Minggu, 18 November 2012

HUJAN KEMARIN -13-


BAB TIGA BELAS
Tears in the Rain


Gelap menyentak diriku terbangun di tengah malam. Aku tergagap, dadaku mulai terasa sakit, aku mencoba benafas, namun beban tak kasat mata itu terus menghimpitku. Aku mencoba berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar. Air mataku mengalir perlahan, dan entah mengapa seluruh memori itu berputar di benakku, bagaikan film flashback tentang kehidupanku. Belaian lembut mama, dukungan papa, senyuman kak Lolita, semangat Sazkia, kebaikan Ethan, dan cahaya kecil dari kak Sam.
Nafasku tercekat. Aku membutuhkannya. Aku membutuhkan cahaya itu. aku membutuhkannya!!!
                              ****
Sazkia tersenyum manis ketika melihatku di kantin sekolah. Ia mengenakan bandana berwarna Abu-abu, sesuai dengan rok sekolah kami. Wajahnya yang cantik tampak berbinar. “Kau sudah siap dengan audisi terakhir ini?” tanyanya ketika menghampiri mejaku. Aku mengaguk pelan. “Bagus, karena aku sudah merekomendasikan dirimu secara ekslusif kepada guru Pembina,”
“Terima kasih,” bisikku. ia mengaguk santai kemudian berlalu pergi.


Pagi ini lagi-lagi aku tidak berangkat bersama Lena, dan aku mulai merasa gelisah karenanya. Aku terbiasa untuk melihat cengiran cantiknya setiap pagi. Aku terbiasa mendengar ocehan selamat pagi darinya. Aku terbiasa bersamanya…
“Aku mencarimu,” bisiknya pelan kemudian duduk di sampingku. Mataku melebar karena kelegaan yang teramat sangat. Ingin rasanya ku peluk tubuh itu, ku jaga hingga akhir hidupku.
“Maaf aku berangkat duluan,” kataku setelah diam cukup lama. Lena mendesah dan menerawang jauh kedepan. “Aku tidak akan pernah membiarkanmu berangkat sendiri lagi, aku janji…” aku merasakan perih dalam dadaku ketika mengatakan semua janji itu. Namun lagi-lagi Lena hanya tersenyum.
“Suatu hari nanti, kau harus meninggalkanku,” bisik Lena. aku menggeleng. Tidak! aku tidak akan pernah meninggalkannya. “Atau aku yang meninggalkanmu,” aku tercekat.
“Ku mohon jangan katakan itu, jangan lakukan itu!” kataku mulai lepas kendali. Lena menggenggam erat tanganku.
“Tidak. tentu saja aku tidak ingin melakukannya. Tidak pernah!!” tuturnya mencoba menenangkan. “Asal kau tetap bersedia menjadi sahabatku sampai kapanpun,” aku memeluknya. Tidak peduli dengan suasana kantin yang mulai ramai.
                              ****
Aku tau, aku sudah melakukan banyak kesalahan. Dan sejujurnya aku merasa muak pada diriku sendiri karena semua kebodohan yang ku lakukan. Entah mengapa, mimpi ku beberapa hari yang lalu membuatku merasa semakin tertekan. Aku tau ini pasti berhubungan erat dengan sosok kak Sam. Walau aku masih tidak mengerti alasan akan sikap anehnya selama ini, tapi aku tetap harus minta maaf padanya, well… atau setidaknya, aku ingin bertemu dengannya.
Alina membeku ketika melihatku membuka pintu kantor jurnal. Aku mendesis kepada reaksinya yang seakan-akan melihat hantu. Aku mengerutkan kening heran melihat tumpukan kertas bertebaran dimana-mana. Bagaimana mungkin kak Sam yang super perfeksionis membiarkan kantornya berantakan seperti ini. Terlebih lagi kak Lolita yang juga menyukai kebersihan. “Mana kak Sam?” tudingku. Alina tampak gelagapan mendengar pertanyaanku. Dan tentu saja itu membuatku semakin penasaran.
“Dia sibuk,” bisik Alina setelah diam cukup lama. Aku mengendus, itu bukanlah jawaban yang ingin ku dengar.
“Dimana dia?” tanyaku lagi.
“Apa pedulimu?!” mataku terbelalak ketika mendengar teriakannya. “Dimanapun dia berada saat ini bukanlah urusanmu.” Aku menatapnya marah. “Pergilah, kau tidak lagi di butuhkan di sini.” Perkataan sinis itu menghujam tepat di dadaku.
“Baik,” desisku dingin sebelum berbalik dan pergi. Aku tidak terlalu yakin, namun rasanya hatiku seperti hancur berkeping-keping. Dan sialnya, semua yang di katakan Alina adalah benar adanya. Aku memang tidak lagi dibutuhkan di sana, sebesar apapun aku membutuhkan mereka.
                              ****
Setidaknya aku masih memiliki Lena dan Ethan yang masih setia bersamaku, menjagaku dan menghiburku dalam suka dan duka.
Dua hari menjelang audisi ketika klub cheers, aku sudah menghapal hampir semua gerakan itu. Sazkia tidak ragu-ragu untuk memuji gerakanku. Dan ku rasa, aku memang sudah siap untuk menampilkan diriku. Lagi pula, toh benar apa kata Lena, aku tidak memiliki alasan untuk ragu. Tidak sama sekali.
Hari ini aku pulang sendiri, lagi pula Ethan harus pergi ke bengkel untuk mengambil mobilnya. Lena, seperti biasa gadis itu sudah pulang sejak detik pertama bel berakhir di mulai. Well, sepi memang berjalan sendiri seperti ini, tetapi aku tau Lena sengaja meninggalkanku karena dia pikir aku akan pulang bersama Ethan lagi.
Aku tersenyum tipis ketika melewati toko coklat beberapa blok dari komplek perumahanku. Ya, mungkin aku bisa membeli beberapa coklat dan memakannya bersama Lena, batinku.
Gemerincing lonceng pintu terdengar nyaring ketika aku membuka pintu toko berwarna coklat itu. harum coklat langsung menyerbu indra penciumanku. Beberapa rak berjejer rapi di sisi kanan dan kiri toko itu. semuanya memamerkan keindahan makanan manis kesukaanku dan Lena. aku berjalan pelan kearah rak berisikan coklat batangan. Mengambil beberapa coklat hitam dan putih, dan ditambah beberapa permen caramel. Luna pasti suka ini…
Aku tersenyum di sepanjang jalan menuju rumahnya. Tidak sabar untuk memberinya kejutan manis ini.
Namun kemudian langkahku terhenti beberapa meter dari rumah abu-abu Lena. senyumanku perlahan menghilang, tergantikan oleh keheranan ketika melihat sosok jangkung itu di sana. Mungkin dengan jarak sejauh ini, aku bisa saja salah mengenali seseorang, mungkin saja.
Tetapi lain halnya jika kau mengenali orang itu dengan sangat baik. Ya, sebaik kau mengenali kekasihmu.
Bukankah ada banyak alasan yang bisa membuatnya tidak sengaja berada di rumah abu-abu itu? bukankah itu masuk akal?? Tapi mengapa hatiku tetap merasa sesak?? Mengapa tubuhku membeku tidak dapat bergerak??
Setelah kembali menguasai emosiku, ku raih ponselku dan menekan nomor yang sudah ku hafal di luar kepala. Pada deringan ketika telepon itu diangkat.
“Ya Izzi…” suara di sebrang sana cukup santai. Aku menggigit bibir bawahku untuk menahan tangis. “Izzi kau di sana?” tanyanya seraya melihat layar handphonenya.
“Ya,” bisikku tercekat.
“Ah, aku pikir kau tidak sengaja meneleponku,” guraunya. Namun aku sama sekali tidak tertarik untuk tersenyum.
“Kau dimana?” tanyaku.
“Ah, aku baru saja pulang dari bengkel.” Katanya. Aku mendelikan mataku.
“Secepat ini?”
Ethan melirik jam tangannya. “I… itu, iya.” Katanya sedikit gelagapan. “Kau tau, ternyata mereka masih belum menyelesaikannya. Jadi tadi aku langsung pulang,” tuturnya lancar. aku mengaguk.
“Aku mengerti,” bisikku.
Ia mendesah. “Baiklah, aku harus pergi dulu sekarang. Kau beristirahatlah, nanti malam ku jemput jam tujuh, bye…”
“Bye.” Bisikku dan langsung menutup telepon itu. Aku berbalik secepat mungkin. Enggan melihat siapa yang membukakan pintu untuknya di rumah bercat abu-abu itu.
                              ****
Air mataku kembali menetes perlahan ketika suara riang di sebrang sana terdengar khawatir. “Ayolah Izz, apa aku perlu kesana untuk membantumu memilihkan pakaian?? Kau tau, kau cantik mengenakan apapun,” aku mendesah. Aku tidak bisa menjawabnya, khawatir jika tangis lah yang akan keluar dari mulutku. “Izzi sahabatku dengar, Dia mencintaimu!” tubuhku membeku di tempatku.
“Dia tidak.” kataku tercekat air mataku sendiri. Lena terdiam di sebrang sana.
“Kalau begitu buat dia mencintaimu,” desisnya, kini terdengan dingin dan perih. aku tidak bisa mengatakan apapun lagi. Aku terlalu lelah untuk berpura-pura.


Malam itu sesuai janjinya Ethan menjemputku pukul 7. Aku tersenyum manis melihat sosok tampannya. Ia mengenakan t-shirt abu-abu dan jeans hitam. Begitu kasual dan menawan. Sedangkan aku, sekeras apapun aku berusaha, aku tetaplah Izzi yang biasa.
Kami pergi ke sebuah kafe tidak jauh dari rumahku. Suasana kafe itu cukup romantis, dengan cahaya temaram dari lampu-lampu pijar yang di pasangkan di sekeliling kafe. Itu adalah kafe kesukaanku. Kafe dengan nuansa taman yang natural. Aku senang melihat bunga-bunga kecil yang di tanam berbaris di halamannya, aku suka tumbuhan merambat yang melingkari tiang-tiang kayunya.
“Kau mau pesan apa?” pertanyaan Ethan mengembalikan kesadaranku. Aku mengangkat bahuku, mengutarakan kata terserah padanya. Ethan mendesah sebelum mengatakan pesanannya pada pelayan. Dan kemudian aku kembali sibuk dengan bunga-bunga itu.
Tiba-tiba setetes demi setetes hujan mulai membasahi raya yang gersang. Ethan menggerutu tidak jelas pada hujan. Namun aku tidak berminat menanggapinya. Aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri. Aku terlalu sibuk dengan gemuruh hatiku yang tidak menentu.
Ethan memanggilku beberapa kali. Aku mendengarnya, namun enggan menoleh. Hingga akhirnya, pada panggilannya yang ketiga aku menatapnya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya. Aku mengaguk pelan, kemudian membetulkan tatanan rambutku yang sedikit berantakan, menyelipkan sehelai rambutku kebelakang telinga.
Tubuh Ethan sedikit menegang di depanku. Aku menatapnya dengan tatapan hangat, tatapan penuh cinta yang takkan bisa ku berikan pada siapapun lagi. “Kau tau, hari ini semuanya begitu lucu,” bisikku sambil tersenyum lebar. “Kalau saja kau melihatnya,” tambahku, kini mulai tertawa perih. Ethan membeku di hadapanku. Ia mengalihkan pandangannya dari anting berbentuk bunga cantik di telingaku.  
“Izzi, aku ingin mengatakan sesuatu,” ujarnya. Aku menghentikan tawaku. Menatapnya tak berkedip, seolah-olah dengan serius menunggu kata-katanya. “Mungkin kita tidak bisa terus seperti ini,” ujarnya. Aku menatapnya tidak mengerti, kemudian mencoba mencari canda di wajahnya, sayangnya, tidak ada apapun di sana. Dan untuk sesaat, aku menyerah. “Aku mencintai orang lain,” aku menatapnya tidak percaya. Namun hati kecilku menjerit. Air mataku menetes perlahan. “Izzi, kau adalah gadis yang baik, kau adalah gadis yang sangat istimewa. Tapi aku tidak bisa terus bersamamu, menyakitimu…”
“Tapi kau tidak pernah menyakitiku,”
“Itu karena aku berusaha menutupinya darimu. Dan aku tau, terkadang kau sengaja menutup matamu dari kenyataan itu,” bisiknya. Aku menatapnya perih. Lalu tidak bisakah ia terus berdiri di sana??! Tidak bisakah ia terus berpura-pura di hadapanku??! Tidak bisakah ia berpura-pura mencintaiku?? Dan aku berjanji akan terus menutup mataku!
“Izzi…” panggil suara di depanku. Aku terkesiap dan mengangkat wajahku. “Kau baik-baik saja?” suara itu terdengar khawatir. Aku tersenyum dan mengangkat wajahku. “Maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu. Tapi aku lelah berpura-pura,” ujarnya. Aku menatapnya perih. Entah apa yang harus ku katakan pada Lena, ia tentu akan sangat kecewa dengan semua kenyataan ini.
“Siapa… siapa yang kau cintai?” tanyaku dingin. Ia tertunduk.
“Kau tidak perlu tau,” ujarnya. Aku mengaguk perih. “Izz, kau tau kau sangat berharga dan aku…”
“Aku mengerti,” bisikku. aku menatap hujan yang mengguyur raya di luar sana. Tuhan, aku memang bodoh. Bagaimana mungkin selama ini aku selalu menutup mataku dari kenyataan ini? Kenyataan bahwa ia memang tidak pernah menatapku sepenuhnya! Kenyataan bahwa ia selalu menyimpan senyumannya untuk orang lain! Kenyataan bahwa ia selalu menyayangi orang lain! Kenyataan bahwa ia tidak menyukaiku!
Tubuhku muak menerima kenyataan ini!
Bagaimana mungkin ia mencintai orang lain dan itu bukanlah aku. Aku benar-benar mencintainya. Aku mencintainya sejak pertama kali mata indah itu menyapa hatiku. Saat pertama kali aku menghirup aroma tubuhnya yang menyegarkan. Aku mencintainya sepenuh hatiku. Dan dia berdiri di sana mengatakan sama sekali tidak mencintaiku. Seharusnya aku sedih mendengarnya, namun aku terlalu muak untuk di katakan sedih. Aku muak pada diriku sendiri yang menutup diri pada ke anehan ini. Aku seharusnya sadar ia lebih sering berada di rumah Lena dari pada di rumahku. Aku harusnya menyadari itu. namun jiwaku tidak ingin mengakuinya! Cintaku memaksaku untuk menutup mata dan telingaku pada kenyataan itu.
“Izzi…” bisiknya. Aku merasakan amis darah dari bibir bawahku yang sengaja ku gigit untuk menahan isak. “Kau tentu akan mendapatkan yang lebih baik dariku,” 
Aku tertawa perih dan mengaguk. “Ya mungkin,” bisikku perih.

