Kamis, 08 November 2012

HUJAN KEMARIN -04-


BAB EMPAT
Ice and Fire


Malam itu aku tidak bisa memejamkan mataku. Senyuman konyol terus menghiasi wajahku. Membayangkan tatapannya, suaranya, genggamannya, dan semua tentangnya. Ah, aku tidak tau bagaimana menjalankan sisa hidupku dengan bayang-bayangnya seperti ini. Konyol memang, dan sangat teramat berlebihan, tetapi aku rasa ini lah yang di sebut dengan cinta masa SMA, Cinta yang masih dipenuhi oleh hormone remaja.
Aku jadi teringat kisah cinta Lena beberapa tahun yang lalu, ketika kami sama-sama duduk di kelas satu SMA. Lena jatuh cinta pada seorang senior yang –padahal- pada saat ospek menyiksa kami dengan keras. Aku membencinya setengah mati karena beranggapan Lena terlalu berlebihan dengan rasa cintanya. Well, kak Andrew memang tampan dan keren, tapi sosok angkuhnya membuatku muak. Dan entah mengapa membuat Lena tergila-gila setengah mati. Karena masalah itu pula hubungan kami sempat merenggang. Padahal aku sangat menyayanginya, ia adalah sahabat kecilku, ketika kami baru sama-sama mengenal hurup A di taman kanak-kanak.
Tapi tentu saja, perseteruan itu tidak berlangsung lama, akhirnya aku bisa menerima hubungan Lena dan kak Andrew. Dan, well… aku mau tidak mau mulai mengakui sikap manis kak Andrew pada Lena. Ia tampaknya cukup menyukai sahabatku, namun tetap saja aku masih tidak begitu menyukai Lena yang terlampau tergila-gila padanya. Dan kini, aku memandang diriku sendiri di cermin. Mengutuki rasa cintaku yang terlampau besar pada pangeran tampan itu. astaga…
  

Aku mencoba menyembunyikan senyumku sebisa mungkin, namun entah mengapa senyuman konyol itu malah semakin melebar ketika aku melihat sosok Lena di depan rumahku, mengunggu dengan senyumannya. Matanya tampak lapar akan sesuatu, mulutnya berkedut, tersenyum miring penuh misteri. Aku meringis menatapnya, namun masih dengan senyuman lebarku. Sejenak aku lupa pada deretan kejadian konyol yang ku lakukan kemarin sore. Yang ku ingat saat ini hanyalah kebahagiaanku yang terlampau memenuhi paru-paruku.
“Astaga…” desis Lena tidak percaya ketika akhirnya aku menceritakan kisah kemarin malam padanya pada jam istirahat hari itu. Ia menatapku dengan kebahagiaan yang tidak di buat-buat. Mata indahnya membulat berbinar indah. Aku sendiri menatapnya penuh kebahagiaan. “Ini benar-benar keren!!! Kau akan segera mendapatkannya!” teriak Lena kencang. Aku mendelikan mataku. Melirik kikuk kesekeliling kantin, khawatir ada yang mendengar pembicaraan kami. Namun tampaknya semuanya sibuk dengan urusan mereka masing-masing. “Oke, sekarang kita hanya perlu berlatih cheers,” ujarnya. Aku mendesah. Nafasku terasa mulai sesak ketika mendengar kata-katanya.
“Le… aku benar-benar…”
“Ssttt…” Lena melotot padaku. “Selama aku di sini, jangan katakan kau tidak mampu. Kau bisa melakukannya. Kau tau itu! dan kita akan berlatih. Buang perasaan khawatirmu!” ia menekankan seluruk kata-katanya. Membuatku terpaku bagai terhipnotis kemudian mengaguk. Lena menyeringai lebar.


“Izzi!” panggil seseorang ketika aku baru saja keluar dari perpustakaan sore itu. aku menoleh dan mendapati kak Sam berjalan mendekatiku. Hatiku mencelos ketakutan. Astaga… bagaimana ini??
“Ya kak?” jawabku ketika ia berhenti tepat di depanku. Ia membetulkan letak kaca matanya. Kemudian mata tajam itu menatapku, seperti menusuk-nusuk wajahku. Tanpa sadar aku meringis.
“Profil students of week akan ditulis oleh Alina,” ujarnya. Aku tersentak, menatapnya bingung. “Kau bantu Lita saja menyelesaikan beberapa artikel lain.” Tambahnya. Aku menatapnya tidak mengerti. ia memainkan bingkai kaca matanya sesaat, menatap jauh ke depan. “Waktunya sudah tidak sempat lagi, jadi lebih baik kau membantu Lita,” aku mengendus kesal. Entah mengapa hatiku terasa sedikit sakit. Jadi semua ini hanyalah karena keraguannya pada kemampuanku dalam melakukan pekerjaan itu?
“Kau tidak perlu khawatir, aku akan menyelesaikannya tepat waktu.” Ujarku dingin. Dan sepertinya ia sedikit terkejut mendengar kata-kataku. Aku sendiri sedikit ngeri mendengarnya. “Aku akan menyelesaikannya.” Ujarku tegas. Wajah kak Sam mengeras. Matanya tepat menatap mataku. Tapi aku tidak ingin mundur lagi, keraguannya sudah melukai egoku.
“Kau tidak bisa…” desisnya. Aku menaikan wajahku.
“Aku bisa!” balasku tercekat. Kemudian ia memalingkan wajahnya, menyisir rambutnya dengan jemarinya dan berlalu pergi. Aku menatapnya tidak percaya, dan kemudian tetesan air mata itu mengalir begitu saja. Menumpahkan seluruh kesedihan yang sesungguhnya aku sendiri tidak terlalu yakin disebabkan oleh apa.


Aku membanting bukuku kesal. Kejadian di depan perpustakaan tadi masih terbayang-bayang di ingatanku. Dan aku semakin muak ketika mengingatnya. Aku benar-benar membenci kak Sam dan semua sikap angkuhnya. Tapi sialnya aku benar-benar mencintai bidang jurnalistik. Aku mendesah, mencoba berpikir untuk mundur saja dan masuk lagi setelah ia lulus tahun ini. Namun egoku terlalu tinggi. Aku tidak ingin ia tersenyum, merasa menang akan situasi ini. Aku merasakan dadaku sakit menahan tangis. tapi aku tidak ingin menangis lagi. Tidak untuk kemenangan pemuda dingin yang menyebalkan itu.
Aku menatap anak-anak yang tengah berolah raga di lapangan. duduk di belakang gedung perpustakaan seperti hanya ku lakukan ketika aku sedang ingin menyendiri, dan mengindari Lena. Aku tidak tau harus berkata apa pada gadis itu. ia pasti akan marah besar, dan mengingat sikap nekatnya, ia bisa saja mendatangi kak Sam. Dan ini akan semakin buruk. Tapi aku masih belum siap menyembunyikan apapun darinya. Ia tentu akan dengan mudah membaca suasana hatiku.
“Kau disini.” Aku terperanjat kaget dan menoleh. Ethan berdiri dengan nafasnya yang tersenggal-senggal sehabis berlari. “Aku mencarimu,” tambahnya lagi. Dengan santainya ia duduk di sampingku. Ikut menatap lapangan sepak bola di hadapan kami. “Aku mengirimu pesan,” aku masih menatapnya dengan tatapan bingung lengkap dengan wajah konyolku. “Kau tidak membalasku, jadi aku mulai khawatir,” ujarnya, suaranya terkesan sedikit malu-malu. “Kau baik-baik saja?” tanyanya cemas ketika melihatku masih terpaku menatapnya tak bergerak sama sekali. “Kau habis menangis?” ia meletakan kedua tangannya di kedua sisi wajahku. Meneliti mataku. “Ada apa?” nada khawatir di suaranya entah mengapa membuat hatiku meleleh, air mata itu kembali tergenang.
“Hey, tenanglah,” kemudian secepat kilat ia memelukku erat. Aku menggigit bibir bawahku menahan isakan yang menyakitkan itu. merasa konyol pada reaksiku yang terlampau berlebihan atas kejadian di perpustakaan tadi. “Menangislah,” bisiknya di atas kepalaku. Dan kata-kata itu seperti perintah yang begitu lembut. Membuatku spontan mengeluarkan seluruh lukaku. Menangis keras di dadanya yang bidang.
Wajah Ethan mengeras ketika aku menceritakan kejadian tadi padanya di tengah isakanku. Tangannya mengepal. “Aku akan menemuinya,” bisik Ethan. Aku tercekat, dan langsung menggeleng. Membayangkan ia berhadapan dengan kak Sam sama sekali bukan hal yang ku harapkan. Meskipun aku merasa tersanjung karena sikap pembelaannya.
“Tidak, ku mohon… aku tidak ingin memperburuk keadaan,” aku menyentuh kepalan tangannya ragu-ragu. Kemudian wajah tampan itu mencair. Menoleh kepadaku dan mengaguk, tetapi aku masih melihat emosi itu di wajahnya.
“Kalau begitu kita akan menyelesaikan penulisan profil students of the week sialan itu secepatnya!” ujar Ethan. Aku menunduk lelah. “Kita akan menyelesaikannya hari ini juga.”
“Tidak usah memaksakan. Aku tidak ingin menyusahkanmu, lagi pula mungkin kak Sam benar, aku memang tidak memiliki waktu yang cukup.”
“Izzi, aku disini dan aku akan membantumu,” ujarnya menenangkanku. Aku menggigit bibir bawahku. Entah mengapa air mata sialan itu kembali tergenang, dan menetes ketika aku mengaguk padanya.


Kak Lolita menatapku heran ketika aku memasuki kantor jurnalistik. Ia dan dewan senior lainnya masih melakukan beberapa penyesuaian akhir untuk majalah mingguan sekolah kami. “Kau belum pulang?” Tanya kak Lolita lembut. Aku tersenyum tipis padanya. Saat ini sudah pukul 6 lewat dan memang sedikit aneh melihat murid junior sepertiku masih berkeliaran di sekolah.
“Aku ingin menyerahkan ini,” ujarku padanya. Kak Lolita menatap kertas yang ku berikan. Ia kemudian melirik kikuk padaku.
“Terima kasih, tapi seharusnya kau tidak perlu memaksakan diri,” ujarnya, aku tersenyum tipis dan menggeleng. Kemudian aku mendengar langkah-langkah tegap dari dalam ruangan lain di kantor. Kak Sam menatap kami secara bergantian.
“Sudah larut, aku akan menagntarmu pulang,” ujar kak Sam dingin. Aku tersentak ingin menolak.
“Tidak perlu, ia akan pulang bersamaku,” ujar Ethan tiba-tiba. Aku terperanjat kaget, ketika ia muncul di balik pintu masuk. Wajah kak Sam mengeras angkuh. Ia melirik sinis padaku kemudian mengangkat bahu tak acuh. “Ayo,” Ethan menarik lenganku keluar dari kantor yang mendadak terasa mencekam itu.
“Terima kasih,” bisikku. pemuda di sampingku tersenyum, namun tidak menoleh padaku. Ia hanya menatap malam yang menemani perjalanan pulang kami. 

0 komentar: