Sabtu, 01 Desember 2012

HUJAN KEMARIN -21-


BAB DUA PULUH SATU
The beginning


Ingatanku belum juga kembali, sekeras apapun aku berusaha. Namun aku masih berusaha untuk menemukan hal-hal kecil yang mungkin akan memicu ingatanku. Setiap detil kehidupanku kini mulai membuatku berpikir keras, hingga diriku tampak selalu termenung setiap melakukan sesuatu. Bahkan aku akan memakan waktu lebih lama di kamar mandi dari pada hari-hari biasanya, karena setiap aku melakukan sebuah gerakan, otakku secara spontan akan mencoba untuk mengaitkannya dengan masa laluku yang menghilang.
Aku tau, mungkin aku memang tidak harus mengingat semua itu. Toh aku masih memiliki mereka, memiliki orang-orang yang menyayangiku. Itu adalah sebuah alasan yang kuat agar aku melupakan masa laluku dari pada menyakiti diri sendiri dengan mengingatnya. Tapi hati kecilku seakan tidak pernah bisa menerima argument itu. Aku tetap ingin melihat masa laluku, bukan, tentu saja bukan untuk mengorek-ngorek masalah dari masa lalu. Tapi aku yakin ada suatu hal yang menarik dari masa laluku. Sesuatu yang tidak bisa ku sentuh dengan tanganku saat ini.
Hari itu matahari bersinar terik. Aku tersenyum lebar penuh terima kasih pada kru rumah sakit yang telah membantuku melewati hari-hariku selama kurang lebih dua setengah bulan disana. Dokter Harun memelukku cukup lama, sebelum akhirnya ia menuntunku memasuki mobil Ethan. Langkahu berhenti ketika secara tidak sengaja menangkap bayangan sosok jangkung di balik sebuah mobil hitam yang terparkir cukup jauh.
Mataku dengan refleks langsung kembali menatapnya, terkunci pada tatapannya. Wajah itu terlihat angkuh, dengan rahang yang mengeras. Matanya tajam, pandangannya seperti menusuk tepat ke pandanganku, meski dengan jelas ia menggunakan sebuah kaca mata. Walaupun jarak kami cukup jauh, namun aku bisa melihat buku-buku jarinya menegang. Tangannya mencengkram gulungan kertas dengan keras, tampaknya ia tengah marah. Namun ketika melihat wajahnya, tidak ada ekpresi lain yang terlihat kecuali ekpresi dingin yang begitu angkuh. Membuat tubuhku secara otomatis menciut karena tatapannya.
“Isabella…” panggilan mama membangunkan lamunanku. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. “Kau mengenalinya?” Tanya mama. Sunyi sebentar. Aku kembali menatap sosok –yang untuk sesaat- masih menatapku sebelum akhirnya ia masuk kedalam mobilnya. Aku mengerutkan keningku ketika kembali menoleh pada mama. Wajahnya penuh pengharapan.
“Tidak,” bisikku pelan. “Haruskah aku mengenalnya?” tanyaku -yang secara tidak langsung- ditunjukan pada diriku sendiri. “Apakah aku mengenalnya?” kini aku menatap mama dan papa.
“Sudahlah sayang, itu tidaklah penting. Sekarang masuklah, kau harus istirahat.” Ujar Ethan yang tiba-tiba berada di belakang tubuhku. Ia mendorong tubuhku memasuki mobilnya dengan lembut. Namun tetap saja aku bisa merasakan debaran jantungnya yang tampak tidak biasa.
Aku melambaikan tanganku pada dokter Harun dan beberapa perawat yang sengaja mengantarku sampai ke parkiran. Mereka sangat baik, dan justru malah terlalu baik. Membuat hatiku kembali tergelitik untuk mengetahui masa laluku.


