Selasa, 04 Desember 2012

HUJAN KEMARIN -22-


BAB DUA PULUH DUA
The Dreamin’


Kadang-kadang aku merasa bahagia dengan segala hal baru ini. Merasa tidak perlu khawatir lagi dengan masa laluku yang mungkin dipenuhi oleh kesalahan-kesalahan yang entah disengaja atau tidak. Tetapi aku merasa hati kecilku terus memberontak, seakan ketakutan pada sesuatu. Sialnya, itu adalah hal yang abstrak. Hal yang tidak bisa ku sentuh, namun sesuatu hal yang juga mutlak.
Malam itu Ethan mengajakku ke sebuah restoran mewah. Aku merasa nyaman bersamanya, namun itu tidak cukup untuk menjadikan alasan cincin indahnya melingkari jemariku. Aku tentu memiliki hal lain –selain kata nyaman itu-. Well, sejak memasuki restoran aku memang sudah merasakan lirikan beberapa orang kepada kami. Mereka tidak menatap kami secara terang-terangan, namun justru sikap ‘curi-curi pandang’ mereka membuatku geli. Sedangkan Ethan tampak begitu tenang di hadapanku, seakan itu sama sekali tidak mengganggunya. Toh mereka kan hanya menatap kami.
“Apa pekerjaanmu?” tanyaku setelah menyerahkan buku menu kepada pelayan. Ethan tersenyum.
“Aku seorang fotografer,” katanya. Aku mengernyit, kurasa ia lebih cocok menjadi sosok yang ‘difoto’ dari pada yang ‘memfoto’. “Dulunya aku seorang model,” lanjutnya ketika aku hanya terdiam. Ia mengangkat bahunya tak acuh. “Tapi aku tidak terlalu suka diatur, aku ingin mengatur, memposisikan sesuatu hingga menampilkan angle yang pas untuk dijadikan sebuah potret,”
Aku terdiam. “Kau tidak pernah mendukungku,” bisiknya. Aku hampir saja tersedak liurku sendiri ketika mendengarnya.
“Benarkah?” tanyaku terkejut. Ia tersenyum hambar. “Aku minta maaf,” tambahku seraya menatap jemariku yang bertautan di atas pangkuanku, seakan aku hanya seorang gadis yang meminta maaf karena ketahuan mencuri di pusat perbelanjaan. Tapi aku tau, semua ini bukan masalah spele. Jika aku tidak mendukungnya, bagaimana mungkin aku mau menikah dengannya?
Cincin itu masih terdiam. Aku memutar-mutarnya beberapa kali, mencoba mencari tombol yang secara otomatis akan membuatnya berbicara, dan membeberkan semua kenangan masa laluku.
Tapi tentu saja, cincin itu masih-akan-selalu terdiam.
“Kau pikir aku bisa melakukan hal lain yang lebih hebat,”tambahnya.
“Maafkan aku, sungguh.” Bisikku tulus.
“Tidak apa-apa, kau adalah motivasi terbesar dalam hidupku,” ia tersenyum ramah padaku, menunjukan wajah tampan yang bisa membuat seluruh wanita di tempat ini dimabuk kepayang ketika melihatnya. Aku bukannya tidak sadar jika pelayan meja kami pun selalu mencuri pandang kearahnya. Toh sejak awal kami masuk-pun aku sudah menyadari tentang pandangan mereka. Tapi melihat pandangan Ethan yang hanya terkunci kepadaku, seakan aku adalah satu-satunya gadis ditempat itu, membuatku tenang. Ia membuatku merasa nyaman untuk bergerak. Tetapi kemudian aku mulai merasa risih akan pemikiran aneh yang tiba-tiba memenuhi otakku.
“Apa kau benar-benar mencintaiku?” pertanyaan itu terlontar begitu saja. Karena sejujurnya aku lelah mendengar peperangan antara sisi logisku dan hati kecilku. Ethan adalah pria yang sempurna, mapan dan tampan. Namun bagaimana mungkin ia bisa mencintai wanita biasa sepertiku.
“Apa kau meragukanku?” ia balik bertanya. Aku mendesah dan menatap gelas Kristal di hadapanku. 
“Aku meragukan diriku sendiri.” Bisikku pelan. “Aku tidak yakin apakah aku pantas untuk pria sepertimu,” Ethan tidak menjawab, namun aku merasakan pandangannya melunak. Bahkan aku pikir dia akan menangis.
“Isabella…” ia menyentuh jemariku perlahan. “Kau adalah wanita yang paling istimewa dalam hidupku. Kau seorang pejuang yang begitu manis. Kau baik hati dan pantang menyerah. Kau lucu dan sangat menarik, dan kau sangat cantik…” wajahku memerah ketika mendengar kata-katanya yang manis.