“Maafkan aku, tapi aku harus pergi,” ujarnya sebelum berlalu pergi meninggalkanku. Aku tidak berani menatapnya lagi. Aku tidak bisa menata hatiku lagi. Aku tidak tau bagaimana harus bersikap pada Lena. Aku tidak tau bagaimana. Aku menyayanginya sepenuh hatiku. Ia adalah mentari dalam gelapku. Hujan dalam gersangku. Tapi mengapa kini semuanya terasa menjadi duri dalam hatiku??

7 komentar:

Anonim mengatakan...

wuih,,,benar tebakanku,,,
Si Issabela jadiny dg si Sammuel,,,
So Lena itu pengkhianat,,,
Cz, dy nikam teman dari belakang,,,

Unknown mengatakan...

galau ih,sdih bgt :((

Unknown mengatakan...

masih blum bisa berkomentar...
*tersenyum manis penuh misteri*

Fathy mengatakan...

bertindak atas nama persahabatan, nyatanya malah menghancurkan persahabatan itu sendiri.... benci sama lena, muak sama ethan....
hehehehehe..... pisssss cherry....

tapi jujur cerita yg bagus cher. ditunggu cher bab tereakhirnya.
boleh request g??

narnia mengatakan...

cherry,kamu berhasil bikin aq muak!!
muak krna ga bs berhenti ngikutin cerita mu.
hhihihi
gud job sista.
:*

Unknown mengatakan...

request apa mba fathy???
klo nggak melenceng dri jalan cerita pasti aku masukin.. hehehhe
mumpung bru nulis bab 14,

hehehe mba narnia di tunggu ya...
:) :) :)
*spoiler* kadang, menerima kehilangan orang yang kita sayang itu sulit, jdi lbih baik berpura2 dia ada... :) :)

d mengatakan...

kyaa,, bagus banget mbak ^^