Jumat, 23 November 2012

HUJAN KEMARIN -18-


BAB DELAPAN BELAS
Cinta untuk Cinta


Hembusan angin menerpa wajahku. Mata sebamku terasa perih karena belum tidur sejak semalam. Berkali-kali ku hirup nafas dalam-dalam untuk menenangkan gemuruh hatiku. Kemudian menatap penuh kasih makam di hadapanku. Aku berjongkok di samping nisannya, membelai lembut penuh kerinduan.
“Le, apa kabarmu?” bisikku. “Kau benar, kak Sam tidak pernah sama seperti kak Stefan. Dia tidak pernah menganggapku sebagai adiknya. Tapi dia mencintaiku Le,” aku meraba goresan namanya yang mulai kabur termakan waktu. “Dan kau benar, aku memang mencintainya,”
Kemudian aku menangis.
                              ****
Petang itu mendung masih terus menemani gerimis rintik-rintik yang membuat suasana rumah sakit semakin menegangkan. Aku berdiri disamping kak Lolita yang terus merangkulku, menguatkanku. Dokter Harun tersenyum kepada kami.
“Ini adalah sebuah keajaiban,” bisiknya. Kemudian kelopak mata pria yang tengah berbaring itu terbuka perlahan, menunjukan mata coklat muda yang indah di baliknya. Aku mendesah penuh kebahagiaan.
“Dimana aku?” tanyanya.
“Jangan bodoh, kau di rumah sakit!” ujar Galang ketus. Namun aku bisa melihat ia berkali-kali menyeka air matanya. “Bodoh! Sekali lagi kau melakukan ini, aku akan benar-benar membunuhmu dengan kedua tanganku sendiri,” ujarnya. kak Lolita menarikku mendekat. Mata coklat kak Sam melebar.
“Isabella,” desisnya.
“Ya, Isabella. Terkejut, hah?!” tuding Galang.
“Lita…” tangan kak Sam terulur untuk menyentuh tangan kak Lolita.
“Ah, Tidak lagi Sammuel, aku tidak lagi menyewakan istriku untuk menjadi pasangan palsumu lagi,” kata Galang seraya menarik sosok kak Lolita. Mata kak Sam langsung membulat marah.
“Sam, kami senang kau sudah siuman, kami pergi dulu,” ujar kak Lolita lembut sebelum berlalu pergi meninggalkan kami. Dokter Harun tersenyum tipis dan berlalu tepat dibelakang mereka.
Kak Sam melirik tangan kirinya yang dibalut perban, kemudian menatap keluar jendela. “Untuk apa kau disini?” tanyanya sinis. Aku meraba kerutan di antara kedua matanya, membuatnya sedikit terperanjat. “Isabella…” gumamnya pelan.
“Sstt…” aku meletakan telunjukku di bibirnya. “Kau tidak boleh terlalu banyak berbicara, kau harus beristirahat.” Kubelai lembut rambutnya. “Mengapa kau tidak pernah mengatakan kalau kau menyayangiku?” kak Sam terdiam sejenak.
“Aku tidak ingin membuatmu terluka ketika aku mati,” bisiknya. Aku tersenyum perih padanya. “Dan lagi pula, bukankah selama ini kau selalu mengharapkan memiliki seorang kakak seperti Lena?” tanyanya. Aku tertegun. Ia memang benar, selama ini aku memang selalu iri pada Lena yang memiliki kak Stefan untuk menjaganya.
“Maafkan aku,” bisikku.
“Aku sakit Isabella, aku mengidap hemophilia yang diturunkan oleh ayahku. Aku sakit, tapi aku tidak bisa berhenti mencintaimu. Aku ingin melindungimu, tapi untuk menjaga diriku sendiri saja aku terlalu lemah. Aku senang melihatmu bahagia. Aku senang melihatmu tersenyum, tetapi ketika akhirnya kau kehilangan Lena, aku ingin berada di sampingmu, menjagamu, menenangkanmu. Tapi kemudian aku sadar, hal itu mungkin hanya akan membuatmu semakin sedih ketika akhirnya aku mati kelak. Aku…”
“Sttt….” Aku memotong perkataannya. Ia sudah terlalu banyak berbicara. Kuletakan keningku diatas keningnya. Membiarkan air mataku menetes diatas wajahnya.
“Aku tidak selemah itu, kau tau?” bisikku. “Aku bisa menjaga diriku sendiri, tapi aku tidak akan bisa hidup tanpamu,”
“Isabella, tapi aku akan mati…”
“Berhenti mengucapkan kata itu. kita semua akan mati kak, kita semua. Hanya tidak tau kapan dan dimana. Mungkin saja setelah ini aku mati tertabrak mobil, atau…”
“Tidak…” potongnya. Aku tersenyum tipis.
“Aku menyayangimu,” kupeluk erat tubuhnya yang terbaring lemah. “Aku menyayangimu,” ulangku. Dan itu memang benar adanya. Aku pernah menyesal sekali karena kehilangan seorang sahabat, namun kali ini aku tidak akan kembali mengambil resiko untuk penyesalan yang kesekian kalinya. Tidak akan pernah!

