Kamis, 22 November 2012

HUJAN KEMARIN -17-


BAB TUJUH BELAS
Pelangi Hitam Putih


“Izzi…” aku terhenyak dan langsung menoleh. “Kau sudah kembali?”
“Hai kak,” sapaku. Kak Stefan tersenyum dan meletakan sebuket bunga mawar di atas pusaran adiknya. “Banyak hal yang sudah ku lewatkan,” bisikku. “Dan sekarang aku berusaha menebusnya,”
Kak Stefan tersenyum tipis, ia berjongkok di samping nisan Lena. membelainya lembut penuh kasih. “Kau tidak marah padaku?” tanyanya. Aku menatap jauh ketaman pemakaman itu dengan sedih.
“Aku tidak berhak untuk marah.” Bisikku. kak Stefan mendongkak, dan tatapan kami bertemu. “Lena sangat menyayangi kakak, bagaimana mungkin aku membenci orang yang disayanginya?” aku tersenyum tipis. “Aku harus pergi kak, selamat tinggal.”
“Izzi…” panggilnya. “Maafkan aku,” aku tersenyum dan mengaguk. Sudah dua tahun lamanya, dan aku mulai bisa berdiri dengan lebih baik. Aku bisa menjadi kuat sebagaimana yang dipintanya.
                              ****

Hujan hari ini cukup deras. Aku mengencangkan jaketku sebelum melangkah keluar pusat pertokoan itu. Merasa sudah terlalu banyak menghabiskan waktu untuk sekedar berteduh, dan sialnya hujan itu tak kunjung berhenti.
“Isabella,” langkahku langsung terhenti ketika mendengar panggilan itu. Aku menoleh perlahan, dan melihat seorang wanita tersenyum dengan ramah kearahku.
“Kak Lolita?” tanyaku tak percaya. Kak Lolita mengangguk, ia berjalan kearahku.
“Masih hujan, apa kau harus segera pergi?” tanyanya. Aku menggeleng perlahan. “Mungkin kita bisa minum kopi dulu,” usul kak Lolita. Aku tidak tau apa yang kurasakan, namun entah mengapa sesaat kemudian aku mengaguk.
Kami berjalan beriringan menuju sebuah kedai kopi yang cukup ramai. Aku memandang kesekeliling, meja-meja kayu dengan kursi kayu yang sederhana namun begitu artistik, rak-rak cangkir hias dan menjadi dinding dalam kedai itu. kak Lolita menarikku kesebuah meja kosong di sudut ruangan.
“Aku pikir aku tidak akan bertemu denganmu lagi,” ujarnya memecah keheningan. Aku hanya terdiam menatap cangkir kopi yang baru saja diantarkan pelayan ke meja kami. “Sudah empat tahun…” gumamnya. Matanya menerawang jauh kesekeliling kedai.
“Selamat,” bisikku tercekat. Kak Lolita memiringkan kepalanya ketika mendengar suaraku. “Selamat untuk kehamilanmu,”
“Ah…” ia tersenyum. “Terima kasih,” ujarnya seraya mengelus perutnya yang membesar. “Sudah hampir menginjak bulan kesembilan, tapi kau tau… ayahnya masih saja tidak ingin mengetahui hasil USGnya,” aku mengerutkan keningku tidak mengerti. “Ia selalu berharap mendapatkan seorang putri agar terlahir cantik sepertimu,” aku membeku.
“A…aku…”
“Sudahlah, hujannya sudah reda, kalau kau punya waktu senggang, sesekali mampirlah kerumahku. Suamiku pasti akan senang melihatmu,” ujar kak Lolita lagi. “Oya Izzi, apa kau sudah menikah?” tanyanya. Aku tersentak menatapnya, kemudian mengaguk perlahan. “Hm… ayo, hujan sudah reda,” ia kembali menatap keluar jendela. Aku mengangguk dan berdiri bersamanya, kami berjalan perlahan ke pintu kedai.
“Hai Sam,” sapa kak Lolita. Hampir saja aku terpeleset karena terkejut mendengar sapaan kak Lolita, namun kemudian sebuah lengan kekar meraih tanganku dan menahan bobot tubuhku. Aku terhenyak untuk beberapa saat. Menatap lurus mata coklat muda itu dengan rindu.
“Maaf,” bisiknya seraya membantuku berdiri. Kami terdiam untuk beberapa saat, hingga akhirnya ia menatap kak Lolita kemudian turun ke perutnya. “Ayo sayang, sudah waktunya kau check up,”
“Sam…” kak Lolita merajuk. Aku memalingkan wajahku, merasa jengah menatap drama suami istri di depanku.
“Lita!” tegur kak Sam sedikit keras. Kak Lolita menatapnya marah kemudian berlalu masuk kemobilnya tanpa berkata apapun lagi padaku. Aku merasa air mataku mulai tergenang ketika kak Sam berdeham. “Kami harus pergi, senang bertemu denganmu… lagi…” bisiknya. Kucoba untuk tersenyum senormal mungkin, setidaknya inilah yang bisa ku lakukan sebelum akhirnya mereka berdua pergi.
                              ****
Aku menghela nafas panjang ketika keluar dari ruang oprasi, lagi-lagi oprasi otak yang memakan waktu kurang lebih 9 jam.
“Dok, ada yang mencari anda,” ujar seorang perawat. Aku mengerutkan keningku dan mengangguk. Setelah mengganti baju oprasi dengan baju biasa aku keluar dari ruang oprasi. Tatapanku tertuju pada sosok bertubuh besar yang duduk di depan ruang tunggu kamar oprasi. Ia mengenakan kaos putih dengan jins.
“Anda mencari saya?” tanyaku. Pria itu mengangkat wajahnya. “Galang…” desisku ketika melihat wajah tirus yang kini tampak lebih dewasa. Galang berdiri dan berjalan menghampiriku. Tanpa mengatakan apapun ia langsung menarik lenganku. Aku yang saat itu masih syok dengan keberadaannya sama sekali tidak bisa melakukan apapun. “Apa yang kau lakukan?” tanyaku ketika ia mendorongku masuk ke mobilnya.
