Minggu, 18 November 2012

HUJAN KEMARIN -14-


BAB EMPAT BELAS
Sad Beautiful Tragedy


Lena berdiri menatapku di ambang pintu kamarku. “Ada apa?” tanyanya, ia langsung memelukku erat, membuatku kembali merasakan duri itu menusuk semakin dalam. “Izz… ada apa?” ia terdengar begitu khawatir. Membuatku kembali menangis keras. Ku mohon, berhenti bersikap baik padaku. Karena aku tidak bisa terus seperti ini. Aku tidak bisa membenci orang yang menyayangiku. “Izz… katakan padaku, ada apa? Apa yang terjadi?”
Sampai kapan kau akan berpura-pura tidak mengetahui apa yang tengah terjadi?!
Aku menggeleng. “Aku ingin sendiri,” desisku. Lena tampak tercekat, membeku di tempatnya. “Tinggalkan aku sendiri!” teriakku histeris. Lena menggeleng perlahan. “Biarkan aku sendiri, kumohon…” pintaku. “Berhenti mencampuri urusanku! Tidak bisakah kau hanya pergi saja dari kehidupanku?”
“Kau benar…” bisik Lena. Suaranya datar dan melayang di udara di sekitarku. “Aku seharusnya tidak mencampuri masalahmu,” bisiknya. “Aku seharusnya pergi, aku seharusnya…” aku tercekat ketika melihat Lena mulai meracau.
“Tidak Le… maksudku…”
“Kau benar. Kau benar… aku seharusnya tidak di sini,” ia menatap jemarinya nanar. Hatiku benar-benar sakit melihat kesedihan itu. air matanya… “Aku seharusnya meninggalkanmu,”
“tidak!” teriakku keras. Lena menatap sedih kearahku. “Tidak ku mohon,” pintaku. “Aku ingin kau di sini, bersamaku.”
“Tapi aku tidak seharusnya di sini,” tangisnya.

PRANG…
aku membanting frame foto kami. Ia menatapku perih. “Dengar kalau kau berani pergi aku akan membunuh diriku sendiri!” ku raih pecahan kaca yang cukup runcing. Ia terbelalak dan menggeleng.
“Tidakkah kau mengerti kalau aku harus pergi??!!” teriaknya.
“Aku tidak ingin kau pergi!” teriakku kalut.
Plak!
Tamparan itu begitu keras di pipiku. Menyengatku hingga ke hati. Menumpahkan air mataku. Namun kemudian pandanganku kabur ketika tanganku menyentuh pipi kiriku. Tidak ada memar di sana. Tidak, tidak  pernah ada memar disana, karena memang tidak ada yang menamparku. Lena tidak akan pernah menamparku. Lena tidak akan pernah, karena dia memang tidak pernah ada lagi di sampingku.
Aku menatap hujan dengan perih. Membayangkan betapa menyenangkannya jika aku bisa menumpahkan air mataku seperti langit menumpahkan hujan dengan begitu derasnya. Aku menggeleng perlahan. Menahan gemuruh hatiku untuk tidak berteriak memberontak. Kemudian aku merasakan lengan Lena menyentuh jemariku. Aku membuka mataku dan tidak ada yang menyentuh jemariku selain diriku sendiri. Dan itu pulalah yang terjadi selama ini.
Lena tidak pernah menyuruhku menjadi seorang pejuang cinta, aku sendiri yang menginginkannya; Lena tidak pernah membawa barang-barangnya kerumahku, aku sendiri yang membeli barang-barang itu; Lena tidak pernah mengubah diriku, mengeriting rambutku kala itu. tapi aku sendirilah yang melakukannya!; Lena tidak pernah memperkenalkan diriku pada Sazkia, aku sendirilah yang berdiri disana, memohon untuk bisa bergabung ke dalam klub cheers; dia tidak pernah melakukan apapun. Tidak pernah sama sekali! Karena Lena tidak lagi ada bersamaku.
“Lena sudah tidak ada Isabella,” aku menatap mama yang datang karena mendenagr teriakanku. Aku menggeleng tidak terima dengan kata-kata menyakitkannya. “Lena sudah meninggal sayang,” air mata mama menetes perlahan. Aku membeku menatapnya. “Kau harus bisa menerimanya,”
“Ma, Lena ada dan dia baru saja berada di sini, bersamaku… dia baru saja menemaniku,” mama memelukku erat. Aku mengerutkan keningku. Namun hati kecilku menjerit perih. “Izzi, Lena sudah meninggalkan kita enam bulan yang lalu karena kecelakaan itu, kau harus menerimanya.” Aku menggeleng keras. Mendorong bahu mama hingga menjauh.
“Tidak ma!! Lena masih hidup! Dia masih bersamaku, menemaniku!!! Dia yang selalu membantuku mengerjakan pr matematikaku, dia yang selalu menyemangatiku untuk terus berusaha!! Dia yang melakukannya ma!! Dia!!” air mataku menetes ketika tubuhku mulai limbung. “Dia selalu bersamaku ma… Lena belum mati,” isakku lemah. Mama kembali memelukku. Namun kini aku tidak memiliki kekuatan untuk mendorongnya. “Dia masih menemaniku ma… dia selalu di sini,”
“Iya sayang, mama tau kau sangat kehilangannya,” mama memelukku erat. “Menangislah sayang, mungkin Lena butuh air mata itu untuk sesekali, tapi kau harus tegar setelah ini.” Ujarnya. Aku menjarit dalam tangisku. Tidak ma… dia tidak membuatuhkan apapun dariku, aku yang membutuhkannya teramat sangat… sahabat kecilku… Lenaku yang baik hati…
“Tapi dia selalu bersamaku ma… dia tidak pernah meninggalkan kita,” aku merajuk.
