Sabtu, 01 Desember 2012

Cinta Untuk Nerra


Cinta Untuk Nerra




          Aku tidak pernah bermimpi menjadi seorang putri. Aku menyukai kehidupan sederhanaku, yang bagiku sungguh sangat indah. Mendapatkan pekerjaan yang layak dan bersanding dengan orang yang kucintai. Tidak, aku tidak pernah meminta lebih padamu Tuhan… namun kali ini, berikanlah aku pengecualian untuk kali ini saja…
Kumohon, katakan padanya bahwa aku menyayanginya…
                                                ***
Petang itu, Serang 20 Januari 2008, aku duduk sendiri di kantor guru, membaca beberapa buku tentang biologi, salah satu mata pelajaran favoritku. Seorang guru bahasa inggris mendatangiku tiba-tiba. Wajahnya terlihat sedikit pucat. Ia membawa sebuah buku yang terbuka di tangannya.
“Ini gawat bu,” ujarnya, jelas sangat gawat jika dinilai dari nada suaranya. Aku mengerutkan keningku dan menunggunya bercerita. “Lihat,” ia menyodorkan buku itu padaku.

‘aku ingin membakar seluruh rumahku. Dan ketika polisi itu menangkapku, aku tidak akan menolak. Aku akan dengan senang hati mengatakan pada mereka, jika, Ya. Itu ulahku, dan itu disengaja. Aku memang ingin membakar semuanya, aku ingin menghanguskan semuanya. Dan jika mereka ingin memenjarakanku, dengan senang hati aku akan ikut dengan mereka. Karena rasanya mungkin lebih menyenangkan tinggal di dalam penjara itu, dari pada berada diantara orang-orang yang ku benci.’

Aku membaca tulisan pendek itu dua kali kemudian mengangkat wajahku, menatap wanita yang sepertinya lebih tua lima tahun dariku. “Apanya yang gawat?” tanyaku tidak bisa menyembunyikan keheranan di nada suaraku. Wanita itu mendesah.
“Bu, lihatlah dia akan membakar rumahnya sendiri, dan juga keluarganya. Tidakkah ini gila?” tanyanya ngeri. Aku kembali mengerutkan keningku. Ini hanya sebuah tulisan, tulisan labil siswa SMA yang tentu saja tidak serius. Aku bahkan pernah mendapatkan yang lebih buruk di kota asalku, Jakarta. Atau mungkinkah aku memang tidak bisa lagi menyamakan keadaan antara kota ini dan kota terdahuluku? Tapi tetap saja, ini hanya hal biasa, dengan hormon remaja yang masih begitu kuat, bukan tidak mungkin seorang anak akan melampiaskannya dalam sebuah tulisan. Dan hanya tulisan. Tidak lebih. “Kemarin dia baru saja memecahkan vas bunga di kelasnya. Dia bisa saja melakukan hal buruk lainnya.” Tambah bu Lia saat melihat keraguanku. Aku mendesah dan kembali mempelajari tulisan pendek itu sesaat kemudian aku mengaguk pelan. entah agukan untuk apa. Namun setidaknya aku ingin bertemu dengan pemilik tulisan itu.
                                                ***
Petang itu adalah kala pertama aku bertemu dengannya, di minggu kedua kepindahanku ke sekolah ini, di minggu kedua aku menjabat sebagai guru Bimbingan Konseling yang baru. Gadis itu, Naura Alnerra, sepintas tidak ada yang tampak salah dengannya. Ia begitu manis dan tampak rapuh. Wajahnya sedikit ketakutan, namun itu wajar, siapapun akan merasakan gelisah ketika menghadapi persidangan. Tapi tetap saja aku tidak menemukan setitik kesalahanpun dari dirinya. Yang tampak aneh justru kedua orang tuanya yang menatapku ketakutan. Aku mulai bingung, apakah ketakutan itu diciptakan oleh gadis semanis ini?
Aku bukanlah psikiater, dan aku baru menjadi guru BK selama 2 minggu. Aku tidak tau harus memberikan tindakan apa. Terlebih ketika hati kecilku merasakan semuanya baik-baik saja. Namun nasihat ayahku kembali terngiang di telingaku, ‘Nak, dewasa kelak, sebelum kau memutuskan suatu tindakan, lihatkah keseluruhan masalahnya dalam setiap sudut pandang, lihatlah dan pelajarilah dengan baik, agar kelak kau bisa menentukan jalan terbaik’. Dan hal itu pula lah yang akan ku lakukan saat ini.
                                                            ***
Aku mulai mendekati gadis berambut panjang itu semenjak kejadian penemuan catatan mengerikannya. Aku masih tidak bisa percaya jika mereka merasa takut pada gadis itu, dan pendekatanku padanya pun bukan untuk mengorek masalahnya, aku merasa lebih berkeinginan untuk merengkuhnya, melindunginya dari rasa sakit. Memang sedikit konyol, namun aku tidak bisa mengabaikan perasaanku begitu saja. Yang oleh suamiku disebut sebagai insting keibuan.
Nerra gadis yang manis. Salah satu siswi dari kelas 2-3. Ia tinggal di perumahan Ciceri Indah dengan kedua orang tuanya dan seorang adiknya. Ayahnya seorang Notaris dan ibunya seorang dokter di rumah sakit Sari Asih Serang. Secara keseluruhan hidup Nerra tentu akan sangat berkecukupan dan menyenangkan. Ia pintar dan aktif di kelasnya, meski tidak pernah sampai masuk ke kelas excellent, tapi dia memang menyenangkan. Sikap simpatiknya, empatinya, dan rasa humornya begitu menghibur. Ia pantas dijadikan sahabat.
Ah ya… sahabatnya, belakangan aku mengetahui bahwa Nerra bersahabat dekat dengan lima siswi di kelasnya; Vita, Kayna, Alisha, Airin dan Raya. Mereka adalah siswi yang baik, jauh dari masalah, malah kerap menjadi fokus guru karena keaktifannya. Lalu apa yang salah dengan gadis itu?
Bukankah seharusnya ia bahagia? Dan ya, dia tampak begitu bahagia dan ceria di mataku. Dia begitu pandai bergaul, dia bisa menempatkan posisinya dengan baik. Kami mulai dekat semenjak pertemuan petang itu. aku menyayangi Nerra, ia memang tampak kuat dan ceria, namun jauh dari semua itu aku merasa dirinya begitu rapuh.
Nerra adalah gadis yang sangat terbuka. Aku senang mendengar cerita dari mulut mungilnya. Begitu terbuka dan mudah dibaca. Namun belakangan aku baru sadar bahwa semua itu manipulasinya yang begitu hebat. Nerra bukan gadis yang mudah. Dia memaksa orang lain untuk mendengarkan dirinya dari pada mencari tahu tentang dirinya sendiri. Ia memaksa aku untuk mendengarkan buku itu dari versinya, hingga aku tidak berkesempatan mengetahuinya dari sudut pandangku. Sayangnya, itu ku ketahui hanya beberapa hari belakangan ini. Saat semuanya terasa mulai terlambat.
Aku tidak akan percaya dengan apa yang diakan orang lain tentang Nerra jika tidak melihatnya sendiri. Gadis itu, dengan mudahnya  menghancurkan hati-hati orang yang mencintainya. Namun awalnya aku merasa itu karena ia masih begitu labil dan muda, hingga masih belum bisa mencintai seseorang. Namun kemudian aku mulai menyadari kelabu itu. kelabu yang entah dari mana datangnya, dan mulai menutupi cahaya indah Nerra.
Semakin aku ingin mengabaikan, kelabu itu terlihat semakin pekat. Sosok Nerra mulai menampakan jati dirinya yang lain. Yang selama ini membuat beberapa pasang mata menatapnya ketakutan. Namun sekali lagi aku menyangkalnya. Tidak, gadis semanis ia tidak mungkin memiliki kepribadian ganda.

“Ibu terkejut?” tanyanya suatu hari. Aku baru memergokinya merokok di belakang sekolah. “Well, ibu pasti heran melihat pribadiku yang gelap seperti ini. Semua orang juga begitu, mungkin aku memang memiliki kepribadian ganda. Tapi sayangnya, aku yang jahat adalah aku yang sebenarnya.”
“Kamu tidak seperti itu.” sangkalku. Nerra membalikan tubuhnya hingga membelakangiku.
“Ibu tidak pernah tau.” Katanya sebelum berlalu pergi meninggalkanku dan air mataku.

****
Keesokan harinya, semua kelabu itu seakan hilang. Gadis mungil itu sudah kembali dengan cahaya pelanginya. Begitu ceria dan… normal. Aku mendapatinya tersenyum riang bersama sahabat-sahabatnya. Perasaanku mulai bingung, bahkan bukankah sahabatnya tau tentang perlakuan buruk Nerra. Bahkan dari cerita salah satu dari mereka, aku mendengar jika Nerra pernah menyakiti Airin hingga menangis dan tidak sekolah untuk beberapa hari. Itu memang tidak sepenuhnya kesalahan Nerra, namun tidakkah mereka merasa sedikt takut pada gadis itu? bagaimana mungkin mereka masih bisa tertawa seperti itu bersamanya?
Aku kebingungan, namun hati kecilku mulai kembali berteriak. Aku ingin kembali melindunginya. Aku tidak pernah melaporkan kejadian kemarin pada siapapun. Dan tampaknya itu berdampak baik untukku juga Nerra. Gadis itu dengan santainya kembali menyapaku, seperti hari-hari sebelumnya. Ia juga mulai kembali mengunjungi rumah baruku di daerah Bayangkara. Aku benar-benar bingung dengan gadis ini. Satu hal yang mulai ku sadari adalah Nerra memiliki berjuta nuansa bayangan dalam dirinya. Kelabu dan nuansa pelangi.
Kemudian aku sadar, ia akan tersenyum bahagia ketika aku memanggilnya adik, seakan panggilan itu membuatnya berarti. Dalam hati aku mulai bertanya-tanya, tidakkah selama ini ia menyadari kasih sayang kami? Tidakkah selama ini ia menyadari bahwa banyak orang yang menyayanginya meski segelap apapun warna kelabunya?
Dan jawabannya tentu dengan mudah ditebak. Tidak, ia selalu merasa tidak berguna dan tidak berarti. Ia merasa selalu diambaikan di tengah-tengah orang yang menyayanginya?? ini konyol, tapi aku mulai mengerti dirinya. Terlebih ketika kabar tentang Putri, adiknya, mulai menguak. Putri mengalami kelainan hati sejak kecil, dan tentu saja semua orang sibuk mengurusnya. Ah… ternyata memang begitu…