“Diam,” desis Galang, suaranya seperti seorang pembunuh yang tengah menagncam korbannya. Sontak saja aku langsung berpikir tentang sejuta cara untuk kabur dari dalam mobilnya. Namun Galang memacu mobilnya terlalu cepat, hingga tidak mungkkin jika aku melompat keluar dengan kondisi yang baik-baik saja.
“Kita mau kemana?” tanyaku setenang mungkin. Wajah pria disampingku mengeras. Matanya penuh kemarahan, dan sejujurnya itu membuat perutku bergejolak karena ketakutan. Aku ingin menangis, dan mulai mengutuki diri sendiri, aku bahkan aku tidak sempat membawa ponsel pribadiku, yang kubawa justru ponsel untuk urusan rumah sakit. “Galang, bisakah kau pelankan mobilnya?” tanyaku mulai merasa ngeri dengan kecepatan itu. Galang menggeram di sampingku, membuat tubuhku spontan menciut. Ya Tuhan, sebenarnya apa yang sedang terjadi??
Setelah perjalanan panjang yang cukup singkat, akhirnya Galang menepikan mobilnya di depan sebuah bangunan besar yang ku anggap sebagai rumah. Halamannya tertata rapih dan minimalis dengan rumput yang dipotong secara teratur. Rumah itu memiliki dua lantai, dengan pintu ganda yang cukup besar dan berat. Tiang-tiang penopang didepan rumah itu di ukir sedemikian rupa hingga menyerupai ukiran-ukiran indah yang tak ternilai. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini sebuah museum atau rumah seni??
Lagi-lagi Galang menarik tanganku, kini ia tampak lebih tidak sabar. Ia membuka pintu ganda itu dengan mudah dan mendorongku masuk. Pada awalnya kupikir ia akan membawaku ke rumah atau gedung kosong, mengikatku di sebuah kursi dan mengancam akan membunuhku jika aku berteriak. Namun kemudian mataku terbelalak ketika melihat isi dari bangunan indah itu. Ruangan besar yang lebih pantas di sebut dengan studio. Tak ada furniture untuk rumah pada umumnya. Hanya sebuah sofa putih panjang dengan meja kopi kecil yang penuh oleh tumpukan kertas. Ruangan itu  sama sekali tidak memiliki pintu yang menunjukan adanya kamar. Semuanya terbuka begitu saja seperti sebuah aula besar. sebuah rak buku besar berdiri kokoh di sisi kanannya, di sampingnya sebuah grand piano berwarna putih tampak sedikit berdebu. Namun semua barang-barang itu sama sekali tidak mengejutkan jika di bandingkan sengan puluhan kanvas bergambarkan wajahku.
“Apa ini?” tanyaku tercekat. Galang berjalan perlahan kemeja kopi. Ia mengambil sebuah buku dan memberikannya padaku.
“Ingat ini?” tanyanya. Aku mendelikan mataku ketika melihat buku bersampul coklat itu. Isi buku itu sepenuhnya adalah puisi yang sangat indah. Aku mengerutkan keningku ketika mengingat potongan puisi yang dulu ku temukan di buku pelajaranku.
“Kau??” tanyaku tidak percaya.
“Ini semua milik Sam,” bisik Galang. Aku menatapnya tidak percaya. Kemudian Galang menunjukan namanya di belakang buku yang sedang ku pegang. Sammuel Mahardika, tertulis dengan tinta biru yang mulai memudar.
“Tapi ini semua tentangku,” bisikku seraya mengedarkan pandanganku kesekeliling ruangan itu. Seluruh ekpresi wajahku terlukis dengan sempurna. Tawaku, tangisku, kemarahanku, bahkan kekonyolanku.
“Ya, ini semua memang tentangmu,” gumam Galang di sampingku. “Menakjubkan bukan?” bisiknya. Air mataku menetes perlahan. “Tidakkah kau lihat betapa ia sangat mencintaimu?” tanyanya. Aku menggeleng perlahan.
“Tapi kak Sam sudah menikah dengan kak Lolita,” bisikku perih. Galang mendesah frustasi di sampingku, kemudian ia meraih bahuku, menatapku dengan sangat serius.
“Dengar Izzi, seharusnya aku mengatakan ini sejak dulu, sejak kita masih duduk di kursi SMA sialan itu, saat kau memergokiku membaca madding sekolah, sebelum akhirnya perkelahian konyol itu terjadi,” Galang berhenti sejenak. “Sammuel, sahabatku yang paling idiot itu, jatuh cinta padamu!” aku terhenyak, hatiku terasa sakit. “Dia mencintaimu sejak dulu Izzi, tapi dia terlalu angkuh untuk mengakuinya, dia terlalu takut akan kehilanganmu, dia takut kau akan menolaknya,”
