BAB
DUA PULUH LIMA
Heart
of Stone
Cinta
pertama itu mereka bilang adalah cinta yang takkan pernah bisa dilupakan,
kalaupun cinta itu takkan berakhir dengan kebersamaan, namun cinta itu akan
selalu membekas di hati. Entah menyisakan luka atau tawa. Tapi bagiku semuanya
berbeda. Aku bahkan tidak bisa mengingat satu detailpun tentang cinta
pertamaku. Aku masih terus berusaha untuk mengingatnya, aku bersumpah. Namun
nyatanya, hingga detik ini aku masih buta akan diriku dan semua kisah
tentangku.
4
bulan setelah kecelakaan itu sepertinya tidak membantuku menemukan jalan
kembali ke ingatanku. Semuanya masih sama, gelap dan kosong. Mungkin sudah
waktunya aku menyerah. Toh aku memang tidak memiliki penyemangat untuk kembali
mencapat ingatanku.
Penyemangat?
Kata-kata
itu terkadang menggelitik hati kecilku. Aku merasa diriku memang lemah. Bahkan
dalam mencapai tujuan hidupku. Namun bagaimana mungkin aku masih berdiri
setegar ini sampai sekarang? Aku tau, tidak ada gunanya menanyakan hal yang
takkan pernah ku temukan jawabannya, tapi setidaknya aku sudah berusaha. Aku sudah
mencoba.
Aku
tersenyum tipis ketika melihat surat pemberitahuan yang datang atas namaku. Ini
bukan surat istimewa, namun setidaknya surat ini menawarkan hal lain untukku.
Hal yang sama sekali tidak menyentuh sisi kelabu dalam kehidupanku.
Telepon
disampingku tiba-tiba berdering.
“Ya,”
ujarku setelah deringan pertama. Telepon dari Kikan, sekretaris Ethan. “Ya aku
mengerti, terima kasih Ki,” ujarku singkat sebelum menutup telepon itu. Kulirik
jam tanganku, sepertinya memang sudah waktunya.
Berkali-kali
ku tarik nafas dalam-dalam untuk meredakan detak jantungku yang menggebu. Aku
benar-benar tidak ingin terlihat gugup. Namun belum apa-apa tanganku sudah
terasa dingin. Perutku melilit karena tegang.
Kikan
tersenyum manis ketika melihat kedatanganku ke studio. Ia adalah gadis Jakarta
yang sangat modis, dengan dandanan minimalis namun menawan, dan busana kerja
yang formal namun –sekali lagi- tampak menawan pada dirinya.
Aku
memandang ke sekeliling, mempelajari lobi studio itu dengan seksama. Sebuah
sofa panjang berwarna putih menjadi poin utama pada ruangan itu. Dengan
cermin-cermin panjang yang menjadi dinding sisi kiri dan kananya. Sedang
dinding depannya terbuat dari ukiran batu berwarna coklat muda yang begitu
indah dan artistik. Beberapa tanaman dalam pot menambah kesan alami tempat itu.
Kikan
memberikan isyarat dengan tangannya agar aku langsung masuk ke dalam. Aku
membalas anggukannya dan berlalu. Ada banyak ruangan lain di balik lorong
panjangnya yang cukup sempit. Sebuah toilet tersembunyi di balik tangga menuju
lantai dua. Beberapa ruangan berpintu kaca tampak tertutup rapat. Aku tidak
pernah memasuki studio Ethan, karena ku pikir aku tidak perlu melihatnya
bekerja. Hasil jepretannya yang kini sudah merambah ke dunia international
membuktikan seluruh talenta yang dimilikinya.
Aku
merapihkan tatanan rambutku dan menyiapkan goresan senyum termanis yang bisa ku
tunjukan. Namun semakin lebar senyuman itu terukir, semakin perih hatiku
terasa. Tapi aku tidak akan berhenti di sini. Aku akan terus berjalan apapun
resikonya. Setelah berkali-kali aku menghela nafas panjang, akhirnya debaran
jantungku bisa sedikit normal. Kemudian aku membuka pintu ganda yang
bertuliskan studio satu.
Kilatan
blitz kamera membuatku menyipitkan mata. Kemudian setelah mampu menyesuaikan
mataku barulah aku mulai melangkah. Ruangan itu besar dan terang menderang.
Sisi sampingnya di penuhi oleh tumpukan barang-barang, deretan kostum
tergantung di bagian atasnya. Tidak ada jendela di ruangan itu. Semua cahaya di
ambil dari lampu sorot yang begitu terang.
Beberapa
orang tampak terpaku di sekeliling pemuda tampan berkaos abu-abu. Aku tersenyum
tipis. Itu dia. Sosok menawan yang tampak begitu hidup dengan kamera di
tangannya. aku berjalan perlahan, menghampiri kerumunan itu, namun sebisa
mungkin tidak menarik perhatian mereka. Dihadapan Ethan, seorang gadis cantik
tampak tengah bergaya dengan gaun putih yang begitu anggun. Sebuah jendela
buatan menjadi propertinya. Semuanya serba berwarna putih bersih, kecuali bunga
mawar yang berada dalam vas Kristal di jendela itu.
Aku
benar-benar suka dengan caranya memotret, dengan gerakan indah sang model,
bahkan dengan decakan kagum dari orang-orang yang menontonnya. Namun tiba-tiba
mata model itu melebar. Pose indahnya terhenti, tatapannya mengunci pada
diriku. Membuat seluruh orang di hadapanku turut menoleh. Otomatis aku mundur
beberapa langkah, hingga punggungku menabrak dinding di belakangku. Kakiku
mulai terasa selembek jeli.
Perasaan
gugup ini menyesakan dadaku. Terlebih ketika seorang pria botak menyentuh
pundak pemuda tampan itu. Menyadarkannya dari keterkejutannya. Aku merasakan
air mataku tergenang. Mulai memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini.
“Hai…”
sapa Ethan dengan nada takjub dan bahagia. Sebisa mungkin aku mempertahankan
senyuman yang sudah ku persiapkan dari tadi. “Kau datang?” tanyanya, masih
dengan ekpresi bahagia. “Aku pikir kau tidak akan pernah datang ke studioku,”
tambahnya.
“Ini
tempat yang indah,” ujarku tulus. Ethan tersenyum lebar. Pancaran kebahagiaan
tampak dari sorotan matanya.
“Sav…
ah maksudku Isabella,” bisik gadis bergaun putih itu ragu-ragu. Aku melirik
kebelakang tubuh Ethan, dan mendapati gadis itu menatapku tidak percaya. Dalam
hati aku bertanya-tanya apakah semua orang akan bersikap seperti itu?
“Hai,”
balasku. Ethan bergeser kesamping dan berdiri di sampingku.
“Hai,
aku Kyna. Aku pernah bermain film dengan Savanna. Kalian berdua benar-benar
mirip. Aku tidak bisa mempercayai ini,” ujarnya. Tatapannya dengan jelas
menunjukan ketidak percayaannya. Savanna memang duplikat diriku, kecuali mata
kami yang jelas berbeda. Matanya terlalu indah untuk menjadi duplikat mataku.
Namun secara keseluruhan kami memang mirip, bagai saudara kembar yang tidak
identik.
“Aku
tidak percaya akhirnya bisa bertemu denganmu,” bisiknya. Aku tersenyum senormal
mungkin. Kemudian tatapan gadis itu berubah, lebih lembut dan sendu. Ia
menautkan jemarinya, wajahnya sedikit berkerut, kemudian dengan cepat
memalingkan pandangannya.
“Isabella!!”
teriakan itu memecah keheningan yang sempat terjalin di antara kami. Aku
mengerutkan keningku ketika melihat sosok ‘cantik’ lain yang tersenyum lebar
padaku. Tubuhnya jangkung, dan jelas berotot. Namun riasan wajahnya begitu
indah. Aku menatapnya dengan sedikit ngeri.
“Dia
Lexa, stylish di sini,” bisik Ethan di telingaku.
“Nama
aslinya?” tanyaku balas berbisik.
“Alex,”
“Ah…
kau benar-benar cantik…” puji Alex, atau Lexa. Atau siapapun namanya. Ia
menunduk untuk mensejejarkan wajahnya dengan wajahku. Matanya berbinar indah,
hidungnya mancung dan bibirnya penuh. Aku merasa ia benar-benar di takdirkan
menjadi wanita jika tidak mengikut sertakan otot-ototnya. “Kulitmu sangat
halus, bahkan bibirmu juga lembut,” tangannya terulur dan menyentuh bibir
bawahku. Refleksku langsung menarik wajahku dari tangannya. karena walau
bagaimanapun diakan pria.
