Sabtu, 10 November 2012

HUJAN KEMARIN -08-



BAB DELAPAN
Invisible Truth


Lena menatapku pilu, ia berdiri diambang pintu kamarku, aku sedang tidak ingin berbicara dengannya, namun tidak juga sanggup menyuruhnya pergi. “Aku ada di sini kalau kau butuh sesuatu,” ujarnya sebelum menutup pintu kamarku. Aku tertawa perih, memandang sendu pada bingkai foto di hadapanku. Foto kami berdua ketika berlibur di perkebunan bunga matahari beberapa tahun yang lalu. Andai aku bisa kembali menemukan senyuman bahagia itu.
Prang!!!!
Aku melempar bingkai foto itu dengan keras. Berharap bisa memecahkan luka hatiku yang terdalam. Aku menangis kencang, memegang kedua sisi kepalaku yang terasa hampir pecah. Aku benci hidup ini!! Aku benci!!!!
Namun hingga senja menjemput sosok Lena tidak pernah hadir lagi. Tidak, tidak akan pernah lagi.
                              ****
Audisi tahap kedua akan segera dimulai, namun aku sudah kehilangan semangatku. Toh, seluruh sekolah juga sudah tau tentang Ethan dan kekasihnya. Jadi untuk apa aku terus mengejar cintanya. Sejujurnya, ini membuatku muak pada diriku sendiri. Tapi aku tidak bisa memungkiri perasaan yang hadir di hatiku ketika tanpa sengaja mengingat perlakuannya padaku. Aku masih menangis sesekali di tengah malam menjelang tidur, dan terbangun dengan mata sembab ke esokan harinya. aku ingin melupakannya! Melupakan seluruh detail tentang dirinya. Tapi aku tidak bisa… aku masih akan tersenyum ketika mengingat senyumannya, wajahku masih akan merona ketika mengingat tatapannya, namun tentu saja aku akan segera menangis setelah itu. memaki kebodohan diriku sendiri.


“Kau baik-baik saja?” Tanya kak Sam suatu siang. Aku tersentak dari lamunanku. “Kau terlihat pucat,” tambahnya. Aku memutar mataku, kemudian mengaguk.
“Baik,” jawabku singkat. Kak Sam mendesah dan mengaguk, kemudian duduk di kursi sebelahku. Ia membuka sebuah majalah sekolah yang sepertinya cukup usang. Aku tidak begitu peduli, pikiranku penuh oleh sosok Ethan.
“Kau boleh pergi,” ujarnya tiba-tiba. Aku tersentak dan menatap heran padanya. “Kau ada kegiatan di klub Cheers kan?” tanyanya santai. Aku mendelikan mataku, mencoba mencari tau arah pembicaraannya. Ia memang benar, namun aku sama sekali tidak mengerti kata-katanya, lagi pula aku memang akan pergi ketika aku ingin pergi. Aku tidak pernah meminta izinnya, karena ku rasa itu sama sekali tidak perlu. Mengingat kepergianku tidak mengganggu keaktifanku di klub jurnalistik. Namun hati kecilku memberontak, menuntut lebih dari sekedar kata-kata aneh dari pemuda angkuh di sampingku. “Pergilah,” ujarnya setelah diam cukup lama. Kemudian dengan perlahan ia beranjak dari kursinya dan berlalu pergi. Aku lagi-lagi melongo menatap kepergiaannya. Ia adalah pria paling idiot, angkuh, dan misterius yang pernah ku kenal.


Suasana aula siang kala itu semakin ramai jika di bandingkan dengan audisi tahap pertama. Sebenarnya Lena sudah memintaku untuk berhenti dari kegiatan konyol ini. Namun entah mengapa hari itu aku masih datang ke aula. Sazkia tersenyum tipis padaku. Dan aku membalasnya dengan sebuah anggukan.
“Kau?” Lena terlihat terkejut ketika melihatku duduk di sampingnya. “Izz, kau tidak perlu melakukan ini,” bisiknya, ia menatapku dengan perih. Aku tersenyum tipis.
“Apa kau sudah kehabisan bulir-bulir penyemangat itu?” tanyaku. Ia tertunduk. “Le, aku hanya mengikuti kata hatiku,” bisikku hampir tak bersuara. Dan senyuman itu mengembang, senyuman seorang sahabat yang begitu tulus dan penuh kasih sayang.
“Kau tau, seluruh sisa keberadaanku hanya untuk berdiri di sampingmu, dan menyemangatimu! Kau takkan pernah kehabisan bulir-bulir kata semangat dariku,” aku tersenyum penuh haru. Setidaknya aku masih memiliki gadis cantik ini sebagai penyemangatku.
                              ****
Bruk…
Aku meringis seraya memegang bahuku yang tertabrak seseorang. “Maaf,” katanya penuh sesal. Tubuhku langsung membeku ketika menyadari siapa pemilik suara indah itu. aku ingin berlari! Khawatir tidak bisa menahan air mataku. Namun tangan itu mencengkram bahuku. “Kau baik-baik saja?” tanyanya. Siratan khawatir di nada suaranya membuatku muak. Namun sialnya aku tidak bisa berpaling lagi. Hatiku merindukannya, melebihi apaun yang pernah ku rasakan.
“Lepaskan aku,” kaataku dingin. Aku merasakan tatapan Ethan menggelap. Namun tangan itu tidak juga terlepas dari kedua sisi tubuhku. Ia masih berdiri di hadapanku, di tengah koridor sekolah yang sepi. Hatiku mulai terasa sakit ketika kembali mengenang dirinya bersama gadis cantik itu. “Biarkan aku pergi.” Suaraku bergetar menahan tangis. kemudian tatapan mata itu meredup. Cengkraman tangannya perlahan mengendur. Ia mundur beberapa langkah.
“Kau benar,” bisiknya. “Seharusnya aku tidak pernah melakukan ini,” aku mengerutkan keningku tidak mengerti. Ethan terlihat begitu kacau. Ia terus menunduk, memandang ujung-ujung sepatu ketsnya. Hatiku terpilin melihatnya, sedikit khawatir. Aku ingin menenangkannya. Namun sosok itu terus mundur kebelakang. “Aku seharusnya membiarkanmu pergi sejak awal,” ia seakan berbicara pada dirinya sendiri.
“Ethan, kau baik-baik saja?” tanyaku ragu-ragu. Aku menyentuh lengannya perlahan. Kemudian mata itu menatapku. Aku tersentak kaget karena wajahnya yang aneh dan penuh luka. Hati kecilku berteriak untuk segera berlari meninggalkannya. Namun kakiku membeku di sana.
“Maafkan aku,” bisiknya perih. Aku menggeleng pelan. entah mengapa aku ingin memeluknya. Mengatakan padanya bahwa aku baik-baik saja. tapi aku malah meneteskan air mataku. “Ku mohon jangan menangis,” ia menyeka air mata di pipiku. “Ku mohon,” kemudian tubuh itu jatuh berlutut di hadapanku. Aku tersentak mundur beberapa langkah. “Maaf telah membuatmu berharap lebih.” Jadi dia menyadari hal itu? “Tapi ku mohon, pergilah… kau tidak pantas untukku,”
Deg…
Aku merasa tubuhku terhantam ke atas batu besar. seketika itu juga jantungku terasa berhenti berdetak. Tubuhku membeku tak bergerak, namun air mataku dengan mudahnya mengalir di kedua pipiku. Ethan mengangkat wajahnya dan menatapku. Aku merasa muak pada diriku sendiri karena masih tetap mencintainya, karena masih menaggumi wajah tampannya, karena masih ingin bersamanya. Tidak peduli berapa banyak duri yang ia tebar di hatiku. Tapi aku ingin memeluknya. Mengatakan bahwa aku tidak peduli jika memang ia tidak mencintaiku. Aku akan melakukan apapun agar tetap berada di sampingnya.
“Kumohon pergilah,” kata-katanya menyadarkanku. Aku tertawa pelan di antara tangisanku. Kemudian melangkah mundur perlahan, sampai akhirnya aku berlari menjauh. Tidak peduli pada uluran tangannya yang seakan-akan ingin menghentikanku.
                              ****
Aku masih mengutuki diriku di hari-hari selanjutnya. Mengutuki isak tangisku untuk pemuda yang jelas-jelas menolakku sebelum aku kembali melangkah. Aku masih sering mencuri-curi pandang padanya ketika melewati deretan kelas tiga. Aku masih mencari-cari kesempatan untuk dapat melihatnya. Di lapangan, di kelas, bahkan di kantin. Aku masih melakukan hal konyol itu. dan sialnya aku menyukai hal itu. aku merasa otakku mulai tidak berjalan seiringan dengan hatiku. Semua yang ku lakukan hanyalah untuk mengagumi sosok Ethan dari jauh, sedangkan dengan gamblang otakku kembali memutar penolakannya berkali-kali untuk menyadarkanku. Dan tentu saja berkali-kali pula aku menutup mata dan telingaku dari kenyataan menyakitkan itu.
Berkali-kali aku memutar film you are the apple of my eyes pemberiannya. Keranjang coklat cantik itu pun selalu menghiasi meja belajarku. Meskipun tentu saja misteri pengirimnya belum terpecahkan. Tetapi hatiku –secara sepihak- sudah menetapkan bahwa dialah pengirimnya. Lena benar, mungkin aku sudah gila. Tapi aku menikmati kegilaanku ini.
Hingga suatu pagi di hari minggu yang cerah, aku melihat sosok gadis cantik itu ketika bersepeda di taman. Gadis itu pun tampaknya tengah berolah raga. Ia mengenakan pakaian olah raga yang begitu pas di tubuhnya. Rambut panjangnya dikuncir menyerupai ekor kuda yang halus dan indah. Ia sangat cantik. Aku memandangnya untuk beberapa saat. Melihatnya menggerak-gerakan tubuhnya ke kiri dan kanan, menghirup udara pagi dengan senyumannya. Namun kemudian wajahku memanas ketika seorang pemuda menghampirinya. Pemuda itu lebih tinggi dan tegap. Rambutnya sedikit panjang dan berantakan. Aku tidak mengenalnya, namun senyuman gadis itu membuatku gerah.
Tanpa sadar aku berjalan perlahan menghampiri mereka. Meninggalkan sepeda ku di belakang. Aku tidak peduli dengan apapun lagi. Yang kini ingin ku lakukan adalah menampar gadis itu, berani-beraninya dia menghianati pangeranku…
                              ****
Lena menatapku tidak percaya. Kerutan keningnya semakin dalam ketika aku menyelesaikan kejadian di minggu pagi itu. wajah cantiknya termenung sejenak, memikirkan perkataanku. Kemudian wajahnya kembali hidup penuh tekad.
“Kalau begitu kita akan melakukan cara terakhir,” ujarnya sungguh-sungguh. Aku terdiam kaku di sampingnya. Merasa tidak yakin dengan semua itu.
“Kau yakin?” tanyaku kaku. Lena menatapku tajam. Wajahnya mengeras dan ia mengaguk.
“Teramat yakin.” Bisiknya mantap.
                              ****

0 komentar: