Rabu, 12 Desember 2012

HUJAN KEMARIN -26-


BAB DUA PULUH ENAM
Emptyness


Hembusan angin menerpa wajahku yang membeku. Tubuhku kaku tak bisa bergerak. Berkali-kali ku coba untuk mengeja ulang nama itu. merasakan setiap satuan katanya, mencoba meresapi seluruh makna dalam nama itu. Kylenn Stafella Army, nama yang begitu indah, menggambarkan sebuah keceriaan yang takkan pernah menghilang, sebuah penyemangat yang selalu optimis akan masa depan.
Aku merasakan jiwaku hampa, pandanganku kosong, otakku bahkan tidak bisa berpikir sama sekali. Kuraba jemariku yang terasa asing tanpa cincin itu sekarang, dan kemudian ku sentuh dadaku, mencoba merasakan ketiadaan hatiku. Semuanya begitu asing, namun sejujurnya kepedihan itu sudah lama menghilang. Yang kini kurasakan hanyalah kehampaan dan kekosongan.
Tapi toh, bukankah selama ini kehidupanku memang hanya sebuah kekosongan belaka. Aku hanyalah sebuah boneka yang tak tersentuh. Boneka yang mereka pikir tidak memiliki perasaan, kemudian dengan mudahnya mereka menghancurkan asaku dalam sekali hentakan.
Setetes air membasahi pipiku. Tapi itu bukan air mataku, itu adalah setetes air hujan yang mungkin turut menangisi kebodohanku. Dengan perlahan ku letakan buket bungaku di depan nisannya.
“Lena…” bisikku pelan. kuulurkan tangaku, meraba nisannya yang sudah usang. “Hai,” sapaku. “Aku ingin menanyakan kabarmu, tapi itu pertanyaan yang sangat bodoh. Tapi aku tidak memiliki pertanyaan lain. Aku tidak tau harus berkata apa,” hatiku mulai terasa perih. kepalaku seakan berputar-putar. “Tapi ya. Terima kasih untuk semuanya, untuk semua yang telah kau lakukan selama ini. Yang saat ini sedikit terlupakan olehku. Tapi aku tau kau adalah gadis terbaik. Bahkan kau sudah membantuku membongkar semua skenario menjijikan itu,” aku terdiam sejenak. “Dan saat ini aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal,” bisikku akhirnya, kemudian dengan perlahan ku langkahkan kakiku menjauh dari kompleks pemakaman yang sepi itu. meninggalkan seorang gadis cantik yang menatapku dengan penuh kepedihan.

                                                            ****

“Lalu??!” Tanya seorang bocah kecil di sampingku. Aku terkesiap dari lamunanku dan menatapnya linglung. Aku bahkan lupa apa saja yang sudah ku atakana pada mereka. Ada lebih dari 20 anak di ruangan kelas yang mungil itu. Tatapan mereka penuh pengharapan. Aku tersenyum dan menepuk tanganku perlahan.
“Nah, belnya sudah berbunyi. Sekarang kalian bisa pergi ke kamar masing-masing. Cerita tentang putrinya akan di lanjutkan besok,” ujarku seriang mungkin. Beberapa bocah langsung berteriak memprotes. Sedangkan yang lain hanya terdiam meski dengan jelas aku bisa melihat tatapan kecewa mereka. tapi setidaknya mereka mengikuti kata-kataku, membereskan buku-bukunya dan bersiap untuk pulang.
Seorang bocah berkaos biru berdiri menyiapkan teman-temannya, aku tersenyum manis dan membalas salam mereka. kelas pun bubar. Untuk sesaat hatiku terpilin karena merasa takut akan kesendirian yang mengancamku.


“Kisah itu…” aku tertegun di ambang pintu kelasku yang sepi. Seorang wanita cantik sebayaku bersandar di dinding diluar kelasku. Matanya menatap lantai kramik yang kusam. Aku menatapnya penuh Tanya. “Kisah yang kau ceritakan kepada mereka, adalah kisahmu kan?”
Aku terdiam.
“Kita semua memiliki masa lalu,” bisiknya. Aku tersenyum sarkastis. “Meski mungkin dalam kasusmu sedikit berbeda.” Ia menatapku dengan matanya yang sendu. “Kini aku mengerti mengapa seorang gadis cantik sepertimu datang ke panti asuhan tua ini di hari berhujan beberapa bulan yang lalu.” Ia tersenyum tipis. “Tapi aku ingin tahu apa yang kau lakukan setelah kau bertemu dengan koki masakan prancis itu?”
Aku mendesah. “Aku mengirim undangan makan malam kepadanya,”
“Mengapa kau mengundangnya?”
“Bukankah sudah ku atakana? Aku hanya ingin memiliki momen yang indah dengan keluarga kecilku sebelum akhirnya aku menikah,” aku merasakan diriku tersenyum mengejek ketika mengucapkan seluruh perkataan itu.
“Lena tentu sudah mengingatkanmu akan sesuatu,”
“Tidak. Dia tidak mengingatkanku tentang apapun. Tapi dia menunjukan semuanya padaku. Menuntunku untuk menemukan sesuatu yang tersembunyi di dalam rumah ku sendiri.”
“Aku tidak mengerti,”
“Lena selalu datang. Lena selalu hadir menemaniku, sebanyak apapun aku mengucapkan kata selamat tinggal padanya.” Aku terdiam sejenak. “Dan kemudian semuanya terasa begitu mudah. Malam itu aku mengendap-endap ke kamar Savanna yang gelap. aku tidak tau mencari apa, namun tangaku terus sibuk membuka laci demi laci. Mencari sesuatu yang mungkin menarik. Kemudian setumpuk kertas jatuh begitu saja dari dalam lemari. Aku tau itu perbuatan Lena, terkadang ia selalu tidak sabar dengan sikapku yang lambat.”
Aku bisa merasakan tubuh wanita di sampingku menegang. “Itu adalah skenario kehidupanku. Skenario yang ditulis saat aku siuman dari komaku, dan dengan tegas dokter menjelaskan bahwa aku kehilangan seluruh ingatanku.” Wanita itu menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangannya. “Sejujurnya, itu adalah naskah yang sangat sederhana dan indah. Tapi kau tau, itu terlalu indah untuk menjadi sebuah cerita di dunia yang fana ini. Savanna bukan adikku. Dia artis pendatang baru yang entah bagaimana bisa begitu mirip denganku.” Aku tersenyum tipis ketika membayangkan sosok ceria Savanna. Andai matanya tidak seindah itu…
“Bagaimana kau mengetahui jika itu adalah dirinya? Pemilik cincin itu?”
Aku membeku. Tanpa sadar tanganku menggenggam erat jemari yang kosong itu. “Sejak pertama kali melihatnya, aku bisa merasakannya. Klise memang, tapi aku melihat semuanya dari balik tatapnya yang dingin. Ia menyimpan rindu yang sama sepertiku. Namun ia begitu pandai menyembunyikannya, sedangkan aku hanya bisa menghirup aroma hujan dan menanti suatu keajaiban akan datang.
“Saat pertama kali melihatnya, aku sadar itu adalah dia. Cincin itu memang masih membisu. Namun aku merasakan hatiku mulai sesak. Aku tidak mengingatnya, tapi jemariku ingin menyentuhnya. Merasakan sosoknya, merasakan keberadaannya. Tidak peduli sedingin apa tatapannya padaku. Tidak peduli seangkuh apa sikapnya. Aku hanya ingin memeluknya, membisikan kata rindu yang tidak ku mengerti. Mungkin aku akan menganggap diriku sudah gila jika ia tidak memalingkan pandangannya dariku. Karena sejujurnya, saat itulah aku benar-benar sadar, bahwa ia lah yang ku tunggu selama ini, kepingan hatiku yang hilang.
“Tapi sebagian dari diriku tidak ingin mempercayainya. Aku masih berharap jika Ethan memang pemilik cincin itu. karena… sungguh, aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia berusaha menyingkirkanku dengan skenarionya. Ia berusaha meninggalkanku, ia berusaha menghancurkanku,”
“Isabella…” tangan gadis itu terulur kearahku, namun ia tidak pernah menyentuh pundakku. Ia malah kembali menariknya.
“Ini seperti sebuah drama yang begitu panjang dan mengharu biru. Terutama ketika akhirnya aku menulis surat panjang untuk mereka yang ku tinggalkan,” aku menyeka air mataku yang mengalir perlahan. “Sudahlah.” Bisikku.
“Kau tentu sangat merindukannya,” bisiknya ketika aku berjalan perlahan di koridor sekolah yang sepi. Aku terdiam sejenak.
“Aku kehilangan ingatanku, seluruhnya. Bahkan ingatan tentang seluruh perasaanku. Termasuk perasaan cinta itu.” gadis itu berdeham. “Aku hanya merasa kosong,” tambahku seraya menekan dadaku erat-erat. “Hanya itu,”

****

Daarr!!!
Aku terhenyak ketika mendengar suara letusan balon itu. seorang gadis kecil tampak menangis di sudut ruangan. Beberapa anak berdiri mengelilinginya. Kami sedang mempersiapkan acara ulang tahun panti, dan betapa terkejutnya aku ketika mendapati beberapa balon pecah.
“Ada apa?” tanyaku. Mereka semua terdiam, membisu karena takut di salahkan. Aku mendesah dan berjalan mendekati sosok mungil berkaca mata itu. “Leona, ada apa?” tanyaku lembut. Namun gadis kecil itu malah menangis semakin keras.
“Aku hanya mencoba melindunginya,” bisik seorang bocah bernama Alvin. Aku menatap Alvin tidak mengerti. “Balon-balon itu akan merusak rambutnya, jadi aku memecahkannya,” tambahnya ragu-ragu. Aku mengernyit. Masalah apa yang akan diberikan oleh sebuah balon kepada tatanan rambut yang hanya di sisir lurus ini? Aku menggeleng lelah.
Tapi seseorang mengetuk pintu hatiku. Bukan itu fokusnya, tapi kepedulian si bocah itu lah yang harusnya ku lihat.
Aku tersenyum. “Tenanglah, sebentar lagi bu Silvia dan bu Riana akan segera pulang dari pasar. Mereka pasti membawa balon lagi. Kau harus membantunya meniupkan sebuah balon berwarna warni,” ujarku pada bocah kecil itu. dengan antusias ia menggangguk setuju.
“Bu guru!!!” teriak Andini, seorang gadis berusia 10 tahun. Wajahnya yang bulat tampak di penuhi oleh tetesan keringat. Aku mengerutkan keningku bingung. “Bu guru ada di… hh… hh…” aku menepuk-nepuk punggungnya ketika gadis it uterus berbicara di tengah-tengah nafasnya yang tersenggal-senggal.
“Tenanglah dulu,” bisikku pelan.
“Ibu guru… hh… ada di bioskop,” ujarnya. aku terpaku menatapnya, apa yang sedang ia katakan? Apa maksudnya?
“Isabella,” suara itu terdengar penuh kekhawatiran. Aku menoleh, Silvia berdiri di sampingku. Tangannya masih mendekap kantong belanjaan. “Ini….” Bisiknya seraya menyerahkan sebuah majalah.
Seorang gadis cantik tampak berpose indah di bagian depan majalah itu. rambutnya yang ikal ia biarkan tergerai. Menutupi sebagian bahunya yang hanya berbalut kain tipis. Bibirnya yang indah tidak tersenyum sama sekali, bahkan tampak seperti sedang mencibir, atau… menahan tangis. foto itu begitu cantik, begitu ekspresif, bahkan kedua mata indahnya dengan jelas menyiratkan luka yang begitu dalam.
“Savanna…” desisku pelan. Silvia menatapku sedih. Kemudian aku membuka-buka halaman majalah itu. sebuah berita menarik perhatianku, berita tentang dunia perfilman.
“Film itu sudah diputar di bioskop kota,” bisiknya. “Aku sudah menontonnya, itu tentang dirimu, seluruh masa lalumu,” Silvia menyentuh pundakku. “Kisahmu,” tambahnya. “Dia mencarimu,”
“Aku tidak memiliki masa lalu,” ujarku dingin. Ku belai wajah polos Andini dengan sayang. Beberapa anak masih sibuk dengan kegiatan mereka menghias aula panti asuhan itu. mereka begitu bersemangat, begitu bahagia.
“Isabella,” aku terdiam. Hatiku terpilin ketika mendengar suara dingin itu. Ku pejamkan mataku, mencoba meresapi seluruh keangkuhan yang mengalir dari suaranya. Anak-anak itu langsung terdiam. Bagai sebuah bunyi wuzz yang menghentikan setiap langkah. Aku tidak ingin menoleh kebelakang, dan kemudian mengutuki kebodohanku karena mengharapkan keberadaannya di belakangku. Aku tidak ingin bergerak. Aku hanya ingin terus bermimpi.
“Ibu guru…” Andini menyentuh wajahku, membuat mataku terbuka. “Ini bukan mimpi,” bisiknya. Dan kata-kata singkatnya spontan meruntuhkan seluruh kekuatan diriku. Aku menoleh ke pintu aula.
Ia berdiri di sana. dengan salah satu tangannya mencengkram daun pintu. Rambutnya berantakan, namun entah bagaimana ia tetap terlihat tampan dengan stelan jas abu-abunya. Ya, ia masih begitu tampan meski dengan wajahnya yang terlihat begitu lelah. Mata coklat mudanya menatapku tajam di balik kaca matanya. Wajahnya begitu rapuh, membuatku ingin merengkuhnya. Mengutarakan rasa rindu yang tidak ku mengerti.
Untuk sesaat kami hanya terdiam. Hingga hembusan angin itu menerpa wajahku, menyadarkanku untuk kembali ke dalam nyataku.
“Kita harus bicara,” bisiknya. Aku melirik Silvia yang menatapku dengan tatapan memohon maaf. Bahkan bocah-bocah itu turut terpaku di tempat mereka. “Kita perlu bicara,” ulangnya tegas. Aku menundukan kepalaku.
“Maaf tuan, tapi saya harus pergi,” ujarku sebelum berjalan melewatinya. “Kita tidak perlu membicarakannya lagi.” Desisku kaku. Ia terdiam, membeku dalam pikirannya.
“Izzi…” panggilnya. Ia menyentuh tanganku, yang secara spontan mengalirkan perasaan aneh dalam hatiku.
“Kumohon. Tinggalkan aku,”
“Aku tidak bisa,”
“Kalau begitu biarkan aku pergi!” aku menghempaskan cengkramannya dan berjalan menjauh. “Tidakkah kau mengerti perihnya menjadi yang terbuang?” bisikku pelan. bahkan terlampau pelan hingga rasanya telingaku tidak bisa memahaminya. Tidakkah mereka mengerti?


7 komentar:

Unknown mengatakan...

Galau bgt si cherr :((

Vie mengatakan...

Cherryyyyy,,,keyeeennnn bgtz....
Hukz,,hukz,,gr2 G+ eror jd g update prkmbgn dsna,,huaaaaaaa....
Cm bs update blog2 ny tiap jam..
Keyeennnn,,,kpn lnjutanny kr2 Cher?? ;D

christinee mengatakan...

Cherr.. Can't waitttt.. Unpredictible bgt Cher.. Next chapter plisss:-)
Btw, ini sampe bab brp ya? :-)

Unknown mengatakan...

next chapternya ga galau kok mba Ren... :) :) keep smiling yahh...

hehehe mba Vie, tenang, nnti aku krim klo udh selesaii...


hai christine, ini sampe bab 28, huhuhuhuhu long story bngt yahh...
*tulisannya benar2 berantakan* hehehe

Fathy mengatakan...

nangis bombay deh akuuuuuuuuuuuuu

hiks cherry tega gak pernah kasih tau kalo dah posting.....

christinee mengatakan...

Cher, aku minta epubnya nt yah..:-)
Thank you Cher.. Big hugs for u..

Unknown mengatakan...

sipp christine, :)