BAB
DUA PULUH TIGA
The decision
Mama
pernah mengatakan bahwa dulu aku pernah berkeinginan bekerja di supermarket. Ketika
aku mengatakan hal itu pada Savanna, ia malah tertawa. “Ya, kemudian ketika
supermarket itu tutup kau akan bersembunyi disuatu tempat di dalamnya, menunggu
semua orang pergi, dan setelah itu mulai mengambil semua barang yang kau sukai
dari tempat itu,” tuturnya. Aku menatapnya dengan tatapan berbinar penuh
kegelian.
“Apa
itu rencana nakal kita sewaktu kecil?” tanyaku. Savanna terdiam sejenak.
“Semua
anak selalu menginginkan hal yang sama, karena tidak semua orang tua akan
membelikan apa yang anaknya inginkan,” ujar Savanna, pandangannya menerawang
jauh keluar jendela kamarku. Entah mengapa aku merasakan sedikit kegetiran dari
suaranya, namun aku sama sekali tidak ingin menanyakannya, atau belum ingin.
Aku mendesah
ketika menatap deretan rak-rak yang menyediakan berbagai macam minuman kaleng. Kemudian
mengambil salah satu yang terdekat. Mimpi tentang pantai malam itu kembali
menghantuiku. Well, aku tidak terlalu yakin apakah itu hanya mimpi biasa yang
tercipta karena aku selalu memikirkan pantai, atau itu adalah sebuah hal kecil
dari keseluruhan masa laluku.
Aku tidak
pernah menceritakan mimpi itu pada siapapun, bahkan pada Ethan. Karena sampai
saat ini aku masih beranggapan bahwa itu hanyalah mimpi belaka, mimpi biasa,
sebuah bunga tidur yang tidak berarti. Dan lagi pula aku tidak ingin menceritakan mimpi itu pada Ethan. Bagaimana mungkin
aku bisa mengatakan padanya bahwa aku bermimpi tentang perasaan indah yang
selama ini ku cari-cari, yang membuatku bertanya-tanya tentang alasan cincin
itu melingkari jari manisku. Ya, perasaan cinta, yang sayangnya bukan dari
dirinya.
Bukankah
itu suatu hal yang mustahil??
“Ada
yang bisa dibantu nona?” Tanya seorang gadis berpakaian seragam kuning. Aku tersentak
dari lamunanku dan langsung menggeleng kikuk padanya. Apa mungkin aku terlalu
lama melamun di tempat ini hingga mereka pikir aku sudah gila, atau hilang
ingatan?
Well,
sialnya mereka memang benar.
Buru-buru
aku langsung berjalan ketempat kasir dengan keranjang belanjaku yang hanya
berisi dua minuman kaleng dan sebuah kuas lukis ukuran sedang. Penjaga toko
yang tadi menegurku masih menatapku dengan heran. Aku mendesah risih, memangnya
mengapa jika aku hanya membeli ketiga barang ini? Bukankah ada yang hanya
membeli satu barang? Atau bahkan terkadang keluar tanpa membeli apapun!
Namun akhirnya
aku meraih sebuah majalah yang terpajang di rak samping kasir. Kemudian kembali
menoleh pada wanita itu untuk melihat reaksinya, konyol memang. Tapi ia sudah
menghilang, aku mendesah lelah. Majalah itupun sudah terlanjur ku ambil, jadi
aku hanya menunduk mengutuki kekonyolanku.
Angin berhembus
kencang ketika aku keluar dari supermarket itu. Langit memang sudah menunjukan
sisi kelabunya, namun belum ada satu tetesan-pun yang mengharuskan aku
berteduh. Jadi aku hanya berjalan santai menuju rumah.
“Hai
kak!!” sapa Savanna ketika aku memasuki rumah, aku terkikik pelan ketika
mendengar panggilannya. Baru kali ini ia memanggilku kakak.
“Kau
tidak pergi syuting hari ini?” tanyaku tanpa memalingkan wajahku dari majalah
yang ku baca sejak keluar dari supermarket. Kemudian aku duduk di samping mama
yang tengah sibuk mengetik di laptopnya. Savanna menuangkan segelas jus jeruk
ke gelasnya dan menggeleng.
“Syutingnya
sudah selesai, dan lagi pula… aku tidak yakin apakah film itu akan diputar atau
tidak,” ujarnya seraya mengangkat bahu tak acuh. Seakan menunjukan ketidak
peduliannya dengan kata-katanya sendiri, padahal dengan mudah aku bisa melihat
goresan luka di matanya ketika ia mengatakan hal itu.
“Mengapa?”
tanyaku, kini sepenuhnya fokus pada gadis yang tengah berdiri di depan kulkas
itu. Savanna terdiam untuk sejenak, menatap cairan orange di gelasnya kemudian
menggeleng. Aku mendesah, memutuskan untuk kembali mengalihkan fokusku pada
majalah di pangkuanku. Toh, aku tau Savanna tidak akan menjawab pertanyaanku.
“Apa
aku mengenal Sammuel Mahardika?” tanyaku ketika kami hanya terdiam. Suasana hening
langsung kembali tercipta. Namun kini aku merasa ketegangan yang nyata.
“Apa
kau mengingat sesuatu?” Tanya mama. Wajahnya begitu sulit dibaca. Aku mengerutkan
keningku.
“Aku
tidak mengingat apapun, belum.” Jawabku. “Tapi aku merasa terbiasa dengan nama
ini. Apa aku mengenalnya?” tanyaku lagi. Wajah mama terlihat khawatir, atau
cemas, atau senang, atau takut. Entahlah semuanya tampak sulit dipahami.
“Dia
pacarku,” bisik Savanna yang sedari tadi hanya terdiam. Aku dan mama langsung
menoleh padanya. Sebuah ekspresi kesedihan dan ketakutan menyatu di wajahnya. “Dia
sutradara dan penulis naskah film terbaruku,” tambahnya. Gadis itu masih
berdiri beberapa meter dariku hingga aku tidak bisa membaca wajahnya dengan
lebih jelas lagi. “Aku selalu menceritakannya padamu, maka dari itu mungkin kau
merasa familiar dengan namanya,” aku melirik mama yang membeku di sampingku.
“Tapi
mama tidak tau?” tanyaku dengan keheranan yang tidak dibuat-buat. Savanna mengangkat
wajahnya, menatap mama dari balik bulu matanya yang indah.
“Aku
menyembunyikannya dari mama dan papa,”
“Kenapa?”
tanyaku penasaran.
“Karena
mama dan papa tidak pernah menyetujui hubunganku,” kini aku bisa melihat mama
benar-benar membeku seperti patung. “Mama pikir, aku lebih supel dari pada kau.
Dan ketika aku berkencan dengan seseorang, aku akan dengan mudah memutuskan
untuk segera menikah dan meninggalkanmu,”
Kata-kata
Savanna terdengar kacau balau, namun aku bisa mengerti apa yang ia maksudkan. “Maksudmu,
mama melarangmu pacaran karena khawatir akan menikah mendahuluiku?” tanyaku
tidak yakin. Kemudian wajah itu mengaguk. Aku menatap mama yang kini memalingkan
wajahnya. “Ma? Apa mama bercanda? Savanna sudah dewasa, bagaimana mungkin mama
memperlakukannya seperti itu? Lagi pula aku sudah memiliki Ethan,”
Mama masih
menatap sisi lain rumah itu ketika ia berbicara. “Mama hanya khawatir, kau
adalah gadis yang sulit jatuh cinta,” ujarnya, suaranya terdengar bergetar.
“Dengar!”
ujarku tegas. “Berhenti khawatir akan diriku ma, aku sudah memiliki Ethan, dan
Savanna bisa memutuskan jalan hidupnya sendiri. Dia bisa menikah kalau dia mau,”
tuturku kesal.
“Isabella…”
panggil Savanna lembut, mencoba menenangkan amarahku. Ia duduk di hadapanku. “Aku
memang tidak ingin menikah sebelum kau menikah. Mungkin mama benar, aku akan
merasa terlalu egois jika sampai mendahuluimu,”
“Hey
hey…” aku merengkuh wajah cantik di hadapanku. “Kau tidak egois, kau sangat
baik hati. Adik terbaik yang pernah ku miliki, dan aku sangat bersyukur karena
memilikimu. Kau tau itu?? dan kau tidak lagi harus merasa bersalah karena
mencintai seseorang. Kau berhak jatuh cinta. Kau tidak perlu memperdulikanku,”
tuturku. Savanna meneteskan air matanya perlahan. namun wajah itu tampak
kosong. “Tapi kau tenang saja, karena aku akan segera menikah dengan Ethan,”
tambahku seraya menghapus air mata itu. Mama menatapku tak berkedip.
“Isabella,
kau tidak harus mengorbankan perasaanmu,” ujarnya. Aku mengerutkan keningku
kepada mama.
“Aku
tidak mengorbankan perasaanku,” jawabku heran.
“Tapi
kau tidak mencintai Ethan…”
“Ma…”
potongku cepat. “Cincin ini bukti aku dan dia saling mencintai. Well, mungkin
aku memang kehilangan ingatanku, tapi aku tidak mungkin mengingkarinya.” Aku terdiam
sejenak. “Lagi pula… aku yakin cinta itu akan datang kembali seiring
berjalannya waktu,”
“Isabella,”
bisik Savanna lirih.
“Dan
aku melakukan ini bukan karena dirimu, aku melakukan ini karena aku pikir
inilah yang seharusnya ku lakukan,” aku merasakan air mataku perlahan menetes. Mama
dan Savanna membeku di depanku. Tampak sibuk dengan pemikiran mereka. “Sudahlah.
Ini sudah menjadi keputusanku. Aku akan menikah dengan Ethan.” Tuturku seceria
mungkin. Mama masih menatap sedih padaku, namun jika aku terus
memperdulikannya, kehidupan cinta Savanna tidak akan pernah berjalan indah. “Dan
kau… adikku yang cantik. Kau sudah bisa membawa kekasihmu ke rumah ini,
perkenalkan pada kami,” pintaku. Wajah Savanna langsung membeku. Mata indahnya
melebar ketika mendengar kata-kataku.
“Tapi…”
bisiknya.
“Tapi
apa lagi?” tanyaku gemas. “Mama sudah mengetahui hal ini, dan papa juga akan
segera mengetahuinya. Dan aku juga akan segera menikah, kau sudah tidak
memiliki alasan untuk menyembunyikan pangeranmu,” tuturku. Wajah Savanna
memerah, namun gadis itu malah menunduk dan kembali menangis. Aku mengerutkan
keningku penuh tanda Tanya pada mama, dan entah mengapa aku justru malah
mendapatkan tatapan kesedihan dari mama.
Bukankah
seharusnya ia bahagia??
****
Rembulan
tampak bersinar cantik. Ia memang tidak sepenuhnya bulat sempurna, namun
mungkin sehari atau dua hari lagi, bulan itu akan bulat sempurna. Terkadang aku
ingin mempertanyakan tentang peri malam yang ku baca di salah satu buku di rak
buku mama. Peri malam itu dikisahkan begitu cantik, dengan kulit yang selembut
sutra namun dingin dan bercahaya bagai rembulan; rambutnya yang panjang
berwarna keperakan, begitu lembut dan harum; ia begitu sempurna secara fisik,
namun sesuatu mengingatkanku tentang kesempurnaan di dunia ini. Semua peri itu immortal
ketika sendiri. Maksudku, mereka diciptakan berpasang-pasangan, namun sebisa
mungkin mereka menghindari pasangan mereka. karena ketika mereka bersama
pasangan mereka, semua imortalitas itu akan menghilang. Mereka akan sama
seperti manusia. Memiliki keturunan dan mati.
Semudah
itu.
Aku tidak
pernah mengingkari tentang fakta bahwa seluruh mahluk hidup diciptakan
berpasang-pasangan. Toh kini aku sendiri memiliki sosok yang menjadi
pasanganku. Hanya saja beberapa pertanyaan kembali berkecamuk di dalam benakku.
Diakah pasanganku yang diciptakan Tuhan untukku? dan apakah kami akan mati
ketika akhirnya bersama kelak?
Sentuhan
tangan Ethan membangunkanku dari pemikiran konyol itu. Aku tersenyum tipis kepadanya.
“Apa yang kau pikirkan?” tanyanya. Wajahku bersemu merah karena tatapan
hangatnya. Udara malam itu cukup dingin, namun tubuhku tetap terasa panas
karena sentuhannya. Lagi-lagi Ethan membuat kejutan manis dengan membawaku
makan malam romantic yang sangat sederhana di rumah masa depan kami.
“Apa
aku harus menjawabnya?” tanyaku ragu. Ethan menarik sebelah bibirnya hingga
menyunggingkan senyuman miring yang luar biasa indah. Aku benar-benar merasa
konyol ketika dengan spontan hatiku bergetar karena senyumannya. Ia benar-benar
tampan.
“Kau
tidak harus menjawabnya jika jawabanmu adalah aku,” tuturnya. Aku mencibir
kepadanya. Namun ia kurang lebih benar, karena aku memang sedang memikirkan
pasanganku, dan dalam kasus ini, pasanganku adalah dirinya.
“Well,
aku…”
“Jadi
kau tidak sedang memikirkanku?” tanyanya tampak kecewa. Aku terkekeh pelan. Apa
dia selalu percaya diri seperti itu?
“Apakah
seharusnya aku memikirkanmu?” tanyaku.
Ia terdiam.
“Hm… aku hanya berpikir, mungkin kau akan memikirkanku, karena aku tidak bisa
berhenti memikirkanmu,” ujarnya dengan wajah polos. Aku merasakan hatiku mulai
berbunga-bunga. Mungkin ia pikir kata-katanya biasa saja, namun ia tidak pernah
tau efeknya pada diriku.
“Apa
yang kau pikirkan tentangku?” tantangku dengan wajah angkuh, meskipun
sejujurnya aku benar-benar tersanjung karena kata-katanya.
“Aku
memikirkan tentang dirimu, semuanya. Senyumanmu, tatapanmu, tawamu, tangismu,
ketakutanmu… semuanya tentang dirimu.” Ia menatap rembulan yang bersinar indah.
“Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Bahkan ketika aku memejamkan mata. Aku selalu
ingin melihatmu, bersamamu, dan membuatmu bahagia,” aku menahan nafasku ketika
mendengar kata-katanya. Air mataku mulai tergenang. “Aku mencintaimu, dan aku
ingin kau selalu ada di sampingku.”
“Mengapa
kau tidak menikahiku kalau begitu?” tanyaku tanpa sadar. Ethan langsung
menghentikan kata-katanya dan menatap tajam kearahku. Matanya membulat dengan
tatapan tidak percaya. Aku mengangkat bahuku tak acuh. “Well, ku pikir jika kau
mau aku selalu berada di sampingmu, mungkin kau bisa menikahiku, dan aku tidak
akan berada jauh darimu,” ujarku santai. Hening sejenak, kemudian Ethan
beranjak dari kursinya dan memelukku erat. Aku yakin aku hampir saja terjatuh
jika ia tidak menahan tubuhku sedemikian rupa.
“Tapi
kau tidak menci…”
“Aku
belum mencintaimu, bukan tidak.” potongku cepat. “Tapi dulu aku sudah
mencintaimu, maka dengan mudah aku akan kembali mencintaimu.” Tuturku. “Dan
selama perjalanan cinta itu, aku ingin kau tetap mencintaiku. Aku sudah
kehilangan ingatanku, dan aku tidak ingin kehilangan sesuatu yang lain lagi
dalam kehidupanku,”
“Apa
itu berarti kau mau menikah denganku?” tanyanya di telingaku. Aku mengerutkan
keningku.
“Kau
tidak pernah memintaku untuk menikah denganmu,” ujarku datar. Ethan terkekeh
pelan. Aku bisa merasakan gelombang aneh di dadanya.
“Aku
mencintaimu,” bisiknya lembut. Aku tersenyum dalam pelukannya.
“Aku
tau…”
1 komentar:
maunya sama sam aja
please cher
*nangis dipojokkan sendirian merenungi nasib sam
hehehe
Posting Komentar