Minggu, 04 November 2012

Midnight Wishes -04-


 EMPAT
LUKA KEDUA


Gunawan tertawa renyah saat mendengar lelucon dari cucu terkasihnya. Disampingnya Raka dan Laras turut tersenyum lebar.
“Kakek...” bisiknya lemah seraya bersandar di dada tua Gunawan. “Jika keberuntungan tidak berpihak padaku, aku ingin kakek bertahan,” ujarnya perih seraya menatap danau di hadapan mereka. Gunawan tidak menjawab hanya terus mengelus rambut cucu kesayangannya yang mulai rontok karena melakukan kemoterapi. “Kakek... dunia ini sangatlah luas, tapi aku tidak akan pernah pergi jauh dari kakek... aku akan selalu tinggal di dalam hati kakek jika kakek mengizinkan, aku akan selalu di sini,” Davela menunjuk dada Gunawan dengan lemah. Gunawan menatapnya perih.
“Tapi jika saatnya nanti, aku tidak ingin kakek menangis, seperti saat kepergian mom dan nenek, aku ingin kakek tersenyum dan mengikhlaskanku, aku ingin kakek bahagia... aku ingin kakek tetap berdiri tegar... aku ingin melihat kakekku yang berwibawa dan tenang... aku ingin melihat kakekku yang tabah...” Davela membenamkan wajahnya lebih dalam. Ia bisa merasakan tetesan air mata kakeknya yang hangat.
Laras memalingkan wajahnya sebelum akhirnya menghapus airmatanya. Keperihannyapun tidak bisa di ungkap dengan seribu katapun. Lukanya kembali terbuka. Mengingatkannya akan lukanya bertahun-tahun silam. Saat majikan yang sudah ia anggap sebagai saudara sendiri berucap pisah. Tersenyum melambaikan tangan dan tak kembali. Hanya mengukir lembayung luka mendalam.
Dan ternyata rencana Tuhan tidak berhenti disana, sang putri... Riana Vanessa Ashlyn Giraldy harus berucap pisah juga pada umur yang bagitu muda. Setahun setelah kepergian sang suami karena kecelakaan pesawat terbang. Menggoreskan berjuta luka yang semakin mendalam.
Dan kini, sang kuncup terakhir dan terindah terancam layu di tengah lukanya. Laras kembali menyeka air matanya. Mencoba melihat sejernih mungkin. Ia tidak ingin kedua majikannya melihat luka dimata tuanya. Namun Rasa sanyangnya pada sang putri tidak akan mampu membendung air matanya.
“Ibu, apa ibu baik-baik saja?” tanya Raka ketika melihat Laras mulai kehilangan keseimbangan. Laras terenyum lemah dan mengaguk.
***
Davela sudah tidak pernah sekolah, keadaannya mulai sedikit memburuk meskipun sudah mengikuti kemoterapi yang dianjurkan Surya. Gadis cantik itu masih dalam pendiriannya untuk menolak pengangkatan pada payudaranya.
Kesehariannya kini dipenuhi berbagai aktivitas untuk mencoba keberuntungannya untuk tetap hidup. Meskipun ia sering tersenyum mengejek dunia yang masih terus membisu.
“Apa tidak ada hal lain yang bisa dilakukan selain pengangkatan itu dok?” tanya Davela lemah.
“Vella, ini adalah satu-satunya cara terbaik untuk membunuh sel kanker itu,” ujar Surya. Davela menatap rembulan dari kamar pribadinya di rumah sakit. Sedetik kemudian nafasnya terhenti. Sakit yang mendalam mulai menusuk dadanya. Namun ia sadar ini bukan karena sel kanker itu. Ini lebih buruk lagi.
“Nona Davela, tuan besar kecelakaan...”
DEG...
Davela terhenyak. Namun tidak bergeming. Hanya terpaku menatap rembulan yang membisu. Setetes air mata mewakili berjuta kepedihannya.
Kakek...
Seakan baru tersadar dari keterkejutannya ia barulah berbalik dan berlari ke segala arah, mencari cahaya kehidupannya yang perlahan meredup.