Minggu pertama di bulan Maret, aku mendapatkan sebuah kejutan yang begitu menyenangkan. Aku positif hamil. Dan Nerra benar-benar terlihat begitu bahagia. Bahkan suamiku juga memuji antusiasmenya. Aku benar-benar menyayangi gadis yang kini selalu ada di rumahku sepulang sekolah. Ia membantuku melakukan apapun, aku membantunya belajar. Dan ketika Rafi pulang dari kantornya, kami akan mengantarkan Nerra pulang ke rumahnya. Tidak jarang Nerra tinggal dan menginap. Dan ajaibnya, selama itu ia tidak pernah mendapatkan telepon khawatir dari orang tuanya.
Aku dan Rafi mulai terbiasa dengan keberadaannya. Bahkan kami akan merasa kesepian jika tidak ada gadis itu. ia sangat perhatian dan baik hati. Aku mulai bisa melihat sosok indahnya kembali. Hingga hari itu…
Rabu, 13 Maret 2008, Nerra tidak masuk sekolah. Aku sedikit khawatir, dan dari kabar yang ku dengar Putri, adiknya, kembali masuk rumah sakit. Aku mulai resah di hari ketiga ketidak hadirannya di sekolah. Aku mengunjungi rumahnya di daerah Ciceri indah, dan seharusnya aku tidak terkejut dengan ketidakberadaannya disana. aku mulai berpikir mungkin dia berada di rumah sakit. Dan hatiku kembali ketakutan ketika tidak mendapatinya di manapun. Tentu saja aku tidak mengatakan pada orang tuanya jika aku sedang mencarinya. aku beralasan sedang berada di Mall Of Serang, ketika aku teringat Putri yang dirawat di rumah sakit Sari Asih. Dan untungnya orang tuanya percaya padaku.
Hatiku mulai terpilin ketika menyadari kegagalanku menjaga gadis itu. aku menyayanginya namun nyatanya aku tidak cukup kuat untuk menjaganya agar tetap tegar. Aku kehilangan jejaknya, aku tidak tau dia dimana. Dan di tengah kota besar ini, sebagai orang baru, aku mulai merasa kehilangan arah. Aku mulai menyelusuri jalanan kota Serang malam itu. memeriksa setiap sudut tempatnya seperti idiot. Menelepon semua sahabatnya untuk memastikan keberadaannya. Namun hasilnya nihil. Aku masih kehilangannya.
Dan ternyata Kelabu itu masih belum puas menenggelamkanku dalam luka dan kekhawatiran. Aku mengalami keguguran di usia kandunganku yang menginjak bulan kedua. Aku begitu terpukul. Aku mulai mengutuki nasib burukku. 
Dan kemudian aku melihatnya disana. Berdiri di ambang pintu kamar rawat inapku dengan wajah manisnya yang tampak lelah. Mengenakan sweater abu-abu kesukaannya dan celana jeans hitam. Rambut lurusnya terlihat sedikit kusut. Ia menatapku dalam diam. Wajahnya sulit dibaca. Namun rahangnya mengeras. Aku membuka lebar tanganku, dan dengan perlahan ia berjalan mendekati ranjangku, memelukku dengan erat. Membelai punggungku.
“Kakak harus sabar, mungkin masih belum waktunya…” suaranya berupa bisikan, penuh perih, namun bernada menenangkan. Aku mengaguk dalam pelukannya, kemudian menangis.
Keesokan harinya ketika aku sudah mulai bisa menguasai emosiku, aku mulai menanyakan kabarnya. Ia hanya tersenyum dan menggeleng. Mengatakan bahwa tentangnya tidaklah penting, yang terpenting sekarang adalah kesembuhanku. Aku benar-benar terharu, terlebih ketika ia bersama sahabat-sahabatnya datang menghiburku di rumah sakit. Menemaniku hingga sejenak lupa akan kehilanganku.
“Kak.” Panggilnya suatu hari, ketika hanya kami yang berada di kamar rawat inapku. “Aku mau minta maaf atas semua kelakuan burukku selama ini.” Ujarnya tanpa melihat kearahku. Aku terkekeh mendengar kata-kata sedihnya. Bukankah masa kelabu itu sudah lewat? Dan untuk apa tatapan sedih itu dihadirkan kembali?
“Aku ikut menyesal atas kehilangan kakak.” Ujarnya. Aku terdiam, kemudian ikut menatap senja dari balik jendela kamarku. “Tapi kakak harus tau, Pelangi akan selalu datang setelah hujan… hanya saja terkadang selalu ada mendung sebelum hujan itu…” ia berbalik menatapku. “Cukup tersenyum dan bersabar, Insya Allah pelangi itu datang,” aku terhenyak kemudian menariknya kedalam pelukanku. Tuhan… betapa aku menyayangi gadis ini. “Terima kasih kak karena telah mengajari semua itu padaku.” Kemudian ia menangis. “Aku menyayangi kakak.”
“Aku juga menyayangimu, kami semua menyayangimu,”
“Aku tau. Terima kasih,” Dan kami terdiam. Lama hingga malam menjemput.
                                                ***
Serang, 28 Maret 2008
Aku mengusap air mataku perlahan. Jika aku tau itu adalah percakapan terakhir kami, aku akan mengatakan lebih banyak kata cinta padanya. Agar ia benar-benar menyadari rasa cintaku, kami dan seluruh orang di sekelilingnya. Namun aku tidak bisa melakukan hal lain. Tuhan tidak pernah membocorkan masa depan pada mahluknya.
Ku belai lembut kepala gadis manis yang kini berbaring koma di hadapanku. Wajahya masih begitu indah meski sedikit pucat. Namun ia terlihat begitu puas, dan ia berhak untuk merasakan hal itu. ia sudah melakukan hal yang luar biasa dengan mendonorkan sebagian hatinya untuk Putri. Dan hanya karena kesalahan kecil tubuhnya mengalami komplikasi seusai oprasi hingga mengakibatkannya koma hingga hari ini.
Aku kembali mengecup keningnya. Ia adalah peri kecil dalam hidupku. Ia adalah segalanya. Ny. Idris, ibunya, menangis tersedu di sebelah kiri ranjangnya. Belakangan aku mengetahui jika penyebab menghilangnya beberapa hari yang lalu adalah karena ia mengetahui bahwa ia bukanlah anak kandung keluarga Idris. Dan kembali ketika mendengar kabar keguguranku. Tuhan… apa lagi yang bisa aku lakukan??
Sahabat-sahabatnya masih berdiri disana. berdiri melingkari sinar matahari senja yang menyilaukan. Menangis tersedu menatap sosok lemah Nerra. Alisha menyentuh kaki Nerra perlahan.
“Ner… kami disini,” ucapnya getir. Ia mencoba tersenyum. “Kamu harus cepat sadar. Kami nggak bisa tanpa kamu. Persahabatan kita nggak akan lengkap.” Airin menangis di pelukan Kayna. “Tapi kalau kamu harus pergi, kami ngerti…” ujarnya. Aku menatapnya sedih. Ny. Idris menangis keras. Hari ini dokter memang sudah memutuskan untuk menyerah pada Nerra.
“Kami sayang kamu Ner,” bisik Raya. Aku mengaguk pada Ny.Idris yang kini memeluk suaminya. Kemudian mendekatkan kepalaku ke telinga gadis itu.
“Nerra, kami tau kamu sudah berusaha. Kami tau kamu sudah mencoba bertahan. Dan kami memang menginginkanmu untuk terus bertahan. Tapi jika itu hanya menyakitimu, kami merelakanmu untuk pergi.” Aku menyeka air mataku perlahan. “Bukan, tantu saja bukan berarti kami menyerah pada kesembuhanmu. Hanya saja kami tidak ingin menahanmu…” Rafi merangkul pundakku menguatkan. “Kamu hanya perlu tau satu hal, Kami semua menyayangimu… melebihi apapun…” aku melihat air mataku menetes perlahan. “Oprasi Putri berhasil. Kamu harus lega mendengar itu…” kemudian Rafi menarik tubuhku, memelukku erat. “Kami menyangimu,” bisikku dalam tangis. dan beberapa dokter bergerak untuk melepas semua alat bantu kehidupannya. Membiarkannya pergi…
Aku menangis perih. Dan mereka semua pun begitu, kami menangisi kepergiannya di petang yang menyilaukan itu. namun aku merasa lega. Karena akhirnya aku yakin, dia menyadari cinta kasih kami, dengan atau tanpa pendonoran hatinya untuk Putri. Kami mencintainya dengan seluruh nuansa warna yang ia miliki, cahaya pelangi dan nuansa kelabu itu. kami menyayanginya. aku menyanginya…
                                                ***
Aku tersenyum tipis penuh haru. Hari ini hari peringatan ketiga tahun kepergian Nerra. Aku tidak pernah menyesali semua jalan hidupku. Aku tidak pernah menyesali kedatanganku ke kota ini. Aku menyukai kota indah ini sebagaimana aku menyukai kota kelahiranku. Karena di Banten inilah, pada suatu petang aku dipertemukan dengan seorang gadis dengan sejuta warna yang begitu indah.
Aku tidak menyesali pertemuan kami. Karena aku sadar, dia sudah mengetahui betapa besarnya cinta orang-orang di sekelilingnya, untuknya. Untuk Nerra.
The end.


0 komentar: