Minggu, 04 November 2012

HUJAN KEMARIN -01-


BAB SATU
Pejuang Cinta??!

aku berteriak keras ketika sebuah bola mengenai kepalaku. “AWww!!!!” teriakku. Beberapa orang langsung mendesis kaget dan sebagian yang lainnya tampak jelas menertawakanku. Aku meringis sambil mengusap kepalaku. Mungkin sedikit benjol mengingat benturanna yang cukup keras.
“Maaf, kau tidak apa-apa?” sebuah tangan terulur kepadaku, menyentuh keningku yang berdenyut. Aku melongo menatapnya. Terpesona akan wajah tampan di hadapanku. Matanya indah dan sangat menyejukan; Rambutnya berantakan, berkeringat; hidungnya begitu indah dan pas di wajahnya. Aku merasakan hatiku sedikit bergetar, kemudian meleleh bagai ice cream yang diletakan di microwave. Ia begitu sempurna.
“IZZI!!!” aku tersentak, kemudian refleks mundur beberapa langkah. Lena sahabatku menggantikan pangeranku. Ia berdiri menatapku. Matanya menyiratkan kekesalan dan kekhawatiran. Aku menyeringai kikuk. Kemudian memutar pandanganku, mencari pangeran tampan itu.
“Hai…” sapaku kikuk. Lena melongo menatapku.
“Hai??!” tanyanya tidak percaya. “Sepertinya benturannya terlalu keras. Kau amnesia ya?!”  aku mengerutkan keningku, memasang wajah ngeri.
“Apa dia baik-baik saja?” nah itulah suara pangeranku. Aku meliriknya yang berdiri di balik punggung sahabatku. Wajah tampannya terlihat khawatir. Aku mencelos, dan merasakan hatiku jatuh begitu saja. “Dia terlihat pucat,” katanya pada seseorang disampingnya. hah?? Dia?? Dia siapa?? Aku??
“Kau akan baik-baik saja,” desis Lena kemudian. Aku meronta ketika ia menarikku menjauhi pangeran tampanku. “Berhenti mempermalukan dirimu sendiri, bodoh!” ujar Lena.
                              ***
“Melamun lagi??!” tegur Lena di tengah pelajaran Matematika siang itu. aku menatapnya sinis. “Kau akan mendapatkan masalah kalau terus begini, kerjakan nomor dua belas!” perintahnya. Aku mengulurkan lidahku cepat, kemudian memeriksa buku LKS ku. Astaga, soal macam apa ini??!! Aku mendesis kemudian melirik Lena yang tengah asyik mengerjakan. Lena memutar bola matanya ketika melihat seringaianku. Kemudian menunjukan jawabannya sendiri.
“Kau jatuh cinta?” tebak Lena ketika pelajaran itu usai. Aku tersentak dan mencibir padanya. “Izzi!!! Kau suka Ethan?!” tanyanya lagi. Ethan?? Siapa pula si Ethan itu?? pikirku. “Kau lupa? Anak baru yang melemparkan bola ke kepalamu tadi siang.” Tambahnya. Wajahku memanas. “Astaga… jadi kau menyukainya?”
“Jadi namanya Ethan?” tanyaku. Ia mengaguk antusias.
“Astaga Izzi, akhirnya kau jatuh cinta. Kau tau aku samppai khawatir memikirkan kalau-kalau kau tidak menyukai makhluk berjenis kelamin laki-laki.” Tuturnya. Aku mendelik menatapnya. “Ups… hehehe…” ia menutup mulutnya dan menatapku kikuk. “Sudahlah, tidak penting. Pokoknya mulai saat ini aku akan membantumu untuk mendapatkan cinta Ethan. Kita akan menjadi pejuang cinta!” ujarnya benar-benar bersemangat. Aku sampai ngeri menatapnya. Namun, apa tadi katanya? Pejuang cinta? Yang benar saja? Wajahku kembali memerah.
                              ***
Aku menatap Lena tidak percaya ketika ia mengeluarkan semua bawaannya. “Kau mau pindah rumah?” tanyaku. Ia memutar matanya padaku kemudian tersenyum misterius. Ia mengeluarkan beberapa barang lainnya dari tas besarnya. Aku mendesis.
“Ini untukmu, sebelum memulai perjuangan cintamu, kau harus merubah dirimu.” Lena menarik tubuhku ke depan meja belajarku. Menghadapkanku pada cermin seukuran papan jalan di kamarku. “Dia pindahan dari Bandung, dan kabarnya dia keturunan Jerman…. Wow seleramu benar-benar bagus.” Wajahku kembali memerah. “Dan kau tentu sadar bukan, kalau kau mempunyai berjuta saingan?” aku menatapnya takut. Saingan? “Ayolah Izz… dia itu murid baru, dan lumayan tampan juga, pasti banyak yang menyukainya.” Aku mendesah setuju akan kata-kata terakhirnya. “Tapi aku akan membuatmu menjadi gadis tercantik untuk menarik perhatiannya.” Ia tersenyum menatapku dari cermin. “Kau akan menjadi gadis tercantik.” Ujarnya lagi. Aku menatap ngeri antusiasmenya.
                              ***
“Izzi?” aku menyeringai kikuk menatap mama. Ia tampak begitu heran menatapku. Dan sejujurnya aku juga sangat terkejut dengan penampilan baruku. “Kau yakin akan berangkat kesekolah seperti itu?” Tanya mama. Penuh rasa ragu. Aku mendesah dan mengaguk. “Oke, hati-hati kalau begitu.” Ujar mama. Aku mengaguk sekali lagi dan berlalu.
Lena tersenyum kepadaku ketika melihatku dibalik tikungan rumahku. “Kau sangat cantik.” Ujarnya antusias. Aku hanya mengangkat bahu. Namun sejujurnya, dengan rambut yang di kriting seperti ini, dan aksesoris yang menurutku terlampau berlebihan membuatku lebih seperti wanita murahan dari pada cantik. Tapi melihat antusiasme Lena aku hanya bisa mendesah patuh.
Aku merasa semua tatapan itu mengarah padaku. Mereka berbisik di belakangku kemudian terkekeh-kekeh. Aku menatap Lena yang dengan santainya mengaguk pasti ke arahku. Oh Tuhan. “Izzi, dia datang!!” desis Lena. Aku membeku ketika melihat pangeran tampanku datang. Kini ia masih mengenakan seragam sekolahnya, namun melihat bola itu di tangannya aku kembali meringis. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya. Aku menatap wajah tampannya dan mulai merasakan lututku kembali melemas. Lena menyikutku dari samping. Aku terkesiap.
“A..A..Ku…” bicara idiot!! Runtukku dalam hati. “Aku baik,” bisikku susah payah. Ia tersenyum lebar. Astaga… ia benar-benar tampan.
“Syukurlah kalau begitu,” ujarnya kemudian kembali berlari ke lapangan. Aku mencelos menatapnya. Lena menatapku kesal.
“Apa kau bercanda?!?! Itu adalah kesempatan emas, dan kau malah tergagap mengucapkan satu kata. Astaga Issabela, kau bisa menanyakan hal lainnya!!” Lena berteriak frustasi. Aku menunduk di hadapannya. “Hm, karena dia pemain basket maka kau harus menjadi anggota cheers,” ujarnya. Aku melotot tidak percaya.
“Itu terlalu berlebihan Le…” desisku.
“Berlebihan?? Tidak sama sekali! Kau harus bisa menjadi sedekat mungkin dengannya.” Aku menatapnya lelah. Astaga Tuhan… “Ayo, aku kenal ketuanya, kau mungkin bisa mendapatkan posisi yang bagus,” ujarnya. Aku mencibir. Seluruh sekolah pun tau siapa ketua Cheers yang fenomenal itu. Sazkia fayadita.


“Hai kak fay!” teriak Lena. Fay?? Baru kali ini aku mendengar gadis jangkung itu dipanggil lain. Sazkia menatap kami.
“Hai Le, ada apa?” tanyanya. Aku menatap ngeri kakinya yang panjang. Tampak begitu halus namun begitu menyeramkan.
“Bisakah kau menerima satu anggota lagi?”
“Ah, akhirnya kau mau mengikuti klub ini juga,”
“Bukan, bukan aku, tapi Izzi, sahabatku.”  Sazkia mendelikan matanya padaku, menilaiku. “Bisakah?” tanyanya. “Dia sangat tertarik menjadi cheers, tapi dia tidak berani mengajukan diri.”  Aku memelototi Lena. “Mungkin kau bisa mengajarinya sedikit, kau tau dia sangat berbakat.” Aku mendesis ngeri. “Dia hanya butuh sedikit latihan.” Sedikit latihan??? Yang benar saja?! Aku sama sekali tidak bisa menari! Aku payah dalam segala hal.
“Well, mungkin kita bisa lihat nanti. Tapi kau tau sendiri sekarang klub Cheers sedang banyak peminat.” Sazkia menunjuk beberapa gadis dengan tatapannya. Kami mengikuti arah pandangannya kemudian mengaguk.
“Tapi kau tentu bisa melakukan sesuatu untuk sahabatku ini kan kak?”  pinta Lena. Lagi-lagi Sazkia menilaiku dengan tatapannya. Ia satu tingkat di atas kami. Dan tatapannya benar-benar menunjukan hal itu. mungkin kalau bukan karena Lena yang membawaku, ia sudah mengusirku dari tadi.
“Aku tidak terlalu yakin. Tapi kalau memang dia berbakat sebagaimana yang kau katakan tadi, aku bisa melakukan beberapa hal.” Ujarnya.
“Terima kasih kak,” ujar Lena dengan keriangan yang tidak dibuat-buat. Sazkia mengaguk dan kembali berlalu pergi.
“Apa yang kau lakukan sih?” tanyaku kesal.
“Mempromosikanmu,” ujarnya santai. Astaga… Tuhan… inikah pengorbanan sebagai pejuang cinta sialan itu??!
                              ***






4 komentar:

Anonim mengatakan...

keren ceritanya say.......

Unknown mengatakan...

hehehe makasiii mba, tpi blum selesai, hihihi

Unknown mengatakan...

lapak baru nih....
PN udah penuh... bingung disana mo bersuara apa... hihihihi
makasi cherry....
komen dlu baru baca.....
:)

Unknown mengatakan...

hihihihi silakan di baca aja mba... :) :)