Rabu, 26 Desember 2012

I Found you in London -06-


 BAB 6


5 Juli 2004 pertama kalinya ku pijakkan kaki di tanah ratu Elizabeth. Di negara dimana Putri Diana sangat dielu-elukan sebagai seorang wanita yang penuh karismatik, wanita penuh dengan kelembutan, wanita dengan senyumnya yang mempesona. Wanita yang mempunyai jiwa sosial sangat tinggi, wanita yang sudah menjadi ibu bagi anak-anak terlantar. Wanita yang tak segan untuk turun ke bawah jika memang harus. Wanita yang selalu menjadi tokoh idola kakakku, Sandra.

"Hai Mark, Kian, Sandra, dan tentu saja my lady, Inah!!!" sapa om Leo hangat saat kami pertama kali muncul di hadapannya.

"Hai om!! Apa kami mengganggumu?" tanyaku saat sayup-sayup ku dengar suara orang sedang berbicara.

"Oh nggak kok Kian, itu tante mu, Keira, Frank, Keysha. Ayo masuk," om Leo mempersilahkan kami untuk masuk ke rumahnya yang mewah.

Om Leo salah satu teman baik om Marcus. Walaupun kami bukan saudara satu darah tapi kami sudah sangat akrab dengan mereka. Sudah sejak umur 17 tahun om Leo meninggalkan Indonesia untuk mencoba peruntungan di negeri ini. Dan rupanya kenekatan om Leo berhasil. Kini dia menjadi seorang pengusaha di bidang properti yang cukup disegani di negara ini.

"Ma, coba liat siapa yang datang!!" seru om Leo.

"Mmmmm pasti keponakan-keponakan tante tercinta, Mark, Kian dan Sandra kan?" jawab tante Keira senang.

Mereka berhamburan keluar untuk menyambut kami. Sambutan yang mereka berikan sangat hangat, tulus.

Tante Keira telah mempersiapkan semuanya untuk kami. Mereka menyiapkan dua kamar tidur untuk kami berempat. Kamar sederhana namun penuh dengan kasih.

****

Malamnya kami berkumpul di meja makan tanpa Mbok Nah dan kak Sandra. "Om sudah mendengar semuanya dari om Marcus. Kami turut bersedih atas apa yang menimpa kakakmu," ucap Om Leo tulus.

"Ya om. Oleh karena itu, aku membawa kak Sandra keluar dari Indonesia karena disana kak Sandra akan terus mengingat kejadian tersebut," jelasku.

"Aku  minta tolong sama Frank untuk membantuku mencari sebuah apartemen," kataku lagi.

"Kenapa kamu tak tinggal disini aja Kian? Kamar disini banyak kok dan kalian bisa melakukan apapun disini," tante Keira menawarkan padaku.

"Lagipula ada yang akan sangat senang kalo kamu tinggal disini, Kian" ujar Frank sambil melirik ke arah keysha duduk.

"Kakak!!!" Teriak Keysha dengan pipinya yang mulai bersemu merah.

Frank terkekeh mendengar teriakan Keysha. "Kamu tau Kian? Keysha nggak bisa tidur dengar kamu mau datang kesini. Dia sampai berulang kali merapikan kamar tamu," ledek Frank lebih lanjut.

"Ma, liat itu kak Frank, dia suka sekali meledekku," rajuk Keysha manja.

"Frank," tegur tante Keira lembut.

"Rasain diomelin sama mama," ucap Keysha sambil menjulurkan lidahnya.

Frank hanya tertawa melihat tingkah adik kesayangannya.

"Sudah-sudah, cepat dimakan, nanti kalau dingin nggak enak," ujar om Leo bijak meleraikan pertengkaran kedua anaknya.

****

Paginya, aku tak menyia-nyiakan waktu. Dengan ditemani Mark dan Frank, kami menjelajahi kota London mencari apartemen yang sesuai denganku. Tak perlu terlalu mewah tapi nyaman untukku tempati.

Untuk sementara aku bekerja di perusahaan om Leo. Yah walaupun aku sudah punya banyak kenalan beberapa pengusaha disini, aku masih harus belajar banyak dari om Leo.

Om Leo selain mempunyai usaha di bidang properti, dia juga mempunyai perusahaan kecil yang bergerak di bidang pertanian. Walaupun kecil tapi profitnya sangat bagus.

Frank mengajak kami untuk melihat ke salah satu tanah yang telah ditanami banyak gandum yang akan menjadi miliknya kelak. Ya om Leo sangat memikirkan tentang masa depan anak-anaknya kelak. Jauh berbeda dengan kedua orang tuaku.

Walaupun om Leo telah memberikan mereka masing-masing tanah, namun om Leo tak serta merta membiarkan mereka berdiam diri. Frank dan Keysha harus mau terjun langsung melihat bagaimana gandum-gandum tersebut bisa tumbuh dengan baik. Keysha dan Frank selama liburan harus mau membantu orang-orang yang berkerja di ladang mereka.

Keysha seorang gadis cantik, dengan rambut sebahu, bibir yang tipis, pintar, lembut, tutur katanya sopan, elegan, pandai membawa diri. Sungguh sempurna ia sebagai seorang wanita. Untuk anak gadis seperti itu ku pikir ia takkan mau untuk terjun langsung ke bawah. Namun perkiraanku salah, ia amat senang setiap ke ladangnya. Aku tak pernah berhenti mengaguminya, wanita tangguh.

Frank seorang pemuda yang tampan, berbadan tegap, rambut hitam legam, kulit putih tak kalah dengan adiknya, kuat, tangguh, ringan tangan kepada siapapun yang memerlukan, seorang pria dengan pembawaan yang sabar, selalu pintar memuji para wanita. Hmmm kalo Frank, aku tak pernah meragukan jika ia mau turun ke ladang gandumnya. Karena sedari kecil, cita-citanya adalah menjadi insinyur pertanian.

Namun seiring berjalannya waktu rupanya Frank mengambil keputusan lain. Kuliah yang dia ambil bukanlah insinyur pertanian melainkan kedokteran. Ia tertarik menjadi seorang dokter setelah bertemu denga tante Dira. Aku yakin kelak ia akan menjadi seorang dokter yang ternama.

****

Hampir dua jam kami berada di ladang gandumnya. Saat semua sudah beres kami memutuskan untuk kembali.

Dalam perjalanan pulang tersebut, aku melihat tulisan “FOR SALE’ di sebuah rumah mungil. Rumah berwarna hijau muda, berlantai 2 ku pikir, dengan halaman yang cukup luas, pemandangan yang masih asri, udaranyapun cukup sejuk. Di halaman rumah tersebut ditanami banyak bunga warna warni yang cerah. Rumah yang dari bentuk luarnya amat menarikku.

“Frank bisakah kita berhenti untuk melihat rumah itu?” tanyaku sambil menunjuk ke rumah tersebut.

“Sipppp,” jawabnya tak keberatan.

Kami berhenti tepat di depan gerbang rumah tersebut.

“Untuk apa kita kesini?” tanya Mark yang baru bangun dari tidurnya.

“Aku mau melihat rumah ini, Mark,” jelasku singkat.

“Untuk apa?” tanyanya yang masih tak mengerti.

“Aku mau membelinya jika belum dijual. Aku ingin kak Sandra dan Mbok Nah tinggal disini,” jelasku lagi.

“Jadi kamu nggak akan tinggal bersama kak Sandra? Kalau begitu kenapa kamu jauh-jauh membawa mereka ke negara ini, kalau kamu nggak mau merawatnya, Kian?” tanya Mark kesal.

Aku tersenyum mendengar pertanyaan Mark.

“Bodoh,,,, Kak Sandra butuh suasana yang berbeda Mark. Aku akan mulai usaha di negara ini. Pastinya nanti aku akan sering keluar masuk rumah. Aku nggak mau membuatnya terganggu, aku ingin kak Sandra nyaman.” jelasku sambil keluar dari mobil.

Mark mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu mengikuti aku dan Frank yang sudah lebih dahulu keluar dari mobil.

“Excuse me... Anybody home,” teriakku dari luar rumah.

“Excuse me, Sir, Mam, anybody,” teriak Mark dan Frank bergantian.

Lama aku, Frank dan Mark berteriak-teriak di depan rumah tersebut namun tak ada seorang pun yang keluar dari dalam rumah tersebut.

Kira-kira 15 menit kami berada di luar, saat seorang kakek tua keluar dari dalam.

“Ada yang bisa saya bantu, young man?” tanyanya ramah.

“Benarkah rumah ini dijual, pak?” tanyaku sambil menunjuk ke rumah.

“Oh ya benar. Silahkan masuk,” kakek tersebut mempersilahkan kami masuk.

****

“Namaku, Takeda,” kata kakek itu memperkenalkan dirinya saat kami berada di dalam.

“Saya, Kian, Mark adik saya, dan Frank,” kataku memperkenalkan kami semua.

“Frank Harry Giovani? Pemilik ladang gandum beberapa kilometer dari sini?” tanya kakek itu takjub.

Frank tersipu mendengar pertanyaan kakek Takeda.

“Bagaimana kabar ayahmu, Leo? Apa dia masih suka memancing dan bertingkah konyol?” tanyanya antusias.

“Baik, Sir. Ayahku masih seperti dulu mungkin bertambah parah kekonyolannya,” jawabnya dengan tawa ringannya.

“Sampaikan salamku untuknya. Anakku sahabat ayahmu, Leo dan seorang temannya yang bernama Marcus,” jelasnya.

“Marcus Matthew Lincoln?” tanyaku ragu.

“Ya itu dia. Bagaimana kamu mengenalnya young man?” tanyanya heran.

“Marcus, om ku, Sir.”

“Wah kebetulan yang sangat menyenangkan bertemu dengan kalian sekarang ini. Mari saya akan mengajak kalian keliling rumah ini,” ajaknya. Aku, Mark dan Frank mengikuti kakek Takeda di belakangnya.

****

Sesuai dengan perkiraanku rumah ini memiliki dua lantai. Bila dilihat dari luar rasanya rumah ini hanya memiliki setidaknya tiga kamar tidur. Namun rupanya aku salah. Rumah tersebut mempunyai 4 kamar yang dilengkapi kamar mandi dalam di masing-masing lantainya.

Sebuah kolam renang di belakang rumah, jacuzzi, dapur, perpustakaan kecil, ruang kerja, dua kamar pembantu, kebun kecil di belakang rumah melengkapi keindahan rumah tersebut.

Kakek Takeda terus menjelaskan tentang rumahnya yag dulu ditinggalinya dengan anak-anak dan istrinya tercinta.

Istri kakek Takeda sudah beberapa tahun yang lalu meninggal karena kanker yang menggrogoti tubuhnya. Istrinya dimakamkan di tanah kelahirannya di Jepang. Anak pertama kakek, Yukiko telah menikah dengan seseorang berkebangsaan Perancis dan menetap disana.

Sedangkan anak keduanya, Keitaro memutuskan kembali ke tanah kelahiran orang tuanya di Jepang. Kakek Takeda diajak untuk tinggal bersama dengan Keitaro. Kakek Takeda yang sudah tak mempunyai siapa-siapa lagi di negeri ini akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran anaknya, Keitaro.

Oleh karenanya kakek memutuskan untuk menjual rumah yag selama puluhan tahun ia tempati.

Aku sangat menyukai kakek Takeda. Walaupun umurnya sudah menjelang akhir enam puluhan, beliau masih mempunyai semangat yang tinggi untuk berkarya dan tubuh yang kuat.

Kami banyak bertukar pikiran dengan kakek Takeda di kursi yang dekat dengan kolam renang. Pembicaraan kami terhenti saat pelayan cantik datang mengantarkan minuman. Pelayan tersebut kurasa berumur 18 tahun.

Aku melirik ke arah Mark yang pandangannya tak pernah lepas dari pelayan tersebut. Aku segera menginjak kakinya agar tak terlihat kakek.

Mark menoleh dengan tatapan bingung yang mungkin bila dikatakan. Ada apa? Apa yang salah?”

Aku pun tak mau kalah dengan memelototinya kembali dengan perkataan “Jangan berani bertindak macam-macam! Jika kau berani, aku lempar kamu ke kolam renang!

“Jadi bagaimana, Kian? Tertarikkah kamu membeli rumah ini?” tanya Frank yang memutus tatapanku ke Mark.

“Hah? Oh ya aku sangat tertarik dengan rumah ini. Jadi kapan kita bisa menyelesaikan semuanya, kek?” tanyaku.

“Tergantung kalian. Besok pagi mungkin aku harus mengurus beberapa hal. Sore baru aku ada di rumah, bagaimana?” jelas kakek.

“Baik, Kek. Besok sore kami akan kembali. Sekarang kami mohon undur diri, Kek,” pamitku ketika kurasakan semuanya sudah sesuai dengan yang kuinginkan.

“Baiklah. Besok sore ku tunggu kedatangan kalian kembali.” ucap kakek Takeda sambil mengantarkan kami keluar rumah.

****

“Kek bolehkah aku menumpang buang air kecil?” tanya Mark yang sedari tadi hanya diam.

“Silahkan, pakai sesukamu,” jawab kakek.

Mark langsung terbirit-birit menuju kamar kecil saat mendengar jawaban kakek Takeda. Kami tertawa melihat tingkahnya.

Sementara Mark buang air kecil, kami melanjutkan pembicaraan dengan kakek Takeda di halaman depan.

Setelah beberapa menit, Mark tak juga selesai dari kamar mandi.

“Kian, aku rasa Mark sudah terlalu lama. Bukankah kamu harus melihatnya?” Frank memberiku kode yang tak mengenakkan dan ku yakini dia benar.

Akupun permisi masuk ke dalam rumah untuk mencari Mark. Setiap kamar mandi yang ada di lantai satu ku lihat, tak ada tanda-tanda Mark di dalamnya.

Ku putuskan untuk melihat salah satu kamar pembantu. Dalam hati ku berdoa semoga tebakanku salah kali ini.

Mendekati kamar salah satu pembantu, aku mendengar suara berisik seperti orang sedang bercinta. Ku buka pintu yang memang tak terkunci. Ku lihat Mark sedang asyik berciuman dengan gadis itu. Tubuhnya menindih tubuh gadis yang terlentang di tempat tidur. Tangannya terus meraja lela ke tubuh gadis tersebut.

“Mark, aku rasa sudah waktunya kita pulang.” kataku tegas. Mark dan gadis itu terperanjat dengan suaraku. Mereka sama-sama saling mendorong satu sama lain, salah tingkah karena ketahuan olehku.

Mark dan gadis itu sekarang sama-sama merapikan baju dan rambut mereka yang berantakan akibat nafsu mereka.

Aku berjalan di belakang Mark ketika ia melangkah keluar dari kamar gadis itu.

“Bodoh!!” umpatku sambil menjitak kepala adikku.

Mark hanya tertawa mendengar umpatanku. Dia masih sempat untuk berbicara pada gadis itu jika ia akan menelpon gadis itu sewaktu-waktu. Gadis itu tak bisa berkata apa-apa, dia hanya tersenyum melihat tingkah Mark.

“Nah Kek, rasanya kami harus benar-benar berpamitan kali ini,” pamit Frank saat dia melihat aku dan Mark telah kembali.

Kamipun pergi dari rumah kakek Takeda untuk mempersiapkan segala sesuatunya esok hari.

Di dalam mobil, aku tak henti-hentinya memarahi Mark. Frank yang mendengar pertengkaran kami hanya tertawa. Mark tak berani melawanku.

Cukup lama aku memarahi Mark hingga aku tak lagi mempunyai tenaga untuk memarahinya. Aku akhirnya terdiam.

Aku pandangi rumah mungil tersebut. Membayangkan wajah kakakku dan Mbok Nah saat melihat rumah ini. Senang rasanya bisa memberi sedikit kebahagiaan untuk kakakku.

****

3 komentar:

Unknown mengatakan...

Juli 2004??
aq masih di Makassar itu mba Fathy,,xixiixii

tapi keseluruhan aq suka,,,

smga bisa nginjak kaki ke Inggris,,amiinn

Unknown mengatakan...

wow,, cwe nya sapa ni.kian ma aq ja deh heheh

anakcantik(Santhy Agatha) mengatakan...

aduuuh si Mark itu dasar playboynya minta ampun ga disana ga disini *getok kepala sendiri* hehehehe
waaaah suasana baru, semoga harapan kian untuk memberikan kebahagiaan baru terkabul yaaah ;)