Selasa, 27 November 2012

My favorite List -01-


DEJA VU.


          Hari itu, kali pertama aku melihatnya. Dengan batik berwarna merah marun yang lengannya ia gulung hingga siku. Wajahnya tampak begitu cerah, begitu kotras dengan kelabunya warna tenda yang segelap arang. Disampingnya, beberapa anak sebayanya tampak turut tersenyum santun. Berdiri berjejer menunggu mempelai pria memasuki pelaminan. Aku berdiri jauh di belakang. Sibuk membantu menyiapkan makanan ringan untuk diletakan di meja tamu.
        “Re, coba ambil kamera yang lain,” teriak ayah dari balik kerumunan orang-orang. Aku mendongkak mencari asal suaranya. “Ayah mau kamu shoot mereka dari sudut sana, berdiri di atas kursi,” teriak ayah lagi. aku mengaguk sekali kemudian berlari ke arah yang ditunjuknya.
Aku memaki pelan saat kerumunan orang benar-benar memenuhi tenda itu. Bahkan aku tidak bisa melihat pelaminannya. Terlebih saat aku menyadari bahwa kursi yang di maksudkan ayah, tidak dapat dipindahkan. Aku tau, dalam dunia ayah, pengabadian momen adalah yang terpenting. Dan aku tidak ingin dianggap bodoh karena mengabaikannya.
Aku berpikir sejenak dan akhirnya menemukan setumpuk kardus air mineral di balik meja. Ini memang tidak akan begitu banyak membantu, namun setidaknya ini lebih baik dari pada aku harus berkelut dengan omelan ayah. Tapi tentu saja, aku masih kurang tinggi untuk dapat men-shootnya.
“Kamu akan jatuh,” ujar seseorang seraya merebut kamera dari tanganku. Aku sedikit terkejut. “Turun, biar aku yang merekam semuanya,” ujar pria jangkung itu. Dan benar saja, ia tanpa bantuan apapun lebih baik dari pada aku dengan segala usahaku.
Aku menatap pria jangkung itu dengan tatapan terima kasih. Meski aku sadar, ia takkan menyadari tatapanku karena begitu sibuk dengan kamera ayah yang masih menyala. Sekilas wajahnya mengingatkanku pada seseorang.
Saat itu, aku baru duduk di kelas 2 SMP, bahkan umurku belum genap 14 tahun. Dan pria jangkung di sampingku tampaknya sudah begitu dewasa. Mungkun ia 10 tahun lebih tua dariku. Satu hal, yang saat itu tidak ku sadari. Batik marun yang ia gunakan juga tergulung di sekitar lengannya hingga siku.


“Re, jangan lupa PR matematika kamu!!!” itu ibuku. Rosa Meylinda. Guru SD, yang menurutku begitu tegas dan penuh disiplin. Aku hanya bergumam pelan untuk menjawab perintahnya. Tentu saja aku takkan pernah lupa, ibu mengingatkanku 5 menit sekali tentang apa saja yang harus aku bawa ke sekolah. Ibu adalah salah satu dari orang-orang yang menjunjung tinggi semboyan, anak harus lebih dari orang tuanya. Alhasil ia mendidikku seperti robot untuk bisa melebihinya dan ayah tentunya.
Oya, dan itu adalah ayahku. Fandi Rahadian. Seorang photografer yang merambah menjadi dokumenter pernikahan. Aku lebih menyukai apa yang dilakukan ayah. Semboyan lain dalam hidup, Mengabadikan setiap moment. Adalah semboyan yang sengaja ku kutip dari benak ayah.
“Aku berangkat!!” teriakku seraya berlalu mengejar angin. Di ujung jalan sana seorang gadis sebayaku melambaikan tangan. Nina Amelia. Teman sejawatku sejak aku mulai mengenal hurup A di taman kanak-kanak.
“Aku pikir kita nggak akan bisa ke perpustakaan lagi hari ini,” ujarnya saat aku menjajari langkahnya. Aku menatapnya dengan tatapan ‘mengapa’. “Katanya film korea terbarunya Lee min ho itu mau mulai hari ini,” aku mendesah. Astaga, aku lupa. Ia adalah salah satu penggemar fanatik film-film korea. Padahal beberapa saat yang lalu, ia sempat mengolok-olokku karena menonton film itu. Pada akhirnya ia sendirilah yang tergila-gila saat melihat film Boys before flowers.
“Tapikan, kamu sudah janji,” keluhku. Nina menunjukan cengiran kudanya mengutarakan kata maaf yang selalu enggan ia katakan. Aku menyerah dan mengangkat bahu kesal.


Sekolah kami terbilang cukup jauh dari rumah. 30 menit perjalanan jika tidak terjebak macet. Namun aku menikmatinya. Aku suka batik kotak-kotak berwarna pink yang berbeda dari sekolah pada umumnya. Aku suka cara pengajarannya yang tidak terlalu berpusat pada guru. Dan terlebih lagi, aku suka perpustakaan dan ruang seninya yang luas.
“Nin, siang ini mulai loh!!” ujar Gita. Gadis berambut panjang sebahu yang kuanggap sebagai duplikat Nina dalam hal ‘Korea’. Tak lama kemudian mereka sibuk dalam bahasan korea mereka. Aku duduk di kursi ke tiga bersama Vella. Gadis tercantik di kelas kami. Nina duduk di depanku bersama duplikatnya, Gita. Sedangkan di belakangku, cowok gendut dengan kacamata dan permen karet joroknya, Ozan. Sampai sekarang aku masih tidak mengerti mengapa Vella tetap bersikeras memaksaku duduk bersamanya tepat di depan si Gendut.
“Eh, kata ibu Ria, ada anak baru di kelas kita!” teriak Mel, salah satu anak kelasku yang dicap miss gosip. Kami menoleh tertarik kali ini dengan gosipnya. Terlebih sumber yang ia sebutkan diawal tadi. “Pindahan dari Bandung katanya,” tambah gadis berbehel pink menyala itu lagi. aku melirik Vella yang tersenyum tipis.
“Kamu kenal?” tanyaku tanpa sadar. Vella hanya tersenyum misterius sepert biasa. Meski sempat terputus, pembicaraan Nina dan duplikatnya kembali berlanjut lagi.
Kelas mendadak hening saat langkah kaki wali kelas kami terdengar di depan kelas. Dan saat itulah aku merasa deja vu yang pertama.


4 komentar:

Anonim mengatakan...

kjadianny pas acara sunatan spupumu,yagh??
wohohoohhohoohoo,,,sapakh gerangan dirinya??

Unknown mengatakan...

hehehehe bukan mba.. ini mah tulisan lamaku... tulisan awal masa kuliah deh kayanya, apa waktu smp sma, aku lupa

Fathy mengatakan...

bagus gini kok non...
hmm makin g sabar baca kelanjutanya
lama tapi bagus...
go cherry

narnia mengatakan...

go cherry go cherry..
ikutan mba fathy
hhehe