Minggu, 04 November 2012

Midnight WIshes -03


TIGA
BULAN DAN BINTANG


“kenapa dokter tersenyum??!!” tanya Davela kesal. Raka hanya menggeleng. “Dokter mengejekku karena aku berubah fikiran?? Asal dokter tau, kalau bukan karena kakek, aku juga tidak akan pernah mau mempunyai seorang dokter pribadi seperti anda!!” ujar Davela dari dalam mobil. Raka hanya tersenyum dan mengaguk. Ia memang sudah mulai bertugas. Bahkan ia sudah mulai tinggal di rumah salah satu orang terkaya tersebut untuk mengurus cucu kesayangannya.
“Nona, sudah sampai,” ujar Raka. Davela mengendus kesal kemudian keluar dari mobilnya. “Nona, jangan lupa, saya jemput pukul 12 tepat,” ujarnya. Davela memicingkan matanya kesal. Dalam hati ia merindukan mang Ujang, supir pribadinya kala itu.
“Davela!!” panggil Lexa dan Lena. “Siapa tadi? Jangan katakan kalau dia adalah supir pribadimu,”
“Kalau iya memang kenapa?”  tanya Davela ketus.
“Astaga Vella, apa kau serius? Dia benar-benar tampan,” puji Lena. Davela mengendus kesal kemudian memalingkan wajahnya. Hanya gadis bodoh yang tidak menyukainya, batinnya.
“Vell, siapa tadi? Semua anak di perpustakaan ribut,” ujar Rasti. “apa dia pacar barumu?”
“Bukan. supir,” ujar Davela lagi.
Impossible, he’s too perfect,”
“Ras... cukup!!” ujar Davela geram sebelum berlalu pergi.
***
Davela menggeram pelan saat melihat kerumunan di depan sekolahnya. Ia tersenyum mengejek saat melihat sosok Raka di mobilnya. Namun sedetik kemudian ia terdiam. Wajah itu sangat berbeda dengan wajah yang ia lihat pagi tadi. Wajahnya seakan mengeras. Terpaku pada titik yang tak pasti. Terdiam membisu mengukir sebuah pahatan yang tak ternilai. Tampan dan angkuh, berkarisma namun tampak sangat dingin. Namun Davela sadar dokter itu tengah ketakutan. Ketakutan yang tak akan bisa di ucap dengan sepatah katapun.
Tanpa sadar Davela berlari. Ia mengetuk kaca mobilnya keras. Membangunkan sang pangeran dari lamunannya. Kemudian wajah itu mencair. Raka tersenyum lebar. Membuat seluruh gadis di tempat itu terhenyak karena ketampanannya. Davela menunduk dalam.
“Ayo pulang,” ujar Davela dingin.
“Kita harus langsung ke rumah sakit,” ujar Raka. Davela mengangkat bahu tak acuh kemudian kembali menatap jalanan dari kaca mobilnya yang berdebu. “Tuan besar ingin agar nona melakukan mammografie lagi,” ujar Raka seraya melirik Nona besarnya dari kaca spion. Davela tersenyum mengejek namun tidak menjawab. Ia hanya terdiam. Karena saat ini rasanya diam adalah sahabat terbaiknya. Diam... dan mati...
****
Davela terduduk di kursinya. Ia baru saja melakukan mammografie dan saat ini sedang menunggu hasilnya. Berkali-kali ia tersenyum mengejek dirinya sendiri yang selalu memiliki harapan bahwa ini hanyalah mimpi. Bahkan betapa bodohnya ia hingga mau mengikuti tes kedua kalinya untuk memastikan hal yang tidak bisa diragukan lagi.
“Kita akan melakukan oprasi kecil, untuk mengambil contoh jaringan sel itu dan memastikannya lagi,” tutur Raka. “Apakah nona ingin didampingi kakek anda?” tanya Raka. Davela tertawa samar.
“Lalu apa gunanya anda di sini sebagai dokter pribadiku? Aku tidak ingin dia kelelahan... dia sudah terlalu tua... dan sibuk...” tutur Davela lirih. Raka menghela nafas berat sebelum mengaguk dan berlalu pergi.
Raka menahan nafasnya sesaat. Berharap pada keajaiban yang tak kunjung menghampiri.
“Positif, stadium 2,” ujar seorang ahli patologi anatomi. Raka memejamkan matanya perlahan. “Dokter Raka, saya rasa kita harus sesegera mungkin melakukan pengangkatan,” ujarnya lagi. Raka menatap dokter tua di sampingnya. Surya menggeleng lelah. “Jika beruntung kita bisa mengangkat seluruh sel kankernya, lagi pula, sel kankernya masih belum menyebar sampai kelenjar getah bening, mungkin setelah melakukan penyinaran semuanya akan kembali normal,”
Raka terdiam.
“Biar aku yang membicarakan ini pada tuan Gunawan,” ujar Surya. Raka hanya mengaguk lemah kemudian berlalu pergi. Ia membetulkan letak kacamatnya sebelum menghampiri sang putri yang masih terdiam.
“Bagaimana, sudah ada keajaiban?” tanya Davela sinis. Kemudian tertawa hambar. “Bodoh, kenapa aku masih bertanya, padahal jawabannya sudah ku ketahui!!” ujarnya perih.
“Saya antar Nona pulang,” ujar Raka santun. Davela menatapnya geram.
“Anda tidak menceritakan hasilnya?” tanya Davela tidak percaya. Raka menatapnya lelah.
“Apa yang ingin nona ketahui?” tanya Raka pahit.
“Semuanya!! Semuanya tentang penyakit kanker sialan ini, berapa lama lagi hidupku? Berapa persen tingkat kesembuhanku? Berapa lama lagi sampai semuanya berakhir?” tanya Davela histeris. Raka menggeleng perlahan kemudian merangkulnya lembut.
“Tidak nona, nona akan baik-baik saja, nona akan selamat, kami akan melakukan hal terbaik untuk nona, nona akan baik-baik saja... aku berjanji...” ujar Raka seraya memeluk Davela yang masih terisak. “Aku berjanji...” ujarnya lagi.
***
“Dokter,” panggil Davela pelan malam itu. Raka sedikit terhenyak, baru kali ini  ia melihat sang putri menghampirinya. “Apa anda sedang sibuk?” tanya Davela seraya melirik tumpukan buku di hadapan Raka. Raka langsung menggeleng dan menutup semua bukunya.
“Ada yang bisa ku bantu?” tanya Raka.
“Bisa kita bicara sebentar, ada yang ingin aku tanyakan pada anda,” ujar Davela lemah. Raka mengaguk dan berjalan mengikuti Davela ke taman belakang.
“Dokter, aku sudah membaca beberapa artikel tentang kanker payudara, apakah aku masih berada di stadium dini?” tanya Davela pelan. Raka terdiam. Ia tersenyum tipis saat mendenga kata-kata sang putri, semua ke angkuhannya selama ini mulai menghilang. Dan kembali menampakan putri terindah yang pernah ada.
“Nona mengidap kanker stadium 2, dan kemungkinan sembuhnya masih 30-40%, itu semua tergantung luas penyebarannya, dilihat dari pemeriksaan kemarin, sel-sel kanker nona masih belum menyebar luas, bahkan belum sampai menyebar ke dalam kelenjar getah bening,”
“Apakah itu kabar baik?” tanya Davela palan. Raka terhenyak kemudian tersenyum lebar. “Dokter tahu, rembulan itu tidak seindah yang kita pandang dari sini, dia tidak seindah itu, tapi dia selalu akan bahagia, dia memiliki berjuta bintang yang akan menemaninya, dia akan selalu bahagia, akan selalu...
“Aku ingin kakek seperti rembulan, selalu bahagia... selalu bahagia sepanjang hidupnya... namun aku tidak bisa menjadi bintang yang selalu menemaninya, aku tidak bisa... aku tidak bisa...
“Dalam hidupku, aku tidak pernah mengharapkan apapun, bahkan untuk menjadi seorang putripun tidak, hanya satu yang ku inginkan, membuatnya tersenyum selebar mungkin, ia sudah terlalu tua dok, dia sudah terlalu tua untuk merasakan sakit ini... dia sudah terlalu merasakan berjuta kesakitan, aku tidak ingin kembali menyakitinya, aku ingin selalu bersamanya, menemaninya di hari tuanya...
“Ku mohon dok... lakukan apa saja untuk membuatku dapat menemaninya lebih lama lagi... ku mohon... ku mohon... aku tidak ingin membuatnya menangis lagi... aku tidak ingin meninggalkannya seperti yang di lakukan nenek dan ibuku, aku ingin menemaninya...” Davela menatap Raka penuh harap. Raka menganguk dan memeluk gadis itu erat.
“Bukankah aku sudah berjanji,” ujarnya parau.
***

0 komentar: