BAB 6
5 Juli 2004 pertama kalinya ku pijakkan kaki di tanah
ratu Elizabeth. Di negara dimana Putri Diana sangat dielu-elukan sebagai
seorang wanita yang penuh karismatik, wanita penuh dengan kelembutan, wanita
dengan senyumnya yang mempesona. Wanita yang mempunyai jiwa sosial sangat
tinggi, wanita yang sudah menjadi ibu bagi anak-anak terlantar. Wanita yang tak
segan untuk turun ke bawah jika memang harus. Wanita yang selalu menjadi tokoh
idola kakakku, Sandra.
"Hai Mark, Kian, Sandra, dan tentu saja my lady,
Inah!!!" sapa om Leo hangat saat kami pertama kali muncul di hadapannya.
"Hai om!! Apa kami mengganggumu?" tanyaku saat sayup-sayup ku dengar suara orang sedang
berbicara.
"Oh nggak kok Kian, itu tante mu, Keira, Frank,
Keysha. Ayo masuk," om Leo mempersilahkan kami untuk masuk ke rumahnya
yang mewah.
Om Leo salah satu teman baik om Marcus. Walaupun kami
bukan saudara satu darah tapi kami sudah sangat akrab dengan mereka. Sudah
sejak umur 17 tahun om Leo meninggalkan Indonesia untuk mencoba peruntungan di
negeri ini. Dan rupanya kenekatan om Leo berhasil. Kini dia menjadi seorang
pengusaha di bidang properti yang cukup disegani di negara ini.
"Ma, coba liat siapa yang datang!!" seru om Leo.
"Mmmmm pasti keponakan-keponakan tante tercinta,
Mark, Kian dan Sandra kan?" jawab tante Keira senang.
Mereka berhamburan keluar untuk menyambut kami.
Sambutan yang mereka berikan sangat hangat, tulus.
Tante Keira telah mempersiapkan semuanya untuk kami. Mereka
menyiapkan dua kamar tidur untuk kami berempat. Kamar sederhana namun penuh
dengan kasih.
****
Malamnya kami berkumpul di meja makan tanpa Mbok Nah
dan kak Sandra. "Om sudah mendengar semuanya dari om Marcus. Kami turut
bersedih atas apa yang menimpa kakakmu," ucap Om Leo tulus.
"Ya om. Oleh karena itu, aku membawa kak Sandra
keluar dari Indonesia karena disana kak Sandra akan terus mengingat kejadian
tersebut," jelasku.
"Aku minta
tolong sama Frank untuk membantuku mencari sebuah apartemen," kataku lagi.
"Kenapa kamu tak tinggal disini aja Kian? Kamar
disini banyak kok dan kalian bisa melakukan apapun disini," tante Keira
menawarkan padaku.
"Lagipula ada yang akan sangat senang kalo kamu
tinggal disini, Kian" ujar Frank sambil melirik ke arah keysha duduk.
"Kakak!!!" Teriak Keysha dengan pipinya yang
mulai bersemu merah.
Frank terkekeh mendengar teriakan Keysha. "Kamu
tau Kian? Keysha nggak bisa tidur dengar kamu mau datang kesini. Dia sampai
berulang kali merapikan kamar tamu," ledek Frank lebih lanjut.
"Ma, liat itu kak Frank, dia suka sekali
meledekku," rajuk Keysha manja.
"Frank," tegur tante Keira lembut.
"Rasain diomelin sama mama," ucap Keysha
sambil menjulurkan lidahnya.
Frank hanya tertawa melihat tingkah adik
kesayangannya.
"Sudah-sudah, cepat dimakan, nanti kalau dingin nggak enak," ujar om Leo bijak meleraikan pertengkaran
kedua anaknya.
****
Paginya, aku tak menyia-nyiakan waktu. Dengan ditemani
Mark dan Frank, kami menjelajahi kota London mencari
apartemen yang sesuai denganku. Tak perlu terlalu mewah tapi nyaman untukku tempati.
Untuk
sementara aku bekerja di perusahaan om Leo. Yah walaupun aku sudah punya banyak
kenalan beberapa pengusaha disini, aku masih harus belajar banyak dari om Leo.
Om Leo
selain mempunyai usaha di bidang properti, dia juga mempunyai perusahaan kecil
yang bergerak di bidang pertanian. Walaupun kecil tapi profitnya sangat bagus.
Frank
mengajak kami untuk melihat ke salah satu tanah yang telah ditanami banyak
gandum yang akan menjadi miliknya
kelak. Ya om Leo sangat memikirkan tentang masa depan anak-anaknya kelak. Jauh
berbeda dengan kedua orang tuaku.
Walaupun
om Leo telah memberikan mereka masing-masing tanah, namun om Leo tak serta merta
membiarkan mereka berdiam diri. Frank dan Keysha harus mau terjun langsung
melihat bagaimana gandum-gandum tersebut bisa tumbuh dengan baik. Keysha dan
Frank selama liburan harus mau membantu orang-orang yang berkerja di ladang
mereka.
Keysha
seorang gadis cantik, dengan rambut sebahu, bibir yang tipis, pintar, lembut,
tutur katanya sopan, elegan, pandai membawa diri. Sungguh sempurna ia sebagai
seorang wanita. Untuk anak gadis seperti itu ku pikir ia takkan mau untuk
terjun langsung ke bawah. Namun perkiraanku salah, ia amat senang setiap ke
ladangnya. Aku tak pernah berhenti mengaguminya, wanita tangguh.
Frank
seorang pemuda yang tampan, berbadan tegap, rambut hitam legam, kulit putih tak
kalah dengan
adiknya, kuat, tangguh, ringan tangan
kepada siapapun yang memerlukan, seorang pria dengan pembawaan yang sabar,
selalu pintar memuji para wanita. Hmmm kalo Frank, aku tak pernah meragukan jika ia mau turun ke ladang
gandumnya. Karena sedari kecil, cita-citanya adalah menjadi insinyur pertanian.
Namun seiring berjalannya waktu rupanya
Frank mengambil keputusan lain. Kuliah yang dia ambil bukanlah insinyur
pertanian melainkan kedokteran. Ia tertarik menjadi seorang dokter setelah
bertemu denga tante Dira. Aku yakin kelak ia akan menjadi seorang dokter yang
ternama.
****
Hampir
dua jam kami berada di ladang gandumnya. Saat semua sudah beres kami memutuskan
untuk kembali.
Dalam
perjalanan pulang tersebut, aku melihat tulisan “FOR SALE’ di sebuah rumah
mungil. Rumah berwarna hijau muda, berlantai 2 ku pikir, dengan halaman yang
cukup luas, pemandangan yang masih asri, udaranyapun cukup sejuk. Di halaman
rumah tersebut ditanami banyak bunga warna warni yang cerah. Rumah yang dari
bentuk luarnya amat menarikku.
“Frank
bisakah kita berhenti untuk melihat rumah itu?” tanyaku sambil
menunjuk ke rumah tersebut.
“Sipppp,”
jawabnya tak keberatan.
Kami
berhenti tepat di depan gerbang rumah tersebut.
“Untuk
apa kita kesini?” tanya Mark yang baru bangun dari tidurnya.
“Aku mau
melihat rumah ini, Mark,” jelasku singkat.
“Untuk
apa?” tanyanya yang masih tak mengerti.
“Aku mau
membelinya jika belum dijual. Aku ingin kak Sandra dan
Mbok Nah tinggal disini,” jelasku lagi.
“Jadi
kamu nggak akan tinggal bersama kak
Sandra? Kalau begitu
kenapa kamu jauh-jauh membawa mereka ke
negara ini, kalau
kamu nggak mau merawatnya, Kian?” tanya
Mark kesal.
Aku
tersenyum mendengar pertanyaan Mark.
“Bodoh,,,,
Kak Sandra butuh suasana yang berbeda Mark. Aku akan mulai usaha di negara ini.
Pastinya nanti aku akan sering keluar masuk rumah. Aku nggak mau membuatnya terganggu,
aku ingin kak Sandra nyaman.” jelasku sambil keluar dari mobil.
Mark mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu mengikuti aku dan Frank yang sudah lebih dahulu keluar dari
mobil.
“Excuse
me... Anybody home,” teriakku dari luar rumah.
“Excuse
me, Sir, Mam, anybody,” teriak Mark dan
Frank bergantian.
Lama
aku, Frank dan Mark berteriak-teriak
di depan rumah tersebut namun tak ada seorang pun yang keluar dari dalam rumah
tersebut.
Kira-kira
15 menit kami berada di luar, saat seorang kakek tua keluar dari dalam.
“Ada
yang bisa saya bantu, young man?”
tanyanya ramah.
“Benarkah
rumah ini dijual, pak?” tanyaku sambil menunjuk ke rumah.
“Oh ya
benar. Silahkan masuk,” kakek tersebut mempersilahkan kami masuk.
****
“Namaku,
Takeda,” kata kakek
itu memperkenalkan
dirinya saat kami berada di dalam.
“Saya,
Kian, Mark adik saya, dan Frank,” kataku memperkenalkan kami semua.
“Frank Harry
Giovani? Pemilik ladang gandum beberapa kilometer dari sini?” tanya kakek itu
takjub.
Frank
tersipu mendengar pertanyaan kakek Takeda.
“Bagaimana
kabar ayahmu, Leo? Apa dia masih suka memancing dan bertingkah konyol?”
tanyanya antusias.
“Baik,
Sir. Ayahku masih seperti dulu mungkin bertambah parah kekonyolannya,” jawabnya
dengan tawa ringannya.
“Sampaikan
salamku untuknya. Anakku sahabat ayahmu, Leo dan seorang temannya yang bernama
Marcus,” jelasnya.
“Marcus
Matthew Lincoln?” tanyaku ragu.
“Ya itu
dia. Bagaimana kamu mengenalnya young man?”
tanyanya heran.
“Marcus,
om ku, Sir.”
“Wah
kebetulan yang sangat menyenangkan bertemu dengan kalian sekarang ini. Mari
saya akan mengajak kalian keliling rumah ini,” ajaknya. Aku, Mark dan Frank
mengikuti kakek Takeda di belakangnya.
****
Sesuai
dengan perkiraanku rumah ini memiliki dua lantai. Bila dilihat dari luar
rasanya rumah ini hanya memiliki setidaknya tiga kamar tidur. Namun rupanya aku
salah. Rumah tersebut mempunyai 4 kamar yang dilengkapi kamar mandi dalam di
masing-masing lantainya.
Sebuah
kolam renang di belakang rumah, jacuzzi, dapur, perpustakaan kecil, ruang
kerja, dua kamar pembantu, kebun kecil di belakang rumah melengkapi keindahan
rumah tersebut.
Kakek
Takeda terus menjelaskan tentang rumahnya yag dulu ditinggalinya dengan
anak-anak dan istrinya tercinta.
Istri
kakek Takeda sudah beberapa tahun yang lalu meninggal karena kanker yang
menggrogoti tubuhnya. Istrinya dimakamkan di tanah kelahirannya di Jepang. Anak
pertama kakek, Yukiko telah menikah dengan seseorang berkebangsaan Perancis dan
menetap disana.
Sedangkan
anak keduanya, Keitaro memutuskan kembali ke tanah kelahiran orang tuanya di
Jepang. Kakek Takeda
diajak untuk tinggal bersama dengan Keitaro. Kakek Takeda yang sudah tak mempunyai
siapa-siapa lagi di negeri ini
akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran anaknya, Keitaro.
Oleh
karenanya kakek memutuskan untuk menjual rumah yag selama puluhan tahun ia
tempati.
Aku
sangat menyukai kakek Takeda. Walaupun umurnya sudah menjelang akhir enam
puluhan, beliau masih mempunyai
semangat
yang tinggi untuk berkarya dan tubuh yang kuat.
Kami
banyak bertukar pikiran dengan kakek Takeda di kursi yang dekat dengan kolam renang. Pembicaraan
kami terhenti saat pelayan cantik datang mengantarkan minuman. Pelayan tersebut
kurasa berumur 18 tahun.
Aku
melirik ke arah Mark yang pandangannya tak pernah lepas dari pelayan tersebut. Aku
segera menginjak kakinya agar tak terlihat kakek.
Mark
menoleh dengan tatapan bingung yang mungkin bila dikatakan. Ada apa? Apa yang salah?”
Aku pun
tak mau kalah dengan memelototinya
kembali dengan perkataan “Jangan berani
bertindak macam-macam! Jika kau berani, aku lempar kamu ke kolam renang!
“Jadi
bagaimana, Kian? Tertarikkah kamu membeli rumah ini?” tanya Frank yang memutus
tatapanku ke Mark.
“Hah? Oh
ya aku sangat tertarik dengan rumah ini. Jadi kapan kita bisa menyelesaikan
semuanya, kek?” tanyaku.
“Tergantung
kalian. Besok pagi mungkin aku harus mengurus beberapa hal. Sore baru aku ada
di rumah, bagaimana?” jelas kakek.
“Baik,
Kek. Besok sore kami akan kembali. Sekarang kami mohon undur diri, Kek,”
pamitku ketika kurasakan semuanya sudah sesuai dengan yang kuinginkan.
“Baiklah.
Besok sore ku tunggu kedatangan kalian kembali.” ucap kakek Takeda sambil
mengantarkan kami keluar rumah.
****
“Kek
bolehkah aku menumpang buang air kecil?” tanya Mark yang sedari tadi hanya
diam.
“Silahkan,
pakai sesukamu,” jawab kakek.
Mark
langsung terbirit-birit menuju kamar kecil saat mendengar jawaban kakek Takeda.
Kami tertawa melihat tingkahnya.
Sementara
Mark buang air kecil, kami melanjutkan pembicaraan dengan kakek Takeda di halaman depan.
Setelah beberapa menit, Mark tak juga selesai dari
kamar mandi.
“Kian,
aku rasa Mark sudah terlalu lama. Bukankah kamu harus melihatnya?” Frank
memberiku kode yang tak mengenakkan dan ku yakini dia benar.
Akupun
permisi masuk ke dalam rumah untuk mencari Mark. Setiap kamar mandi yang ada di
lantai satu ku lihat, tak ada tanda-tanda Mark di dalamnya.
Ku
putuskan untuk melihat salah satu kamar pembantu. Dalam hati ku berdoa semoga
tebakanku salah kali ini.
Mendekati
kamar salah satu pembantu, aku mendengar suara berisik seperti orang sedang
bercinta. Ku
buka pintu yang memang tak terkunci. Ku lihat Mark sedang asyik berciuman
dengan gadis itu. Tubuhnya menindih tubuh gadis yang terlentang di tempat
tidur. Tangannya terus meraja lela ke tubuh gadis tersebut.
“Mark,
aku rasa sudah waktunya kita pulang.” kataku tegas. Mark dan gadis itu
terperanjat dengan suaraku. Mereka sama-sama saling mendorong satu sama lain,
salah tingkah karena ketahuan olehku.
Mark dan
gadis itu sekarang sama-sama merapikan baju dan rambut mereka yang berantakan
akibat nafsu mereka.
Aku
berjalan di belakang Mark ketika
ia
melangkah keluar dari kamar gadis itu.
“Bodoh!!”
umpatku sambil menjitak kepala adikku.
Mark
hanya tertawa mendengar umpatanku. Dia masih sempat untuk berbicara pada gadis
itu jika ia akan menelpon gadis itu sewaktu-waktu. Gadis itu tak bisa berkata
apa-apa, dia hanya tersenyum melihat tingkah Mark.
“Nah
Kek, rasanya kami harus
benar-benar berpamitan kali ini,” pamit Frank saat dia melihat aku dan Mark
telah kembali.
Kamipun
pergi dari rumah kakek Takeda untuk mempersiapkan segala sesuatunya esok hari.
Di dalam
mobil, aku tak henti-hentinya memarahi Mark. Frank yang mendengar pertengkaran
kami hanya tertawa. Mark tak berani melawanku.
Cukup
lama aku memarahi Mark hingga aku tak lagi mempunyai tenaga untuk
memarahinya. Aku akhirnya terdiam.
Aku pandangi rumah mungil tersebut. Membayangkan wajah
kakakku dan Mbok Nah saat melihat rumah ini. Senang rasanya bisa memberi
sedikit kebahagiaan untuk kakakku.
****
3 komentar:
Juli 2004??
aq masih di Makassar itu mba Fathy,,xixiixii
tapi keseluruhan aq suka,,,
smga bisa nginjak kaki ke Inggris,,amiinn
wow,, cwe nya sapa ni.kian ma aq ja deh heheh
aduuuh si Mark itu dasar playboynya minta ampun ga disana ga disini *getok kepala sendiri* hehehehe
waaaah suasana baru, semoga harapan kian untuk memberikan kebahagiaan baru terkabul yaaah ;)
Posting Komentar