Tuhan ku mohon... ku mohon...
***
“tuan Giraldy koma, dia mendapatkan benturan keras di kepalanya,” ujar salah satu dokter di rumah sakit itu. Davela menatapnya lemah. Berkali-kali ia pingsan dan menangis. Berharap sang kakek akan menatapnya iba kemudian terbangun dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun ia sadar itu adalah harapan yang terlalu jauh dari kenyataan yang ada.
“Aku pikir, aku yang akan segera meninggalkan kakek, tapi ternyata Tuhan mempunyai rencana lain,” ujar Davela saat Raka memasuki kamarnya.
“Kakek... please... jangan pergi... please... kakek... kumohon... aku janji, aku akan melakukan apapun untuk membuatku hidup lebih lama... kakek please...” pinta Davela lirih. Raka menyentuh pundaknya perlahan. “Kakek, lihat aku sudah menandatangani persetujuan untuk pengangkatan kanker ini... kakek lihat, ini semua hanya untuk kakek... kakek... please...”
“Nona...”
“Dokter, katakan padanya kalau aku baik-baik saja dan akan segera sembuh... katakan padanya dok...”
“Nona...” Raka memeluk tubuh Davela yang bergetar. “Ayo kita menghirup udara segar,” ujarnya lirih.
***
Davela tidak bergeming saat Raka membawakannya sebotol minuman kesukaannya. Ia hanya terpaku menatap guguran dedaunan di hadapannya. Raka terhenyak saat melihat sobekan kertas di hadapan Davela.
“Mengapa nona melakukan ini?” tanya Raka dengan nafas tercekat.
“Berhenti memanggilku nona!” ujar Davela dingin.
“Oke, tapi bisakah kau menjelaskan semua ini?” tanya Raka geram. Davela tertawa mengejek.
“Apa kau belum mengerti juga hah??!! Ini adalah jalan yang diberikan oleh Tuhan, ini adalah jalannya. Ia sungguh baik karena tidak membiarkan kakek bersedih dalam kesendiriannya, lalu apakah aku akan mengambil jalan yang sengaja kakek lewati??” Rakak tercekat.
“Apa maksudmu!?”
“Dokter, tujuan hidupku sudah meredup, atau bahkan sudah padam. Aku tau, jika bukan karena berjuta alat bantu di tubuhnya mungkin kakek sudah tidak bisa bernafas lagi... lalu untuk apa aku masih bertahan pada harapan yang aku sendiri tidak miliki?”
“Tidakkah kau memiliki tujuan hidup yang lain?”
“Hahahaha... apa lagi yang bisa ku harapkan dari kehidupan ini, kalaupun aku selamat dari kanker ini mungkin aku akan segera mati karena kesendirianku, dokter pikir pria mana yang akan menikahi wanita tidak sempurna sepertiku??” Davela menyeka air matanya perlahan. “Hanya pria bodoh yang mau menerimaku, dan aku tidak ingin mati dalam kesendirian, aku tidak ingin mati dalam kesepianku sendiri...” ujarnya sedikit histeris. Raka terdiam seribu bahasa.
“Lagi pula, walaupun ada... mungkin aku tidak akan pernah bisa jatuh cinta lagi... mungkin hatiku sudah mati... dan aku tidak ingin merasakan cinta itu lagi dok... aku lelah mencintai, aku lelah melihat harapan-harapan semu itu... aku hanya ingin sendiri, menjaga kakek sampai waktunya... dan setelah itu... pergi bersamanya... hanya itu...”
Raka terdiam. Ia tersenyum pahit sebelum berbalik.
“Rencana yang sempurna...” bisiknya pelan sebelum berlalu.
***
Tuhan, hatiku hancur.... hidupku bahkan tak bisa ku raba lagi... Tuhan... inikah yang kau inginkan dariku??? Tuhan... aku sakit... aku sakit... dan aku ingin semua rasa ini segera pergi... sungguh...
Tuhan... maaf...tapi aku lelah... aku lelah dengan semua luka ini...
***






0 komentar: