Jumat, 30 November 2012

HUJAN KEMARIN -20-


BAB DUA PULUH
The forgotten sheets


Aku tersentak dalam kegelapan yang begitu dalam, mencekikku hingga sulit bernafas, seluruh tubuhku terasa begitu nyeri, remuk tak berbentuk. Samar-samar aku bisa merasakan sebuah kehangatan dari tangan yang menggenggam jemariku. Aku mendesah lega, mulai merasa nyaman dengan kegelapan itu, sebelum akhirnya kembali kehilangan kontrol atas tubuhku lagi.


Itu kedua kalinya aku tersentak dalam ketidak sadaranku. Tapi kini aku tersentak karena aroma yang begitu menyengat dari sekelilingku. Aku tidak yakin itu aroma apa, tapi baunya benar-benar menyengat. Menyesakan dadaku yang secara spontan menahan nafas. Kemudian aku mendengar suara bising dari roda-roda besi yang bergesekkan dengan lantai, suara dentingan dari benda-benda yang begitu familiar di telingaku. Aku memusatkan pikiranku, mencoba menerka keadaan di sekelilingku. Namun semakin keras aku mencoba, semakin perih kepalaku. Semuanya terasa berdenyut-denyut, aku ingin berteriak ketika merasakan kepalaku hampir pecah karena rasa sakit. Namun kemudian aku bisa merasakan kehangatan itu lagi. Kehangatan yang membebaskanku dari perih dan ketakutan itu, tepat sebelum aku kembali tertidur.


Cahaya itu begitu menyilaukan, aku menyipitkan mataku, berusaha beradaptasi dengan sekelilingku. Aku tidak terlalu yakin, tetapi aku pikir seorang gadis cantik tengah tersenyum di hadapanku. Rambutnya panjang sebahu, wajahnya sedikit pucat, tetapi ia jelas cantik. Tangannya terulur kepadaku, dan tanpa keraguan sedikitpun aku membalas uluran tangannya, menggenggam jemarinya yang membeku. Ia mengangguk dan menarik diriku kedalam cahaya itu.
“Tidak…” bisikku pelan. Tubuh di hadapanku terdiam. “Ada yang menungguku,” bisikku. Hatiku terpilin ketika melihat wajah itu mendadak sedih. Aku ingin merengkuhnya, menjaganya agar tetap tersenyum.
Ia melepaskan tanganku dengan perlahan. kemudian merengkuh wajahku dengan kedua telapak tangannya yang dingin. Aku tersentak ketika ia mendekatkan wajahnya, kemudian dengan perlahan menempelkan dahinya di dahiku. Menyebarkan rasa dingin yang aneh dalam kepalaku. Dingin, dan membeku. Aku terhanyut dalam perasaan aneh yang tak bisa ku ungkapkan. “Siapa kau?” tanyaku padanya sebelum berteriak keras karena sakit yang teramat dalam menghujam kepalaku.


“Isabella…” suara itu menggelitik telingaku. “Isabella,” aku mengerutkan keningku ketika mendengar kekhawatiran dalam nada suara itu. “Isabella…” lagi-lagi nama itu yang terdengar. Kemudian aku merasakan sesuatu menekan lenganku. Aku tersentak, dengan perlahan membuka mataku. Mataku menyipit ketika menatap cahaya dari lampu yang menderang di langit-langit. “Isabella… akhirnya kau sadar…” aku menarik tubuhku ketika wanita di sampingku memelukku erat. Kemudian seorang pria tua berkacamata mendekatiku, memeriksa mataku, mempelajari pupilku dengan senternya, membuatku semakin linglung dengan cahaya.
“Kau bisa mendengarku Isabella?” aku mengerutkan keningku, aku bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Tapi siapa Isabella, mengapa ia menatapku seperti itu?
“Siapa Isabella?” tanyaku susah payah. Tenggorokanku perih karena kering. Wajah wanita di sampingku memucat. Ia menatap pria tua itu dengan ketakutan yang teramat jelas. “Dimana aku?” tanyaku sedikit panik.
“Tenanglah nak…” pria berjas putih itu berbisik perlahan. “Kau berada di rumah sakit,” ujarnya lagi. Aku memandang kesekeliling ruangan. Jendela besar, sebuah sofa, kulkas kecil, tv, dan beberapa hal standar lain.
“Apa yang terjadi? Siapa aku?” tanyaku padanya. Wanita di sampingku menangis perlahan. Menuntut jawaban pada pria dihadapanku.
“Kau Isabella. Kau mengalami kecelakaan dua bulan yang lalu, dan ini adalah ibumu,” tuturnya. Aku mendelik, menilai wanita itu dengan seksama. Ia mungkin berumur antara 40-50 tahun. Tapi ia cantik, rambutnya dijepit ala kadarnya, wajahnya pucat dan lelah.
“Isabella, kau tidak mengingat mama?” tanyanya serak. Hatiku terpilin, nafasku mulai tersenggal-senggal.
“Kepalaku sakit…” desisku ketika nyeri itu menghantam setiap sudut kepalaku.
“Dok…” wanita itu menatapku dengan kecemasan yang tidak dibuat-buat. Aku menatap sendu kearahnya sebelum kembali lepas kendali atas kesadaranku.