“ya, dia selalu bersama kita. Dan kau tau itu. tetapi bukan di dunia nyata sayang… hanya di hati dan benak kita…”  aku menangis keras. Aku berteriak memberontak dalam pelukannya. Aku tidak ingin mengakui kenyataan itu!!! aku tidak ingin mendengarnya!! Aku tidak ingin Lena mati!!
Aku menatap Lena yang berdiri di ambang pintu. Wajah cantiknya tersenyum sedih padaku. Ia mengaguk perlahan kemudian air matanya mengalir. Oh Tuhan… aku ingin merengkuh wajahnya, mengapus air matanya, meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku ingin membuatnya kembali tersenyum! Tapi kemudian dia menggeleng. Aku menangis keras ketika ia menunduk dan mundur menjauh. Tidak ku mohon jangan pergi!! Ku mohon!!! Aku berteriak tanpa suara.
“Aku selalu di hatimu,” bisiknya sebelum tubuhnya menghilang. Aku berteriak histeris kemudian memberontak pada kegelapanku sendiri.
                              ****
Aku terdiam tak bergerak ketika jam menunjukan pukul 7.15. hujan di luar sana semakin membesar. Tubuhku kaku tak bergerak, mulai merasa takut pada kegelapan mendung dan petir itu. Kedua tanganku mencengkram sisi kursiku dengan erat. Aku sudah lelah menunggu, hingga akhirnya ketukan itu terdengar juga.
“Selamat pagi tante,” suaranya begitu akrab di telingaku.
“Tunggu yah Le, tante panggilkan Izzi dulu,” aku memalingkan wajahku ketika mendengar kata-kata mama. Tak lama kemudian ketukan kembali terdengar dari depan pintu kamarku. “Izzi, Lena sudah datang. Kau benar-benar tidak mau sekolah?” Tanya mama. Aku tidak menjawab. Masih terbungkam oleh kekesalanku padanya karena kejadian kemarin sore.
“Aku tidak mau sekolah!” teriakku. “Bilang saja aku sakit!” mama menatap marah kearahku. Namun aku tidak peduli. Aku tidak ingin melihatnya lagi. Aku tidak ingin bertemu dengan orang yang dengan keras menentang kepergianku ke Australia untuk meneruskan studi disana. aku membencinya.
“Tidak apa-apa tante, mungkin Izzi memang sakit,” aku mendesis jijik mendengar suaranya yang lembut. “Aku akan memintakan izin untuknya,” tambah gadis itu. “Aku akan berangkat sendiri,”
“Hm… terima kasih Lena,” aku mencibir muak mendengar kata-kata mama padanya. “Kamu hati-hati,” tambahnya. Aku bisa melihat Lena mengaguk dan berbalik keluar dari kamarku.
“Tunggu dulu!!” teriakku. Mama dan Lena menoleh kearahku. Aku memutar bola mataku ketika bangkit dari ranjang. “Aku titip ini ke kantor jurnal,” aku menyerahkan setumpuk kertas kepadanya.
“Izzi!” tegur mama. Aku mendesis tidak acuh. “Hari ini hujan, dan Lena akan kerepotan membawa payung dan tumpukan kertas sebanyak itu.” baru saja aku ingin membantah perkataan mama, namun gadis itu sudah terlebih dahulu membuka mulutnya.
“Tidak apa-apa tante, aku bisa.” Jawabnya penuh keyakinan. Aku mengendus kepadanya.
“Dengar kan ma? Dia bisa melakukannya sendiri,” ujarku angkuh. Lena menunduk sesaat. Aku mengangkat bahuku seakan tidak peduli padanya.
“Hm, Izzi… maaf,” katanya pelan. “Aku tidak bermaksud melarangmu untuk pergi menemui ayahmu,” katanya. Aku berbalik tidak peduli dengan kata-katanya. “Aku hanya merasa terguncang karena kau akan meninggalkanku,” tambahnya. Aku mengendus dan mengangkat tanganku tanpa berbalik.
“Sudahlah, aku tidak peduli lagi.” Kataku dingin. Lena terdiam sejenak sebelum akhirnya pergi.


Aku meninggalkannya??? Well, setidaknya itulah yang memang tampaknya akan terjadi pada hari itu. Ayahku yang tinggal di Australia mengusahakan sebuah beasiswa pertukaran pelajar untukku. Dan tentu saja ketika itu berhasil aku bahagia bukan main. Tetapi sahabatku sendiri menentangku.
Aku marah padanya. Marah teramat sangat. Aku terluka melihat ketidak sukaannya akan rencana itu. bukankah dia tau aku merindukan ayahku??!! Bukankah dia tau???!! Tapi mengapa ia justru melarangku pergi??
Oke, mungkin dia iri. Itu adalah hal bodoh yang ku pikirkan di hari berhujan kala itu. tentu, tentu saja sahabatku iri padaku. Tapi dia adalah sahabatku. Bagaimana mungkin ia tega melakukan itu??!! bagaimana mungkin?!
Aku terluka, dan enggan bertemu dengannya untuk alasan apapun. Meski Lena selalu menjemputku untuk berangkat sekolah bersama. Aku selalu menghindarinya, entah berangkat terlebih dahulu atau berangkat setelahnya. Aku muak padanya.
Hingga di hari berhujan kala itu. ia dengan tubuh ringkihnya kembali menjemputku. Aku memang sedang merasa tidak enak badan. Well, berlebihan memang, tetapi aku benar-benar tidak ingin berangkat bersamanya. Dan untuk berangkat sendiri aku terlalu takut pada gelap mendung kala itu.
Lena disana, berdiri mematung di pintu kamarku, berbicara dengan suaranya yang sendu pada mamaku. Dan aku memakinya dengan tatapanku. Membuat gadis penuh semangat itu menunduk lesu. Membuatku kehilangan senyuman indah seorang sahabat.
Dan aku melihatnya. Ya aku melihatnya berjalan sendiri dengan tumpukan kertas di tangannya dari jendela kamarku. Tapi aku tidak peduli. Aku tidak peduli dengan apapun yang terjadi padanya. Sama sekali tidak.
Ia selalu mengatakan takut kehilanganku. Namun tentu saja itu semua hanya omong kosong. Apa yang ia takutkan? Kami masih bersama hingga hari itu. tapi tentu, jika aku tau sebesar ini sakitnya kehilangan sosok yang ku sayangi, takkan pernah ku katakan perkataan buruk itu padanya.
Ia meninggalkanku, pada akhirnya. Tewas seketika pada kecelakaan di hari berhujan kala itu. pergi menjauh dari hidupku untuk selama-lamanya.
Penyesalan?!
Tidak, jangan tanyakan aku tentang kata itu. hidupku sudah penuh dengan seluruh luka yang takkan bisa terobati. Aku kehilangan satu-satunya sahabat terbaik yang menyayangiku apa adanya. Sahabat yang menemaniku di kala suka dan duka. Sahabat yang tidak pernah berhenti membantuku, seburuk apapun perlakuanku. Sahabat yang begitu ku sayangi…
Aku depresi, terluka karena kehilangannya. Mama sampai harus menjagaku siang dan malam. Menemani tidurku untuk menyadarkanku ketika bermimpi buruk. 3 bulan lamanya aku terus menjerit ketika hujan datang. Dan sampai saat ini pun aku masih takut pada hujan. Aku takut pada gelap, aku takut pada mendung, aku takut pada banyak hal yang mengingatkanku padanya. Atau lebih tepatnya pada perasaan kehilangannya. Aku takut.
Hingga akhirnya mama mulai tersenyum ketika menemukanku kembali tersenyum. Aku bisa melihat kelegaan di matanya, untuk sesaat, dan sesaat kemudian, ia hanya bisa menatap putrinya yang mulai berbicara sendiri dengan sedih. 
                              **** 


Dua hari kemudian aku baru bisa bangun dari tempat tidurku. Aku tidak sakit, namun hanya sedikit lelah. aku sudah mendapat banyak dispensasi dari sekolah semenjak kejadian 6 bulan yang lalu. Mereka seakan membiarkanku menyendiri karena lelah melihat tangisku yang berlebihan di sekolah.
“Kau mau sekolah?” Tanya mama ketika melihatku keluar kamar dengan seragam SMA ku. Aku mengaguk pelan. “Apa kau baik-baik saja?” tanyanya lagi. Aku ingin menjawabnya. Mengatakan yang sejujurnya, namun itu hanya akan membuatnya semakin sedih.
“Aku baik ma,” bisikku akhirnya. Mama menyentuh pundakku perlahan. “Aku baik-baik saja…” tambahku penuh luka.


Hari ini adalah hari audisi terakhir klub cheers diadakan. Dan aku sendiri tidak mengerti mengapa diriku datang kesekolah untuk hal menjijikan ini. Aku menatap gerbang rumahku dengan sedih. Mencoba kembali mengingat sosok Lena di sana, seperti yang ku lakukan selama ini. Ya dia di sana, menatap pilu padaku. Kami berjalan beriringan tanpa suara. Aku ingin menggenggam tangannya, namun aku melihat ia semakin menjauh setiap kali aku ingin menggapainya.
“Izzi,” Sazkia terlihat sedikit terkejut melihat kehadiranku. “Aku pikir kau sakit,” sakit karena Lena? ya. Aku menggeleng. Suasana lapangan basket kala itu sudah sangat ramai. Penuh oleh siswa siswi yang ingin menonton audisi terakhir ini. Jiwaku terasa kosong. Namun aku tetap mendengarkan instruksi dari Sazkia. Aku menatap kesekeliling kursi penonton, berharap bisa melihat sosok Lena. sekali saja… namun hingga saatnya aku dipanggil, sosok itu tidak pernah hadir.
Aku akan melakukan beberapa gerakan dance secara berkelompok. Kami berenam, dua orang dari kelas 2, dan empat orang lainnya kelas 1. Kami sudah berlatih dengan baik, dan kurasa aku bisa melakukannya.
“Kau baik-baik saja?” lagi-lagi pertanyaan itu yang terdengar. Aku menatap Aura, salah satu teman sekelompokku dengan penuh keyakinan. “Kau tidak usah memaksakan,” tambahnya. Aku menggeleng perlahan. Andai mereka tau apa yang sudah terjadi, mungkin mereka malah akan memaksaku untuk tetap duduk diam di rumah, meratapi semua lukaku. Tetapi aku mulai lelah dengan kepedihan itu.
“Aku baik-baik saja,” bisikku. “Bisa kita mulai sekarang?” tanyaku. Sazkia menatap kelompok kami dan mengaguk. Ia memutarkan lagu happy sad dengan beat rap hip-hop. Otakku sepenuhnya kosong, namun entah bagaimana tubuhku bisa bergerak mengikuti irama, sesuai dengan latihan, dan tampak lebih menyatu dengan musik itu.
Seluruh penonton seakan tersihir, mereka diam menatap kelompok kami. Aku memejamkan mataku dan merasakan sesuatu tengah menggerakan tubuhku dengan mudahnya. Semakin lama aku menari, semakin gelap relung hatiku. Aku tergagap dan langsung membuka mataku, tepat ketika aku melakukan gerakan berputar cepat. Jantungku seakan berhenti berdetak ketika melihat sosok tampannya di belakang sana. Ia menatapku dengan kepedihan yang tak terbaca. Seketika itu juga aku kehilangan kekuatanku.
“IZZI!!!” teriakan itu menggema ketika tubuhku ambruk begitu saja. aku mendengar teriakan mereka. Namun aku tidak bisa menjawab satu pun panggilan mereka. Tatapanku kosong dan mulai kabur ketika air mata itu tergenang di sana, hingga akhirnya gelap menguasai seluruh pandanganku.
                              ****
Aku tercekat dalam kegelapan. Nafasku mulai tersenggal-senggal. Aku ingin memberontak, namun tubuhku kaku tak bergerak.
“Izzi!!” seseorang mengguncangkan bahuku. Aku tersentak ketika tersadar dari mimpi burukku lagi. Wajah cantik Sazkia terlihat pucat.
“Maaf,” bisikku. Sazkia menggeleng perlahan. “Aku seharusnya tidak melakukan ini, memaksakan diriku terjun ke dalam bisang yang tidak ku kuasai,” kataku setelah hening cukup lama. Mataku menatap langit-langit ruang UKS tak berkedip.
“Kau salah Izz, kau berbakat, kau hebat.”
“Kak, aku bukan Lena sang gadis multilalen,”
“Aku tidak pernah menyamakanmu dengannya. Walaupun, harus ku akui, kau selalu mengingatkanku padanya. Kau seakan membawanya kembali hidup bersamamu,”
“Dia memang ada,” bisikku tercekat. Sazkia menggenggam erat jemariku.
“Kita semua merasakan kehilangan akan dirinya Izz. Kita semua… kau, aku, tante dan om Irawan, dan semua teman-teman di sini. Tapi kita harus merelakannya.”
“Aku tidak bisa membiarkannya pergi,” bisikku perih. Sazkia memelukku erat.
“Tidak ada yang menginginkannya,” bisiknya di telingaku. “tapi tidak ada pula yang bisa mencegahnya Izzi… sadarlah,” air mataku menetes perlahan pada kata-kata terakhirnya. Sadarlah?? Ya, seharusnya aku sadar kalau saat ini aku sendirian. Aku kehilangan poin-poin penting dalam hidupku. Cahaya dan senyuman dalam kehidupanku. 

7 komentar:

Fathy mengatakan...

cherryyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyy
tega bikin nangis malam2, tpi aku bener2 salut sama cherry..
bsok pagi dh hrs diposting bab 15 nya,,, :p

Unknown mengatakan...

udah lama g bongkas isi blog'y cherry... eh udha bab 14 aja.... udah ketinggalan bngt aq...
makasih y cherry... ini ni komen dlw, baca'y bsok....

Anonim mengatakan...

kenapa jadi begini alurnya???/
salah smua tebakanku........WWHhoooooaaaaaaaaaaaaaaaaaaa..........
*garuk2 kepala bingung..

narnia mengatakan...

hahhaha...
kacau kan tebakan nya.
hhehehe
pagi2 dh mewek.

Unknown mengatakan...

hehehehe... jWabannya ada di bab selanjutnya yah... :) :) :)
tpi mungkn beberapa hari kmudian bru bsa posting...
akunya kuliah dlu... hehehehe

Fathy mengatakan...

kuliahnya yg semangat y cherry cantik,,,,,
sukses trs sama karya2nya cherry
*peluk cherry

Nunaalia mengatakan...

Cherry, dari bab 11 aku bingung, sbnernya apa yg bikin izzi tiba-tiba sedih?? ada rahasia apa??

agak bingung mengernyit-ngernyit bacanya n agak kurang ngerti...
p
as sampe bab ini baru ngeeh, ternyata lena itu udh meninggal ya!
selama ini tokoh lena itu cm izzi yg bs liat??