Selasa, 04 Desember 2012

HUJAN KEMARIN -23-


BAB DUA PULUH TIGA
The decision


Mama pernah mengatakan bahwa dulu aku pernah berkeinginan bekerja di supermarket. Ketika aku mengatakan hal itu pada Savanna, ia malah tertawa. “Ya, kemudian ketika supermarket itu tutup kau akan bersembunyi disuatu tempat di dalamnya, menunggu semua orang pergi, dan setelah itu mulai mengambil semua barang yang kau sukai dari tempat itu,” tuturnya. Aku menatapnya dengan tatapan berbinar penuh kegelian.
“Apa itu rencana nakal kita sewaktu kecil?” tanyaku. Savanna terdiam sejenak.
“Semua anak selalu menginginkan hal yang sama, karena tidak semua orang tua akan membelikan apa yang anaknya inginkan,” ujar Savanna, pandangannya menerawang jauh keluar jendela kamarku. Entah mengapa aku merasakan sedikit kegetiran dari suaranya, namun aku sama sekali tidak ingin menanyakannya, atau belum ingin.


Aku mendesah ketika menatap deretan rak-rak yang menyediakan berbagai macam minuman kaleng. Kemudian mengambil salah satu yang terdekat. Mimpi tentang pantai malam itu kembali menghantuiku. Well, aku tidak terlalu yakin apakah itu hanya mimpi biasa yang tercipta karena aku selalu memikirkan pantai, atau itu adalah sebuah hal kecil dari keseluruhan masa laluku.
Aku tidak pernah menceritakan mimpi itu pada siapapun, bahkan pada Ethan. Karena sampai saat ini aku masih beranggapan bahwa itu hanyalah mimpi belaka, mimpi biasa, sebuah bunga tidur yang tidak berarti. Dan lagi pula aku tidak ingin menceritakan mimpi itu pada Ethan. Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan padanya bahwa aku bermimpi tentang perasaan indah yang selama ini ku cari-cari, yang membuatku bertanya-tanya tentang alasan cincin itu melingkari jari manisku. Ya, perasaan cinta, yang sayangnya bukan dari dirinya.
Bukankah itu suatu hal yang mustahil??
“Ada yang bisa dibantu nona?” Tanya seorang gadis berpakaian seragam kuning. Aku tersentak dari lamunanku dan langsung menggeleng kikuk padanya. Apa mungkin aku terlalu lama melamun di tempat ini hingga mereka pikir aku sudah gila, atau hilang ingatan?
Well, sialnya mereka memang benar.
Buru-buru aku langsung berjalan ketempat kasir dengan keranjang belanjaku yang hanya berisi dua minuman kaleng dan sebuah kuas lukis ukuran sedang. Penjaga toko yang tadi menegurku masih menatapku dengan heran. Aku mendesah risih, memangnya mengapa jika aku hanya membeli ketiga barang ini? Bukankah ada yang hanya membeli satu barang? Atau bahkan terkadang keluar tanpa membeli apapun!
Namun akhirnya aku meraih sebuah majalah yang terpajang di rak samping kasir. Kemudian kembali menoleh pada wanita itu untuk melihat reaksinya, konyol memang. Tapi ia sudah menghilang, aku mendesah lelah. Majalah itupun sudah terlanjur ku ambil, jadi aku hanya menunduk mengutuki kekonyolanku.
Angin berhembus kencang ketika aku keluar dari supermarket itu. Langit memang sudah menunjukan sisi kelabunya, namun belum ada satu tetesan-pun yang mengharuskan aku berteduh. Jadi aku hanya berjalan santai menuju rumah.


“Hai kak!!” sapa Savanna ketika aku memasuki rumah, aku terkikik pelan ketika mendengar panggilannya. Baru kali ini ia memanggilku kakak.
“Kau tidak pergi syuting hari ini?” tanyaku tanpa memalingkan wajahku dari majalah yang ku baca sejak keluar dari supermarket. Kemudian aku duduk di samping mama yang tengah sibuk mengetik di laptopnya. Savanna menuangkan segelas jus jeruk ke gelasnya dan menggeleng.
“Syutingnya sudah selesai, dan lagi pula… aku tidak yakin apakah film itu akan diputar atau tidak,” ujarnya seraya mengangkat bahu tak acuh. Seakan menunjukan ketidak peduliannya dengan kata-katanya sendiri, padahal dengan mudah aku bisa melihat goresan luka di matanya ketika ia mengatakan hal itu.
“Mengapa?” tanyaku, kini sepenuhnya fokus pada gadis yang tengah berdiri di depan kulkas itu. Savanna terdiam untuk sejenak, menatap cairan orange di gelasnya kemudian menggeleng. Aku mendesah, memutuskan untuk kembali mengalihkan fokusku pada majalah di pangkuanku. Toh, aku tau Savanna tidak akan menjawab pertanyaanku.
“Apa aku mengenal Sammuel Mahardika?” tanyaku ketika kami hanya terdiam. Suasana hening langsung kembali tercipta. Namun kini aku merasa ketegangan yang nyata.
“Apa kau mengingat sesuatu?” Tanya mama. Wajahnya begitu sulit dibaca. Aku mengerutkan keningku.
“Aku tidak mengingat apapun, belum.” Jawabku. “Tapi aku merasa terbiasa dengan nama ini. Apa aku mengenalnya?” tanyaku lagi. Wajah mama terlihat khawatir, atau cemas, atau senang, atau takut. Entahlah semuanya tampak sulit dipahami.
“Dia pacarku,” bisik Savanna yang sedari tadi hanya terdiam. Aku dan mama langsung menoleh padanya. Sebuah ekspresi kesedihan dan ketakutan menyatu di wajahnya. “Dia sutradara dan penulis naskah film terbaruku,” tambahnya. Gadis itu masih berdiri beberapa meter dariku hingga aku tidak bisa membaca wajahnya dengan lebih jelas lagi. “Aku selalu menceritakannya padamu, maka dari itu mungkin kau merasa familiar dengan namanya,” aku melirik mama yang membeku di sampingku.
“Tapi mama tidak tau?” tanyaku dengan keheranan yang tidak dibuat-buat. Savanna mengangkat wajahnya, menatap mama dari balik bulu matanya yang indah.
“Aku menyembunyikannya dari mama dan papa,”
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Karena mama dan papa tidak pernah menyetujui hubunganku,” kini aku bisa melihat mama benar-benar membeku seperti patung. “Mama pikir, aku lebih supel dari pada kau. Dan ketika aku berkencan dengan seseorang, aku akan dengan mudah memutuskan untuk segera menikah dan meninggalkanmu,”
Kata-kata Savanna terdengar kacau balau, namun aku bisa mengerti apa yang ia maksudkan. “Maksudmu, mama melarangmu pacaran karena khawatir akan menikah mendahuluiku?” tanyaku tidak yakin. Kemudian wajah itu mengaguk. Aku menatap mama yang kini memalingkan wajahnya. “Ma? Apa mama bercanda? Savanna sudah dewasa, bagaimana mungkin mama memperlakukannya seperti itu? Lagi pula aku sudah memiliki Ethan,”
Mama masih menatap sisi lain rumah itu ketika ia berbicara. “Mama hanya khawatir, kau adalah gadis yang sulit jatuh cinta,” ujarnya, suaranya terdengar bergetar.
“Dengar!” ujarku tegas. “Berhenti khawatir akan diriku ma, aku sudah memiliki Ethan, dan Savanna bisa memutuskan jalan hidupnya sendiri. Dia bisa menikah kalau dia mau,” tuturku kesal.
“Isabella…” panggil Savanna lembut, mencoba menenangkan amarahku. Ia duduk di hadapanku. “Aku memang tidak ingin menikah sebelum kau menikah. Mungkin mama benar, aku akan merasa terlalu egois jika sampai mendahuluimu,”
“Hey hey…” aku merengkuh wajah cantik di hadapanku. “Kau tidak egois, kau sangat baik hati. Adik terbaik yang pernah ku miliki, dan aku sangat bersyukur karena memilikimu. Kau tau itu?? dan kau tidak lagi harus merasa bersalah karena mencintai seseorang. Kau berhak jatuh cinta. Kau tidak perlu memperdulikanku,” tuturku. Savanna meneteskan air matanya perlahan. namun wajah itu tampak kosong. “Tapi kau tenang saja, karena aku akan segera menikah dengan Ethan,” tambahku seraya menghapus air mata itu. Mama menatapku tak berkedip.  
“Isabella, kau tidak harus mengorbankan perasaanmu,” ujarnya. Aku mengerutkan keningku kepada mama.
“Aku tidak mengorbankan perasaanku,” jawabku heran.
“Tapi kau tidak mencintai Ethan…”
“Ma…” potongku cepat. “Cincin ini bukti aku dan dia saling mencintai. Well, mungkin aku memang kehilangan ingatanku, tapi aku tidak mungkin mengingkarinya.” Aku terdiam sejenak. “Lagi pula… aku yakin cinta itu akan datang kembali seiring berjalannya waktu,”
“Isabella,” bisik Savanna lirih.
“Dan aku melakukan ini bukan karena dirimu, aku melakukan ini karena aku pikir inilah yang seharusnya ku lakukan,” aku merasakan air mataku perlahan menetes. Mama dan Savanna membeku di depanku. Tampak sibuk dengan pemikiran mereka. “Sudahlah. Ini sudah menjadi keputusanku. Aku akan menikah dengan Ethan.” Tuturku seceria mungkin. Mama masih menatap sedih padaku, namun jika aku terus memperdulikannya, kehidupan cinta Savanna tidak akan pernah berjalan indah. “Dan kau… adikku yang cantik. Kau sudah bisa membawa kekasihmu ke rumah ini, perkenalkan pada kami,” pintaku. Wajah Savanna langsung membeku. Mata indahnya melebar ketika mendengar kata-kataku.
“Tapi…” bisiknya.
“Tapi apa lagi?” tanyaku gemas. “Mama sudah mengetahui hal ini, dan papa juga akan segera mengetahuinya. Dan aku juga akan segera menikah, kau sudah tidak memiliki alasan untuk menyembunyikan pangeranmu,” tuturku. Wajah Savanna memerah, namun gadis itu malah menunduk dan kembali menangis. Aku mengerutkan keningku penuh tanda Tanya pada mama, dan entah mengapa aku justru malah mendapatkan tatapan kesedihan dari mama.
Bukankah seharusnya ia bahagia??
                                                ****
Rembulan tampak bersinar cantik. Ia memang tidak sepenuhnya bulat sempurna, namun mungkin sehari atau dua hari lagi, bulan itu akan bulat sempurna. Terkadang aku ingin mempertanyakan tentang peri malam yang ku baca di salah satu buku di rak buku mama. Peri malam itu dikisahkan begitu cantik, dengan kulit yang selembut sutra namun dingin dan bercahaya bagai rembulan; rambutnya yang panjang berwarna keperakan, begitu lembut dan harum; ia begitu sempurna secara fisik, namun sesuatu mengingatkanku tentang kesempurnaan di dunia ini. Semua peri itu immortal ketika sendiri. Maksudku, mereka diciptakan berpasang-pasangan, namun sebisa mungkin mereka menghindari pasangan mereka. karena ketika mereka bersama pasangan mereka, semua imortalitas itu akan menghilang. Mereka akan sama seperti manusia. Memiliki keturunan dan mati.
Semudah itu.
Aku tidak pernah mengingkari tentang fakta bahwa seluruh mahluk hidup diciptakan berpasang-pasangan. Toh kini aku sendiri memiliki sosok yang menjadi pasanganku. Hanya saja beberapa pertanyaan kembali berkecamuk di dalam benakku. Diakah pasanganku yang diciptakan Tuhan untukku? dan apakah kami akan mati ketika akhirnya bersama kelak?
Sentuhan tangan Ethan membangunkanku dari pemikiran konyol itu. Aku tersenyum tipis kepadanya. “Apa yang kau pikirkan?” tanyanya. Wajahku bersemu merah karena tatapan hangatnya. Udara malam itu cukup dingin, namun tubuhku tetap terasa panas karena sentuhannya. Lagi-lagi Ethan membuat kejutan manis dengan membawaku makan malam romantic yang sangat sederhana di rumah masa depan kami.
“Apa aku harus menjawabnya?” tanyaku ragu. Ethan menarik sebelah bibirnya hingga menyunggingkan senyuman miring yang luar biasa indah. Aku benar-benar merasa konyol ketika dengan spontan hatiku bergetar karena senyumannya. Ia benar-benar tampan.
“Kau tidak harus menjawabnya jika jawabanmu adalah aku,” tuturnya. Aku mencibir kepadanya. Namun ia kurang lebih benar, karena aku memang sedang memikirkan pasanganku, dan dalam kasus ini, pasanganku adalah dirinya.
“Well, aku…”
“Jadi kau tidak sedang memikirkanku?” tanyanya tampak kecewa. Aku terkekeh pelan. Apa dia selalu percaya diri seperti itu?
“Apakah seharusnya aku memikirkanmu?” tanyaku.
Ia terdiam. “Hm… aku hanya berpikir, mungkin kau akan memikirkanku, karena aku tidak bisa berhenti memikirkanmu,” ujarnya dengan wajah polos. Aku merasakan hatiku mulai berbunga-bunga. Mungkin ia pikir kata-katanya biasa saja, namun ia tidak pernah tau efeknya pada diriku.
“Apa yang kau pikirkan tentangku?” tantangku dengan wajah angkuh, meskipun sejujurnya aku benar-benar tersanjung karena kata-katanya.
“Aku memikirkan tentang dirimu, semuanya. Senyumanmu, tatapanmu, tawamu, tangismu, ketakutanmu… semuanya tentang dirimu.” Ia menatap rembulan yang bersinar indah. “Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Bahkan ketika aku memejamkan mata. Aku selalu ingin melihatmu, bersamamu, dan membuatmu bahagia,” aku menahan nafasku ketika mendengar kata-katanya. Air mataku mulai tergenang. “Aku mencintaimu, dan aku ingin kau selalu ada di sampingku.”
“Mengapa kau tidak menikahiku kalau begitu?” tanyaku tanpa sadar. Ethan langsung menghentikan kata-katanya dan menatap tajam kearahku. Matanya membulat dengan tatapan tidak percaya. Aku mengangkat bahuku tak acuh. “Well, ku pikir jika kau mau aku selalu berada di sampingmu, mungkin kau bisa menikahiku, dan aku tidak akan berada jauh darimu,” ujarku santai. Hening sejenak, kemudian Ethan beranjak dari kursinya dan memelukku erat. Aku yakin aku hampir saja terjatuh jika ia tidak menahan tubuhku sedemikian rupa.
“Tapi kau tidak menci…”
“Aku belum mencintaimu, bukan tidak.” potongku cepat. “Tapi dulu aku sudah mencintaimu, maka dengan mudah aku akan kembali mencintaimu.” Tuturku. “Dan selama perjalanan cinta itu, aku ingin kau tetap mencintaiku. Aku sudah kehilangan ingatanku, dan aku tidak ingin kehilangan sesuatu yang lain lagi dalam kehidupanku,”
“Apa itu berarti kau mau menikah denganku?” tanyanya di telingaku. Aku mengerutkan keningku.
“Kau tidak pernah memintaku untuk menikah denganmu,” ujarku datar. Ethan terkekeh pelan. Aku bisa merasakan gelombang aneh di dadanya.
“Aku mencintaimu,” bisiknya lembut. Aku tersenyum dalam pelukannya.
“Aku tau…”


1 komentar:

Fathy mengatakan...

maunya sama sam aja

please cher

*nangis dipojokkan sendirian merenungi nasib sam

hehehe