Mimpi itu kembali hadir. Mimpi berada di tengah ruangan yang menderang. Tapi kini aku sendirian di tengah kebekuan. Aku menatap kedua telapak tanganku. Aku bisa melihatnya, tapi atu tidak bisa merasakannya. Tubuhku mati rasa, hingga otakku menyerah untuk mengontrolnya. Tapi kemudian aku merasakan air mataku mengalir, dan membeku seketika itu juga. Tubuhku menggigil karena hawa dingin yang tiba-tiba berhembus kencang, kemudian aroma itu lagi. Aroma menyengat yang menyesakan dadaku.


Aku  tersentak, seakan terbebebas dari mimpi buruk. Cahaya menyilaukan tadi telah digantikan dengan cahaya yang lebih lembut, meski tidak kalah terangnya. Aku menyipitkan mataku untuk menatap sosok-sosok di sekitarku. Mempelajari segala sesuatu yang bisa ku tangkap.
“Isabella?” suara tua dokter itu membuatku linglung, namun akhirnya penglihatanku mulai jelas. “Kau bisa melihat kami sekarang?” tanyanya. Aku mengangguk sangat pelan. Merasa lemas untuk menggerakan otot-ototku.
Aku tidak yakin sudah berapa lama aku tertidur, namun rasanya semuanya tampak banyak berubah. Ruangan ini lebih luas, yang saat ini dipenuhi oleh orang-orang asing.
“Isabella, kau bisa mengenali kami?” Tanya dokter itu lembut. Aku menatap keempat wajah di hadapanku dengan bingung. Mencoba membuka-buka memoriku yang terdalam, tetapi hasilnya nihil. Kepalaku terasa sakit sampai akhirnya aku menyerah dan menggeleng pada dokter tua itu. “Tidak apa-apa Isabella, ini hanya masalah kecil, kau akan segera mendapatkan ingatanmu kembali,” ujarnya sambil tersenyum. “Itu ibumu,” ia menunjuk kearah wanita yang tengah menangis. “Ayahmu, dan adikmu, Savanna.” Aku menatap wajah yang ditunjukan oleh dokter itu dengan ragu. Kemudan mereka memelukku, kecuali gadis cantik yang tengah berdiri membeku di ujung ranjangku.
“Maaf…” bisikku tercekat. “Tapi aku tidak bisa mengingat apapun…”
“Tenanglah Isabella, kau akan baik-baik saja, papa janji.” Aku ingin mengaguk, memepercayai kata-kata pria paruh baya itu. Namun aku menemukan tubuhku membeku.
“Apa aku sudah menikah?” tanyaku ketika menyadari sebuah benda berkilauan di jari manisku. Wanita yang mereka katakan sebagai ibuku memucat. Ia melirik sosok-sosok lainnya dengan kikuk. Membuatku semakin penasaran. Kemudian pria di sampingku tersenyum.
“Kau sudah bertunangan sayang, dan akan segera menikah,” tambahnya. Aku merasakan dadaku kembali sesak. Aku sama sekali tidak mengingat mereka, aku tidak bisa mengingat apapun, bahkan pertunangan ini, ataupun cinta itu. Tapi aku tidak mau mengingkarinya, aku melihat cincin itu melingkar indah di jari manisku. Tentu saja aku memiliki alasan yang kuat untuk membiarkan cincin itu berada di sana.
“Mana dia?” tanyaku. Mulai merasa berdebar-debar menunggu jawaban mereka. Aku tidak yakin apakah aku akan mengenalinya atau tidak. Tapi aku yakin, ketenangan yang selama ini ku dapatkan adalah darinya, dari pria yang mereka katakan sebagai tunanganku.
Kemudian pintu ruangan itu perlahan terbuka, semua mata langsung menoleh padanya. Tetapi pemuda tampan itu hanya menatapku, mengunci pandanganku. Wajahnya menyimpan berjuta emosi, namun aku tidak bisa membacanya. Ia seperti sedang bahagia, sedih, kecewa, ragu, dan entahlah, aku tidak yakin akan semua itu. Tapi ia disana, berdiri diambang pintu dengan sebuket bunga mawar putih di tangan kirinya. Rambutnya berantakan, wajahnya tampak lelah. Ia mengenakan t-shirt putih dengan jeasn, begitu santai dan apa adanya.
Hatiku bergetar, mataku memanas ingin menangis, kupegang erat cincin yang melingkar dijariku dengan tanganku yang bebas. Seakan menuntut sesuatu dari cincin yang membisu itu. Menuntut sebuah penjelasan, menuntut sebuah memori, menuntut keberadaan cinta itu.
Air mataku menetes kerika ia memelukku. “Kau sudah siuman?” ia terdengar begitu lega, namun masih diliputi sedikit ketakutan. Aku membeku dalam pelukannya. Merasa hambar dalam diriku. “Sayang… lihatlah aku, apa kau mengenaliku?” tanyanya, ia merengkuh wajahku dengan kedua tangannya.
Aku bisa melihatnya, tapi aku tidak mengenalinya.
“Sst…” ia menghapus air mataku yang menetes. “Tenanglah sayang, kau tidak harus mengingatku. Kita bisa memulainya dari awal lagi… aku janji,” bisiknya lembut. Aku ingin mengiyakan kata-katanya, namun tenggorokanku tercekat. Hatiku perih dengan alasan yang tak bisa ku ungkapkann.
                                                    ****


Aku masih merasa begitu baru dengan segala sesuatu di sekelilingku. Wanita bernama Diandra yang menjadi ibuku; Harris sang pengusaha sukses yang menjadi ayahku; Savanna, adikku yang berbeda 2 tahun dariku; dokter harun; dan tunanganku. Semuanya begitu asing. Tapi aku bersumpah, aku ingin mengingat mereka, mengingat kembali kehidupanku. Karena sesuatu dalam masa lalu itulah yang menjagaku tetap berada di dunia ini.
Aku bernama Isabella Haris, putri pertama dari keluarga Haris; seorang wanita berumur 23 tahun yang –sebelum kecelakaan itu- bekerja di perusahan papa; dan bertunangan dengan seorang pria tampan yang kini tidak pernah meninggalkan diriku walau sejenak.
Itu adalah sebuah cerita singkat tentang kehidupanku yang ku dengar dari mama. Aku tidak memiliki satu memoripun tentang masa laluku, dan dokter Harun dengan gamblang mengatakan bahwa kemungkinan besar aku akan kehilangan memoriku untuk waktu yang lama, atau mungkin selamanya. Tapi stidaknya aku bersyukur karena masih memiliki orang-orang yang ku sayangi.
Well, mungkin kata-kata tunanganku tentang memori itu memang benar adanya. Aku tidak harus mengingat masa laluku, aku bisa mengingatnya dari awal.


“Ma, apa hobiku?” tanyaku suatu pagi. Mama yang tengah mengupas apel di sampingku langsung terdiam.
“Kau menyukai banyak hal… banyak sekali…” ujarnya lembut. “Kau suka membaca, menulis, bernyanyi,” aku tersenyum tipis mendengar jawaban mama. Ia tampak lebih segar meskipun tetap terlihat sedih. Ya, kesedihan di matanya itu sedikit mengusikku. Aku memang belum terlalu mengenalnya –atau mengingatnya- tapi aku bisa melihat kesedihan di matanya. Kesedihan yang jelas tak bisa ia sembunyikan.
“Ma…” aku menyentuh tangannya yang bergetar. Aku sangat jarang mendapatkan waktu berduan dengannya. Terkadang hampir selalu ada tiga atau lebih pengunjung di kamarku. “Apa ada  yang mama sembunyikan?” tanyaku lembut. Mama tertegun sejenak, namun ia jelas terlihat terkejut atas pertanyaanku.
“Tidak ada sayang…” bisiknya setelah terdiam cukup lama. “Kau adalah dirimu, mama bersumpah akan hal itu. Kau juga sangat mencintai tunanganmu,”
“Tapi ma, aku merasa sepertinya mama tidak terbiasa dengan namaku,”
“Isabella, kau adalah putriku. Putri yang paling kusayangi… setelah ini, setelah keadaanmu cukup baik, kita akan segera pergi dari tempat ini nak, kita akan memulai kehidupan yang baru,”
“Tapi ma… Apa kita akan pergi dari sini? Maksudku, apa kita akan pergi jauh?” tanyaku ragu. Mama mengaguk.
“Mama dan papa sudah memutuskan untuk membawamu keluar Indonesia,”
“Tapi masa laluku di sini ma, kalau aku mau mengingat masa laluku, aku harus berada dekat dengan hal-hal yang berkaitan dengan itu,”
“Tidak ada yang perlu kau ingat nak,” bisik mama tanpa melihat kearahku. “Kita akan memulai hidup baru yang lebih baik lagi. Kau bisa menemukan hal baru yang ingin kau kerjakan, kau bisa memulainya…”
“Ma…” aku menggeleng perlahan. “Aku ingin meneruskan kahidupanku, bukan memulai hal baru.”
“Tapi kau sudah kehilangan semua ingatanmu Isabella. Mengingatnya hanya akan membuatmu semakin sakit, mama tidak mau mengambil resiko itu. Mama tidak mau kehilanganmu lagi…”
“Mama tidak akan pernah kehilanganku,” bisikku perih. Mama memelukku erat, menumpahkan semua luka yang dirasakannya.


Aku pernah belajar mengenai asal usul hujan. Mempelajari bagaimana hujan itu tercipta, dan bagaimana siklus penguapannya. Namun dari sekian banyak hal yang –mungkin- dulu pernah ku pelajari, kini semuanya menguap. Menghilang tanpa jejak. Aku seperti kehilangan jati diriku. Lupa akan segala sesuatu tentang kehidupanku, bahkan hal-hal istimewa dalam dalam kehidupanku yang seharusnya tak bisa ku lupakan.
Tapi mama benar,  semakin keras usaha ku untuk mengingat semua masa laluku, semakin perih kepalaku, dan semuanya akan semakin membaur. Seperti menggenggam pasir, semakin erat kau menggenggamnya, maka semakin sedikit yang kau dapatkan.
“Ini…” aku menoleh ketika Savanna menyodorkan segelas jus berwarna putih. Aku tersenyum tipis dan menerimanya, kemudian kembali menatap hujan yang terus mengguyur raya yang gersang.
Kamarku berada di lantai tiga, menghadap lurus taman rumah sakit yang tertata rapih. Ada sebuah air terjun buatan di bawah sana, dan meski dengan jelas terdapat anjuran untuk tidak bermain di sana, tetapi beberapa bocah kecil tampak asyik menonton ikan-ikan keemasan dari kolam itu. Aku mendesah, mulai kembali merasa perih dalam hatiku karena lupa akan masa kecilku.
“Bagaimana masa kecil kita?” tanyaku pada Savanna yang masih berdiri menemaniku menatap hujan. Ia terdiam lama, matanya menerawang jauh. Suasana kamarku saat itu cukup sepi. Aku tidak akan bisa menanyakan masa laluku jika ada banyak orang di sekelilingku. Konyol memang, namun aku merasa mereka memang sengaja menjauhkanku dari masa laluku. Oke, mungkin aku bisa mengerti jika pada akhirnya mereka berasalan, ini semua demi kebaikanku, kesembuhan cara kerja otakku, tapi satu hal yang tidak ku mengerti adalah pandangan aneh mereka. Pandangan yang seakan menunjukan peperangan batin yang sedang mereka rasakan dalam diri mereka sendiri.
Mataku melebar saat melihat seorang bocal kecil jatuh terjungkal karena tersandung kakinya sendiri. Bocah itu jelas kesakitan, namun ketika seorang gadis kecil menghampirinya, ia langsung mengangkat wajahnya, menunjukan bahwa ia tidak apa-apa. Aku tersenyum melihat drama kecil itu, begitu lucunya tingkah si bocah, dan betapa bodohnya gadis kecil itu. Tidak bisakah ia melihat bocah itu meringis kesakitan sesaat yang lalu??
Kemudian seorang perawat meneriaki mereka –sepertinya- karena aku tidak bisa mendengar mereka dari kamarku di lantai tiga ini. Namun dari bahasa tubuh yang ku angkat sepertinya suster itu memarahi kedua bocah berpayung mungil itu.
“Kita tidak memiliki masa kecil,” bisik Savanna, mengingatkanku tentang keberadaannya di sampingku. Aku memundurkan tubuhku, kembali menyandarkan punggungku di kursi rodaku. Sebenarnya aku sudah bisa berjalan sejak dua hari yang lalu –atau mungkin aku memang tidak memiliki masalah dengan system motorikku-  tapi mereka semua memaksaku untuk beristirahat total, memanjakan tubuhku yang kaku.
Ku letakan gelas jus itu di meja kecil di sampingku, kemudian berdiri. Secara spontan Savanna langsung mengulurkan tangannya untuk membantuku. Aku menatapnya dan menggeleng, mengatakan bahwa aku baik-baik saja.
Aku berjalan dengan mudah menuju ranjangku. Sudah tidak ada alat-alat berat si sana, tidak seperti pertama kali aku membuka mata. Bahkan dokter sudah melepas selang infusanku sejak tadi pagi. Aku menatap kesekeliling ruangan rawat inapku. Hanya ada satu ranjang di sini, satu lemari kecil yang berisi berbagai barang, sebuah tv yang sangat jarang ku lihat, namun jarang juga di matikan, seakan sengaja dinyalakan untuk mengisi kekosongan di ruangan ini. Sebuah sofa panjang berada tidak jauh dari ranjangku. Aku berjalan perlahan dan duduk disana, mencoba merasakan kehangatan orang-orang yang sebelumnya pernah duduk disana –menungguku-. Aku membelai lembut permukaan sofa berwarna biru itu, mencoba mengorek sedikit keterangan darinya. Namun seperti benda-benda mati lainnya, ia masih tetap membisu.
Mama dan papa sudah bulat dengan keputusan mereka untuk membawaku keluar negri. Dengan alasan yang sangat tidak masuk akal; ingin mengintensifkan penyembuhanku –yang sejujurnya saat ini aku merasa sangat baik-baik saja-. Selain kepalaku yang masih berdenyut-denyut ketika terlalu keras berpikir, secara keseluruhan tubuhku baik-baik saja. semuanya normal. Namun mama dan papa bersikeras untuk membawaku pergi. Sejujurnya, semua lelucon ini membuatku mual.
Tiba-tiba pintu terbuka. “Isabella,” mama terdengar sedikit terkejut melihatku duduk di sofa  bukannya berbaring di ranjang. Aku menatapnya dengan sebuah senyuman yang sama sekali tidak menyentuh mataku.
“Aku sudah sembuh ma…” bisikku merajuk. Mama mendesah dan duduk di sampingku, memberlai lembut kepalaku seakan aku hanyalah gadis kecil yang merengek meminta permen. “Ma, aku tidak ingin pergi kemanapun, aku ingin tinggal di rumah,” pintaku. Mama kembali membelai kepalaku, kamudian turun kepunggungku. Sentuhannya terasa lembut namun jelas menyimpan kelelahan. “Ma…” bisikku, mencoba mengembalikannya ke dunia nyata. Mama mendesah dan menoleh padaku. Tersenyum lembut penuh kasih.
“Isabella…” desahnya pelan. Tidak sekalipun matanya menatap mataku. “Kita…”
“Kita akan pulang kerumah jika itu yang kau inginkan,” aku dan mama langsung terdiam ketika tiba-tiba suara itu memotong perkataan mama. Kami menoleh ke pintu kamarku yang sudah terbuka. Aku bisa melihat wajah mama berubah, sedikit ketakutan sepertinya. Tapi aku tidak tau mengapa. Semuanya begitu membutakan bagiku. Tapi aku tetap tersenyum atas pernyataan tunanganku.
“Terima kasih Ethan…” bisikku tulus.


4 komentar:

liatanubrata mengatakan...

Wah makin penasaraan neh cherry ..koq ethan bisa ngaku tunangannya??trs sam nya kmn seh??

Unknown mengatakan...

Hah?ethan?ih si sam mana?km slh ketik y cher? *maksa

Unknown mengatakan...

hehehehehe nnti jawabannya di bab bab selanjutnya yahhh :) :)

mba Rena, aku nggak salah ketik... hihihihi

narnia mengatakan...

makin penasaran.
hehehe