Kirana menundukan kepalanya, menangis perlahan. “Tapi kemudian kau malah
berlalu pergi meninggalkan kami.” Ujarnya. Valerina tersenyum, namun bukan
senyum menawan seperti biasanya, senyuman itu begitu perih.
“Aku tidak tau lagi apa yang bisa ku lakukan saat itu,” jawab Valerina
akhirnya.
“Kau benar,” bisik Kirana saat bisa mengendalikan tangisnya. Ia kembali
menatap hujan yang kian membesar. “Kami sudah berusaha mencarimu kemana-mana,”
Kirana memejamkan matanya sesaat, seakan mengenang kembali masa tiga tahun yang
lalu. “Aku, Om Arya, Tante Thalia, Vero, Are, dan Raka.” Nafas Valerina kembali
tercekat. Ia menggeleng pelan. Jijik pada dirinya sendiri yang masih merasa
perih mendengar nama terakhir itu.
“Ki…” panggil Valerina pelan. Ia menatap sahabatnya penuh kasih. “Maukah
kau menceritakan padaku apa saja yang sudah terjadi selama ini?” tanyanya.
Kirana tersenyum tipis dan mengaguk.
***
Ben menatap layar laptopnya dengan seksama. Beberapa kali berdecak kagum
dengan apa yang ia lihat.
“Bagaimana dengan hasilnya?”
“Sempurna!” desis Ben.
“Rio melakukan pekerjaannya dengan sangat baik. Kita bisa menggunakannya
lagi nanti.” Ujar suara di belakangnya.
“Bukan,” bisik Ben. “Bukan karena Rio,” tambahnya. Pemuda jangkung di
belakangnya mengerutkan kening, kemudian berjalan menghampiri Ben yang masih
terpaku pada layar laptonya. “Lihat, gadis inilah yang membuatnya tampak begitu
sempurna,” ujar Ben antusias. Tanpa ia sadari sosok di sebelahnya membeku tak
bergerak. Menatap tawa gadis cantik itu tidak percaya. Sosok indahnya tampak
begitu menawan di sekeliling bocah-bocah kecil yang tertawa riang di padang
rumput bersamanya.
“Rachel…” bisiknya dingin.
“Ah ya, mereka juga bilang ada masalah kecil dengan Rachel, dia merengek
ingin pu…” Ben menghentikan kata-katanya ketika Pria itu meraup kunci mobilnya
dengan tergesa. “Hey Raka!! Aku belum selesai bicara!!” teriaknya kesal. Namun
ia terlambat. Sosok tampan sahabat sekaligus rekan kerjanya sudah berlalu
pergi. Ia mendesah dan kembali menatap layar laptopnya.
***
“ketika mengetahui kepergianmu dari Vero, semuanya jadi kacau balau.
Luna begitu syok dan Raka pergi begitu saja. Ia terlihat begitu kalut.”
Valerina mencengkram lengan sofa di sampingnya. Menahan emosi yang muncul
akibat kenangan itu. “Dan setelah itu Luna kritis…” Kirana memejamkan matanya perlahan,
membiarkan air matanya menetes. “Aku begitu kalut. Ketakutan akan kehilangan
sahabat-sahabatkku. Kau tidak tau bagaimana takutnya diriku saat itu. kau sudah
pergi, dan Luna sakit. Kau pikir aku bisa berdiri dengan tenang di sana?
Sendirian?!” Kirana begitu terguncang. Kemudian setelah menghela nafas beberapa
kali ia kembali tenang. “Ah Rachel, sudahkah kau bertemu dengan Raka?” Tanya
Kirana kemudian.
Pandangan Valerina berkabut karena air mata. Ia menggeleng perlahan.
“Aku tidak ingin menemuinya,” bisik Valerina.
“Kau tidak ingin menemuiku?”
Deg.
Kedua gadis itu tercekat. Valerina berbalik dan menatap sosok tampan di
hadapannya tidak percaya. Sosok yang selalu memenuhi relung hati terdalamnya.
Sosok yang selalu menjadi mimpi buruknya
yang begitu manis. Sosok yang selalu ia rindukan.
“Papa…” bisik Rachel memecah keheningan yang sempat tercipta diantara
mereka. Dan saat itulah Valerina merasa tubuhnya terjatuh membentur bebatuan
terjal. Mengoyak seluruh hatinya. Kerinduannya, rasa cintanya dan keperihannya
menjadi satu. Perasaan yang sejak tiga tahun yang lalu ia coba untuk musnahkan.
Hatinya terpilin mengingat semua kenyataan yang ada di hadapannya.
Kemudian dengan perlahan Raka berlutut membelai sosok Rachel kecil. Ia
tersenyum tipis padanya. “Kau belum tidur?” tanyanya lembut. Valerina menggigit
bibir bawahnya sendiri, muak pada perasaan yang kini meliputi hatinya.
“Ah Rachel, sudah malam sayang, ayo tidur dengan mama Kirana.” Kirana
menggendong tubuh kecil Rachel yang meronta. Kemudian masuk ke dalam kamarnya
sendiri.
Valerina memalingkan wajahnya ketika sosok tampan itu kembali
menatapnya. “Hai,” sapa Raka.
“Hai,” balas Valerina dingin.
“Aku ingin bicara denganmu,” ujarnya tenang. Valerina mendengus. Memutar
matanya, kemudian mengangkat bahu. “Ikutlah denganku,” Valerina ingin menolak.
Namun lengan kekar itu sudah terlebih dahulu meraih lengannya dan menariknya ke
sisi lain rumah ini. Mereka menaiki tangga tersembunyi, menuju sebuah taman
mungil yang terletak di lantai atas rumah itu. Raka menarik lengan Valerina
hingga ia duduk di sampingnya, menghadap langit malam Jakarta yang baru saja
berhenti menumpahkan isinya. Valerina menarik tangannya perlahan dari genggaman
Raka. Membuat pria muda itu sedikit terkejut. Namun wajahnya masih tampak
begitu tenang.
Aroma maskulinnya mulai memenuhi paru-paru Valerina. Ia mengirupnya
dalam-dalam, seakan ini akan menjadi hari terakhirnya untuk bernafas lega.
“Bagaimana kabar mu?” Tanya Raka memecah keheningan.
“Baik,” jawab Valerina. Ia melirik wajah tampan Raka dari balik bulu
matanya. Betapa rindunya ia pada sosok di sampingnya. Namun yang ia dapat
lakukan hanyalah duduk mengagumi dalam diam semua keindahan itu.
“Aku mencarimu kemana-mana,” bisiknya, pandangannya menerawang jauh ke
depan. “Aku pikir tidak akan pernah bertemu lagi denganmu,” kini suara itu
terdengar begitu rapuh. Hati Valerina terpilin mendengar kata-katanya. Terlebih
nadanya yang begitu perih. “Aku sangat bahagia melihatmu baik-baik saja,”
Valerina tergagap ketika Raka tiba-tiba memandangnya. “Aku selalu berdoa agar
kau baik-baik saja,” ujarnya tulus. Mata abu-abunya mencair. Ia membelai lembut
pipi kiri Valerina, membuat gadis itu merasakan kesedihan yang mendalam. Namun
kemudian ia memalingkan wajahnya, menjauhi jemari Raka.
“Terima kasih,” bisiknya dingin. Inilah saatnya, inilah saatnya ia untuk
tegar dan menerima semua kenyataan itu. “Terima kasih juga untuk menjaga Luna,
dan menjadi suami yang baik untuknya,” bisik Valerina tercekat. Ia tersenyum
perih mendengar kata-katanya sendiri.
“Aku tidak pernah menikah dengan Luna,”
1 komentar:
akhirnya pertemuan dgn raka tak terelakkan! eh, tp apa raka bilang...dia ga pernah nikah sama luna???
Posting Komentar