Ketika usianya 10 tahun, Anna pernah merasakan
ketakutan yang teramat sangat. Ketika di suatu pagi umminya mendadak limbung,
tak sadarkan diri ketika tengah memasak di dapur. Anna kecil begitu ketakutan.
Ia tidak tau apa yang harus ia lakukan, saat itu ia sedang bersiap untuk pergi
ke sekolah. Dengan panik Anna mencari bantuan, meneriaki siapa saja yang berada
di sekelilingnya, mencari ayahnya yang sudah pergi dari subuh tadi ke pondok
pesantren.
Anna begitu ketakutan. Ia duduk di depan ruang ICCU
dengan memeluk kedua lututnya, mencoba menenangkan gemuruh jantungnya yang
berpacu dengan suara detak jam. Ia tidak ingin menangis, namun jilbab ungu yang
di kenakannya hari itu sudah basah. Dan ketika ia melihat ayahnya yang berjalan
tertatih ke arahnya, tangis itu tak lagi bisa terbendung. Anna menangis keras
di pelukan ayahnya, menumpahkan seluruh ketakutannya. Kemudian ia tertidur, dan
ketika terbangun ia sudah berada di sisi ibunya, di kamarnya yang nyaman. Ia
tidak ingat kapan ibunya keluar rumah sakit, namun senyuman itu, senyuman ibunya
yang indah kembali menenangkannya, menyiratkan bahwa semuanya akan baik-baik
saja, semudah itu.
Tapi itu hanya masa lalunya. Saat ini, ketika ia
kembali harus berada di depan ruang ICCU, ia tidak bisa duduk dengan memeluk
kedua lututnya. Ia harus berdiri setegar mungkin, ia harus kuat untuk suaminya.
“Kakek…” panggil Anna pelan. Lelaki tua yang tengah
merangkul putrinya itu menoleh. Ia membuka tangan kirinya yang kosong,
menawarkan pelukan lain yang mungkin bisa menenangkan mereka, dan meyakinkan
hati mereka masing-masing jika di sini, saat ini, bukan hanya satu hati yang
tengah ketakutan pada kehendak takdir.
“Alan sedang ditangani oleh dokter Harun. Kau
tenanglah,” ujarnya, suara tuanya begitu lemah, menunjukan kerapuhan di balik
ketenangan dari sikapnya. Anna menangis perih di bahu lelaki tua itu.
Membenamkan wajahnya seperti yang tengah ibu mertuanya lakukan.
Tiba-tiba pintu ruang ICCU itu terbuka. Seorang
perawat melangkah keluar. Seluruh pasang mata di tempat itu langsung menatapnya
penuh harap, menunggu sebuah kabar baik. Namun perawat itu hanya terdiam dan
berlalu, membuat orang-orang yang tenagh menunggu dengan cemas itu kembali
terduduk lesu.
Lima menit kemudian dokter Harun keluar dari
ruangannya, ia masih mengenakan seragam hijau ruang oprasinya, mata tuanya
sedikit basah, wajahnya tidak kalah pucat dengan wajah-wajah yang tengah
menunggu didepan kamar oprasi itu.
Anna langsung berdiri mengikuti kakek dan ibu
mertuanya, ia berada dua langkah di belakang Luna ketika dokter itu menggeleng
lelah.
“Alan kritis,” ujar dokter itu pelan, dengan perlahan
di bukanya kaca mata tua miliknya, kemudian menyeka air mata yang sedikit
menghiasi mata tuanya.
Anna merasakan pandangannya kosong seketika. Bayangan
tentang mimpinya akan Alan seakan menari-nari di pikirannya. Begitu indah,
begitu mengagumkan. Air mata itu mengalir perlahan, namun wajah cantik Anna
menyunggingkan sebuah senyum aneh. Tiba-tiba mual langsung menghampiri dirinya.
Ia merasakan perih di sekujur tubuhnya, ia menggigil ketakutan.
“Ya Allah peluk aku sedikit saja… aku tidak sanggup
menghadapi ujian ini sendiri…” bisiknya penuh luka.
“Anna…” bisikan itu membekukan tubuh Anna. Dengan kaku
ia menolehkan wajahnya, dan mendapati sosok tampan yang menatapnya penuh perih.
Nafas Anna mulai tercekat, ia menggeleng perlahan kepada pemuda itu.
“Dia tidak akan bangun,” bisik Anna perih, dan tangis
itu pun pecah berkeping.
***
Raka berlari di sepanjang lorong rumah sakit, tidak
peduli pada tatapan heran orang-orang yang berpapasan dengannya. Ia terus
berlari dan berlari, hingga akhirnya langkahnya terhenti di depan ruang oprasi
yang di penuhi oleh orang-orang berwajah pucat. Ia melihat dokter tua itu
menggeleng, dan hatinya pun jatuh ke lantai begitu saja ketika melihat sosok
cantik itu menggigil karena menahan isak tangisnya. Gadis itu menutup mulutnya
dengan kedua telapak tangannya, mencoba menyembunyikan isak yang sudah
terdengar sedari tadi.
“Anna…” bisiknya pelan, mencoba mengambil fokus Anna.
Ia benar-benar terluka melihat gadis itu menangis. Hatinya turut terpilin
perih, dan ketika Anna menoleh dengan kaku ia tau hatinya sudah hancur
berkeping-keping. Gadis cantik itu menggeleng perlahan. Air matanya menetes
deras, mata indahnya diliputi oleh ketakutan yang teramat sangat.
“Dia tidak akan bangun…” sebuah kata terlontar begitu
saja dari bibirnya, sebelum akhirnya isakan itu pecah. Dengan cepat Raka meraih
tubuh Anna, menahannya sebelum ambruk ke lantai. Menenangkan tubuhnya yang
gemetar karena isak tangis. Itu adalah kala pertama Raka melihat sosok
sahabatnya menangis sedemikian perihnya. Dan saat itu pula lah ia sadar jika
hatinya sendiri takkan kembali utuh.
Luna menangis perih di samping Anna, dibelainya dengan
lembut kepala menantunya itu. Namun tidak seperti ibu pada umumnya, yang akan
bersikap optimis bagaimana pun keadaannya, wanita paruh baya itu malah ikut
menggeleng pada menantunya.
“Ikhlaskan dia Anna…” bisiknya pelan. Anna menggeleng
dalam pelukan Raka. Tangisannya bertambah keras.
“Tidak bu. Kak Alan adalah suamiku. Aku mencintainya,
bagaimana mungkin aku mengikhlaskannya? Ibu… aku tidak mungkin…” Anna menatap
perih sosok Luna.
“Anna,” Raka mencoba menenangkan sahabatnya itu.
“Tidak Ka! Jangan pernah memintaku untuk
mengikhaskannya juga. Kau pikir siapa dirimu? Kau pikir sekuat apa aku?! Aku
sudah mengalami berbagai macam kepedihan. Apa Tuhan tidak juga puas
menyiksaku??!”
“Anna!” Raka menatap gadis itu dengan tajam. Kedua
tangannya mencengkram kedua lengan Anna.
“Tapi aku lelah Ka… aku lelah…” isaknya perih. Anna
menunduk dalam, jemarinya masih bergetar, namun tubuhnya tampak begitu lelah.
“Aku lelah. Kau lihat, semua yang ku katakan padamu tentang keluarga yang
bahagia itu hanyalah kebohongan semata. Tidak pernah ada kisah indah dalam
kehidupanku Ka. Aku bahkan belum pernah mengatakan betapa aku sangat mencintainya.
Ini terlalu menyakitkan, ini tidak adil…” Anna menangis sesenggukan di dada
Raka, matanya sebam penuh air mata.
“Anna, dengar. Kau harus kuat. Tetaplah kuat.” Ujar
Raka dengan penekanan di setiap kata-katanya. Tiba-tiba isakan gadis itu
berhenti, ia mendonggkakan wajahnya, menatap sosok Raka yang begitu ia
rindukan. Kemudian gadis itu tersenyum tipis, kerutan di dahinya mendadak
hilang, kemudian tatapan itu kosong, dan ia pun terjatuh meninggalkan
kesadarannya.
***
Zahra tersenyum manis menatap pantulan wajahnya di
cermin. Ia tidak tau bagaimana cara menghentikan senyumannya, namun rasanya
hati itu selalu memaksanya untuk terus tersenyum. Seperti senyumannya, rona di
kedua pipinya pun tak pernah menghilang, bahkan rona indah itu akan semakin
tampak setiap kali Zahra menatap pantulan wajahnya di cermin.
“Kau sudah menatap cermin itu lebih dari dua jam,”
tegur Amy dengan senyumannya ketika ia memasuki kamar Zahra. Zahra menolehh
malu-malu. “Bahkan sepertinya kau sampai tidak mendengar salam dan ketukanku,”
tambah Amy. Ia berjalan perlahan menghampiri Zahra yang berada di depan meja
riasnya.
