Anna mendesah pelan, matanya dedikit nanar menatap
potongan wortel di hadapannya. sesaat kemudian Ia kembali menatap deburan ombak dari balik
jendela dapur, membiarkan air dalam panci untuk supnya mendidih lebih lama
lagi. Ternyata ia salah perkiraan, ketika berbelanja kemarin Raihan juga
membeli beberapa sayuran, jadilah ia berniat untuk membuat sup untuk sarapan
mereka pagi ini.
“Butuh bantuan?”
Anna tersentak kaget, hampir saja ia menjatuhkan pisau
yang tengah digenggamnya.
“Rileks Ann…” ujar Raihan sedikit cemas.
“Kau mengagetkanku,” bisik Anna. Raihan berjalan
mendekati gadis itu, matanya melebar melihat potongan sayuran di hadapan Anna.
“Aku pikir kau butuh bantuan, karena kelihatannya kau
sangat sibuk dengan lamunanmu,” ujarnya seraya mengambil pisau dari genggaman
Anna. “Katakan bagaimana memotongnya, aku yang akan mengerjakan sisanya.” Ujar Raihan,
matanya fokus menatap wortel yang masih panjang itu, sesekali ia melirik hasil
potongan Anna yang begitu rapih di sampingnya. Tetesan air dari rambutnya
menetesi permukaan wortel itu, tampaknya handuk yang tergantung di bahunya sama
sekali tidak menyelesaikan tugasnya.
Anna terkekeh pelan dan kembali merebut pisau dan
wortelnya. “Raihan, sebaiknya kau keringkan saja rambutmu. Ini urusan wanita,
kau tidak akan bisa—“
“Ah, nona Zainna… apa anda meragukan kemampuanku?” Tanya
Raihan secara kembali merebut pisau dari wanita di sampingnya. “Aku adalah
pemegang saham terbesar di perusahaan baja terbesar di Indonesia, bagaimana
mungkin anda meragukanku untuk memotong wortel ini.” Ujarnya angkuh, Anna
mengernyit dengan senyuman geli di wajah cantiknya. “Sudahlah, sekarang ajari
dulu bagaimana caranya. Bagaimana mungkin kau bisa memotong mereka dengan
ukuran yang sama, apa kau menggunakan penggaris?” tanyanya seraya memperhatikan
dua potong wortel. Anna terkekeh dan menggeleng, dengan lembut ditariknya
kembali pisau itu.
“Aku tidak pernah meragukan anda tuan Raihan. Aku tau
anda pemuda yang sangat hebat, hanya saja setiap orang memiliki tugasnya
masing-masing. Duduklah dengan tenang, aku akan memanggilmu jika aku
membutuhkan bantuanmu.” Ujar Anna dengan sangat tenang. Raihan membeku di
sampingnya, matanya terus menatap sosok cantik yang begitu tenang itu. Wajahnya
tampak lebih ceria, meski sesekali ia masih melamun.
“Soal semalam…”
Anna menghentikan gerakannya yang tengah memotong daun
bawang. Matanya tampak fokus menatap goresan-goresan pada daun itu, namun
hatinya langsung membeku.
“Maafkan aku.” Bisik Anna pelan.
“Tidak An, aku mengerti apa yang kau rasakan. Kita semua
memiliki perasaan yang sama akan kesembuhannya. Tapi ku mohon, selama kita di
sini, bisakah kau melupakan semua itu.” Anna menolehkan wajahnya pada pemuda
itu, ia mengerutkan keningnya tidak mengerti. “Aku tidak memintamu untuk
melupakan Alan, tidak sama sekali. Aku hanya ingin kau sedikit bersantai. Lupakan
luka itu Ann, setidaknya selama kita di sini. Nikmatilah saat ini, nikmatilah
untuk dirimu sendiri. Aku hanya ingin melihatmu bahagia,” Anna kembali menatap
sayurannya, kemudian dengan cekatan dimasukannya seluruh sayuran itu ke dalam
air yang sudah mendidih sedari tadi. Sebisa mungkin menyembunyikan gemuruh
hatinya yang menyesakan dadanya.
“Raihan,” panggilnya. Pemuda itu masih menunduk di
samping Anna. “Kau lupa membeli garam,” bisik Anna, suaranya tampak tertahan.
Raihan menatap sosok cantik itu sesaat kemudian mengangguk dan berlalu pergi
begitu saja.
Air mata Anna perlahan menetes, membasahi jemarinya
yang masih menggenggam sisa-sisa sayuran itu. Hatinya begitu sesak.
Tiba-tiba ia mendengar deringan ponsel dari ruang
tengah. Anna mengerutkan keningnya, itu bukan suara ponselnya, lagi pula
ponselnya sudah mati sejak kemarin sore. Apa Raihan tidak membawa ponselnya? Batin
Anna, ia berjalan perlahan ke ruang tengah dan mengambil ponsel Raihan yang
tergeletak di meja samping tv. Tiga pesan dan lima panggilan tak terjawab.
Ponsel itu kembali berdering, dengan ragu Anna
mengangkatnya.
“Halo assalamu’alaikum,” sapanya.
“Halo, Anna? Kau
kah itu?” suara di seberang sana tampak sangat khawatir. “Anna, apa kau baik-baik saja? Apa yang pemuda brengsek itu lakuakan? kau
ada dimana, katakan nak, biar kakek menjemputmu.” Ujarnya lagi.
“Kakek tenanglah, aku baik-baik saja. Aku berada di
anyer, di vila Raihan. Kakek tidak perlu menjemputku, biar pak Rudi saja yang
datang.” Jawab Anna menenangkan lelaki tua itu.
“Baiklah, kakek
akan menyuruh Rudi untuk segera datang. Kau berhati-hatilah nak.” Tambahnya lebih
tenang. “Dan Ann…”
“Ya?”
“Alan siuman…”
Bruk, tubuh Anna
jatuh begitu saja di samping meja kecil itu. Ia ternganga tak percaya. Air matanya
menetes perlahan. Suaminya… suami
tercintanya. Ia bangun, ia sadar.
“Alhamdulillah kakek… bagaimana keadaannya?” Tanya Anna
cemas.
“Kakek akan
mengirim Rudi untuk menjemputmu, bersiaplah.” Bisik kakeknya pelan. Anna menangis
terisak ketika akhirnya lelaki tua itu menutup teleponnya. Ia begitu merindukan
suaminya, merindukannya teramat sangat.
***
Raka tersenyum tipis ketika dua gadis mungil tampak
begitu antusias dengan lukisan mereka. Aisah dan Anisa, keduanya berumur 8
tahun. Mereka memiliki wajah yang sangat berbeda, namun entah mengapa setiap
orang yang melihatnya pasti melihat kecocokan diantara kedua gadis kecil itu.
Dulu Anisa selalu mengeluh iri padanya karena Aisah
memiliki nama yang sama dengan nama ibu panti asuhan mereka. Namun dengan
piawai Anna selalu menenangkannya, meyakinkan mereka bahwa mereka memiliki hal special
masing-masing. Dan perseteruan gadis kecil itu pun berubah menjadi persahabatan
yang positif. Anisa tidak bisa melukis, namun dengan telaten gadis bermata
indah itu mengajari sahabatnya.
“Kak Raka melamun lagi?” Tanya Anisa. Raka langsung
terkesiap dan menggeleng perlahan. Ia tersenyum ramah pada gadis kecil di
hadapannya.
“Tadi siang kalian belajar apa di kelas?” Tanya Raka.
Anisa melirik Aisah yang masih sibuk dengan lukisannya.
“Kak Amy mengajari kami bahasa arab dan matematika,”
jawabnya sambil mengangkat bahunya tak acuh, kemudian duduk di samping Raka.
matanya masih menatap sosok Aisah yang tengah sibuk dengan kuasnya. “Apa Aisah
akan memenangkan perlombaan itu kak?” tanyanya pelan. Raka mengernyit dan
melirik gadis di sampingnya. “Apa ia akan memenangkannya?” ulang Anisa lagi,
mata kecilnya menatap sosok Raka.
Raka tertegun sejenak, suara gadis itu menuntut
jawabannya, namun entah mengapa matanya menyiratkan sebuah keperihan yang tidak
bisa ia mengerti. “Apa kau tidak ingin ia memenangkannya?” Tanya Raka. Wajah
gadis itu langsung memucat. Dengan cepat ia memalingkan wajahnya, menunduk
menatap jemarinya yang bertautan di atas pangkuannya. Raka merasakan hembusan
angin menerpa wajahnya, namun yang membuat tubuhnya membeku adalah gelengan
gadis kecil di sampingnya.
“Bukan begitu…” bisik Anisa teramat pelan. “Aku hanya
takut jika akhirnya dia harus pergi.”
“Apa maksudmu?” Tanya Raka tidak mengerti, sesekali di
liriknya sosok Aisah yang masih sibuk dengan lukisannnya. Ia menatap pintu
ruang kesenian itu dengan ragu. Pintu itu memang terbuka, namun jika Aisah
pergi ia pun tentu bisa menyadarinya.
“Bukankah yang memenangkan perlombaan antara provinsi
itu akan mendapatkan beasiswa penuh untuk SMP dan SMA nya di sekolah
Internasional?”
Raka terdiam.
“Aku pasti tidak akan bisa masuk ke dalam sekolah itu.
Lalu kami akan terpisahkan. Aisah akan bersekolah di sana, ia akan meninggalkanku.
Memiliki teman baru, dan melupakanku.” Tuturnya sedih. Raka menggeleng
perlahan.
“Apa kau pikir Aisah akan melakukan hal itu?” Tanya Raka
dengan lembut. Anisa mengangkat wajahnya, menatap sosok di sampingnya dengan
matanya yang basah.
“Nisa, coba lihat ini!!” teriak Aisah tiba-tiba. Baik Raka
maupun Anisa langsung menoleh kearahnya. Gadis berjilbab putih itu tampak
menyeringai lebar dengan hasil lukisannya, lukisan dua bunga cantik yang begitu
indah. “Ini kamu…” katanya seraya menunjuk bunga berwarna pink. “Ini aku…”
tambahnya ketika menunjuk bunga berwarna ungu muda. Raka tersenyum tipis.
“Aku rasa tidak…” bisik Anisa pelan sebelum berlari
kearah sahabatnya. Senyuman Raka semakin lebar ketika menyadari kata-kata gadis
itu ditujukan kepadanya. Ia berjalan perlahan mendekati mereka.
“Mana kak Raka?” tanyanya ketika berjongkok di samping
Aisah.
“Ini.” Ujar gadis itu sambil menunjuk pagar di
belakang kedua bunga cantik itu. “Kak Raka selalu menjaga kami, dan mata hari
ini adalah kak Anna, karena selalu menyinari hari kami…” tambahnya.
“Kak Zahra?” pertanyaan Anisa terlontar begitu saja.
Aisah menatap lukisannya dengan sedih. Kemudian mereka bertiga hanya terdiam,
bingung dengan jawaban masing-masing yang tersembunyi dalam benak mereka.
“Sudah sudah, sebaiknya kalian segera bersiap. Sebentar
lagi Ashar, kalian tidak mau tertinggal jama’ah kan?” Tanya Raka berusaha
mencairkan suasana yang mendadak kaku itu. Anisa dan Aisah langsung mengangguk
antusias, tampak terlupa sejenak dengan kisah haru tentang kerinduan mereka
pada sang mentari.
Tiba-tiba ponsel Raka bergetar, dengan cepat ia
merogoh sakunya.
“Halo Assalamu’alaikum
pak Raka. pak Alan kritis, sekarang ada di rumah sakit,” uajr Wisnu
salah satu asisten atasannya.
“Anna…” desis Raka pelan. Matanya menatap kosong
lukisan Aisah di hadapannya. hatinya begitu perih, bayangan gadis cantik itu
menangis di samping ranjang suaminya membuat hatinya terpilin. Tanpa mengucapkan
sepatah katapun ia langsung berlalu dari hadapan kedua gadis kecil yang masih
menatapnya penuh tanya.
4 komentar:
please ya cher biarkan alan hidup...
kasihan anna ssedih terus
btw rauhan suka yah sama anna??
terimakasih y non dah post 2 chapt sekaligus...
Hmmmm,,,Alan sadar tp kritis??
Smga yg t'baik utkny,,
Ziaa,,,makasih my dear,,,
Loph this story so much,,,
Biarkan alan meninggal,,biarkan alan meninggal..
Biar anna sm raka ajja..
(Pembaca egois)
@vie puspitasari; setuju!
anna n alan ga py cerita, sdg anna n raka py kenangan lama, apalagi anak2 panti jg berharap anna dgn raka.
tapi kalo raihan suka sm anna, kynya ceritanya bakal menarik nih, sp tau anna bs merubah kebekuan hati raihan.
tapi teteeep pengennya anna sm raka. aduh jadi bingung!
tapi tetep ga setuju raka sm zahra!
Posting Komentar