                              *****
Aku tersenyum manis ketika melihat pelangi perlahan muncul di balik temaram warna senja petang itu. Di sampingku, kak Sam memejamkan matanya sesaat, kemudian menatapku penuh kasih. Ia mengencangkangkan rangkulannya dibahuku, membuatku semakin merapat kedadanya.
Aku senang mendengar suara detakan jantungnya yang berirama, aku senang menyandarkan kepalaku di dadanya yang bidang, menikmati setiap desahan nafasnya yang teratur.
Sudah dua minggu kak Sam keluar dari rumah sakit, dan dengan rekomendasi dokter Harun, ia diperbolehkan meneruskan perawatan di rumah dengan aku sebagai dokter pribadinya. Tentu saja kami berdua menyetujuinya dengan senang hati.
“Izzi…” bisiknya, aku berdeham pelan. “Tidakkah kau ingin belajar melukis?” tanyanya. Aku melirik kanvas-kanvas yang bertebaran di sekitar sofa putih yang sedang kami duduki.
“Kurasa kanvasnya sudah penuh dengan wajahku,” gerutuku. Kak Sam terkekeh pelan, membuat gelombang lain di dadanya. Aku tersenyum tipis. “Lagi pula untuk apa aku belajar melukis jika kau sudah sangat pandai melakukan hal itu, kau bahkan bisa melukis wajah konyolku dengan sangat baik,” desisku sinis.
“Karena wajah itulah yang selalu kau tunjukan ketika bersamaku,” ujarnya tanpa basa-basi. Aku langsung mendongkak menatap wajah tampannya.
“Astaga! Kau melukai egoku!!” aku berpura-pura menatap marah kepadanya. Namun ia sama sekali tidak menanggapi amarahku. Ia menghela nafas panjang dan menatap sendu kepadaku.
“Isabella aku serius, kau tau… lukisan itu akan sedikit membantumu meredam rindumu kepadaku saat aku pergi nanti,”
Aku terdiam. “Jangan bodoh!” bisikku kembali menunduk, membenamkan wajahku kedadanya. “Jangan tersinggung, tapi aku tidak akan merindukanmu. Karena sampai kapanpun kau akan selalu ada di sampingku. Kau tau itu,” ujarku bersikeras. Kak Sam tersenyum dan mencium puncak kepalaku dengan sayang.
“Aku tau,” bisiknya.
“Oya kak, sejak kapan kau tau kalau Ethan dan kak Stefan itu…” aku tidak bisa meneruskan kata-kataku lagi. Mengingat hal itu membuatku benar-benar mual.
“Sejak Stefan berhenti menghubungiku,” jawab kak Sam santai.
Aku melotot menatapnya. “Kau??!” desisku tidak percaya.
Ia terkekeh. “Wajah konyol lagi,” gumamnya. Aku tidak peduli dengan wajahku saat ini, otakku terlalu sibuk mencerna kata-katanya.
“Jelaskan padaku, apa kau dan kak Stefan…” lagi-lagi kalimatku menggantung.
“Isabella dengar.” Ia menarik tubuhku kembali merapat pada tubuhnya. Aku ingin memberontak namun tangannya terlalu kuat. “Stefan memang menyukaiku, dia pikir aku tidak seperti pemuda lain yang suka berkelahi, atau berolahraga. Kau mengerti maksudku?” tanyanya. Aku mengaguk perlahan meskipun sebenarnya tidak terlalu mengerti apa yang ia katakan. “Padahal aku hanya sedang melindungi diriku sendiri.” Bisik kak Sam. “Tapi dia selalu ingin melindungiku, menganggapku selemah itu,” ia mendesis jijik.
