Sabtu, 08 Desember 2012

HUJAN KEMARIN -25-


BAB DUA PULUH LIMA
Heart of Stone


Cinta pertama itu mereka bilang adalah cinta yang takkan pernah bisa dilupakan, kalaupun cinta itu takkan berakhir dengan kebersamaan, namun cinta itu akan selalu membekas di hati. Entah menyisakan luka atau tawa. Tapi bagiku semuanya berbeda. Aku bahkan tidak bisa mengingat satu detailpun tentang cinta pertamaku. Aku masih terus berusaha untuk mengingatnya, aku bersumpah. Namun nyatanya, hingga detik ini aku masih buta akan diriku dan semua kisah tentangku.
4 bulan setelah kecelakaan itu sepertinya tidak membantuku menemukan jalan kembali ke ingatanku. Semuanya masih sama, gelap dan kosong. Mungkin sudah waktunya aku menyerah. Toh aku memang tidak memiliki penyemangat untuk kembali mencapat ingatanku.
Penyemangat?
Kata-kata itu terkadang menggelitik hati kecilku. Aku merasa diriku memang lemah. Bahkan dalam mencapai tujuan hidupku. Namun bagaimana mungkin aku masih berdiri setegar ini sampai sekarang? Aku tau, tidak ada gunanya menanyakan hal yang takkan pernah ku temukan jawabannya, tapi setidaknya aku sudah berusaha. Aku sudah mencoba.
Aku tersenyum tipis ketika melihat surat pemberitahuan yang datang atas namaku. Ini bukan surat istimewa, namun setidaknya surat ini menawarkan hal lain untukku. Hal yang sama sekali tidak menyentuh sisi kelabu dalam kehidupanku.
Telepon disampingku tiba-tiba berdering.
“Ya,” ujarku setelah deringan pertama. Telepon dari Kikan, sekretaris Ethan. “Ya aku mengerti, terima kasih Ki,” ujarku singkat sebelum menutup telepon itu. Kulirik jam tanganku, sepertinya memang sudah waktunya.


Berkali-kali ku tarik nafas dalam-dalam untuk meredakan detak jantungku yang menggebu. Aku benar-benar tidak ingin terlihat gugup. Namun belum apa-apa tanganku sudah terasa dingin. Perutku melilit karena tegang.
Kikan tersenyum manis ketika melihat kedatanganku ke studio. Ia adalah gadis Jakarta yang sangat modis, dengan dandanan minimalis namun menawan, dan busana kerja yang formal namun –sekali lagi- tampak menawan pada dirinya.
Aku memandang ke sekeliling, mempelajari lobi studio itu dengan seksama. Sebuah sofa panjang berwarna putih menjadi poin utama pada ruangan itu. Dengan cermin-cermin panjang yang menjadi dinding sisi kiri dan kananya. Sedang dinding depannya terbuat dari ukiran batu berwarna coklat muda yang begitu indah dan artistik. Beberapa tanaman dalam pot menambah kesan alami tempat itu.
Kikan memberikan isyarat dengan tangannya agar aku langsung masuk ke dalam. Aku membalas anggukannya dan berlalu. Ada banyak ruangan lain di balik lorong panjangnya yang cukup sempit. Sebuah toilet tersembunyi di balik tangga menuju lantai dua. Beberapa ruangan berpintu kaca tampak tertutup rapat. Aku tidak pernah memasuki studio Ethan, karena ku pikir aku tidak perlu melihatnya bekerja. Hasil jepretannya yang kini sudah merambah ke dunia international membuktikan seluruh talenta yang dimilikinya.
Aku merapihkan tatanan rambutku dan menyiapkan goresan senyum termanis yang bisa ku tunjukan. Namun semakin lebar senyuman itu terukir, semakin perih hatiku terasa. Tapi aku tidak akan berhenti di sini. Aku akan terus berjalan apapun resikonya. Setelah berkali-kali aku menghela nafas panjang, akhirnya debaran jantungku bisa sedikit normal. Kemudian aku membuka pintu ganda yang bertuliskan studio satu.
Kilatan blitz kamera membuatku menyipitkan mata. Kemudian setelah mampu menyesuaikan mataku barulah aku mulai melangkah. Ruangan itu besar dan terang menderang. Sisi sampingnya di penuhi oleh tumpukan barang-barang, deretan kostum tergantung di bagian atasnya. Tidak ada jendela di ruangan itu. Semua cahaya di ambil dari lampu sorot yang begitu terang.
Beberapa orang tampak terpaku di sekeliling pemuda tampan berkaos abu-abu. Aku tersenyum tipis. Itu dia. Sosok menawan yang tampak begitu hidup dengan kamera di tangannya. aku berjalan perlahan, menghampiri kerumunan itu, namun sebisa mungkin tidak menarik perhatian mereka. Dihadapan Ethan, seorang gadis cantik tampak tengah bergaya dengan gaun putih yang begitu anggun. Sebuah jendela buatan menjadi propertinya. Semuanya serba berwarna putih bersih, kecuali bunga mawar yang berada dalam vas Kristal di jendela itu.
Aku benar-benar suka dengan caranya memotret, dengan gerakan indah sang model, bahkan dengan decakan kagum dari orang-orang yang menontonnya. Namun tiba-tiba mata model itu melebar. Pose indahnya terhenti, tatapannya mengunci pada diriku. Membuat seluruh orang di hadapanku turut menoleh. Otomatis aku mundur beberapa langkah, hingga punggungku menabrak dinding di belakangku. Kakiku mulai terasa selembek jeli.
Perasaan gugup ini menyesakan dadaku. Terlebih ketika seorang pria botak menyentuh pundak pemuda tampan itu. Menyadarkannya dari keterkejutannya. Aku merasakan air mataku tergenang. Mulai memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini.
“Hai…” sapa Ethan dengan nada takjub dan bahagia. Sebisa mungkin aku mempertahankan senyuman yang sudah ku persiapkan dari tadi. “Kau datang?” tanyanya, masih dengan ekpresi bahagia. “Aku pikir kau tidak akan pernah datang ke studioku,” tambahnya.
“Ini tempat yang indah,” ujarku tulus. Ethan tersenyum lebar. Pancaran kebahagiaan tampak dari sorotan matanya.
“Sav… ah maksudku Isabella,” bisik gadis bergaun putih itu ragu-ragu. Aku melirik kebelakang tubuh Ethan, dan mendapati gadis itu menatapku tidak percaya. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah semua orang akan bersikap seperti itu?
“Hai,” balasku. Ethan bergeser kesamping dan berdiri di sampingku.
“Hai, aku Kyna. Aku pernah bermain film dengan Savanna. Kalian berdua benar-benar mirip. Aku tidak bisa mempercayai ini,” ujarnya. Tatapannya dengan jelas menunjukan ketidak percayaannya. Savanna memang duplikat diriku, kecuali mata kami yang jelas berbeda. Matanya terlalu indah untuk menjadi duplikat mataku. Namun secara keseluruhan kami memang mirip, bagai saudara kembar yang tidak identik.
“Aku tidak percaya akhirnya bisa bertemu denganmu,” bisiknya. Aku tersenyum senormal mungkin. Kemudian tatapan gadis itu berubah, lebih lembut dan sendu. Ia menautkan jemarinya, wajahnya sedikit berkerut, kemudian dengan cepat memalingkan pandangannya.
“Isabella!!” teriakan itu memecah keheningan yang sempat terjalin di antara kami. Aku mengerutkan keningku ketika melihat sosok ‘cantik’ lain yang tersenyum lebar padaku. Tubuhnya jangkung, dan jelas berotot. Namun riasan wajahnya begitu indah. Aku menatapnya dengan sedikit ngeri.
“Dia Lexa, stylish di sini,” bisik Ethan di telingaku.
“Nama aslinya?” tanyaku balas berbisik.
“Alex,”
“Ah… kau benar-benar cantik…” puji Alex, atau Lexa. Atau siapapun namanya. Ia menunduk untuk mensejejarkan wajahnya dengan wajahku. Matanya berbinar indah, hidungnya mancung dan bibirnya penuh. Aku merasa ia benar-benar di takdirkan menjadi wanita jika tidak mengikut sertakan otot-ototnya. “Kulitmu sangat halus, bahkan bibirmu juga lembut,” tangannya terulur dan menyentuh bibir bawahku. Refleksku langsung menarik wajahku dari tangannya. karena walau bagaimanapun diakan pria.
Ethan terkekeh di sampingku ketika melihat Lexa sedikit merenggut karena reaksiku. “Dia tau kau pria Lex.” Ujarnya. Lexa memutar bola matanya kemudian menegakan tubuhnya.
“Ah… pasti gara-gara ini,” tuturnya seraya menunjukan otot tangannya. Aku meringis, dan tawa itu meledak. Tawa orang-orang yang sebelumnya hanya memandang kami dalam diam.
“Aku Rahul,” seorang pria berkemeja biru kotak-kotak mengulurkan tangannya padaku. Aku menaikan salah satu alisku ketika mendengar namanya. “Aku dari Dubai.” Katanya menjawab keanehanku.
“Aku Clarisa, panggil aku Icha.” Ujar seorang gadis mungil berkaca mata. “Aku asisten Alex.”
“Lexa. Mousy!” ralat Lexa gemas. Ia mengacak rambut gadis itu dengan kesal.
“Berhenti memanggilku Mousy! Aku bukan tikus!” berntak Icha. Aku kembali terkekek. Mereka begitu berbeda, namun jelas kompak.
“Jangan dengarkan mereka,” pria botak yang tadi menyadarkan Ethan dari lamunannya mendekatiku. “Aku Fabian,” tuturnya. Suaranya berat dan aksennya ramah. Aku membalas uluran tangannya dengan senang hati.
“Jadi Kyna, Fabian, Rahul, Icha, dan Lexa…” aku menunjuk mereka satu persatu. Lexa tertawa pelan sambil menepuk tangannya perlahan.
“Ah kau bahkan memiliki suara yang sangat enak didengar. Tidak heran jika Ethan tidak bisa berhenti membicarakanmu,” tutur Lexa. Wajahku memerah. Ethan menatap Lexa dengan geram.
“Kami sampai bosan mendengarnya,” sambung Icha. Nah sudah ku bilang bukan, kalau mereka itu begitu kompak. “Aku pikir Ethan itu selalu mengada-ngada, tapi ketika akhirnya melihatmu, aku mengaku salah.” Ujarnya sambil tersenyum manis.
Aku tidak tau harus menjawab pujian mereka dengan sikap seperti apa. Namun tentu saja, wajahku sudah semerah tomat karena malu.
“Well, terima kasih atas sambutan hangat kalian semua. Aku benar-benar senang karena ternyata Ethan di kelilingi orang-orang yang baik seperti kalian,” tuturku tulus.
“Kau belum mengenal mereka sayang,” bisik Ethan yang langsung mendapat tatapan garang dari wajah-wajah di hadapan kami. “Oke, oke… kalian memang yang terbaik,” ujarnya berpura-pura mengangkat sebelah tangannya dan menyerah. Sedangkan tangannya yang lain masih memeluk pinggangku dengan erat.
“Oya, aku membuat makan siang untuk kalian. Aku harap kalian suka pasta,” ujarku seraya mengangkat barang bawaanku. Seluruh mata di hadapanku langsung melebar penuh takjub. Membuatku kembali tersenyum kikuk. Apa aku melakukan kesalahan sekarang?
Kemudian aku merasakan tubuhku terangkat, dan terjebak dalam sebuah pelukan yang sangat erat. Buru-buru aku meletakan tanganku di pundak Ethan, meskipun tentu saja sangat sulit dengan sekotak besar pasta di tanganku. Dengan sigap Fabian langsung mengambil alih pasta itu dari tanganku.
“Terima kasih,” bisik Ethan. Ia menempelkan keningnya di keningku. Matanya menatap kedalam mataku dengan sangat intens. Aku menggigit bibir bawahku menahan lonjakan emosi dalam diriku. “Terima kasih banyak,” ujarnya tulus. Aku ingin mengangguk, tetapi kening Ethan tetap menjaga wajahku untuk diam. Kami berpelukan untuk beberapa saat hingga akhirnya aku mendengar tepukan tangan dari Lexa.
“Ah… kisah yang begitu romantis. Aku sangat suka film melodrama. Selalu membuatku ingin menangis,” ujarnya seraya mengusap air matanya. Aku mengernyit dan tertawa. Ethan menurunkan tubuhku perlahan, kemudian mencium keningku untuk beberapa saat. Membuat Fabian tertawa dan bersiul. Aku yakin kini wajahku sudah menghitam karena terlalu malu. Namun seperti biasa Ethan tampak nyaman dengan keadaan itu. Dia memang selalu mampu membuat dirinya sendiri nyaman dalam segala keadaan.
“Baiklah, aku sudah tidak sabar untuk mencicipi ini. Baunya sangat harum.” Ujar Rahul yang berjalan mendekati Fabian.
“Oke, aku akan panggilkan Kikan!” Icha langsung melesat keluar ruangan. Dalam hati aku mulai tidak menyalahkan Lexa yang memanggilnya tikus.
Tidak lama kemudian Icha kembali bersama Kikan dengan beberapa piring kertas dan sendok plastik. Fabian sudah membuka kotak besar itu. Lexa membuat ruang makan darurat dengan menyingkirkan beberapa barang di tengah ruangan dan membentangkan sebuah kain berwarna kuning kemerahan. Kami semua duduk mengitari sekotak pasta yang memang sengaja ku buat. Mungkin itu cukup untuk 10 atau 15 orang, namun melihat tatapan kelaparan dari mereka, aku ragu apakah pasta ini akan cukup.
Ethan tidak pernah melepaskan rangkulannya dari pinggangku. Sesekali ia membelai lembut punggungku dan mengecup keningku, atau rambutku, atau terkadang pipiku. Tubuhku sengaja ia dekap erat di samping tubuhnya. Dan aku sama sekali tidak keberatan. Merasakan detak jantungnya yang seirama membuatku tenang. Ia sehat dan baik-baik saja.
“Ini benar-benar enak!” puji Rahul dengan mulut yang penuh. Kami semua tertawa. Sesekali Icha memotret kami.
“Kau mau?” tanyaku pada Ethan.
“Tentu saja!” ujar Ethan.
“Kalau begitu lepaskan tanganmu,” bisikku. Icha terkikik melihat kami. Kemudian dengan enggan ia melepaskan rangkulannya. Aku bergerak maju dan mengambilkan sepiring pasta untuknya. “Ini,”
“Tidak bisakah kau menyuapiku?” tanyanya manja. Aku mendengus tidak percaya. “Oh ayolah sayang. Kita akan membuat mereka iri,” Rayunya. Aku memandang wajah-wajah serius di sekelilingku dengan ragu. “Atau mungkin kita bisa membuat mereka iri dengan menunjukan gaya ciuman kita…” Ethan mengedipkan sebelah matanya padaku. Membuatku spontan tersentak. Kikan dan Icha langsung meringis dan terkikik.
“Lebih baik kau makan!” ujarku seraya memasukan sesendok pasta ke dalam mulut Ethan yang langsung memutar bola matanya karena merasa gagal. Aku bisa mendengar desahan nafas kecewa Lexa dan siulan Rahul.
“Tapi sungguh, ini sangat enak. Kau pasti pandai memasak.” Puji Kikan. Aku terdiam dan menggeleng.
“Aku tidak tau. Aku kehilangan seluruh ingatanku,” bisikku pelan. dan ruangan itu mendadak hening. Semuanya terpaku pada pasta yang membisu di piring mereka. Kecuali gadis yang masih mengenakan gaun putih. Pandangannya mengunci tatapanku. Bibirnya sedikit berkerut, seakan ingin mengatakan sesuatu. Namun hingga akhirnya kami selesai tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut gadis itu.


“Aku akan mengantarmu pulang,” ujar Ethan setelah kami menghabiskan pasta itu. Aku tersenyum dan menggeleng. Saat ini baru pukul 3 siang, dan Ethan terbiasa pulang pukul 6 sore.
“Aku bisa pulang sendiri,” ujarku sungguh-sungguh.
“Tenanglah. Urusan pemotretan hari ini serahkan saja padaku,” ujar Fabian.
“Tapi hari ini kita ada meeting.” Potong Kikan ragu-ragu. Aku tersenyum lembut pada sosok tampan di depanku.
“Aku bisa pulang sendiri, tenanglah.”
“Atau mungkin aku bisa mengantarnya,” usul Lexa yang langsung mendapat tatapan sarkastis dari Icha.
“Tidak,” jawabku. “Aku bisa pulang sendiri. Aku memang hilang ingatan, tapi setidaknya untuk saat ini, aku tau jalan menuju rumahku,” ujarku santai. Rahul terkekeh dan mengangguk.
“Aku harap kau benar-benar mengetahui jalan menuju rumahmu,” Ujar Kyna pelan. Mereka semua tertawa pelan. Namun aku bisa melihat bahwa gadis itu tidak sedang bergurau. Aku hanya tersenyum tipis sebagai jawaban kata-katanya.
“Hati-hati,” ujar Ethan. Aku menatap wajahnya dengan seksama. meraba tulang pipinya yang begitu keras, matanya yang berwarna abu-abu melembut di bawah sentuhanku. Bibirnya mencium buku jariku.
“Selamat tinggal,” bisikku pelan sebelum berlalu pergi.


Aku menggigit bibir bawahku keras-keras untuk menahan tetesan air mata yang hampir saja tumpah dihadapan mereka. Entah kebiasaan sejak kapan, namun setidaknya itu cukup efektif. Berkali-kali ku tarik nafas dalam-dalam untuk menengangkan gemuruh hatiku. Ini keputusanku, dan inilah jalanku.
Aku berjalan perlahan menuju mobilku yang terparkir tidak jauh dari mobil Ethan. Air mataku kembali menetes ketika melihat mobil berwarna putih itu. ingatanku akan sang pemilik membuatku terpaksa menutup mulutku karena khawatir isakkanku akan mengundang perhatian orang-orang yang berlalu lalang.
Tapi ini adalah keputusanku, jalanku.
                                                            ****
Aku menahan nafasku untuk sesaat. Tubuhku membeku diambang pintu ganda yang terbuka lebar, dadaku mulai terasa sesak, namun aku tidak ingin berbalik, tidak peduli sesakit apa hatiku. Dengan susah payah kulangkahkan kakiku mendekati meja yang berada di bagian sudut restoran itu. Seorang pria jangkung duduk membelakangiku. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya menatap jalanan dari balik jendela restoran. Salah satu tangannya menahan dagunya.
“Hai,” sapaku setenang mungkin. Sosok itu sepertinya cukup terkejut dengan kehadiranku. Ia langsung menegakan tubuhnya dan menatapku tidak mengerti. “Maaf telah membuatmu bingung, akulah yang membuat janji denganmu di sini,” ujarku seraya duduk di hadapannya. Suasana restoran sore itu tidak terlalu ramai. Hanya ada tiga atau empat meja yang terisi selain meja kami. “Aku tau ini benar-benar tidak sopan,” ujarku mulai meracau. Namun ketika mata coklat keemasan itu memandangku, seluruh kata-kata yang sudah ku rangkai, menghilang begitu saja.
Pemuda di hadapanku menatap mataku. Dengan mudah ia mempelajari wajahku. Dan aku bisa melihat rahangnya mengeras. Mata coklat mudanya tampak menggelap.
“Aku masih belum mengingatnya.” Ujarku memecah keheningan, dan dengan cepat pemuda itu memalingkan wajahnya. “Aku masih belum mengingatmu,” tambahku pelan. sosok dihadapanku menegang. Jemarinya mengepal di samping cangkir kopinya yang masih mengepul. “Ku mohon jangan sakiti dirimu,” aku mengulurkan tanganku dan menyentuh jemarinya. Pemuda itu tersentak, ia langsung menarik tangannya menjauh dariku. Lagi-lagi aku menggigit bibir dalamku untuk menahan seluruh emosi dalam diriku.
“Maaf,” bisiknya pelan. Aku menggeleng.
“Aku yang minta maaf,” bisikku. “Sepertinya kita tidak memiliki banyak waktu,” tambahku perih. Sosok itu terdiam, membeku bagai patung. Aku ingin menyentuh wajahnya, merasakan apakah ia sedingin dan sekaku kelihatannya. Atau itu hanyalah kamuflase belaka. Namun kemudian aku menggeleng pada pemikiran konyolku sendiri. Aku tidak ingin merusak seluruh kekuatan yang sudah ku persiapkan beberapa hari ini.
“Kau benar, waktu kita tidak banyak.” Ujar sosok itu dingin. Aku mengangguk perlahan. berusaha sebisa mungkin menahan air mataku tetap di tempatnya.
“Maaf, aku hanya ingin memberikan ini,” ujarku seraya mengeluarkan setumpuk kertas dari dalam tasku. Sosok itu kembali menegang. Namun dengan mudah ia kembali menyembunyikan ekspresinya di balik wajah angkuhnya. “Ini skenario yang kau buat untuk keluargaku.” Bisikku perih. “Skenario yang indah, tapi kau tau, ini terlalu sempurna.” Aku menatap beberapa bocah yang tengah tertawa di luar restoran. Andai aku mengingat bahagianya masa kecilku. “Aku memang masih belum mengingat semua masa laluku, atau mungkin tidak akan pernah mengingatnya. Tapi aku cukup mengerti bahwa hidup tidak selalu seindah itu,” tanganku mulai terasa membeku.
Hening untuk sesaat. “Aku tidak tau apa yang sebenarnya terjadi. Tapi sungguh, jika kau ingin menyingkirkanku, kau berhasil.” Sosok di hadapanku tersentak mendengar kata-kataku. “Aku mengerti jika kau tidak mencintaiku. Aku sangat mengerti. namun ku mohon, berhentilah mengelabuiku dengan semua skenario ini. Ku mohon…” pintaku sungguh-sungguh. Air mataku mulai menetes. “Kau tidak pernah tau bagaimana perihnya hidup dalam kebohongan yang indah. Semuanya memang indah, namun itu semua hanya akan terasa perih saat kau tersadar dari kebohongan itu,” aku mengatupkan kedua tanganku di hadapannya. Memohon dengan teramat sangat. Namun tidak sekalipun wajah itu menoleh padaku. Matanya masih setajam dan segelap  sebelumnya. Wajahnya masih mengeras dengan ekpresi dingin yang begitu angkuh.
“Aku tidak tau apa salahku padamu. Tapi ku mohon berhenti menulis skenario kehidupanku. Aku bukan boneka. Aku mempunyai perasaan. Aku mungkin hilang ingatan, tapi tidakkah kalian berpikir bahwa suatu saat nanti aku akan mendapatkannya kembali? Tidakkah kalian berpikir tentang kemungkinan itu? sekeras apapun usaha kalian untuk menjauhkanku dari semua masa laluku?” aku menggeleng perlahan. Membuat air mataku menetes ke berbagai arah.
“Waktu kita sudah habis,” suara itu begitu dingin dan tajam, menusuk tepat di jantungku. Menekan seluruh kepedihanku semakin dalam. Aku menghapus air mataku yang tidak pernah berhenti mengalir dan mengangguk perlahan.
“Aku mengerti,” bisikku sinis. “Aku mengerti tuan.” Ulangku mencoba setegar mungkin. “Aku hanya ingin mengembalikan ini,” tambahku seraya meletakan benda berkilauan di hadapannya. Itu hanya sebuah benda kecil, benda asing yang tak bernyawa. Namun ketika akhirnya aku melepaskannya dari jari manisku, aku merasakan hatiku ikut terlepas. Sakit yang mendalam menghimpit dadaku, menyesakan rongga pernapasanku.
Aku bangun dari kursiku dan berjalan melewatinya. Sisi kecil dalam hatiku berharap ia akan berbalik dan menahan kepergianku. Namun bagian logis diriku menertawakannya, hingga akhirnya aku menyerah. Setidaknya yang perlu ku lakukan sekarang adalah mengganti kepingan hatiku dengan bebatuan yang keras, agar kelak tidak akan terluka lagi.

                                                            ****

You can take everything I have, You can break everything I am.

Like I made of Glass, like I made of paper.
Go on and try to tear me down, I would be rising from the ground.
Like a skyscraper.
                                                                        -Skyscraper—Demi Lovato—


3 komentar:

Fathy mengatakan...

kenapa semuanya jadi begini??
kenapa sama sammuel??
kenapa sama izzi
kasihan izzi

Unknown mengatakan...

hehehehe....
tennag yah mba, :) :) :)

Nunaalia mengatakan...

masih bingung... sbnernya sp yg ditemuin isabella? sam??? darimana isabella tahu semua bohong????