Ethan
terkekeh di sampingku ketika melihat Lexa sedikit merenggut karena reaksiku.
“Dia tau kau pria Lex.” Ujarnya. Lexa memutar bola matanya kemudian menegakan
tubuhnya.
“Ah…
pasti gara-gara ini,” tuturnya seraya menunjukan otot tangannya. Aku meringis,
dan tawa itu meledak. Tawa orang-orang yang sebelumnya hanya memandang kami
dalam diam.
“Aku
Rahul,” seorang pria berkemeja biru kotak-kotak mengulurkan tangannya padaku.
Aku menaikan salah satu alisku ketika mendengar namanya. “Aku dari Dubai.”
Katanya menjawab keanehanku.
“Aku
Clarisa, panggil aku Icha.” Ujar seorang gadis mungil berkaca mata. “Aku
asisten Alex.”
“Lexa.
Mousy!” ralat Lexa gemas. Ia mengacak rambut gadis itu dengan kesal.
“Berhenti
memanggilku Mousy! Aku bukan tikus!” berntak Icha. Aku kembali terkekek. Mereka
begitu berbeda, namun jelas kompak.
“Jangan
dengarkan mereka,” pria botak yang tadi menyadarkan Ethan dari lamunannya
mendekatiku. “Aku Fabian,” tuturnya. Suaranya berat dan aksennya ramah. Aku
membalas uluran tangannya dengan senang hati.
“Jadi
Kyna, Fabian, Rahul, Icha, dan Lexa…” aku menunjuk mereka satu persatu. Lexa
tertawa pelan sambil menepuk tangannya perlahan.
“Ah
kau bahkan memiliki suara yang sangat enak didengar. Tidak heran jika Ethan
tidak bisa berhenti membicarakanmu,” tutur Lexa. Wajahku memerah. Ethan menatap
Lexa dengan geram.
“Kami
sampai bosan mendengarnya,” sambung Icha. Nah sudah ku bilang bukan, kalau
mereka itu begitu kompak. “Aku pikir Ethan itu selalu mengada-ngada, tapi
ketika akhirnya melihatmu, aku mengaku salah.” Ujarnya sambil tersenyum manis.
Aku
tidak tau harus menjawab pujian mereka dengan sikap seperti apa. Namun tentu
saja, wajahku sudah semerah tomat karena malu.
“Well,
terima kasih atas sambutan hangat kalian semua. Aku benar-benar senang karena
ternyata Ethan di kelilingi orang-orang yang baik seperti kalian,” tuturku
tulus.
“Kau
belum mengenal mereka sayang,” bisik Ethan yang langsung mendapat tatapan
garang dari wajah-wajah di hadapan kami. “Oke, oke… kalian memang yang
terbaik,” ujarnya berpura-pura mengangkat sebelah tangannya dan menyerah.
Sedangkan tangannya yang lain masih memeluk pinggangku dengan erat.
“Oya,
aku membuat makan siang untuk kalian. Aku harap kalian suka pasta,” ujarku
seraya mengangkat barang bawaanku. Seluruh mata di hadapanku langsung melebar
penuh takjub. Membuatku kembali tersenyum kikuk. Apa aku melakukan kesalahan
sekarang?
Kemudian
aku merasakan tubuhku terangkat, dan terjebak dalam sebuah pelukan yang sangat
erat. Buru-buru aku meletakan tanganku di pundak Ethan, meskipun tentu saja
sangat sulit dengan sekotak besar pasta di tanganku. Dengan sigap Fabian
langsung mengambil alih pasta itu dari tanganku.
“Terima
kasih,” bisik Ethan. Ia menempelkan keningnya di keningku. Matanya menatap
kedalam mataku dengan sangat intens. Aku menggigit bibir bawahku menahan
lonjakan emosi dalam diriku. “Terima kasih banyak,” ujarnya tulus. Aku ingin
mengangguk, tetapi kening Ethan tetap menjaga wajahku untuk diam. Kami berpelukan
untuk beberapa saat hingga akhirnya aku mendengar tepukan tangan dari Lexa.
“Ah…
kisah yang begitu romantis. Aku sangat suka film melodrama. Selalu membuatku
ingin menangis,” ujarnya seraya mengusap air matanya. Aku mengernyit dan
tertawa. Ethan menurunkan tubuhku perlahan, kemudian mencium keningku untuk
beberapa saat. Membuat Fabian tertawa dan bersiul. Aku yakin kini wajahku sudah
menghitam karena terlalu malu. Namun seperti biasa Ethan tampak nyaman dengan
keadaan itu. Dia memang selalu mampu membuat dirinya sendiri nyaman dalam
segala keadaan.
“Baiklah,
aku sudah tidak sabar untuk mencicipi ini. Baunya sangat harum.” Ujar Rahul
yang berjalan mendekati Fabian.
“Oke,
aku akan panggilkan Kikan!” Icha langsung melesat keluar ruangan. Dalam hati
aku mulai tidak menyalahkan Lexa yang memanggilnya tikus.
Tidak
lama kemudian Icha kembali bersama Kikan dengan beberapa piring kertas dan
sendok plastik. Fabian sudah membuka kotak besar itu. Lexa membuat ruang makan
darurat dengan menyingkirkan beberapa barang di tengah ruangan dan
membentangkan sebuah kain berwarna kuning kemerahan. Kami semua duduk mengitari
sekotak pasta yang memang sengaja ku buat. Mungkin itu cukup untuk 10 atau 15
orang, namun melihat tatapan kelaparan dari mereka, aku ragu apakah pasta ini
akan cukup.
Ethan
tidak pernah melepaskan rangkulannya dari pinggangku. Sesekali ia membelai
lembut punggungku dan mengecup keningku, atau rambutku, atau terkadang pipiku.
Tubuhku sengaja ia dekap erat di samping tubuhnya. Dan aku sama sekali tidak keberatan.
Merasakan detak jantungnya yang seirama membuatku tenang. Ia sehat dan
baik-baik saja.
“Ini
benar-benar enak!” puji Rahul dengan mulut yang penuh. Kami semua tertawa. Sesekali
Icha memotret kami.
“Kau
mau?” tanyaku pada Ethan.
“Tentu
saja!” ujar Ethan.
“Kalau
begitu lepaskan tanganmu,” bisikku. Icha terkikik melihat kami. Kemudian dengan
enggan ia melepaskan rangkulannya. Aku bergerak maju dan mengambilkan sepiring
pasta untuknya. “Ini,”
“Tidak
bisakah kau menyuapiku?” tanyanya manja. Aku mendengus tidak percaya. “Oh
ayolah sayang. Kita akan membuat mereka iri,” Rayunya. Aku memandang
wajah-wajah serius di sekelilingku dengan ragu. “Atau mungkin kita bisa membuat
mereka iri dengan menunjukan gaya ciuman kita…” Ethan mengedipkan sebelah
matanya padaku. Membuatku spontan tersentak. Kikan dan Icha langsung meringis
dan terkikik.
“Lebih
baik kau makan!” ujarku seraya memasukan sesendok pasta ke dalam mulut Ethan
yang langsung memutar bola matanya karena merasa gagal. Aku bisa mendengar
desahan nafas kecewa Lexa dan siulan Rahul.
“Tapi
sungguh, ini sangat enak. Kau pasti pandai memasak.” Puji Kikan. Aku terdiam
dan menggeleng.
“Aku
tidak tau. Aku kehilangan seluruh ingatanku,” bisikku pelan. dan ruangan itu
mendadak hening. Semuanya terpaku pada pasta yang membisu di piring mereka.
Kecuali gadis yang masih mengenakan gaun putih. Pandangannya mengunci
tatapanku. Bibirnya sedikit berkerut, seakan ingin mengatakan sesuatu. Namun
hingga akhirnya kami selesai tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut
gadis itu.
“Aku
akan mengantarmu pulang,” ujar Ethan setelah kami menghabiskan pasta itu. Aku
tersenyum dan menggeleng. Saat ini baru pukul 3 siang, dan Ethan terbiasa
pulang pukul 6 sore.
“Aku
bisa pulang sendiri,” ujarku sungguh-sungguh.
“Tenanglah.
Urusan pemotretan hari ini serahkan saja padaku,” ujar Fabian.
“Tapi
hari ini kita ada meeting.” Potong Kikan ragu-ragu. Aku tersenyum lembut pada
sosok tampan di depanku.
“Aku
bisa pulang sendiri, tenanglah.”
“Atau
mungkin aku bisa mengantarnya,” usul Lexa yang langsung mendapat tatapan
sarkastis dari Icha.
“Tidak,”
jawabku. “Aku bisa pulang sendiri. Aku memang hilang ingatan, tapi setidaknya
untuk saat ini, aku tau jalan menuju rumahku,” ujarku santai. Rahul terkekeh
dan mengangguk.
“Aku
harap kau benar-benar mengetahui jalan menuju rumahmu,” Ujar Kyna pelan. Mereka
semua tertawa pelan. Namun aku bisa melihat bahwa gadis itu tidak sedang
bergurau. Aku hanya tersenyum tipis sebagai jawaban kata-katanya.
“Hati-hati,”
ujar Ethan. Aku menatap wajahnya dengan seksama. meraba tulang pipinya yang
begitu keras, matanya yang berwarna abu-abu melembut di bawah sentuhanku.
Bibirnya mencium buku jariku.
“Selamat
tinggal,” bisikku pelan sebelum berlalu pergi.
Aku
menggigit bibir bawahku keras-keras untuk menahan tetesan air mata yang hampir
saja tumpah dihadapan mereka. Entah kebiasaan sejak kapan, namun setidaknya itu
cukup efektif. Berkali-kali ku tarik nafas dalam-dalam untuk menengangkan
gemuruh hatiku. Ini keputusanku, dan inilah jalanku.
Aku
berjalan perlahan menuju mobilku yang terparkir tidak jauh dari mobil Ethan.
Air mataku kembali menetes ketika melihat mobil berwarna putih itu. ingatanku
akan sang pemilik membuatku terpaksa menutup mulutku karena khawatir isakkanku
akan mengundang perhatian orang-orang yang berlalu lalang.
Tapi
ini adalah keputusanku, jalanku.
****
Aku
menahan nafasku untuk sesaat. Tubuhku membeku diambang pintu ganda yang terbuka
lebar, dadaku mulai terasa sesak, namun aku tidak ingin berbalik, tidak peduli
sesakit apa hatiku. Dengan susah payah kulangkahkan kakiku mendekati meja yang
berada di bagian sudut restoran itu. Seorang pria jangkung duduk
membelakangiku. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya menatap jalanan
dari balik jendela restoran. Salah satu tangannya menahan dagunya.
“Hai,”
sapaku setenang mungkin. Sosok itu sepertinya cukup terkejut dengan
kehadiranku. Ia langsung menegakan tubuhnya dan menatapku tidak mengerti. “Maaf
telah membuatmu bingung, akulah yang membuat janji denganmu di sini,” ujarku
seraya duduk di hadapannya. Suasana restoran sore itu tidak terlalu ramai.
Hanya ada tiga atau empat meja yang terisi selain meja kami. “Aku tau ini
benar-benar tidak sopan,” ujarku mulai meracau. Namun ketika mata coklat
keemasan itu memandangku, seluruh kata-kata yang sudah ku rangkai, menghilang
begitu saja.
Pemuda
di hadapanku menatap mataku. Dengan mudah ia mempelajari wajahku. Dan aku bisa
melihat rahangnya mengeras. Mata coklat mudanya tampak menggelap.
“Aku
masih belum mengingatnya.” Ujarku memecah keheningan, dan dengan cepat pemuda
itu memalingkan wajahnya. “Aku masih belum mengingatmu,” tambahku pelan. sosok
dihadapanku menegang. Jemarinya mengepal di samping cangkir kopinya yang masih
mengepul. “Ku mohon jangan sakiti dirimu,” aku mengulurkan tanganku dan
menyentuh jemarinya. Pemuda itu tersentak, ia langsung menarik tangannya
menjauh dariku. Lagi-lagi aku menggigit bibir dalamku untuk menahan seluruh
emosi dalam diriku.
“Maaf,”
bisiknya pelan. Aku menggeleng.
“Aku
yang minta maaf,” bisikku. “Sepertinya kita tidak memiliki banyak waktu,”
tambahku perih. Sosok itu terdiam, membeku bagai patung. Aku ingin menyentuh
wajahnya, merasakan apakah ia sedingin dan sekaku kelihatannya. Atau itu
hanyalah kamuflase belaka. Namun kemudian aku menggeleng pada pemikiran
konyolku sendiri. Aku tidak ingin merusak seluruh kekuatan yang sudah ku
persiapkan beberapa hari ini.
“Kau
benar, waktu kita tidak banyak.” Ujar sosok itu dingin. Aku mengangguk
perlahan. berusaha sebisa mungkin menahan air mataku tetap di tempatnya.
“Maaf,
aku hanya ingin memberikan ini,” ujarku seraya mengeluarkan setumpuk kertas
dari dalam tasku. Sosok itu kembali menegang. Namun dengan mudah ia kembali
menyembunyikan ekspresinya di balik wajah angkuhnya. “Ini skenario yang kau
buat untuk keluargaku.” Bisikku perih. “Skenario yang indah, tapi kau tau, ini
terlalu sempurna.” Aku menatap beberapa bocah yang tengah tertawa di luar
restoran. Andai aku mengingat bahagianya masa kecilku. “Aku memang masih belum
mengingat semua masa laluku, atau mungkin tidak akan pernah mengingatnya. Tapi
aku cukup mengerti bahwa hidup tidak selalu seindah itu,” tanganku mulai terasa
membeku.
Hening
untuk sesaat. “Aku tidak tau apa yang sebenarnya terjadi. Tapi sungguh, jika
kau ingin menyingkirkanku, kau berhasil.” Sosok di hadapanku tersentak
mendengar kata-kataku. “Aku mengerti jika kau tidak mencintaiku. Aku sangat
mengerti. namun ku mohon, berhentilah mengelabuiku dengan semua skenario ini.
Ku mohon…” pintaku sungguh-sungguh. Air mataku mulai menetes. “Kau tidak pernah
tau bagaimana perihnya hidup dalam kebohongan yang indah. Semuanya memang
indah, namun itu semua hanya akan terasa perih saat kau tersadar dari
kebohongan itu,” aku mengatupkan kedua tanganku di hadapannya. Memohon dengan
teramat sangat. Namun tidak sekalipun wajah itu menoleh padaku. Matanya masih
setajam dan segelap sebelumnya. Wajahnya
masih mengeras dengan ekpresi dingin yang begitu angkuh.
“Aku
tidak tau apa salahku padamu. Tapi ku mohon berhenti menulis skenario
kehidupanku. Aku bukan boneka. Aku mempunyai perasaan. Aku mungkin hilang
ingatan, tapi tidakkah kalian berpikir bahwa suatu saat nanti aku akan
mendapatkannya kembali? Tidakkah kalian berpikir tentang kemungkinan itu?
sekeras apapun usaha kalian untuk menjauhkanku dari semua masa laluku?” aku
menggeleng perlahan. Membuat air mataku menetes ke berbagai arah.
“Waktu
kita sudah habis,” suara itu begitu dingin dan tajam, menusuk tepat di
jantungku. Menekan seluruh kepedihanku semakin dalam. Aku menghapus air mataku
yang tidak pernah berhenti mengalir dan mengangguk perlahan.
“Aku
mengerti,” bisikku sinis. “Aku mengerti tuan.” Ulangku mencoba setegar mungkin.
“Aku hanya ingin mengembalikan ini,” tambahku seraya meletakan benda berkilauan
di hadapannya. Itu hanya sebuah benda kecil, benda asing yang tak bernyawa.
Namun ketika akhirnya aku melepaskannya dari jari manisku, aku merasakan hatiku
ikut terlepas. Sakit yang mendalam menghimpit dadaku, menyesakan rongga
pernapasanku.
Aku
bangun dari kursiku dan berjalan melewatinya. Sisi kecil dalam hatiku berharap
ia akan berbalik dan menahan kepergianku. Namun bagian logis diriku
menertawakannya, hingga akhirnya aku menyerah. Setidaknya yang perlu ku lakukan
sekarang adalah mengganti kepingan hatiku dengan bebatuan yang keras, agar
kelak tidak akan terluka lagi.
****
Like I made of Glass, like I made of paper.
Go on and try to tear me down, I would be
rising from the ground.
Like a skyscraper.
-Skyscraper—Demi
Lovato—
3 komentar:
kenapa semuanya jadi begini??
kenapa sama sammuel??
kenapa sama izzi
kasihan izzi
hehehehe....
tennag yah mba, :) :) :)
masih bingung... sbnernya sp yg ditemuin isabella? sam??? darimana isabella tahu semua bohong????
Posting Komentar