Air mataku menetes perlahan. Memoriku kembali berputar tentang sosok angkuh yang selalu menatap sinis padaku. “Dia selalu ingin melindungimu,” Galang memalingkan wajahnya untuk sesaat. “Dan soal Lita, aku adalah suaminya, bukan Sam,” aku terhenyak, pusing dengan semua pengakuan Galang.
“Tidak, ini tidak mungkin. Untuk apa kak Sam melakukan ini semua?” aku memegang mundur beberapa langkah sambil terus menggeleng. Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku mengerutkan keningku ketika melihat nomor ruang oprasi yang tertera di layarnya.
“Dokter oprasinya akan segera dilaksanakan, anda dimana?” suara suster Mel terdengar sedikit panik. Aku melirik jam tanganku.
“Ada apa?” Tanya Galang sedikit cemas.
“Galang, aku akan memikirkan hal ini nanti, tapi sekarang bisakah kau membawaku kembali kerumah sakit? Aku harus menggantikan salah satu dokter untuk melakukan oprasi sepuluh menit lagi,” tuturku. Galang mengangguk dan langsung meraih kunci mobilnya.
Di sepanjang perjalanan aku terus berdoa agar Galang tidak salah mengambil jalur, karena dengan kecepatan seperti ini, mustahil kami akan selamat jika tersenggol satu kendaraanpun. Lima belas menit kemudian kami sudah sampai di rumah sakit. Meskipun sedikit mual namun aku tetap langsung berlari keruang oprasi yang terletak tepat dibelakang ruang UGD.
“Dokter Harun,” desisku ketika melihat sosok dokter tua itu sedang membaca sebuah berkas. Ia sudah siap dengan pakaian oprasinya. “Aku pikir dokter tidak akan masuk, jadi siapa yang akan menangani pasien apendik itu?” tanyaku, mulai merasa kesal dengan panggilannya. Aku bahkan mempertaruhkan nyawaku untuk sampai kesisni dengan cara menyetir Galang yang diluar batas normal.
“Pasien itu sudah ditangani oleh dokter Siska,” ujar dokter Harun sambil terus menatap berkas-berkas di tangannya. Aku melongo. Kalau memang ada banyak dokter jaga hari ini mengapa aku dipanggil seperti tadi?!
“Dokter Isabella, sekarang lebih baik kau bersiap-siap, kita akan melakukan oprasi pada korban kecelakaan,” ujarnya. Aku terhenyak. “Dia menaglami robek pada tendon lengan kirinya,” tutur dokter tua itu. Aku mengernyit, hanya sobek tendon lengan dan wajahnya sampai sekhawatir itu. “Suster, ambilkan lagi kantung darahnya, mungkin lima atau enam,” aku menatapnya tidak percaya.
“Dokter!” potongku cepat.
“Isabella, pasien ini menderita hemophilia,” terang dokter tua itu. Tubuhku membeku seketika. “Kau tau betapa beresikonya semua ini,” aku mengaguk perlahan. Dan sesaat kemudian sebuah ranjang didorong masuk keruang oprasi.
Deg…
Aku tersentak. Tubuhku membeku ketika melihat wajah pucat itu terbaring lemah dihadapanku. Air mataku menetes perlahan. Darah terus menetes dari lengan kirinya yang sudah di perban. Tubuhku melemas ketika sosok itu dibawa kedalam ruang steril. Aku ingin menggapainya, menahannya agai selalu ada bersamaku.
“Isabella,” dokter Harun menyentuh pundakku. Wajahnya terlihat cemas.
“Dokter, ini tidak mungkin,” isakku.
“Dengar nak, kau seorang dokter. Semuda apapun dirimu, kau tetap seorang dokter, kau tentu tau resikonya. Kau tentu mengerti tingkat keberhasilan oprasi ini. Tapi kita semua akan mencoba sebaik mungkin. Aku bersumpah. Tapi saat ini aku membutuhkanmu nak, aku butuh bantuanmu,” bahuku terguncang karena tangis yang tertahan. “Isabella, aku tidak tau apa hubunganmu dengannya, tapi ku mohon, tetaplah bersamaku,”
“Dokter Harun, biar saya yang menggantikan Isabella untuk oprasi ini, pasien apendik sudah mulai stabil, suster Maria akan menyelesaikan penutupannya.” Ujar dokter Siska yang sudah berganti pakaian steril yang baru.
“Aku akan ikut,” bisikku pelan. 

5 komentar:

Fathy mengatakan...

waduh siapa itu?? sam kah??
makin banyak teka teki di cerita ini,,,
tapi tetep suka, lanjtkan cher :)

naoki anxiantha citra mengatakan...

penasaran...

Unknown mengatakan...

hehehehe.... sudah selesai yah ceritanya... silakan baca bab selanjutnya,,,,

Anonim mengatakan...

see...???? da bakat nigh aq jadi ahli cenayang...*sambil tersenyum tipis*

Unknown mengatakan...

iya mba riska emang paling tau... hehehehe