“Maaf,” bisik Zahra ketika Amy duduk di sampingnya.
“Aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya…” tambahnya malu-malu. Amy terkekeh
di sampingnya, ia menatap pantulan wajah Zahra yang menunduk dari cermin.
“Aku juga pernah memiliki rona indah itu,” bisik Amy
pelan. Zahra mengerutkan keningnya dan menoleh pada gadis cantik di sampingnya.
Wajah Amy begitu tenang, meski Zahra bisa melihat goresan lelah di beberapa
sudut wajahnya. Mata indah Amy menerawang jauh menangkap asa yang takkan teraih
olehnya. “Aku masih begitu muda,” tambahnya lagi, suaranya bagai aliran sungai
yang mengalir lembut. “Aku sangat mengagungkan cinta. Bagai remaja yang baru
pertama kali menemukan bungkusan kecil berisi cinta. Semuanya begitu indah,
begitu memabukan. Dan sialnya takdir tidak berpihak padaku,”
“Apa yang terjadi?” Tanya Zahra cepat. Matanya
menuntut penuh rasa ingin tahu. Amy terkesiap, seakan baru tersadar dari
lamunanya, kemudian ia tersenyum.
“Itu masa lalu,” bisiknya lembut. Mereka hanya berbeda
3 tahun, namun rasanya sosok Amy begitu dewasa dengan senyuman indahnya. Zahra
terdiam, ia masih ingin mendengar cerita Amy, ia tau gadis itu sangatlah tertutup
akan masa lalunya. Amy pribadi yang sangat baik hati dan lemah lembut. Ia
begitu dewasa, namun sangat mudah terpengaruh suasana. “Ah, aku kesini untuk
memanggilmu makan malam, ayo yang lainnya sudah menunggu.” Ujar Amy sambil
menepuk jemari Zahra diatas pangkuannya. Zahra masih tidak bergeming, bahkan
hingga akhirnya sosok cantik Amy menghilang di balik pintu kamarnya.
***
“Semua orang memiliki masa lalu nak,” ujar Aisah
ketika keponakannya datang menemuinya untuk menanyakan kisah Amy. Zahra
mengerutkan keningnya. Matanya menyipit meminta penjelasan. Sifatnya yang
terbentuk di kota metropolitan membuatnya menjadi pribadi yang keras kepala dan
mudah tersinggung. Aisah terkekeh pelan melihat wajah keponakannya yang
benar-benar manja. “Kalau dia tidak mengatakannya padamu, itu berarti dia
memang tidak ingin melakukannya.” Ujar Aisah. Zahra mendengus tidak percaya.
“Bibi… tapi aku ingin mengetahuinya.” Tuntut Zahra
keras kepala. Aisah mengehela nafas panjang. Diletakannya buku besar yang
sedari tadi sedang dibacanya.
“Kau benar-benar keras kepala.” Ujar bibinya. Zahra
langsung cemberut. “Dengar, bibi tidak punya hak untuk menceritakan masa
lalunya padamu, atau pada siapapun. Kalau kau ingin tau mengapa tidak kau
tanyakan langsung padanya,” ujar Aisah seraya menunjuk sosok cantik yang sedari
tadi berada di ambang pintu kamarnya. Zahra langsung menegakan tubuhnya, merasa
kikuk pada sosok Amy.
“Maaf sudah membuatmu penasaran,” bisik Amy lembut. Ia
meletakan segelas teh hangat di meja kecil samping ranjang Aisah. Kemudian
duduk di kursi kecil di hadapan Zahra.
“Maaf, aku tidak bermaksud—“
“Tidak apa-apa,” Amy menggeleng perlahan. “Ini bukan
hal yang ingin aku tutup-tutupi. Hanya saja, terkadang mengenangnya membuatku
sedih.” Mata wanita itu kembali menerawang jauh ke dalam kelamnya malam. Zahra
menunggunya dengan sabar. Namun hingga menit-menit itu berlalu Amy masih terus
terdiam. Matanya sedikit berair, dan ketenangan yang selama ini menghiasi
wajahnya perlahan menghilang. Zahra melirik Aisah dengan cemas.
“Amy…” bisik Zahra pelan.
“Ah maaf. Zahra sepertinya aku tidak bisa
menceritakannya padamu. Mungkin ummi bisa membantuku?” Amy menatap Aisah penuh
harap. Wanita paruh baya itu melirik kedua gadis di hadapannya tanpa
berkata-kata. “Maaf, aku pergi dulu,” bisik Amy sebelum mengucapkan salam dan
berlalu dari kamar ketua pantinya.
“Dia juga pernah hampir menikah,” bisik Aisah. Zahra
yang sedari tadi hanya menatap pintu kamar bibinya langsung menoleh dengan
kerutan di wajah cantiknya.
“Hampir?” tanyanya tak mengerti. Aisah terdiam
sejenak, kemudian mengangguk.
“Ya, ketika umurnya 20 tahun. Ia sempat mengandung,”
Zahra ternganga menatap bibinya. Kenyataan yang begitu
menggelitik hatinya. Hampir menikah, dan
mengandung, apa dia??
“Dulu ia adalah gadis yang sedikit bebas,” ujar Aisah
menjawab berbagai pertanyaan di benak keponakannya. Zahra meringis. “Dia hamil
di usianya yang ke dua puluh, kemudian pesta pernikahan itu pun disusun dalam
waktu yang sangat singkat. Tapi seminggu sebelum pesta itu diadakan, calon suaminya
kecelakaan.”
Air mata Zahra menetes perlahan. ia menatap nanar
sosok bibinya yang masih menerawang jauh ke memori lamanya.
“Karena frustasi, Amy menggugurkan kandungannya.”
“Tidak! itu tidak mungkin. Amy tidak akan melakukan
itu,” Zahra menggeleng dengan deraian air mata membasahi kedua pipinya.
“Tapi itulah yang ia lakukan. Hingga akhirnya Anna
menemukannya, dan membawanya kesini. Kemudian Amy menyesali seluruh masa
lalunya, dan berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dia sangat mencintai
anak-anak itu,”
“Itu benar-benar tragis,” bisik Zahra. Matanya
menunduk menatap jemarinya yang bertautan di atas pangkuannya. Entah mengapa
hatinya mulai terasa terpilin perih. namun ia tau, ini bukan karena kisah
memilukan Amy, tapi ini tentang dirinya. Tentang pernikahannya, tentang
cintanya, tentang pangerannya, tentang kehidupannya.
“Bibi… bagaimana jika Raka tidak mencintaiku?” Tanya
Zahra tiba-tiba. Aishah mengerutkan keningnya. “Selama ini dia tidak pernah
mengatakan hal itu secara langsung,” Zahra mengernyit pada kenyataan itu,
seakan baru tersadar dari kebenarannya.
“Mengatakan apa?”
“Bahwa ia ingin menikahiku bi.” Zahra menatap
lekat-lekat kedua mata bibinya. “Ia bahkan tidak pernah mengatakan bahwa ia
mencintaiku. Bagaimana jika akhirnya dia malah meninggalkanku?”
Aisah tertegun menatap wajah keponakannya yang
diliputi rasa ketakutan. Matanya yang indah begitu penuh dengan rasa khawatir.
Untuk pertama kalinya Aisah hanya terdiam, tak menjawab pertanyaan gadis itu.
Hatinya sendiri mulai diliputi rasa khawatir, bagaimana jika akhirnya gadis
kecilnya akan terluka, dan kehilangan binar itu?
***
Pukul 01.37.
Zahra masih terjaga di kamar tidurnya. Matanya masih
gelisah. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, tangannya masih
menggenggam ponselnya, sesekali meliriknya kemudian kembali menggeleng seakan
berseteru dengan dirinya sendiri. Ia belum pernah menghubungi Raka untuk urusan
pribadi sebelumnya. Namun entah mengapa kali ini hatinya benar-benar tergelitik
untuk menekan nomor Raka, dan sekedar menanyakan keadaannya.
Zahra melirik jam dinding di kamarnya, kemudian
kembali mendesah. Tengah malam? Batinnya
ragu. Apa yang akan Raka pikirkan jika ia meneleponnya tengah malam begini.
Zahra kembali menggeleng-geleng. Kemudian duduk di sisi kiri ranjangnya, meraih
bantal kecil berwarna pink kesukaannya, dan mendekapnya erat-erat sambil terus
memandangi ponselnya yang masih mati.
Setengah jam kemudian Zahra mendengus kesal pada
dirinya sendiri, ia sudah mencoba untuk tidur. Ia sudah berbaring di ranjangnya,
mengenakan selimut tebalnya, namun matanya tetap tidak bisa terlelap. Lagi-lagi
ia melirik ponselnya yang masih dalam keadaan mati seperti beberapa saat yang
lalu. Sedetik kemudian Zahra bangun dari ranjangnya, ia berjalan ke meja
riasnya dengan membawa ponsel itu, dengan menahan gemuruh hatinya ia mulai
menekan nomor yang sudah di hapalnya di luar kepala.
***
Bulan malam itu tampak tidak seindah malam-malam
sebelumnya. Ia memang masih bersinar terang, namun siapapun bisa melihat kabut
aneh yang menutupi beberapa sisinya. Membiaskan sinarnya yang lembut hingga
menjadi goresan-goresan cahaya semu. Raka masih berdiri di balik jendela kamar
rawat inap Anna, matanya menatap rembulan yang bersinar dengan lembut. Kekelaman
malam membuatnya semakin terjaga, sudah dua kali Anna berteriak-teriak tidak
jelas dalam tidurnya. Sejak pingsan sore tadi Anna tidak sadarkan diri, hingga
akhirnya ia tertidur sampai saat ini. Raka tau banyak orang yang akan menjaga
gadis itu, namun entah mengapa dirinya akan diliputi ketakutan yang teramat
sangat jika tidak berada di samping Anna. Setidaknya ia hanya ingin menenangkan
gadis itu ketika ia terbangun nanti.
Raka mendesah lelah kemudian duduk di sofa yang berada
tidak jauh dari ranjang Anna. Suasana kamar itu begitu sunyi, hanya terdengar
suara detak jarum jam yang seakan menggelitik hatinya. Ia sudah mengabari
ibunya bahwa malam ini ia akan bermalam di luar, namun ia tidak mengabari
prihal Anna, karena ia tau ibunya akan lebih panik dari pada yang
diharapkannya. Raka memijat pangkal hidungnya, memejamkan matanya, dan menyandarkan
kepalanya ke sandaran sofa, mencoba untuk menghilangkan keruh dalam pikiranya,
hingga akhirnya getaran dari ponsel di kantongnya menarik perhatiannya.
Telepon dari Zahra.
Raka mengernyit kemudian langsung melirik jam
tangannya. Sudah dini hari, apa yang Zahra
lakukan? Pikirnya. Untuk sejenak ia membiarkan ponsel itu terus berkedip,
ia enggan mengangkatnya, namun ia khawatir jika gadis itu meneleponnya karena
suatu masalah yang gawat.
“Halo Assalamua’laikum?” salam Raka pada deringan ke
lima. Ia bisa mendengar desahan lega dari seberang sana.
“Walaikum salam Ka, maaf mengganggumu…” ujar Zahra
pelan. Raka kembali mengernyit.
“Ada apa Zahra?” Tanya Raka penasaran.
“Ah, sebenarnya tidak ada apa-apa. Aku hanya sedikit
khawatir, apa kau baik-baik saja?”
Raka terdiam sejenak. “Aku baik-baik saja,” jawabnya
singkat. “Apa kau meneleponku hanya untuk menanyakan hal ini?” Tanya Raka ragu.
Hening cukup lama.
“Apa seorang gadis tidak boleh menelepon calon
suaminya?” pertanyaan itu seakan-akan menohok dada Raka. Mata pemuda itu
langsung melebar, tatapannya langsung tertuju pada sosok cantik yang masih
tertidur di ranjang rumah sakit.
“Maafkan aku,” bisik Raka.
“Maaf untuk apa?” terselip sedikit ketakutan di suara
gadis itu.
“Aku seharusnya mengabarimu,” jawab Raka.
“Tidak apa-apa. Aku mengerti kau masih memiliki
pekerjaan penting. Aku baik-baik saja, hanya sedikit khawatir.” ujar Zahra,
Raka bisa merasakan senyuman Zahra ketika mengatakan semua hal itu. namun entah
mengapa hatinya malah semakin terpilin perih. “Tidurlah, sudah dini hari,” ujar
Zahra lagi.
“Ya,”
“Kau akan ke panti besok?” Tanya Zahra. Lagi-lagi Raka
menatap sosok Anna. “Tidak apa-apa kalau kau masih sibuk. Aku akan mengurusnya
bersama bibi dan ibu di sini,” ujar Zahra lembut.
“Terima kasih, tidurlah. Assalamu’alaikum.”
“Walaikum Salam,” balas Zahra sesaat sebelum Raka
menutup teleponnya. untuk sesaat ia memandangi layar ponselnya yang baru saja
mati. Kemudian ia menunduk dalam, perasaan bersalah itu mulai menghampiri
dirinya. Menusuk setiap sudut hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa melukai sosok
indah itu??