BAB 7
Pagi itu, aku dan Mark menyiapkan segala sesuatu yang
diperlukan untuk keperluan nanti sore. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 11 siang
ketika kami selesai. Aku mengajak Mark
dan Frank untuk segera pergi ke rumah kakek Takeda.
Sebelum berangkat, aku mengultimatum Mark agar ia
tidak berbuat konyol seperti kemarin. Karena mungkin pelayan tersebut akan
kupekerjakan untuk sementara, membantu Mbok Nah.
Kakek Takeda menyambut kami dengan gembira. Beliau
sudah siap dengan semua dokumen yang diperlukan. Dan seorang notaris telah
disewanya.
Semua berjalan lancar. Dokumen-dokumen yang
berkaitanpun telah kami tanda tangani. Sejumlah uangpun telah ku serahkan
padanya.
Kakek Takeda sangat senang karena rumahnya ini tidak
jatuh ke tangan orang yang salah. Sebagai bonus, beliau memberikan sebidang
tanah dibelakang rumah. Tanah itu kecil namun sangat indah dengan segala macam
bunga dan tumbuhan obat.
Tadinya kakek berfikir, ia tidak
akan menjual tanah tersebut. Namun akhirnya beliau merubah fikirannya saat ku
ceritakan alasanku membeli rumah tersebut. Bahkan kami mendapatkannya secara cuma-cuma
alias gratis. Beliau hanya berpesan
agar kami mau merawat kebun tersebut. Kakek juga memberi saran agar kak Sandra
sering diajak ke kebun belakang karena suasana sangat sejuk dan nyaman.
Setelah
selesai semuanya, seorang pelayan berumur sekitar 45 tahunan datang menghampiri
kakek Takeda. Aku dan Frank tertawa ringan ketika melihat raut wajah Mark yang
kecewa karena pelayan tersebut bukan pelayan kemarin. Rupaya bukan hanya aku
dan Frank yang menyadari apa yang terjadi kemarin. Karena saat aku melirik ke arah kakek Takeda, beliau
juga tertawa melihat perubahan wajah Mark.
Wajah
Mark memerah karena malu. Ketika menyadari bahwa tidak hanya aku yang
mengetahui apa yang terjadi kemarin tapi kakek Takeda dan Frank juga
menyadarinya.
Kakek
Takeda menjamu kami dengan makanan lezat yang telah dihidangkan di atas meja
makan. Tak ada rasa canggung diantara kami. Suasana yang tercipta sangat
membuatku merindukan kehadiran kakek. Seorang kakek yang amat menyayangi
cucu-cucunya, tak pernah lelah untuk terus menemani kami bermain walau letih
dirasa.
“Kakek
akan segera berangkat esok pagi jadi besok siang kalian bisa segera
menempatinya,” ungkap kakak Takeda.
“Kenapa
terburu-buru Kek? Tinggal beberapa hari lagi, kami juga masih belum bisa pindah
ke rumah ini sekarang,” tanyaku.
“Kakek
sudah memutuskan terjual atau tidak rumah ini, Kakek ingin pergi ke Jepang
besok. Karena kakek sudah merindukan istri kakek disana,” mata kakek berkaca-kaca
saat mengatakannya. Menerawang jauh, membayangkan dirinya akan selalu melihat
tempat peristirahatan terakhir sang istri tercinta.
Kakek
Takeda menceritakan kisah cintanya dengan istrinya. Kisah menarik yang
sederhana namun sangat indah. Aku bertanya
hingga sekarang bagaimana kisah cintaku kelak? Apakah aku akan menemukan
seorang gadis seperti istri kakek? Yang bersedia hidup baik susah ataupun
senang, bersedia mendampingiku di saat yang terbaik dan terburuk dalam hidupku?
Seorang gadis yang mampu membuatku bertekuk lutut, gadis yang ingin ku
perjuangkan dan ku peluk selama hidupku.
Pukul 8
malam, kami kembali ke London setelah membantu kakek Takeda berkemas. Rupanya
memang kakek telah mempersiapkan untuk esok hari. Barang-barang yang beliau bawa
tak banyak karena hampir seluruh barang sudah dibawa sebelum kakek pergi.
Perjalanan
pulang sungguh melelahkan. Setibanya di rumah, kami langsung masuk kamar
masing-masing.
Tok...
tok... Pintu kamarku diketuk dari luar.
“Siapa?”
tanyaku malas.
“Keysha,”
suaranya terdengar sedikit takut mungkin karena mendengar suaraku yang keras.
“Ada apa
Key?” tanyaku saat membuka pintu.
“Bolehkah
aku masuk?” tanyanya ragu. Pipinya memerah saat menatapku. Ingin rasanya aku
mencubit pipinya dan aku yakin ia takkan keberatan.
“Masuklah,”
kataku sambil membuka pintu lebih lebar lagi.
Keysha
berjalan cepat, dia tak ingin orang rumah tau jika diam-diam dia datang ke
kamarku. Ia segera menjatuhkan badannya di pinggir tempat tidurku. Matanya
melihat ke sekelilig kamarku, ada kekaguman terpancar di matanya.
“Key,”
panggilku pelan, tak ingin membuatnya terkejut. Aku bersandar di sebuah lemari
yang terletak di depannya, membuat kami saling berhadapan.
“Ya,”
jawabnya pelan.
Ku
angkat kedua bahu dan mengerutkan keningku. Bertanya secara tersirat mengapa ia
datang ke kamarku malam-malam begini?
Keysha
nampak ragu untuk mengatakannya.
“Key kalau nggak
ada yang mau kamu katakan lebih baik kamu...”
“Lusa,
kamu mau menemaniku pergi ke acara kampus?” tanyanya cepat. Keysha mengumpulkan
keberaniannya untuk bertanya. Pipinya memerah kembali.
“Mau,”
jawabku cepat.
Keysha
menatapku tak percaya. “Kamu nggak
mau tau acara apa itu?” tanyanya masih tak percaya.
“Aku nggak perlu tau acara seperti apa itu. Yang
aku tau acara itu sangat penting untukmu. Itu saja sudah membuatku ingin
menemanimu,” jelasku yang kini duduk di sampingnya. Menatap jauh ke dalam matanya.
Saat aku
mengatakan hal tersebut, wajah Keysha benar-benar seperti udang rebus. Secara
tak sengaja, aku sangat senang membuatnya seperti sekarang. Gadis yang sangat
lugu, polos. Walau dibesarkan di kota yang serba modern namun adat ketimuran
sangat ditanamkan oleh kedua orang tuanya.
“Sekarang
sudah malam, tidurlah,” aku menyuruhnya untuk segera tertidur karena badanku
benar-benar letih. Keysha masih berdiam diri.
“Key,”
ku angkat dagunya dengan jari telunjuk, membuat kami saling bertatapan. “Ada
lagi?” tanyaku tak sabar.
“Besok
kalian akan pindah? Secepat itukah? Apa kalian tak bisa tinggal lebih lama lagi?”
pintanya tulus.
Aku
menyunggingkan sebuah senyum untuknya. Anak ini benar-benar membuatku ingin
tertawa melihat ekspresinya. ”Apa maumu?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya.
“Bisakah
kalian tinggal disini hingga aku ulang tahun?” Keysha merajuk.
“Kemarilah,”
pintaku dengan membuka kedua tangan. Keysha menatapku bingung. Kuangkat kedua
alis dan bahuku memintanya untuk masuk ke dalam pelukanku. Tak juga ia
bergerak, aku menariknya pelan.
Aku
dapat merasakan debaran jantungnya semakin kencang ketika aku memeluknya. Tuhan, aku tak ingin mempermainkan gadis
ini. Aku sangat menyayanginya layaknya seorang kakak. Benarkah perasaan ini
hanya seperti seorang kakak terhadap adiknya? Aku tak tahu. Yang pasti aku
hanya ingin melindungi, membahagiakannya, memeluk dan menghapus airmatanya
ketika ia menangis.
“Apapun
yang kamu minta, aku akan sebaik mungkin untuk melakukannya,” ujarku di
telinganya. Aku benar-benar tak ingin mengecewakan gadis ini.
“Terimakasih,”
ujarnya seraya
mempererat pelukannya.
“Sudah
semuanya?” ku lepaskan pelukan. Tanganku kini berada di pundaknya. Gadis ini
masih juga tak bisa menatapku hanya bisa menganggukkan kepalanya.
“Okey,
berarti sekarang kamu bisa kembali ke kamarmu,” ku menarik tangannya, mengajak
Keysha untuk kembali ke kamarnya. Keysha hanya mengikuti langkahku. Gadis ini
tak bisakah dia berbiacara padaku? Aku frustasi jika ia hanya diam seperti ini.
“Masuklah,”
kubuka pintu kamarnya. Keysha melangkah memasuk ke kamarnya.
“Tunggu!”
“Ya?”
Keysha memutar tumitnya dan menatapku dengan mata bulatnya yang sempurna.
Sejenak
aku hanya bisa diam, memandang wajah nan cantik di depanku. Menikmati keindahan
yang diberikan Tuhan kepadanya. Ingin rasanya aku memeluk dan menciumnya.
Membayangkan aku menggigit bibirnya yang tipis dan merekah, mengulum dan
memainkan lidahnya. Mendekap tubuh mungilnya ke dalam tubuhku.
Tidak! Aku tidak mau melakukan
itu padanya. Aku takkan sanggup bila nantinya perasaanku saat ini hanya sesaat.
Aku tak ingin merusak gadis ini. Aku takkan sanggup melihat gadis ini hancur karena aku. Aku
menjerit dalam hati
“Masuklah,”
kataku saat tersadar dari khayalanku.
“Baiklah.
Selamat malam Kian, mimpi indah,” Keysha memutar tubuhnya dan menghilang
diballik pintu yang ditutupnya.
“Huffttt,,,”
ku buang nafas pelan agar tubuhku kembali rileks. Ku sandarkan sebentar di
pintu kamar Keysha.
“Ki, aku
mencintaimu,” lirih Keysha dari balik pintu. Berucap pada dirinya sendiri.
Mungkin dia tak menyadari jika aku masih berada di balik pintu yang tertutup. Karena
sebelumnya Keysha melihatku berjalan menjauhi kamarnya. Dia tak tau, jika aku
kembali menghampiri kamarnya. Namun aku mengurungkan niatku, tak ingin
mengganggunya.
Hatiku
senang tapi sekaligus perih mendengarnya. Aku senang karena ia berani
mengungkapnya setidaknya pada dirinya sendiri. Perih karena aku tak tahu sama
sekali apa yang kurasakan untukya, cintakah atau rasa sayang kepada seorang
adik?
Suatu
saat mungkin aku akan menemukan jawabannya. Untuk sekarang mungkin lebih baik
seperti ini, hanya menganggapnya sebagai seorang adik. Hal ini lebih baik untuk
kami, tak akan ada yang tersakiti hatinya.
Dengan
langkah gontai, aku kembali ke kamarku. Menjatuhkan tubuhku ke tempat tidurku
yang nyaman, terlelap dalam tidurku.
1 komentar:
ya ampun,mba fathy jdny keysha ni? aq aq hahah
Posting Komentar