“Aku takut setelah ini aku akan berubah,” kataku, kembali mengutarakan kecemasan dalam diriku. “Setelah kecelakaan itu. kau tau, aku sama sekali tidak tau masa laluku, bahkan jati diriku. Aku tidak tau bagaimana caranya bersikap, aku tidak tau…”
“Hey…” Ethan menyentuh wajahku dengan jemarinya. Ia menatap lembut kepadaku, menenangkan gemuruh hatiku. “Aku mencintaimu apa adanya. Aku hanya ingin bersamamu, melihatmu bahagia. Aku tau ini akan menjadi sangat sulit. Aku mencintaimu dan kau bahkan tidak mengenaliku. Tapi aku bersumpah, aku akan berusaha untuk menemukan cinta itu lagi. Aku tidak akan membuatmu mengingat cinta yang lalu, aku akan membuatmu memberikan cinta yang baru. Aku akan berusaha,” air mataku menetes perlahan.
“Bagaimana jika aku tidak pernah menemukan cinta itu lagi?” tanyaku. Ini tentu saja kebohongan belaka, karena saat ini aku mulai merasakan kehangatan dalam hatiku, dan itu semua karena dirinya. Namun sosok di hadapanku langusng membeku. Rahangnya mengeras, bibirnya terkatup rapat. Otomatis reaksinya menggelitik sisi kecemasanku lagi. Tidakkah ia berpikiran tentang hal itu? bagaimana jika aku menemukan cinta yang lain dan kemudian melupakannya?
Aku tidak ingin memikirkan hal itu, karena itu benar-benar pemikiran yang diluar keinginanku. Dan lagi pula aku sudah menetapkan hatiku untuk mencintainya. Meskipun sulit, namun aku akan kembali menemukan alasan keberadaan cincin itu di jemariku.
“Ethan…” bisikku pelan. Ethan masih membeku untuk beberapa saat, hingga makanan kami datang dan pembicaraan itu tidak pernah selesai.
                                                 ****
            Belakangan aku mulai mencoba rutinitas baruku. Hidup dalam rumah indah bercat putih dengan keluarga kecilku yang bahagia. Papa memiliki perusahan Expor-Impor, dan sejujurnya aku tidak tau bagaimana mungkin diriku yang lama bisa menyukai pekerjaan itu. Karena sata ini yang aku ingin lakukan hanyalah melukis atau menuliskan sesuatu. Ya, aku tau… itu hanya salah satu dari sekian banyaknya cara yang ku lakukan untuk kembali mengingat masa laluku yang hilang. Ketika aku menulis, ku harap aku akan tanpa sengaja mengingat sesuatu dari masa laluku. Dan apapun yang terlintas dalam benakku, akan ku lukis secepatnya. Lukisanku memang sama sekali tidak indah, bahkan terlambau berantakan. Namun Ethan selalu memujiku dan menyemangatiku. Dalam hati aku mulai bertanya-tanya bagaimana jika ia tau alasanku utamaku melukis?
            “Apa aku tidak mempunyai sahabat?” tanyaku suatu siang kepada mama yang tengah sibuk dengan kue dan ovennya. Savanna yang tengah asyik mengocok telur langsung terdiam. Wajah cantiknya membeku, jika matanya tidak seindah itu mungkin ia memang bisa dikatakan duplikat diriku.
“Kau sangat pendiam disekolah,” jawab mama. Aku melirik Savanna yang masih membeku. “Kebalikan dari adikmu yang super cerewet,” Savanna nyengir kepadaku. Aku terkekeh dan mendekati mereka. Memperhatikan bagaimana mama menusuk-nusuk cakenya dengan garpu untuk melihat apakah bagian dalam cake itu sudah matang atau belum.
Savanna meneruskan kocokan telurnya dengan hati-hati. Sesekali ia menurunkan kecepatan mixer itu untuk memeriksa teksturnya. Dan seketika itu pula mama akan meneriakinya untuk terus mengocok sebelum putih telur itu menjadi kaku. Savanna memutar bola matanya ketika mendengar omelan mama. Aku terkikik pelan.
Keluarga ini begitu sempurna. Dengan papa yang begitu perhatian dan penuh kasih sayang, mama yang selalu hadir untuk kami yang juga seorang penulis buku bestseller, dan sosok adik mungilku yang berfrofesi sebagai artis. Namun entah mengapa aku merasa –lagi-lagi- semuanya terasa terlalu sempurna. Tanpa konflik, tanpa masalah-masalah yang berarti. Apakah memang keluargaku selalu seindah ini??
“Kita pernah mengalami masa-masa terburuk,” kata mama ketika aku menanyakan hal itu. “Ketika kami hampir kehilanganmu beberapa bulan yang lalu. Mama tidak tau apa yang akan terjadi setelah itu jika Tuhan mengambilmu. Mama sama sekali tidak bisa memikirkannya. Mama benar-benar mencintaimu,” dan kemudian aku hanya akan menyesali diriku sendiri karena menanyakan hal yang hanya menyisakan tangis mama.
Begitu banyak hal yang berkecamuk dalam benakku, dan terkadang aku merasa mulai membutuhkan seorang psikiater untuk membantuku berpikir atau aku akan segera gila. Aku selalu ingin tersenyum di tengah-tengah keadaanku saat ini, karena sejujurnya semua hal tentang kehidupanku adalah cerita yang indah, namun seketika itu juga aku akan merasa tercekat, merasa bersalah karena melupakan masa lalu yang tersembunyi –dan seakan sengaja disembunyikan-.
                                            ****
Aku sering melihat keindahan pantai dari tv, begitu banyak film yang mengambil setting di sekitar pantai. Dan aku tidak akan pernah melewatkannya, aku menyukai suasana pantai yang ramai penuh canda tawa. Seakan-akan yang datang kepantai hanyalah orang-orang yang kebetulan memiliki hari libur dan menggunakannya untuk bertamasya ketempat itu.
Aku tersenyum ketika dengan jelas ku dengar deburan ombak yang saling bersahutan itu. Suaranya yang tegas ketika menabrak karang mengingatkanku akan kekuatan dan keangkuhan. Tetesan air ketika ombak itu kembali tergulung kebelakang mengingatkanku akan sesuatu yang menghilang dan akan segera kembali lagi. Bahkan bau garam yang menyatu dengan setiap tetes air dihadapanku seakan menunjukan sebuah kenyataan lain pada diriku, bahwa tidak hanya rasa manis di dunia ini, tapi selalu ada rasa lain, asin… asam… bahkan pahit.
Semilir angin menerpa wajahku, menghantarkan keharuman garam dari lautan di hadapanku. Aku kembali tersenyum, namun enggan membuka mata. Aku menikmati saat-saat seperti ini, ketika aku terbaring tidak jauh dari pantai. Mendengar suara ombak, dan menghirup aroma garam. Terkadang aku memang sedikit bergetar ketakutan ketika mendengar terjangan ombak yang menabrak karang. Namun lengan yang melingkar di pinggangku seakan memberikan ketenangan yang indah. Sosok yang tengah terpejam di belakang punggungku, dan memelukku dari belakang, tampak sedang menikmati juga semua keindahan pantai kala itu.
Aku tidak ingin membuka mataku, aku masih ingin menikmati semua ketenangan ini, rasa aman, dan keindahan yang membuatku selalu ingin tersenyum. Aku sadar, inilah yang selama ini ku cari, perasaan inilah yang selama ini ingin ku temukan diantara memori-memori masa laluku. Perasaan yang lebih dari cukup untuk menjadi alasan melingkarnya cincin itu di jemariku.
Aku tidak lagi berpikiran tentang hal lain. Berada di pelukannya seperti ini sudah lebih dari cukup. Merasakan desahan nafasnya yang teratur, mendengar detak jantungnya yang berirama, merasakan seluruh rasa cintanya yang indah. Aku hanya menginginkan hal ini, bukan hal yang lain. Aku ingin menyimpannya, dan bersumpah untuk-tidak-akan-pernah melupakannya lagi, apapun yang terjadi.
Kemudian tetesan air mata itu menggelitik hatiku, menyesakan dadaku. Ketakutanku akan kehilangan momen indah itu seakan menghimpit dadaku. Aku tercekat, tersentak dan langsung membuka mata. Di hadapanku hamparan lautan itu tampak terlihat jelas dari pintu geser yang terbuka lebar. Tirai-tirai lembut tampak berterbangan tertiup semilir angin pantai. Semuanya masih begitu indah, sampai kemudian air mataku benar-benar menetes ketika melihat sebuah kacamata tak berbingkai di atas meja kecil, tepat di hadapanku. 

1 komentar:

Nunaalia mengatakan...

cherry sjk isabella kecelakaan kok byk yg membingungkan...
kenapa namanya jadi Isabella Haris??
bukannya orang tuanya udah cerai??
knp tiba2 isabella py adik??
ethan jg ngaku2 jd tunangannya!
Sam kemana? Galang n Lolita jg kok ngilang???
trs bukannya isabella itu dokter ya?? kok ktnya krj di perusahaan ayahnya??

haduuuhhh binguuuuung!