“Tapi kau masih berhubungan dengannya.” Tudingku. “Kau pasti mempunyai perasaan kepadanya,” bibirku bergetar ketika mengatakan semua itu. Namun aku tidak berani menatap wajahnya. Hatiku perih memikirkan semua kemungkinan menjijikan itu.
“Mungkin jika aku tidak mencintai gadis bodoh disampingku, aku sudah berpaling padanya,” guraunya. Aku mencibir.
“Bohong!” pekikku.
“Oh Izz… ayolah…”
“Buktikan!” teriakku keras. “Buktikan kalau kau lebih mencintaiku dari pada dia,” aku mendesis muak. “Kau tau, ini benar-benar memuakan! Tidak bisakah kau mencintai wanita lain??!! Mungkin itu lebih baik daripada aku harus bersaing dengan seorang pria untuk mendapatkan cintamu,” air mataku mulai tergenang. Kak Sam membulatkan matanya padaku.
“Isabella, aku akan membuktikannya sesegera mungkin, tapi bukan seka…”
“Buktikan saat ini juga. Atau aku akan pergi!” potongku. Kak Sam mengacak rambutnya kesal.
“Baiklah Isabella Kimberly, tapi kau akan menyesalinya suatu saat nanti,” bisiknya. Kemudian berlutut di hadapanku. “Nona Cheryl Isabella Kimberly, will you marry me?”
Aku terhenyak menatapnya tidak percaya. Ia mengeluarkan sebuah benda berkilau dari kantongnya. “Kak Sam… aku tidak bermaksud…”
“Jangan katakana kau akan menolakku sekarang. Atau mungkin kau sebenarnya menyukai wanita lain,” aku melotot kepadanya, kemudian ia terkekeh pelan. “Kalau tidak, maka buktikanlah!” aku menatapnya kesal.
“Perlu bukti, huh?!” tanyaku kesal. Kak Sam mengangkat bahunya tak acuh, seakan menyepelekan. Aku mendesis kemudian merengkuh wajah angkuh itu, menciumnya tepat di bibirnya. Aku tersenyum puas ketika melihat mata kak Sam terbelalak karena serangan mendadakku.
“Wow,” ia menaikan salah satu alisnya. “Well, cukup jelas, namun tetap saja aku tidak yakin sebelum kau mengatakan ya pada permintaanku,” ia mengangkat wajahnya penuh keangkuhan. Aku memutar bola mataku padanya.
“Tidakkah kau mengerti bahwa itu adalah sebuah kata Ya!” pekikku frustasi. Kini giliran kak Sam yang melongo. “Wow, wajah konyol itu…” bisikku. kemudian kak Sam kembali memperbaiki mimik wajahnya, menunjukan sisi dinginnya yang begitu tampan. Aku terkikik ketika ia merengkuh wajahku, meredam suaraku dengan bibirnya.
“Terima kasih,” bisiknya penuh cinta. 

the end

4 komentar:

anakcantik(Santhy Agatha) mengatakan...

"tapi aku tidak akan merindukanmu. Karena sampai kapanpun kau akan selalu ada di sampingku"
quote favoritku ;)

yaaayyyyy happy endiinggg bab terahkirnya romantis bangetttt :D

naoki anxiantha citra mengatakan...

akhir yg romantis...
:)

Anonim mengatakan...

whoaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...............

aq dapat apa nigh Zia karena tebakanku tepat??

Unknown mengatakan...

@mba shanty... masih kurang romatisnya klo di banding damian ama serena... hihihihi

@mba naoki terima kasih mba.. :)

@mba riska... hehehe iya, aku sampe bingung loh nerusinnya gmana... hihihihi
4 jempol untuk mba... :) :)