Aminah
mengerutkan keningnya ketika mendengar suara aneh dari kamar putranya. Ia
mendekatkan wajahnya ke pintu kamar itu, mencoba mendengar lebih jelas lagi
suara itu. Aminah mendesah tidak percaya dengan apa yang ia dengar, namun
kemudian perasaan khawatirnya lebih besar dari pada perasaan lain yang
berkecamuk dalam benaknya.
Brak.
Aminah membuka pintu kamar putranya dengan cepat. Mata tuanya membulat ketika
mendapati sosok putranya tengah menangis di atas sajadahnya. “Raka…” bisik
Aminah pelan. Raka masih tertunduk, tampak khusuk dengan perbincangannya dengan
sang Kuasa. Aminah menggeleng perlahan, kemudian berjalan mengahmpiri putranya.
Raka adalah pria yang kuat, ia bahkan mampu berdiri dengan kakinya sendiri
sejak kecil. Ia adalah pria yang tangguh. Namun siapa sangka jika ternyata ia
pun bisa menjadi serapuh itu ketika di hadapkan degan kata klise bernama cinta
itu.
“Raka…”
Aminah menyentuh pundak putranya dengan perlahan. ia tidak memiliki keahlian
apapun, namun ia adalah ibu dari pria yang tengah menangis di atas sajadahnya
itu, tanpa bertanyapun ia tau jika air mata itu tercipta karena sang bunga yang
hilang entah kemana. “Raka tenanglah,” bisiknya pelan.
“Maafkan
aku ibu,” bisik raka pelan. “Betapa bejatnya aku karena mencintai wanita yang
sudah bersuami. Betapa terkutuknya aku…”
“Ssstt…
Raka…” Aminah memeluk bahu putranya, menawarkan ketenangan yang ia sendiri
tidak miliki. Mata tuanya sudah basah karena air mata yang selama ini selalu ia
sembunyikan dari putranya. “Ibu mengerti. Kau memang salah, namun tidak ada
yang bisa kau lakukan selain menghentikannya.”
“Tapi
bagaimana bu? Aku tidak tau…” Raka kembali mengepalkan jemarinya, merasa kesal
pada dirinya sendiri.
“Cintailah
gadis lain. Menikahlah dengan gadis lain, dengan
Zahra.” Aminah menekankan seluruh kata-katanya. Ia bisa merasakan tubuh
putranya menegang di dalam dekapannya. Namun ia tidak tau apa lagi yang ia
harus lakukan. Cinta itu terlalu besar diantara mereka. dan akan semakin besar
di setiap harinya.
Aisah
memutar-mutar kuasnya dengan malas. Malam semakin larut dan ia masih terduduk
di beranda lantai dua gedung pantinya. Sudah tiga kanvas yang ternoda, namun
masih belum ada satu lukisanpun yang tercipta. Padahal esok hari ia sudah harus
menyerahkannya untuk perlombaan seni lukis antar propinsi.
“Kamu
belum tidur nak?” Tanya ummi ketika melihat salah satu putri pantinya masih
bersikukuh dengan kuasnya.
“Belum ummi,
Aisah masih memikirkan untuk lukisan besok, Aisah tidak tau harus melukis apa.”
“Apa yang
ada dalam pikiranmu?” Tanya ummi pelan. Gadis berumur 8 tahun itu terdiam
sejenak, mata jernihnya menerawang jauh ke dalam kelamnya malam.
“Kebingungan,
kegelisahan, ketakutan, kekhawatiran, dan kerinduan,” jawab Aisah pelan. Ummi
tertegun sejenak, ditatapnya gadis mungil itu dengan takjub, sebuah jawaban
yang benar-benar di luar dugaannya.
“Kerinduan?
Pada siapa, atau pada apa?”
“Kak
Anna…” jawabnya pelan sekali. Seketika itu juga ia langsung menundukan
wajahnya, mencoba menyembunyikan air matanya yang tiba-tiba tergenang. Ummi
membelai kepala gadis itu dengan lembut.
“Kalau
begitu mengapa kamu tidak melukisnya,” usul ummi, mata Aisah membulat, bibirnya
melengkung hendak protes. “Kalau kamu tidak bisa melukisnya, kamu bisa
menggambarkan sesuatu yang menurutmu bisa menggambarkan keindahannya,” tambah
ummi. Aisah terdiam, matanya menerawang jauh seakan mencoba untuk meraih sosok
yang sudah lama menghilang dari hadapannya. Kemudian ia kembali, dengan
senyuman manis ia mengangguk pada ummi. Ummi membalas senyumannya dengan sebuah
anggukan tulus. Ia membelai kepala gadis itu dengan perlahan sebelum berlalu
pergi.
***
Rumah besar
itu tampak begitu kosong dan sunyi. Hingga yang terdengar hanyalah detakan
jarum jam yang membisu dan suara dari monitor jantung di sebuah kamar bernuansa
biru laut. Sebuah ranjang besar bersprai putih menjadi satu-satunya benda yang
memang sewajarnya berada di kamar tidur. Sedangkan benda-benda dan peralatan
lainnya menunjukan sisi rumah sakit yang mulai terasa familiar di rumah itu.
Suasana hari itu begitu sepi, hingga rasanya siapapun bisa mendengar suara
tetesan cairan infusan yang tergantung di sisi kiri sosok tampan yang tengah
terbujur tak berdaya itu.
Seorang gadis
cantik berkerudung peach tampak berdiri di ambang pintu. Ia menyandarkan
kepalanya di daun pintu yang terbuka setengah. Tangannya menggenggam erat
pegangan pintu, matanya terus menatap sosok tampan itu dengan perih.
“Terkadang
hidup memang memberikan sebuah pilihan yang sulit,”
Anna
hampir saja terjatuh karena terkejut. Buru-buru ia menegakan tubuhnya dan
bergeser sedikit untuk memberikan jalan kepada sosok dokter tua yang sudah dua
tahun ini mengurus suaminya. Dokter itu berjalan perlahan melewati Anna,
kemudian berhenti di samping ranjang Alan. Ia memeriksa selang infusan dan
beberapa hal lainnya dengan teliti. Dibelainya wajah pemuda itu dengan penuh
kasih. Mata tuanya tampak menyiratkan kelelahan yang teramat sangat.
“Ia
pemuda yang baik. Aku mengenalnya sejak ia baru bisa merangkak. Saat itu,
sahabatku sangat bahagia karena mendapatkan cucu pertamanya. Ia terus
memotretnya, kemudian mengirimkannya padaku yang ketika itu masih berada di
Amsterdam untuk melanjutkan studiku. Aku begitu iri kepadanya karena memiliki cucu
setampan Alan. Alan adalah sosok yang begitu baik, pemuda yang berbakti,”
dokter tua itu melepaskan kaca matanya yang berembun. “Aku juga menyayanginya
Nak,” Harun menoleh lemah kepada gadis yang masih terpaku di sudut kamar. Wajahnya
yang cantik tampak pucat, begitu berbeda dengan warna peach indah yang ia
gunakan.
“Kami
semua menyayanginya… namun karena itulah kita tidak bisa terus menahannya,”
bisik dokter itu. Dan setetes air mata menjadi jawaban atas perkataan sang
dokter.
“Ta…tapi
dia suamiku…” bisik Anna tercekat. “Ia akan sadar dok…” Anna mengepalkan kedua
tangannya dengan begitu kuat, berharap bisa menahan sesak yang mendadak
menyelimuti dadanya.
“Anna,
sudah dua tahun…”
“Apa
dokter menyerah?” Tanya gadis itu cepat. Wajah tua Harun memucat. Ia memalingkan
wajahnya. “Apa dokter menyerah pada kesembuhan suamiku?” ia melangkah perlahan.
kemudian berdiri beberapa langkah di hadapan ranjang suaminya.
“Tapi ini
hanya menyakitinya Anna, kita harus mengikhlaskannya,” ujar dokter itu tanpa
menatap wajah sendu sang gadis.
Anna
menyentuh kaki suaminya dengan perlahan. Memijitnya dengan lembut, matanya
menatap wajah yang membeku itu dengan perih. Hanya sedikit kenangan yang ia
miliki bersama suaminya. Betapa bodohnya ia, betapa naifnya ia. Andai ia tau
akan seperti ini jadinya, ia tentu tidak akan pernah menyia-nyiakan sosok Alan
yang mencintainya dengan sangat tulus.
“Tidak
ada satu orang pun yang menyerah Anna. Hanya saja, kami semua menyayangi Alan…”
bisik dokter itu sebelum berlalu dari kamar Alan. Anna berjalan kesisi
ranjangnya, mengecup lembut keningnya, menghujaninya dengan air mata yang
seakan tidak pernah mengering dari mata indahnya.
“Apa
kakak sudah tidak bisa bertahan lagi? Apa kakak akan pergi meninggalkanku?” Tanya
Anna. Ia menggenggam erat jemari suaminya. Sudah dua tahun lamanya ia hanya
berbincang dengan kebisuan. Menutupi kenyataan yang hadir di hadapannya,
mencoba meyakini diri sendiri bahwa suatu hari nanti sosok itu akan kembali
membuka matanya dan memeluknya dengan penuh kasih.
“Kakak…
kalau memang kakak harus pergi aku ikhlas,” bisik Anna perih.
***
Hujan di
luar sana masih begitu deras. Namun keceriaan di dalam panti itu tidak pernah
berkurang. Mereka bersorak riang ketika Raka datang dengan satu mini bus yang
akan membawa beberapa dari mereka untuk mengikuti lomba lukis antar propinsi di
sebuah pondok pesantren modern di kawasan Bogor.
Aisah
tersenyum senang ketika mendengar decakan kagum dari teman-temannya akan
lukisannya.
“Ini
adalah gambaranku akan sosok kak Anna,” ujarnya polos ketika Amy menanyakan
lukisannya. Amy tercekat sejenak, namun dengan cepat ia langsung kembali
menunjukan wajah normalnya, dengan susah payah ia menyembunyikan kesedihannya.
“Zahra,
bisakah kau membereskan berkas-berkasnya. Aku harus pergi sebentar.” Ujar Amy. Zahra
yang sedari tadi hanya menonton tawa anak-anak itu di sudut ruangan langsung
mengangguk.
Amy
berjalan mengitari ruang tamu itu, langkahnya sedikit tergesa seakan mengejar
waktu. “Jangan hubungi ia!” desis Raka pelan ketika Amy berjalan melewatinya. Sosok
itu mengejang di sampingnya. Berhenti tepat di samping Raka yang berdiri
mengahadap anak-anak itu. wajahnya masih menampakan sebuah senyuman, namun
matanya tampak gelap. Amy menatapnya tidak percaya.
“Kau
mungkin tidak memiliki perasaan. Tapi anak-anak itu merindukannya.” Bisik Amy
dingin. “Anna adalah bagian dari mereka.” tambahnya. Wajah tampan Raka tampak
mengeras. Senyumannya mendadak hilang.
“Dia
tidak akan datang,” bisik Raka pelan namun begitu menusuk sebelum berlalu untuk
membantu anak-anak itu memasukan barang-barang mereka ke dalam bus. Amy terdiam
di tempatnya, masih terpaku dalam rasa terkejutnya akan pribadi lain dari sosok
sahabatnya.
***
“Aku
tidak akan pergi.” Bisik Anna pelan. Wanita paruh baya yang berdiri di depan
kamar putranya itu terdiam, tangannya masih menggenggam telepon parallelnya. Ia
menatap perih sosok putri cantik yang tengah menggenggam erat jemari putranya.
“Ia tidak
akan bangun Anna.”
Deg…
Anna merasakan
tubuhnya terhempas ke pelataran karang yang begitu dalam dan tajam. Mengoyak seluruh
jiwa dan raganya dalam satu hempasan.
“Ibu…”
bisiknya perih tak percaya. Wanita itu sendiri tampak tercekat, matanya mulai
kabur. Ia seakan baru tersadar dengan apa yang ia katakan. Air matanya mulai
mengalir perlahan.
“Ibu
minta maaf…” bisiknya perlahan.
***
Sejak
kecil Anna sudah bermimppi untuk menjadi seorang guru. Ia mencintai sosok-sosok
dengan berbagai pribadi unik yang selalu menghiasi harinya. Dan beruntungnya ia
memiliki orang tua yang mengajarinya berbagai macam hal yang mampu menuntunnya
menjadi pribadi yang begitu menawan.
Siapapun mengenal
sosok Anna, gadis cantik putri tunggal dari kyai Faqih yang terkenal akan
kedermawanannya. Namun toh pada akhirnya, Anna terpaksa berdiri sendiri saat
ini, bahkan meskipun ia sudah berstatus menjadi istri seorang pria asal Jakarta
bernama Alan itu.
Anna
menggenggam erat tas tangannya. Matanya melebar melihat keramaian di
hadapannya. Keramaian yang begitu familiar, seperti yang dulu selalu ia lihat
di pondok pesantren ayahnya. Bibirnya tersenyum perih ketika kembali menemukan
sudut memorinya akan sang ayah. Rasa cintanya seakan tidak pernah berhenti
meskipun kedua orang tuanya sudah berlalu meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Ia melangkah
perlahan, melewati beberapa mobil yang di parkir sampai keluar gerbang besar
karena terlalu ramai. Dengan perlahan ia menelusuri jalan besar yang membawanya
langsung ke Gedung serba guna di jalan utama. Ada beberapa saung di setiap sisi
jalannya, lengkap dengan pohon manggis dan mangga sebagai peneduh. Suasana lapangan
di depan gedung serba guna itu sudah ramai. Ada sekitar 40 anak yang tengah
sibuk dengan kanvas dan kuas mereka masing-masing. Orang-orang yang lainnya
berdiri seakan memagari sang pelukis kecil, mereka berbisik-bisik tanpa
mengalihkan pandangannya pada utusan mereka masing-masing.
Tiba-tiba
mata indah Anna berhenti pada sosok berbusana Pink di sudut kiri lapangan itu.
wajah mungil itu tampak begitu fokus dengan lukisannya. Keningnnya berkerut,
matanya menyipit ketika dengan hati-hati ia menyentuhkan kuasnya ke kanvas.
Anna merasakan hatinya mulai terpilin. Ia begitu merindukan panti asuhan yang
selama ini ia jadikan tempatnya untuk belajar banyak hal. Mereka anak-anak
yatim piatu, mereka mengajarkan banyak pelajaran hidup pada Anna, seakan
mempersiapkan dirinya sendiri ketika akhirnya ia harus berdiri sendiri di dunia
ini, tanpa kedua orang tuanya.
Seakan merasa
diperhatikan, kepala mungil Aisah menoleh perlahan. Matanya menyipit menatap
kerumunan orang yang berdiri melingkari lapangan itu. ia tidak tau siapa yang
ia cari, namun hati kecilnya yang polos tampak terketuk untuk terus mencari.
Anna
menahan nafasnya ketika sosok itu menoleh. Baru saja ia akan melambaikan
tangannya untuk mendapatkan perhatian gadis mungil itu, namun seseorang
terlebih dahulu menarik tubuhnya keluar dari barisan penonton itu. Anna terlalu
syok hingga tidak sempat memberontak. Bahkan hingga akhirnya mereka sudah jauh
dari kerumunan itu ia masih terdiam dengan kerutan di keningnya.
***
Zahra
tidak mengenal gadis itu, dan ia merasa tidak perlu mengenalnya. Sosok aneh
yang sejak kedatangannya hari itu sudah menjadi musuh dalam hatinya. Zahra membenci
seluruh hal yang berkaitan dengan gadis itu. Ia membenci kepedihan yang muncul
setiap kali bocah-bocah di hadapannya membicarakan sosok itu. Ia membenci binar
indah yang terpancar dari mata Raka setiap kali mengenang sosok itu. ia bahkan
sangat membenci senyuman sendu bibinya sendiri ketika menceritakan sosok itu.
Sosok
seorang Anna yang tidak pernah ia temui sebelumnya. Sosok yang ia anggap
sebagai perebut cinta dari orang-orang di sekelilingnya.
Zahra
tidak mengenal Anna. Namun ketika ekor pandangannya menangkap sosok anggun yang
berjalan perlahan di antara mobil itu hatinya terasa jatuh berkeping. Sosok itu
begitu cantik dalam balutan gaun muslimahnya. Matanya tampak sendu dan lembut. Kulitnya
begitu halus, hingga rasanya ia ingin menyentuhnya. Bibirnya yang indah tidak
tersenyum, namun jelas membuat orang yang melihatnya ingin terus tersenyum.
Anna begitu cantik, lebih cantik dari pada yang mereka katakan. Ia begitu
menawan, bagai seorang putri lemah lembut yang memiliki berjuta cahaya indah.
Entah mengapa
saat itu juga ia merasakan dadanya sesak menahan tangis, di liriknya sosok
tampan di sampingnya yang masih fokus pada gadis kecil berbusana pink jauh di
hadapan mereka. Ia mulai merasa takut. Takut jika semuanya akan kembali menoleh
pada sang bidadari, terlebih ketika ia menyadari bahwa sosoknya tidak mungkin
bisa menggantikan sosok cantik sang bidadari di hati siapapun.
“Kau mau
kemana?” Tanya Raka ketika Zahra beranjak dari tempatnya.
“Ke
toilet.” Jawab Zahra datar, kemudian berlalu pergi begitu saja. Ia bisa
menangkap keheranan dari sorot mata sosok di belakangnya. Namun ia sudah tidak
memiliki banyak waktu untuk membuat kebohongan lain yang mungkin lebih masuk
akal.
Zahra
tercekat ketika sosok cantik itu masuk ke dalam kerumunan penonton. Dengan cepat
ia meraih tangan halus Anna, tepat sebelum gadis itu melambaikan tangannya
untuk mengambil fokus Aisah.
***
INDEKS
3 komentar:
Aaahhh,,,Zahra,,,
Janganlah kw pupuk benih cemburu dhatimu,,
Biarkanlah smuany b'jalan alami,,natural,,
Bila Raka adalah jodohmu, yakinkanlah dirimu,,,
Alan dear,,,cepatlah bangun,,
Kw tidak mau kan melihat istrimu merana???
ayo donk alan bangun jangan bikin semua orang yg mencintaimu jadi sedih.
mbg cherry jng biarkan anna berpaling dari alan y...
rakanya sama zahra aja y,biar jd 2 pasangan y bahagia gk cm 1...*hihihi ngarep*
thank you very much for the information provided
Posting Komentar