Rabu, 14 November 2012

HUJAN KEMARIN -11-


BAB SEBELAS
Black and White


Petir di hari berhujan kala itu membuatku sedikit ketakutan. Aku tengah duduk bersandar di rak buku kantor jurnalistik ketika petir keras itu menggelegar. Dan klik… lampu padam seketika. Saat ini masih tengah hari, namun karena hujan di luar, semuanya menjadi gelap. aku tersentak di kegelapan yang mencekam. Dadaku mulai terasa sakit, tubuhku lemas karena sulit bernafas, aku mencoba berteriak, namun tidak ada suara yang keluar. Kemudian tubuhku ambruk di atas lantai. Terduduk tak bertenaga.
“Kau baik-baik saja?” suara itu terdengar khawatir. aku merasakan cengkramannya di wajahku. Kemudian ia mengambil sesuatu dari sakunya, sebuah benda mungil berwarna putih. Ia menekan tombol tak terlihat pada benda itu, kemudian secercah cahaya terang keluar darinya. Mataku melebar ketika merasakan himpitan di dadaku menghilang. Aku bernafas lega.
“Kau baik-baik saja?” pertanyaan yang sama. Aku meneliti wajah di hadapanku. Wajah khawatir dengan mata tajam yang meneliti setiap senti tubuhku. Meski terhalang kaca matanya, aku masih tetap bisa melihat kemilau indah di mata coklat mudanya. “Kau baik-baik saja?? Issabela bicaralah…” wajah itu tampak semakin cemas, kerutan di antara kedua matanya semakin dalam. Aku ingin menyentuhnya, menghilangkannya. Kemudian tanganku terulur untuk menyentuh keningnya. Ia tersentak kaget namun hanya duduk terdiam di sana. “Issabela…” mataku menatap matanya. Tanpa sadar aku mulai meneliti wajah angkuhnya di balik kaca mata itu.
“Aku baik-baik saja,” bisikku akhirnya. Wajah angkuh sam tampak lega. Namun masih begitu keras seperti batu. Matanya menyipit ketika ia meraih tanganku dari keningnya dan meletakannya di kedua sisi tubuhku. Aku menatapnya tak berkedip saat dengan perlahan ia mengangkat tubuhku, menggendonku dengan perlahan. Untuk sesaat hatiku terasa damai mendengar detak jantungnya yang seirama. Tarikan nafasnya begitu tegas namun juga lembut. Aku menyandarkan kepalaku di dadanya yang bidang, sesaat terhipnotis oleh cahaya kemilaunya di tengah gelap.
“Izzi…” suara kak Lolita terdengar begitu cemas. Dengan perlahan kak Sam mendudukanku di atas kursi. Cahaya di sini cukup terang dari pada ketika aku berada di balik rak-rak buku itu. kak Lolita memberikanku segelas air. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya cemas. Aku menggeleng perlahan setelah menyesap minumku sedikit. “Aku pikir kau ada di luar, mengapa kau tidak memanggil kami?” tanyanya. Aku masih bingung harus mengatakan apa.
“Lita, sudahlah… dia masih syok,” bisik Sam. Aku melirik kearahnya sesaat. Wajah angkuh itu terlihat sedikit lelah.
“Aku baik-baik saja,” hanya itu yang mampu ku katakan.
                              ****
Lena mengaguk ketika aku menunjuk lapangan basket. Hari ini aku akan menonton Ethan –lagi-. Walau tentu saja kejadian beberapa hari yang lalu masih menghantui pikiranku, dan pertengkaran setelahnya… dan ciuman manis itu. wajahku langsung memerah ketika mengingat ciuman itu. itu bukan ciuman pertamaku, tetapi aku merasakan bahagia yang teramat sangat ketika merasakannya petang itu.
Aku duduk di kursi penonton. Kini sedikit jauh dari kelompok-kelompok gadis yang suka bergosip dan meneriaki nama pangeranku. Namun telingaku gatal, ingin kembali mengetahui apa yang mereka pikirkan tentang Ethan. Perlahan –dengan menekan perasaan konyolku- aku bergerak mendekati kerumunan beberapa gadis. Mereka tertawa cekikikan ketika satu persatu bintang basket itu muncul. Tatapanku jatuh pada Galang yang tengah menatap tajam ke arahku. Kemudian seakan tersadar ia buru-buru memalingkan wajahnya. Kembali menatap teman-temannya yang sibuk malakukan pemanasan.
Hari ini bukan latihan biasa, namun bisa disebut juga pertandingan persahabatan antara sekolahku dan SMA Bina Bakti. Jadi seharusnya aku tidak heran melihat suasana lapangan semakin penuh. Anehnya, sebagian dari pendukung SMA lawan –yang mayoritas kaum hawa- malah meneriaki nama pangeranku. Ah yang benar saja??!!!
Tapi Lena benar. Ketika aku memutuskan untuk bersamanya, aku tentu sudah harus mempersiapkan diri untuk segala konsekuensinya, termasuk dengan penggemar-penggemarnya.
Sorak sorai kembali terdengar ketika Ethan kembali memasukan bola ke dalam ring. Kemudian pluit ditiupkan, pertanda babak pertama berakhir. Suasana lapangan bertambah bising karenanya. Aku menutup telingaku ketika teriakan siswi-siswi di sampingku semakin histeris.
“Dia kesini!!!” teriak salah satu di antara mereka. aku mendelik terkejut kemudian dengan perlahan mengangkat wajahku. Ia dengan senyuman indahnya berjalan perlahan kearahku. Matanya berbinar mengunci tatapanku. Hatiku seakan menggelinding begitu saja. kemudian teriakan itu menghilang, bagai sebuah bunyi whoop… dan semuanya hening, terpesona menatap sosok tampan yang berjalan dengan langkah mantapnya padaku. Semuanya terasa seperti adegan slow motion, ketika ia duduk di sampingku, mengambil botol air di pangkuanku, meminumnya, kemudian duduk bersandar dengan santai. Aku menggigit bibir dalamku untuk membangunkanku dari mimpi indah ini. Namun hingga aku mengaduh kesakitan sosok tampan itu masih duduk di sampingku. Matanya menerawang jauh ke lapangan.
Bunyi peluit tanda pertandingan di mulai kembali sudah berbunyi. Hatiku mencelos ketika sosok tampan di sampingku berdiri. Aku ingin menyentuhnya, menahannya agar tetap berada di sampingku. Namun kemudian wajah itu berbalik menatapku. Ia tersenyum dengan semangatnya. Ia menyentuh kepalaku, mengacak rambutku sekilas. Kemudian berlalu pergi. Meninggalkany dengan tatapan tidak percayaku, dan tentu saja tatapan ragu dari siswa-siswa lain yang menonton kami. Di tengah lapangan, Ethan berbalik, kembali menatapku, kemudian ia melambaikan tanganya kepadaku. Membangunkanku dari keterpesonaanku. Ia benar-benar menakjubkan.
Aku merasakan air mataku lagi-lagi tergenang. Namun tentu saja ini bukan karena kesedihan. Ini karena kebahagian yang tiada tara. Pengeranku yang sempurna… cahaya hidupku…
Aku masih tersenyum ketika ekor pandanganku secara tidak sengaja menatap sosok Galang di sudut lapangan. Ia berdiri disana dengan wajah tampannya yang angkuh. Entah sadar atau tidak, tetapi pemuda itu menampilkan wajah sinisnya yang paling kejam. Dia seakan tengah menatap benci padaku dan pada pangeranku…
Aku menyipitkan mataku untuk melihatnya lebih jelas, namun seketika itu juga ia memalingkan wajahnya, berlari ketengah lapangan, membaur dan menyembunyikan semua ekpresi emosinya dengan sangat baik.
                              ****
Aku pernah memimpikan banyak hal dalam hidup ini, Bersama Lena, tentu saja. kami pernah berhayal menjadi seorang putri ketika kecil. Meminjam selendang mama secara diam-diam dan mengenakannya di ruang rahasia kami. Lena meminjam make up mamanya. Menorehkan lipstick dengan alur berantakan, menepuk bedak dengan tangan kecil kami. Kami tidak menjadi cantik setelah itu, namun kami bahagia.
Lena pandai dalam segala hal. ia membuatkanku sebuah mahkota cantik dari beberapa tanaman bunga rambat. Begitu indah dan alami. Dan ia mempelajari semuanya dari Kak Stefan. Untuk sesaat, aku merasa iri kepadanya. Ia memiliki kakak yang begitu baik hati dan sempurna. Tidak ada satu orang pun yang berani mengganggu Lena di sekolah karena keberadaan kak Stefan. Dan menariknya lagi, tidak ada pula yang berani menggangguku karena keberadaan Lena. aku merasa geli dengan semua kenyataan itu.
Mama menyayangi Lena, sebagaimana tante Sonia menyayangiku. Mereka juga bersahabat sejak kuliah. Dan kini persahabatan itu diwariskan padaku dan Lena. Aku mencintai Lena melebihi apapun, dan itu takkan pernah berubah. Tidak peduli akan jarak dan waktu yang mungkin akan memisahkan kami.


Lena menggenggam erat jemariku, aku menatapnya dengan senyuman geliku. Kemudian dengan wajah polosnya ia mulai menceritakan kisah-kisah konyol yang selalu mengundang tawaku. Rambut Lena lebih pendek dari pada rambutku yang panjang sepunggung. Warnanya juga lebih coklat, namun ia tampak begitu cantik dan sesuai dengan dirinya secara keseluruhan. “Ada apa denganmu?” tanyanya. “Kau terlalu banyak melamun,” tambahnya. Aku mengerucutkan bibirku.
“Aku belum mengucapkan terima kasih padamu,” jawabku malu-malu. Wajah cantik Lena menampakan kerutan penuh Tanya. “Kau tau… kau sudah melakukan banyak hal untukku. Banyak hal…” tatapan Lena melembut. Ia tersenyum penuh kasih.
“Itu tidak sebanding dengan perasaan bahagia menjadi sahabatmu, Cheryl Issabela Kimberly,” aku terkekeh, dia sangat jarang memanggil namaku dengan lengkap.
“Ya, begitu juga dengan perasaan bahagiaku menjadi sahabatmu nona KyLenn Stafella Jasmine.” Kami berdua terkikik. Nama yang aneh bukan? Namun aku bersyukur karena berkat nama aneh itu akhirnya aku bisa bertemu dengan Lena di taman kanak-kanak. Mama yang selalu ingin menamaiku Stafella dan tante Sonia yang menginginkan nama Issabela, namun karena mereka berpisah pada saat itu, akhirnya untuk meredakan kerinduan mereka masing-masing, mereka menggunakan nama yang sahabat mereka inginkan untuk putri-putri mereka.
“Aku akan menamai anakku Lena,” bisikku. Lena tersenyum tipis padaku. Matanya menerawang jauh. “Aku berjanji…” entah mengapa aku tidak bisa menyembunyikan getar suaraku.
“Terima kasih,” bisik Lena seraya memelukku erat. “Terima kasih Izzi…”
                              ****
Aku mendesah ketika membaca pesan masuk di handphoneku lagi. Pesan dari pangeran tampanku, yang lagi-lagi tidak bisa menghabiskan sabtu malamnya bersamaku. Well, sebenarnya itu tidak terlalu masalah untukku. Namun aku akan sangat merindukannya. Karena –seperti biasa juga- kami takkan bertemu sama sekali pada hari minggunya, hingga akhirnya bertemu di hari senin, di sekolah.
Aku menatap hujan dari balik jendelaku. Saat itu baru menjelang pukul tujuh malam. Dan aku sedikit bosan. Aku tau mama tidak akan mengizinkanku keluar malam-malam begini –terlebih setelah kejadian itu-. Namun aku benar-benar bosan.
Ku raih payung berwarna gelap di depan pintu dengan perlahan. Sifat nakalku kembali muncul. Aku mengendap-endap keluar rumah.
Hujan diluar rupanya hanya berupa gerimis kecil. Namun suasana dinginnya membuat orang-orang lebih memilih tinggal di rumah dari pada berkeliaran di luar. Aku berjalan perlahan di bawah temaram lampu. Menggenggam erat-erat lampu senterku jika sewaktu-waktu menemukan sisi gelap di jalanan. Namun lagi-lagi semenjak kejadian itu, mamaku sudah meminta kepala desa di daerahku untuk memasang lampu di setiap sudut tempat. Konyol memang, namun itu benar-benar berguna.
Aku berjalan menuju toko serba ada beberapa blok dari rumahku. Membeli sebatang coklat dan semangkuk es krim rasa vanilla. Hatiku sedikit tergelitik untuk sekedar singgah ke rumah Lena yang berada tidak jauh dari toko itu. aku tersenyum manis dan kembali masuk ke toko, membeli mangkuk es krim yang lain untuk Lena.
Rumah berwarna abu-abu itu adalah rumah terbesar di antara rumah-rumah yang lainnya. Dengan halaman luas penuh tanaman hias yang cantik. Pagar besinyanya berwarna hitam pekat, dengan ukiran bunga-bunga merambat yang cantik. Namun di beberapa sisi cat itu sudah mengelupas karena kurang perawatan. Sebuah pohon mangga besar tumbuh di pekarangan rumahnya. Seakan menaungi rumah itu dari hujan dan panas. Aku tersenyum tipis ketika mengingat masa kecil kami di bawah pohon mangga itu. saat itu, karena flu Lena tidak bisa mengikuti acara berkemah dari sekolah. Dan tentu saja aku –yang begitu lengket dengannya- menolak mengikutinya juga. Saat itu kami kelas tiga SD. Namun aku selalu menangis meraung-raung ingin ikut. Membuat mama pusing tujuh keliling. Hingga akhirnya om Irawan –ayah Lena- membuatkan kami tenda mini di bawah pohon mangga itu.
Aku terkikik kecil karena memori itu. andai selalu semudah itu dalam menyelesaikan sebuah masalah…
Aku menghentikan langkahku ketika sampai di depan gerbang rumah keluarga Lena. keningku sedikit berkerut ketika melihat beberapa kendaraan yang terparkir di pekarangan rumah itu. mobil om Irawan, mobil kak Stefan, dan sebuah mobil lain. Aku menyipitkan mataku mencari tau, namun otakku sibuk melakukan hal lain.
Ah… astaga, bagaimana kalau tante Sonia mengatakan pada mama kalau aku kesini? Bagaimana jika mama tau?
Aku menarik tanganku perlahan. Menekankan kata-kata itu dalam benakku sebelum akhirnya aku berlalu pergi.
                                    ****
Akhirnya weekend yang menjemukan itu berakhir juga. Namun sialnya pagi ini aku tidak bisa berangkat bersama Lena karena aku harus berangkat lebih pagi untuk menyerahkan beberapa artikel lain pada kak Lolita.
Nafasku tercekat ketika melihat sosok Galang berjalan beberapa meter di hadapanku. Otakku mulai gatal untuk mencari tahu penyebab tatapan kebenciannya hari itu. namun hatiku memaksaku untuk tetap menjauh darinya, seakan-akan aku memang sedang menghindari beberapa kenyataan yang tak akan bisa ku terima.
“Izzi…” aku tercekat dan langsung menoleh kearah suara itu. Ethan berlari kecil menghampiriku. Wajahku langsung memerah karena tatapannya. Untuk sejenak aku lupa akan kegelisahanku pada sikap Galang, otakku terlalu penuh dengan rasa rinduku pada pangeran tampan di hadapanku. “Sepagi ini?” ia menatap jam tangannya.
“Aku harus menyerahkan beberapa artikel ke ruang jurnal,” jawabku. Mata itu membeku sejenak. “Hanya sebentar,” tambahku. Ethan menerawang jauh kedepan. “Kau ada latihan?” aku mencoba menariknya kembali ke dunia nyata. Namun pandangan itu masih kosong. Seakah otak di dalamnya masih terlalu sibuk memikirkan beberapa hal.
“Ah tidak. tidak ada latihan hari ini,” jawab Ethan. Aku tersenyum ragu padanya kemudian mengaguk. Aku masih ingin mempertanyakan kedatangannya sepagi ini, namun sesuatu dalam hatiku kembali membekukan lidahku.
“Apa itu?” tanyaku ketika melihat benda berkilauan di tangannya. Ethan tampak terkejut karena kejelianku. Namun ia tetap menunjukannya padaku. Sebuah anting cantik berbentuk bunga yang begitu manis. Aku menatapnya penuh Tanya. Ia mengangkat bahunya.
“Aku menemukannya kemarin, dan sekarang aku akan mengembalikannya,” ujar Ethan mencoba sesantai mungkin. Lagi-lagi aku tersenyum tipis. Namun kini sama sekali tidak menyentuh mataku. Semuanya tampak kosong di hadapanku. Kini aku merasa dunia nyata dan hayal itu semakin sulit dibedakan, Seperti kebenaran dan kebohongan, seperti warna hitam putih dalam dunia domino.
Aku ingin menyentuh lengan Ethan, meminta anting itu. bukan, bukan karena aku menyukainya. Atau mungkin ya, aku memang menyukainya sejak pertama kali aku melihatnya. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk membeli benda cantik berkilauan itu, dan menghadiahkannya pada sahabatku di ulang tahunnya yang ketiga belas. 


6 komentar:

Fathy mengatakan...

cherry sebenarnya ethan jadian yah sama Lena. Galang bukannya g suka sama cherry cuma sebel liat cherry yang bdodoh g bs liat kenyataan. yg kasih coklat kak sam or lena waktu izzi skt...

Unknown mengatakan...

mba.... dy namanya Cheryl, bkan cherry... hihihihi
aduhhhh ga boleh di kasih tau sekarang... :) :)
nnti ya mba... :):)

Anonim mengatakan...

Yg ngasih coklat si Sammuel, mba Fathy...
Si Ethan dah tunangan mungki ma si Lena,,,
Si Izziny adja yg geblek,,

Unknown mengatakan...

Hihihihihihihihi
ayo tebak2an...
sudah masuk bab terakhir nihh...

Anonim mengatakan...

Aq dah bisa tebak akhirny Zia,,,
Ga meleset dari dugaanq semula koq,,,
Iya kan???

Unknown mengatakan...

hehehe.... sip sip sip... jawabannya ada di bab 14 ya mba riskaa....
jeng jeng jengggg... hehehe