Perjalanan kala itu memakan waktu kurang lebih dua jam, aku tidak bergitu yakin. Aku tidur hampir di sepanjang perjalanan, dan terbangun ketika Ethan membelokan mobilnya kesebuah gerbang yang terbuka lebar. Aku memperhatikan sekelilingku dengan teliti. Mencoba –lagi-lagi- mengaitkannya dengan masa laluku. Gerbang itu berwarna hitam dengan ukiran-ukiran cantik yang malah membuatnya terlihat menyeramkan di mataku. Halaman rumah ini tidak terlalu luas, mungkin hanya berkapasitas dua atau tiga mobil. Tapi aku suka taman mungil yang menutupi sisi lain pagar besi rumah ini. Beberapa pohon palem seakan menjadi poin utamanya, menjulang tinggi bagai pelindung. Dibawahnya sebuah kolam kecil tampak menjadi tempat yang cukup menyenangkan untuk sekelompok ikan berwarna orange dan putih. Kolam itu memang tidak sebesar kolam di taman rumah sakit, tapi aku tetap menyukai aksen bebatuan di sampingnya. Beberapa anggrek berbunga indah di sekelilingnya. Namun yang paling ku sukai adalah rumpun mawar berwarna warni yang menghiasi sisi-sisi kolam itu, dan memanjang sampai kemuka beranda.
Rumah itu sendiri tampaknya berlantai dua, dengan balkon yang mungil namun berhiaskan beberapa pot gantung lengkap dengan bunga kecil berwarna-warninya. Rumah ini jelas bukan rumah yang baru, namun melihat warna catnya yang masih begitu segar mau tidak mau membuatku berpikiran bahwa rumah ini baru saja di renovasi. Bagian muka rumah itu cukup nyaman, dengan satu set kursi tamu dan yang paling menarik lonceng rumah itu. Terbuat dari besi berat berbentuk lingkaran yang tertempel di setiap sisi daun pintu itu. Aku memang masih belum mampu mengingat masa laluku, tapi aku juga tidak sebodoh itu untuk tidak menyadari betapa –sudah- majunya tekhnologi saat ini.
Ethan menyentuh pinggangku. Membuatku tersentak, ia tersenyum lembut padaku. Kemudian mendorong pintu ganda itu hingga terbuka lebar. Mataku melebar ketika melihat bagian dalam rumah itu. Semuanya bernuansa pastel. Dindingnya di cat krem muda, dengan sofa panjang berwarna coklat lembut, lantainya juga berwarna coklat dengan nuansa seperti batu alam. Ada tiga kamar tidur di lantai bawah, dan sebuah ruang tamu yang tidak terlalu besar, namun jelas bisa menampung kurang-lebih 10 orang; sebuah ruang TV yang menyatu dengan ruang keluarga yang cukup besar, hingga aku yakin jika masih ada anak kecil di rumah ini, mereka tentu bisa bermain bola dengan leluasa di sini. Permadani cantik dan luar biasa lembut terhampar tepat di depan Tv besar di samping pintu kamar utama. Dapur terletak di bagian belakang rumah ini, menyatu dengan ruang makan yang tidak terlalu besar, namun tetap terasa nyaman.
Dibagian bawah, ada sebuah tangga kecil yang hanya memiliki lima anak tangga; dan tepat menuju kepada dua pintu di bawah sana. Salah satunya adalah kamar mandi kesekian di rumah ini, pintu yang lainnya mengarah keruang biliar yang menyatu dengan garasi lebar. sebuah kolam renang menghiasi bagian belakang rumah ini, lengkap dengan pancuran-pancuran kecilnya yang manis.
Beberapa lukisan tertempel di hampir seluruh sisi ruangan. Yang membuatku sedikit heran adalah ketidak beradaannya foto apapun di sana. Dapurnya pun terlihat rapih meskipun jelas begitu lengkap dengan segala pernak-pernik khas yang berada di dapur. Tangan Ethan tidak pernah melepaskan pinggangku ketika ia membawaku tur kesekeliling rumah ini. Mama, papa dan Savanna sepertinya beristirahat di ruang tamu ketika kami naik ke lantai dua.
Aku menatap langit sore itu yang berwarna jingga indah dari balkon. Ethan melingkarkan tangannya di pinggangku, menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku bisa mendengar tarikan nafasnya yang teratur. “Ethan, aku ingin pulang…” bisikku pelan. Aku bisa merasakan tubuh Ethan menegang di belakangku. Dadanya yang menempel dengan punggungku membuatku bisa merasakan detakan jangtungnya yang semakin cepat.
“Kau sudah dirumah,” ujarnya singkat. Aku tersenyum tipis.
“Ethan aku ingin tinggal di rumahku, di rumah masa kecilku…” aku membalikan tubuhku hingga kini kami berhadap-hadapan. Ethan menatap wajahku, mungkin mencoba membaca raut wajahku, namun dengan sengaja aku malah menatap dadanya yang bidang. Memainkan sehelai benang yang terlepas dari rajutan t-shirtnya. “Maafkan aku, tapi ku mohon jangan tersinggung. Dan lagi pula kita belum menikah…” lanjutku.
“Tapi kau adalah tunanganku,”
“Tapi bagiku kau orang asing,” kata-kata itu keluar begitu saja, dan untuk sesaat kemudian aku menyesal karena telah mengatakannya. Tubuh Ethan membeku di depanku, matanya menerawang jauh kebelakang punggungku. Tangannya mengepal di pinggangku. “Ethan…” panggilku lembut. “Aku benar-benar minta maaf, tapi kau tau, sejujurnya semua kebutaan akan jati diri ini benar-benar menyiksaku. Terkadang berdiri di sekeliling kalian juga membuatku takut, membuatku merasa gelisah di hadapan orang-orang asing,” air mataku perlahan menetes. “Tapi aku bersumpah… aku selalu ingin mengingat semuanya lagi. Aku selalu berusaha mengingatnya. Tapi semakin aku mencoba, semakin membaur semua kenangan itu.”
“Isabella…” Ethan menyentuh pipiku dengan perlahan.
“Aku ingin mengingatnya, semua kenangan kita, cinta kita…” isakku. Ia menundukan kepalanya dan menempelkan keningnya di keningku. Matanya terpejam, bibirnya membentuk sebuah senyuman. Kemudian tangannya menyentuh jemariku, perlahan namun pasti ia menarik cincin yang melingkari jari manisku. “Ethan!” aku langsung menarik tanganku. Mendekap erat-erat cincin itu di dadaku. “Kumohon… aku memang tidak mengingatnya. Tapi aku akan berusaha… aku akan berusaha mengingat cinta kita,” aku mulai meracau. Hatiku perih melihat wajah tampannya yang terlihat lelah.
“Sstt…” Ethan meletakan telunjuknya di bibirku. Matanya menatap lembut mataku. “Sudah ku katakan, kau tidak perlu mengingat masa lalu. Kita akan memulai semuanya dari awal. Dan kalaupun saat ini kau lupa bagaimana dirimu mencintaiku, aku akan membuatmu mencintaiku lagi dengan cara yang lain. Aku akan membuatmu kembali tersenyum karena cinta itu. Akan ku perbaiki seluruh kesalahan-kesalahan yang selama ini sudah ku perbuat.” Ia terdiam sejenak. Jemarinya menyeka air mataku dengan perlahan. “Aku akan membuatmu kembali mencintaiku,” bisiknya tegas. Aku bisa merasakan penekanan di setiap kata-katanya. Aku menatapnya dengan sedih. Kemudian ia memelukku erat, namun ia tetap memberikan ruang hingga aku bisa bernafas dengan lega. Tangannya membelai punggungku, memberikan rasa aman yang indah.
“Kita akan memulainya dari awal,” tambahnya. Aku tidak tau bagaimana lagi perasaanku saat ini. Semuanya terlalu mudah, terlalu indah, mereka terlalu baik.
“Tapi seharusnya kita menikah akhir bulan ini…” bisikku di dadanya. Ia menggeleng perlahan.
“Tidak, itu bukan pernikahan kita,” bisiknya. “Kita akan menikah saat kau benar-benar siap,” hening sejenak. “Saat kau benar-benar mencintaiku, lagi.”


Setelah kunjungan singkat kerumah ‘masa depanku’ hari itu, akhirnya aku dibawa kerumah lain di kawasan Serpong, Tangerang. Rumah ini memang tidak sebesar rumah yang ditunjukan Ethan. Namun –meskipun masih asing- aku berusaha mencoba membiasakan diri dengan rumah ini.
Well, konyol memang, namun Ethan benar-benar membuktikan kata-katanya. Keesokan harinya ia datang kerumahku dengan sebuket mawar putih yang cantik, dan layaknya baru pertama kali mengajakku keluar, ia meminta izin pada papa dan mama. Savanna tidak henti-hentinya memuji sikap Ethan yang manis. Terlebih dengan wajahnya yang luar biasa tampan. Dan harus ku akui, Ethan memang sangat tampan. Wajahnya begitu proposional, tubuhnya tegap dengan otot-otot yang terbentuk indah.
“Isabella, kau tidak akan benar-benar pergi dengannya seperti itu kan?” Tanya Savanna diambang pintu kamarku yang terbuka. Aku menatap heran kepadanya dari pantulan cermin ‘seperti itu?’ katanya. “Astaga, Ethan begitu keren… aku yakin dia akan membawamu ke restoran super mewah. Dan kau hanya akan mempermalukan dirimu sendiri dengan jeans konyol ini,” aku melirik jeansku kemudian kembali menatapnya. Ia mengangkat bahu dengan ngeri. “Mama!!!” teriak Savanna tiba-tiba. Teriakannya begitu memekakan telinga hingga aku harus menutup kedua telingaku. Lima menit kemudian mama sudah muncul di depan pintu kamarku dengan wajah pucat dan nafas tersenggal-senggal karena berlari menaiki tangga.
“Ada apa?” Tanya mama khawatir. Savanna menyeringai kemudian menunjuk tubuhku.
“Dia sepertinya lupa caranya berpakaian,” bisik Savanna. Mataku melebar karena tuduhannya.
Mama berjalan perlahan kedalam kamarku. Aku pikir ia akan marah karena urusan spele yang sudah membuatnya berlari-lari sampai kekamarku, namun kemudian mama memandang t-shirt dan jeans belelku. Oh Tuhan… aku sudah 23 tahun… batinku ngeri.
“Hm, apa kau punya gaun yang cantik untuknya?” mama menatap Savanna dengan wajah yang seratus persen serius. Aku membulatkan mataku dan mendengus kesal. Astaga…
“Ya, sepertinya ada. Aku akan mengambilkannya,” ujar Savanna girang. Ia langsung melesat keluar kamarku. Sesaat kemudian ia sudah kembali dengan sebuah gaun panjang berwarna merah marun yang begitu anggun. Bahannya lembut dan begitu nyaman di kenakan, namun aku tidak suka bagian atasnya yang terlalu terbuka. Gaun off shoulder dengan aksen mawar indah di bagian bawah dadanya.
“Oke,” ujar mama seraya mengambil gaun itu dari tangan Savanna. “Katakan pada Ethan untuk menunggu sebentar,” tambahnya, kemudian gadis 21 tahun itu kembali berlari menuruni tangga.
“Mama, ini terlalu berlebihan…” bisikku. Mama menatap galak padaku. Dan saat itulah kepalaku seakan tersentil, mataku menyipit ketika sesuatu melintasi benakku.
“Kau harus mengikuti kata-kata mama. Ini adalah first datemu,” ujarnya. aku masih membeku karena hal aneh yang menyelimuti otakku. Namun kemudian tanpa sadar aku mengangguk, seakan memang itulah yang selalu kulakukan selama ini.


Savanna tersenyum lebar ketika –akhirnya- ia melepaskan tangannya dari wajahku. Ia meneliti setiap sudut wajahku dengan seksama. Kemudian tersenyum puas. Mama ikut tersenyum menatap pantulan wajahku di cermin. Aku terpaku menatap wajah asing di hadapanku. Ia terlihat cantik, meski tentu saja tidak secantik Savanna dan mama. Tapi aku melihat sesuatu yang berbeda dari gadis itu. Mataku tidak seindah mata Savanna yang berbulu mata lentik, namun mata itu begitu polos dan indah dengan cahanya sendiri; hidungku warisan dari papa, yang –untungnya- sangat indah. Bibirku tidak terlalu penuh, namun aku menyukainya.
“Sudah waktunya,” bisik mama di telingaku. Aku menahan nafas sejenak karena tegang. Well, untuk diriku yang baru, ini memang kencan pertamaku. “Ayo, jangan buat pangeranmu menunggu…” mama membantuku berdiri. Savanna masih tersenyum ceria di sampingku. Dalam hati aku benar-benar merasa sedih karena kehilangan memoriku tentang masa lalu. Karena aku yakin, masa kecilku dan Savanna akan sangat indah dan penuh warna. Andai aku bisa mengingat itu…


Aku merasa geli ketika mama dan Savanna mengapitku menuruni tangga, sedang papa dan Ethan menungguku dengan wajah yang benar-benar terpesona. Well, ini terasa seperti mimpi. Seperti aku kembali menjadi gadis muda yang baru pertama kali berkencan. Meskipun, tentu saja aku masih belum bisa mengingat saat-saat itu. Aku tidak tau siapakah cinta pertamaku. Namun kini aku tidak lagi peduli. Sosok tampan yang tengah tersenyum itu seakan mengalihkan semuanya. Ia tersenyum manis penuh kebahagiaan, mata indahnya berbinar menatapku.
Semuanya benar-benar terasa seperti kencan pertama kecuali uluran tangan Ethan yang langsung meraihku ke pelukannya dan mencium puncak kepalaku dengan penuh kasih. Well, tentu saja adegan ini tidak terjadi di ‘acara’ kencan pertama pada umumnya. 
Savanna benar, mala mini Ethan begitu tampan dengan setelan jasnya yang menawan. Aku bersyukur karena memiliki dua sosok yang selalu membimbingku. Adik dan ibuku tersayang.
Aku berdeham pelan di dadanya. “Kurasa adegan ini tidak aka nada di acara kencan pertama,” bisikku. Seakan tersadar mendengar kata-kataku, ia langsung melepaskan pelukannya, kemudian berdeham pelan dan menatap papa dan mama dengan santun. Aku dan Savanna terkikik bersama.
“Maaf om, tante. Saya akan mengajak Isabella pergi,” katanya dengan nada formal yang dibuat-buat. Aku terkekeh geli, ia begitu manis, begitu tampan, begitu sempurna, begitu mudah untuk dicintai, namun mengapa hatiku masih terasa kosong??


0 komentar: