Kamis, 08 November 2012

HUJAN KEMARIN -05-


BAB LIMA
Hujan Hari Itu


Aku tersentak kaget ketika melihat Lena di dalam kamarku sepulang sekolah hari itu. ia menoleh dan tersenyum kepadaku. “Jadi bagaimana acara dating mu kali ini?” tanyanya. Aku mendelikan mataku.
“Kau akan menginap?” tanyaku tidak percaya. Lena mengaguk, dan senyumanku melebar. “Astaga Lena… aku sangat senang kau ada di sini.” Aku memeluk sosok sahabatku erat-erat. Lena terkikik pelan kemudian melepaskan pelukanku. “Jadi sekarang ceritakan semuanya! Lengkap dengan detail detail kecilnya.”
“Kau tidak akan percaya!!” desisku penuh kebahagiaan, untuk saat itu aku kembali lupa akan seluruh isak tangisku karena kak Sam.


Lena menghentikan langkahnya ketika kami baru saja memasuki gerbang sekolah hari itu. aku meliriknya heran. “Ada apa?” tanyaku. Ia memutar bola matanya kemudian menyembunyikan ekspresi hatinya. Seakan bisa mengelabui kepekaanku akan suasana hatinya.
“Kak Stefan sudah pulang,” bisik Lena. Aku mendelikan mataku.
“Astaga… kapan?? Mengapa kau tidak menceritakannya padaku?” tanyaku antusias.
“Harusnya dia sudah datang semalam,” ujar Lena. Aku kembali mendesah. Dan semalam ia malah bermalam di rumahku?? “Aku merasa sangat gugup, jadi aku kerumahmu, tapi ternyata kau belum pulang, aku menunggumu dan akhirnya menginap,” ia menjelaskan semuanya secara singkat. Aku meringis. Bukankah seharusnya ia mengatakan hal ini semalam?? “Tapi aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengannya!!” pekiknya riang. Aku tersenyum lebar menatapnya. Ia memang sangat menyayangi kakak semata wayangnya, yang selama ini melakukan studi di Amerika. Aku juga cukup dekat dengan kak Stefan, ia adalah sosok kakak yang menyenangkan dan baik hati. Ia begitu menyayangi Lena, dan itu adalah hal yang paling aku sukai darinya.
“Kau harus menemuinya juga,” bisik Lena. Aku mengaguk mantap. tentu saja!!


Aku tersenyum tipis ketika melihat Ethan kembali memasukan bola ke dalam ring. Ia memang hebat. Dan aku benar-benar menyukainya. Tapi sayangnya, bukan aku saja yang tergila-gila padanya. Tetapi hampir seluruh siswi yang tenagh berada di lapangan basket saat ini. Mereka meneriaki namanya, dan ini membuatku gerah sekaligus kesal.
“Kak Ethan sangat keren!!” bisik seorang siswi, aku meliriknya, sepertinya mereka kelas kelas satu. Kedua gadis itu menatap Ethan penuh kekaguman. Aku mendesis, lama-lama aku bisa gila jika terus seperti ini. Tetapi sialnya, aku tidak memiliki wewenang untuk meminta diam dan berhenti menatap pangeranku. Aku mencoba mengatur gemuruh hatiku setenang mungkin.
“Hm, aku dengar dia itu dekat dengan kak Sazkia,” ujar gadis lainnya. Mataku spontan melebar. Aku mulai tertarik dengan arah pembicaraan mereka.
“Yang benar saja??!” pekik gadis kriting yang sepertinya sangat memuja Ethan. Ia menatap sahabatnya tidak percaya. “Padahal dari yang ku dengar, Kak Ethan itu lebih cocok dengan adik mantan ketua basket yang dulu,” ujar gadis kriting itu lagi. Sahabatnya mengerutkan keningnya. “Kabarnya dia juga tampan, aku sudah melihat agenda tahunan mereka, dan memang benar-benar tampan, andai saja dia belum lulus,”
“Siapa namanya?” Tanya sahabatnya, dan aku pun memiliki rasa penasaran untuk jawaban gadis kriting itu. merasa sedikit terancam dengan sosok yang mereka pikir cocok disandingkan dengan Ethan-ku.
“Stefan.”  
                              ***
Hujan mendadak turun hari itu. aku mematung di kantor jurnalistik, menatap hujan dari jendela yang berembun. Sekolah sudah bubar sejak jam 4, seperti biasa. namun, aku memilih tinggal di kantor. Well, sejujurnya ini memang caraku untuk kembali menghindari Lena. Aku tau ini sangat buruk, namun percakapan siswi kelas satu di lapangan tadi membuatku merenung akan semuanya. Sosok Lena memang lebih cocok bersanding dengan Ethan dari pada aku. Bagaimana aku bisa tidak menyadarinya??
Aku sangat bersyukur karena mendapati ruang kantor itu sepi sore ini. Aku tidak ingin memulai perseteruanku dengan ketua Jurnalistik yang angkuh itu. tidak di hari berhujan seperti ini. Dan tentu saja Ethan adalah orang kesekian yang juga tidak ingin aku temui saat ini. Pengecut memang, namun hormone remajaku memaksaku mendramatisir semua kisah konyol ini.
“Kau disini?” aku tersentak ketika mendengar suara yang tidak asing di belakangku. “Aku mencarimu,” aku mendesah, entah mengapa kata-kata itu memilin hatiku. Aku menoleh dan mengangkat bahu.
“Aku harus menyelesaikan beberapa artikel,” dustaku. Lena mengaguk pelan. wajah cantiknya terlihat sendu. “Aku pikir kau sudah pulang,” ujarku mencairkan suasana. Lena melirik tumpukan kertas di sampingnya.
“Aku pikir kita bisa pulang bersama,” ujarnya. Aku tersenyum dan mengaguk.
“Tentu,” bisikku kemudian meletakan kertas-kertas yang sedari tadi ku pegang.
Hujan semakin deras. Dan malam akan segera datang, kami masih duduk di depan kelas menunggu hujan mereda. Aku melirik Lena yang masih menatap hujan. Kalau bukan karena keberadaannya di sini mungkin aku sudah menelepon mama untuk menjemputku. Sejak kecil aku memang takut akan kegelapan. Dan Lena di sini adalah sebuah lentera yang tak ternilai untukku.
Pukul 6.30, hujan tidak juga mereda, kami memutuskan meminjam paying di kantor jurnalistik. Sudah terlalu larut untuk menunggu hujan itu mereda. Dan aku mulai kedinginan.
Kami berjalan perlahan di tengah temaram lampu jalanan. Suasana petang itu begitu sunyi. aku merasakan cengkraman Lena di pundakku mengencang ketika kami melewati sebuah kafe beberapa puluh meter dari sekolah. Aku tersentak dan membeku menatap dua sosok di hadapan kami. Mereka baru saja keluar dari kafe dan bersiap untuk pulang. Entah mengapa hatiku terasa begitu sakit dan marah. Aku mengepalkan tinjuku. Aku tidak bisa menerima perlakuan menjijikan mereka begitu saja. namun kemudian aku mulai menyadari sosok Lena di sampingku. Dia seharunya lebih terluka dari pada aku.
Aku melirik Lena yang menunduk di sampingku. Aku bisa melihat air matanya, namun entah menyapa aku juga melihat goresan senyuman tipisnya. “Le…” bisikku pelan. Lena mengangkat wajahnya, tatapannya lembut.
“Ayo pulang,” bisiknya. Aku seperti terhipnotis, dan hanya mengikuti langkahnya yang tertatih. Namun aku sadar, sampai kapanpun aku tidak akan bisa melupakan kejadian di hari berhujan saat ini. Kebencianku pada kak Andrew sudah tidak bisa ditoleri lagi.
“Kau seharusnya marah padanya Le!!” teriakku kesal ketika kami sudah berada jauh dari kafe itu. Lena menghentikan langkahnya, namun tidak menatapku. Ia hanya tersenyum dan menggeleng. “Dia menghianatimu!” tambahku. Lena menatapku, dan aku melihat kepedihan itu di matanya.
“Aku yang meninggalkannya.” Ujar Lena. Aku tersentak. Sebuah reaksi yang seharusnya tidak hadir dalam diriku. Tapi aku tetap menatapnya dengan keterkejutanku yang perih. “Mungkin ini lah yang terbaik,” ujarnya lagi.
“Oke!” bentakku. “Kalau begitu mulai sekarang kau harus berhenti mencintainya!”
“Tidak bisa,” bisik Lena. Aku menatapnya kesal. Bagaimana mungkin ia bisa menahan rasa sakit itu???
“Le! Apa kau sudah gila?? Dia jelas-jelas berselingkuh di depanmu!”
“Tapi aku yang meninggalkannya terlebih dahulu,” Aku mendelikan mataku. Aku benar-benar membenci kata-katanya itu. “Aku yang meninggalkannya…” ulang Lena lagi, kini berupa ratapan. Aku menangis, berjalan menjauh darinya. Aku tidak ingin mendengar ratapannya lagi. Tidak ingin sama sekali!!!!
                              ***
Mama menghadang langkahku ketika aku berjalan masuk ke rumah. Tatapan matanya sendu. Ia mengambil sehelai handuk dan mulai mengeringkan kepalaku dalam diam. Aku hanya terdiam, meski hatiku terasa sakit menahan tangis. kemudian tangan lembutnya menyeka air mata yang entah sejak kapan mengalir di pipiku. Aku mengangkat wajahku, menatap wajah mama yang begitu sendu. Kemudian tangis itu pecah. Tangis perih yang selalu ku rasakan ketika kenangan itu menghantui. Tangis perih yang mengingatkanku pada hari berhujan kala itu. 


0 komentar: