Sabtu, 17 November 2012

HUJAN KEMARIN -12-


BAB DUA BELAS
The Secret


Aku tersenyum ketika melihat Lena berjalan dengan anggunnya ke arahku. Rambut panjang sebahunya ia biarkan terurai begitu saja. namun, sekali lagi, hal sederhana itu bisa memancarkan aura cantiknya. “Bagaimana dengan artikelmu?” tanyanya ketika duduk di sampingku. Aku mengaguk pelan. ia mengehela nafas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya sambil tersenyum. “Kau terlihat pucat,” katanya, aku menyentuh kedua pipiku, meletakan kedua tanganku yang membeku. “Kau baik-baik saja?” tanyanya.
“Apa aku terlihat buruk?” aku balik bertanya. Lena terdiam sejenak, kemudian menggeleng. “Ini pasti hanya karena aku harus bangun lebih pagi untuk mengumpulkan artikel sialan itu.” tuturku. Lena tidak menanggapi perkataanku. Ia hanya terdiam dan menyibukan dirinya dengan buku dan segala sesuatu di dalam tasnya. Aku pun tidak repot-repot untuk memulai sebuah percakapan lagi. Entah mengapa aku mulai sedikit lelah.
                                    ****
Aku mendelikan mataku ketika melihat sosok Galang di depan madding sekolah. Kedua telapak tangannya tersebunyi di dalam kantong celananya. Ia berdeham pelan ketika membaca beberapa tulisan yang ditempel di sana. Mading itu hanya berjarak dua kelas dari kelasnya dan kak Sam, berdiri tepat di samping tangga kelantai satu.
Aku mencengkram botol air mineral yang baru saja ku cuci di toilet. Keingin tahuanku tentang tatapan kebenciannya kembali menggelitikku. Dengan perlahan aku mendekatinya.
“Aku tidak tau kalau kau juga suka membaca,” kataku. Ia sedikit tersentak dan langsung berbalik menghadapku. Wajah tirusnya membentuk sebuah ekspresi yang tak terbaca. “Hai,” sapaku, mencoba mencairkan keterkejutannya.
“Hai,” suaranya kaku, ia mundur beberapa langkah, seakan-akan menghindariku perlahan-lahan. Mata coklat tuanya mulai mencair, keterkejutannya kini menghilang, dan tatapannya begitu hangat. Otakku memberontak, memerintah mataku untuk kembali menyelidiki tatapan pemuda di hadapanku, merasa tidak yakin dengan tatapan hangat itu. namun kemudian, tidak ada yang berubah darinya. Ia tetep menatapku dengan tatapan hangatnya.
“Hai,” balasnya lembut. Aku menggeleng tidak percaya ketika melihat segores luka di matanya. “Bagaimana kabarmu?” tanyanya.
“A…Aku baik…” jawabku kikuk. Ia tersenyum tipis.
“Izzi, ada yang ingin ku katakan padamu,” bisik Galang, pandangannya berpaling dariku. “Mungkin sudah terlambat, namun aku tidak bisa menahannya lagi,” ujarnya, suaranya parau. Ia mengangkat bahunya seolah tidak peduli pada keadaan. “Dengar,” ia kembali menatapku. “Kau harus tau…”
“Issabela,” aku tersentak kaget ketika mendengar suara dingin itu. dan sepertinya Galang juga terkejut. Ia mundur beberapa langkah, wajahnya menegang ketika menatap sosok kak Sam yang berdiri beberapa meter dari kami. Galang mengendus muak kemudian berlalu pergi. Aku menatap mereka bergantian.
“Tunggu dulu, apa yang ingin kau katakan??!” panggilku. Galang mengangkat tangannya tanpa berbalik.
“Sudahlah, itu tidak penting.” Ujarnya sambil lalu.
“Sedang apa kau di sini?” Tanya Kak Sam dingin, ia sudah berdiri tepat disampingku. Aku menatapnya ngeri kemudian mundur beberapa langkah, namun lengan kekarnya sudah menangkap tanganku, menjagaku agar tetap dekat dengannya. Ia mendekatkan wajahnya padaku, hingga aku bisa melihat sorotan tajam dari balik kaca matanya. “Apa yang kau lakukan disini?” ulangnya, kini jelas terdengar marah. Tapi sungguh, aku sama sekali tidak mengerti penyebab kemarahannya. Aku sudah menyelesaikan seluruh tugasku di klub jurnal, dan aku disini hanya untuk pergi ke toilet, Karena toilet di gedung kelasku rusak, apa itu masuk akal dengan kemarahannya?
Aku mencoba untuk melepaskan cengkramannya, namun semakin kuat aku mencoba, semakin keras ia mencengkramku.
“Kau menyakitinya, lepaskan dia.” suara itu terdengar dari belakang tubuhku. Kami menoleh bersamaan. Aku merasakan tangan kak Sam menegang, namun ia tidak melepaskan tanganku. “Ku bilang lepaskan dia.” Suaranya kini seperti geraman. Aku menatap ngeri kedua pemuda yang tengah bersitatap di hadapanku.
“Kau juga sudah menyakitinya.” Desis kak Sam. Aku mendelikan mataku tidak mengerti. wajah tampan Ethan mengeras, aku bisa mendengar suara kemarahannya. Namun kemudian ia tersenyum sinis.
“Sammuel,” katanya santai. “Aku tidak menyakitinya, dia adalah pacarku.” Ujar Ethan sambil berjalan mendekat. Meski samar, aku merasakan kak Sam menarik tubuhku sedikit kebelakangnya, atau dia yang maju selangkah? Seakan-akan tengah melindungiku.
“Lepaskan dia,” kini senyuman itu benar-benar menghilang dari wajahnya. Ethan maju selangkah. Mereka berhadap-hadapan dengan dagu terangkat. Aku menatap mereka dengan tatapan kesal. Aku tidak suka melihat pertengkaran, apapun alasannya, terlebih jika semua ini disebabkan oleh diriku. Astaga!!! Apa mereka sudah gila???
Kejadian selanjutnya terasa begitu cepat, semua pukulan telak itu, dorongan itu, hingga cipratan darah itu. aku melotot ketika melihat sosok kak Sam sudah terjatuh di belakangku. Tangannya mencengkram hidungnya, kaca matanya pecah berantakan. Aku tersentak ketika Ethan kembali maju. Tubuhku spontan menghadangnya.
“Cukup,” desisku. Aku merasa kehilangan sosok Ethan yang menyenangkan. Wajahnya jelas ditutupi kemarahan. Matanya gelap tak terbaca.
“Ya Tuhan Sam!!” teriakan itu mengguncang kami. Kak Lolita berlari tertatih menghampiri kak Sam. Wajahnya pucat.
“Biarkan dia,” suara tertatih di belakangku membuatku semakin muak. Aku berbalik dan menatap sosoknya yang masih meringis di lantai.
“Berhenti! Berhenti berpura-pura kau sedang melindungiku!! Berhenti berpura-pura kau memperdulikanku!!! Aku tidak perlu perlindungan siapapun! Aku bisa berdiri sendiri!!!” teriakan itu terlontar begitu saja tanpa kompromi. Air mataku menetes seketika itu juga. Aku bisa melihat kesedihan di wajah kak Sam dan kak Lolita. Kemudian aku merasakan perih teramat dalam ketika tatapan kak Sam berpaling. “Maafkan aku, aku keluar dari klub,” bisikku sebelum berlalu pergi meninggalkan kekecewaan diriku sendiri.
                              ****
“Izz…” tangan Lena terulur padaku. Aku menggeleng perlahan.
“Please, aku ingin sendiri,” bisikku. aku bisa melihat Lena masih terdiam disana selama beberapa saat, hingga akhirnya ia mundur beberapa langkah dan duduk di kursi belakang. Saat itu kelas sudah kosong, hanya aku dan Lena yang masih tinggal di kelas. Sejujurnya yang ingin ku lakukan saat ini adalah pergi berlari, menjauh. Namun kakiku membeku tak bisa bergerak.
Aku tidak yakin apa yang sebenarnya membuatku menangis seperti ini. Hanya saja hatiku mulai lelah. hatiku perih mendengar semua jerit dalam kepalaku. Hatiku perih karenanya… dan di sini, aku menangis bersama tetesan air hujan yang perlahan menghampiri.
                              ****
Keesokan harinya aku sengaja menghindari Ethan. Aku tidak yakin mengapa, namun rasanya aku hanya ingin menyendiri sejenak. Memikirkan kembali seluruh masalah yang tak tersurat namun jelas terasa di dalam hatiku.
Aku sudah membereskan seluruh artikel yang menjadi tugasku. Rencananya hari ini aku akan menyerahkan semua artikel itu dan meninggalkan klub jurnal. Hatiku kembali perih ketika mengingat hal itu. namun aku tidak bisa kembali memasuki ruangan itu. Bukannya aku ingin menghindari kak Sam, tetapi aku hanya ingin berhenti sejenak.
“Dion,” panggilku ketika secara tidak sengaja bertemu dengan salah satu anggota klub jurnal di koridor depan kelasku. Ia menoleh. “Aku ingin menitipkan ini padamu,” aku menyerahkan seluruh artikel itu. setidaknya dengan ini aku tidak perlu repot-repot menguatkan hatiku untuk bertemu kak Sam. Dion terlihat ragu-ragu. “Ada apa?” tanyaku penasaran. Dion mengangkat wajahnya, menatapku sesaat kemudian memalingkan pandangannya.
“Kau benar-benar akan keluar?” Tanya kak Lolita yang tiba-tiba berada di belakang Dion. Aku membuka mulutku, ingin menjawabnya, namun hingga beberapa saat kemudian otakku kosong. Kak Lolita mengambil tumpukan kertas di tangan Dion. “Aku mengerti,” bisiknya. Kini terdengar begitu sedih. “Aku mengerti,” ulangnya sebelum berlalu pergi dari hadapan kami. Meski samar, tapi aku bisa melihat gerakannya ketika mengusap air matanya.
Dan ketika aku berbalik, Dion sudah menghilang.

Itu adalah kala terakhir aku bertemu dengan sosok kak Lolita di sekolah. Setelahnya kami tidak pernah bertemu lagi, bahkan meski dalam konsep ketidak sengajaan. Seakan aku dan dia memang berusaha sebisa mungkin saling menghindar. Dan kak Sam, ia juga tidak pernah ku temui. Well, perih memang, namun rasanya semua anggota klub Jurnal seakan menjauhiku, menghindar dariku. Terlebih karena kompetisi akhir klub Cheers semakin dekat.
Sebisa mungkin aku melupakan kejadian berdarah di koridor kala itu. aku begitu membenci wajah-wajah penuh amarah ketika itu. Termasuk wajah pemuda tampan yang kini terus berada di sampingku. Sejujurnya aku memang tidak memiliki alasan untuk marah kepadanya. Toh, bukankah harusnya aku tersanjung karena sikapnya jelas-jelas menunjukan kecemburuannya? Namun tetap saja, butuh tiga hari lamanya untukku kembali siap mendengar suaranya lagi, menerima permintaan maafnya.
Ethan menggenggam erat jemariku ketika kami sampai di depan rumahku. “Masuklah,” ujarnya. aku menatapnya sesaat. Wajah tampan itu sudah kembali normal. Ia tersenyum tipis dan mengacak rambutku dengan gemas. “Aku akan meneleponmu ketika sampai di rumah,” katanya. Aku mengaguk dan berjalan perlahan ke pekarangan rumahku.
“Ethan,” panggilku pelan ketika berbalik setelah mengunci gerbang. Ethan yang berada di belakangku tidak menyahut. Namun aku tau ia mendengar panggilanku. Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum mengangkat wajahku. Aku sengaja memilih cara ini untuk bertahan. Ia tidak bisa melihatku, dan kami terpisah gerbang rumahku, jadi aku tidak memiliki alasan untuk takut.
“Ada apa?” tanyanya santai. Aku masih membelakanginya, menghadap lurus pintu masuk rumahku.
“Ada yang ingin ku tanyakan,” bisikku pelan. “Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?” tanyaku pelan. Aku bisa merasakan tubuh Ethan menegang di belakangku.
“Tidak,” bisiknya setelah diam cukup lama. Aku tersenyum tipis.
“Terima kasih, hanya itu yang ingin ku dengar,” jawabku. “Sampai jumpa,” tambahku seraya berjalan lurus kedepan. Perlahan namun pasti aku bisa melihat sosok Ethan berjalan menjauh.

Aku tertawa sinis. Bukan kah dia sudah bilang tidak? apa lagi yang kau tangisi?! Teriak batinku. Aku menyandarkan kepalaku di balik pintu rumahku yang kosong. Membiarkan tetesan air mata itu mengalir perlahan. Aku menggeleng, mencoba mengusir semua kenyataan pahit itu. menyembunyikannya bagai rahasia besar di dalam diriku sendiri. 


4 komentar:

Unknown mengatakan...

cher,galau bgt.mpe brp bab y? posting lg dunk lnjtannya,pnasaran :)

Unknown mengatakan...

blum tentu sampai berapa babnya mba...
sip klo udh selesai ku tulis langsung ku post... :) :)

Anonim mengatakan...

ough,,,
Kapan nih slesainy, Zia???
Aq harus baca dari awal,,,untuk nyari maksudny,,,

*lupa aq klo dagh mpe bab brapa yg q baca,,,
Btw,knpa pengaturan jamny beda yagh???

Unknown mengatakan...

sebentar lagiiii mbaaa...
ini aku sudah menulis bab terakhir2nya... :) :)

hah iya???? xixixiix ko bisa eror gini yahh????
hihihihihi