
mengernyit. Ya aku mendengarnya! Begitu
jelas hingga rasanya aku bisa merasakan ketakutannya. Tapi nalarku masih terus
bertanya-tanya, apa gerangan yang membuat pemilik suara tajam itu terdengar
begitu khawatir.
‘Ku
mohon… kau harus tetap bersamaku,’ pintanya. Aku mendelikkan mataku sarkastis,
tanpa ia memohon-pun aku akan tetap bersamanya, selamanya. ‘Kau harus bertahan,’ suaranya berubah lirih. Aku mulai
merasa cemas, takut jika suara itu akan menghilang.
Dentingan
beberapa benda mulai mengusik pendengaranku,namun lagi-lagi nalarku tidak bisa
menerka apa yang tengah terjadi. Aroma aneh mulai menusuk indra penciumanku,
membuatku ingin menutup hidungku, menyembunyikan diriku dari udara berbau aneh
itu. Tapi tubuhku membeku tak bergerak. Aku mulai merintih ketakutan.
‘Kau
tidak boleh mati Elena,’
Deg…
Tiba-tiba
tubuhku membeku mendengar kata-katanya, namun aku bisa merasakan tetesan air di
sisi mata kiriku, tapi itu bukan air mataku, aku tidak bisa menangis. Otakku seakan
tidak bisa memerintah mataku untuk menangis seperih apapun hatiku. ‘Kau tidak
boleh mati…’ ulangnya pelan penuh kepedihan. Ia menggenggam erat jemariku
dengan jemarinya yang dingin. Aku ingin membalas genggamannya dan
menenangkannya, mengatakan bahwa aku akan baik-baik saja. tapi tubuhku kaku,
aku tidak bisa menggerakan tubuhku sama sekali.
‘Aku
mencintaimu…’
Aku juga mencintaimu!!! Aku ingin
berteriak, meyakinkannya bahwa perasaanku padanya memang benar. Aku mencintainya
dan akan selalu begitu.
‘Bertahanlah
Elena ku mohon…’ pintanya lirih. Hatiku perih menahan isak tangis. aku ingin
mengangguk kepadanya dan mengusir seluruh ketakutannya. Aku ingin menghapus air
matanya yang terus menetes di wajahku.
Tiba-tiba
aku merasakan sebuah tekanan di dadaku. Beberapa orang tampak berteriak di
sekelilingku, namun yang ingin ku dengar hanyalah suara itu, suara yang mampu mengusir
laraku.
“CLEAR!”
teriakan itu kembali terdengar di susul oleh tekanan lainnya.
Aku
meringis ketika akhirnya bisa merasakan sisi lain tubuhku. Kemudian perih itu
menghantam setiap centi tubuhku. Rasanya seluruh tulangku remuk tak berbentuk. Kepalaku
berdenyut-denyut dengan rasa sakit yang tiada tara.
‘Elena…’
aku meringis perih mendengar kegetirannya. ‘Kau adalah anugrah dalam hidupku. Aku
mencintaimu, dan aku ingin kau bertahan. Bertahan untuk terus hidup dan
bahagia,’ aku bisa merasakan air mataku menetes perlahan. Aku ingin bertahan…
tapi…sungguh perih itu terasa begitu menyakitkan. Bahkan tetesan air mataku
menyesakan jejak panas di pipiku. ‘Kau harus bertahan…’ ia terus mengucapkan
hal itu bagai mantra. ‘Elena…’ bisiknya pelan ketika rasa sakit di sekujur
tubuhku mulai bertambah parah.
Aku
menggeliat kesakitan, meringis dalam diamku, berteriak dalam gelapku.
Kemudian
genggaman tanggannya mengendur, aku mulai merasa panik. ‘Ssst…tenanglah, aku di
sini…’ bisiknya di telinga kiriku. Perih itu masih memenuhi tubuhku, namun
jiwaku merasa tenang karena suaranya. ‘Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu,’
Tidak!! jangan katakana itu.
kecalakan ini bukan salahmu, tapi kesalahanku.
‘Aku
sangat mencintaimu… sejak awal kita bertemu,’
Aku juga!
‘Kau
adalah jawaban dari semua doaku, hadiah terindah dalam kehidupan keculku,’
Begitu pula dengan dirimu!
‘Kau
harus tau hal itu,’ ia terdiam untuk sesaat. Kemudian mencium keningku dengan
sangat lembut. Sedetik kemudian aku merasakan perih pada tubuhku mulai
terangkat. ‘Aku selalu ingin kau bertahan. Terus hidup dan bahagia. Tapi jika
kau harus pergi… pergilah…’ aku mengernyit ketika mendengar kata-katanya. Air mataku
mulai kembali menetes. ‘Tidak, tentu saja aku tidak menyerah atas kesembuhanmu,’
bisiknya cepat seraya menghapus air mataku. ‘Namun jika sudah tiba waktumu, aku
tidka ingin menahanmu, aku tau ini menyakitimu,’tambahnya lebih lembut. Aku terisak
dalam diamku. Menangisi seluruh kisahku.
Namun
ia benar, mungkin ini adalah saatnya aku menyerah pada takdir dan kenyataan…
***
‘Terima
kasih karena telah mengizinkanku untuk terus bersamamu,’ bisikku. pemuda tampan
di sampingku hanya terdiam. Wajah tampannya membeku bagai pahatan yang begitu
menawan.
‘Aku
selalu ingin kau hidup dan bahagia.’ Katanya dingin.
Aku
mendesah. ‘Mungkin aku bisa terus hidup, tapi aku takkan pernah bisa bahagia,’
ia mendelikan matanya kearahku. ‘Apa kau lupa? Bahagiaku adalah bersamamu. Hidup
atau mati. Kau adalah nafasku, bagaimana mungkin aku bisa hidup tanpamu,’
rajukku lembut.
Wajah
itu masih mengeras namun aku bisa merasakan dekapannya semakin erat di bahuku.
‘Hm,
sudahlah, setidaknya kita di makamkan bersampingan,’ ujarnya. aku terkekeh dan
memeluknya lebih erat, untuk sesaat lupa akan orang-orang yang menangis di
sekitar pusaran kami.
1 komentar:
thank you very much for the information provided
Posting Komentar