BAB
DUA PULUH ENAM
Emptyness
Hembusan
angin menerpa wajahku yang membeku. Tubuhku kaku tak bisa bergerak.
Berkali-kali ku coba untuk mengeja ulang nama itu. merasakan setiap satuan
katanya, mencoba meresapi seluruh makna dalam nama itu. Kylenn Stafella Army,
nama yang begitu indah, menggambarkan sebuah keceriaan yang takkan pernah
menghilang, sebuah penyemangat yang selalu optimis akan masa depan.
Aku
merasakan jiwaku hampa, pandanganku kosong, otakku bahkan tidak bisa berpikir
sama sekali. Kuraba jemariku yang terasa asing tanpa cincin itu sekarang, dan
kemudian ku sentuh dadaku, mencoba merasakan ketiadaan hatiku. Semuanya begitu
asing, namun sejujurnya kepedihan itu sudah lama menghilang. Yang kini
kurasakan hanyalah kehampaan dan kekosongan.
Tapi
toh, bukankah selama ini kehidupanku memang hanya sebuah kekosongan belaka. Aku
hanyalah sebuah boneka yang tak tersentuh. Boneka yang mereka pikir tidak
memiliki perasaan, kemudian dengan mudahnya mereka menghancurkan asaku dalam
sekali hentakan.
Setetes
air membasahi pipiku. Tapi itu bukan air mataku, itu adalah setetes air hujan
yang mungkin turut menangisi kebodohanku. Dengan perlahan ku letakan buket
bungaku di depan nisannya.
“Lena…”
bisikku pelan. kuulurkan tangaku, meraba nisannya yang sudah usang. “Hai,” sapaku.
“Aku ingin menanyakan kabarmu, tapi itu pertanyaan yang sangat bodoh. Tapi aku
tidak memiliki pertanyaan lain. Aku tidak tau harus berkata apa,” hatiku mulai
terasa perih. kepalaku seakan berputar-putar. “Tapi ya. Terima kasih untuk
semuanya, untuk semua yang telah kau lakukan selama ini. Yang saat ini sedikit
terlupakan olehku. Tapi aku tau kau adalah gadis terbaik. Bahkan kau sudah
membantuku membongkar semua skenario menjijikan itu,” aku terdiam sejenak. “Dan
saat ini aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal,” bisikku akhirnya,
kemudian dengan perlahan ku langkahkan kakiku menjauh dari kompleks pemakaman
yang sepi itu. meninggalkan seorang gadis cantik yang menatapku dengan penuh
kepedihan.
****
“Lalu??!”
Tanya seorang bocah kecil di sampingku. Aku terkesiap dari lamunanku dan
menatapnya linglung. Aku bahkan lupa apa saja yang sudah ku atakana pada
mereka. Ada lebih dari 20 anak di ruangan kelas yang mungil itu. Tatapan mereka
penuh pengharapan. Aku tersenyum dan menepuk tanganku perlahan.
“Nah,
belnya sudah berbunyi. Sekarang kalian bisa pergi ke kamar masing-masing.
Cerita tentang putrinya akan di lanjutkan besok,” ujarku seriang mungkin.
Beberapa bocah langsung berteriak memprotes. Sedangkan yang lain hanya terdiam
meski dengan jelas aku bisa melihat tatapan kecewa mereka. tapi setidaknya
mereka mengikuti kata-kataku, membereskan buku-bukunya dan bersiap untuk
pulang.
Seorang
bocah berkaos biru berdiri menyiapkan teman-temannya, aku tersenyum manis dan
membalas salam mereka. kelas pun bubar. Untuk sesaat hatiku terpilin karena
merasa takut akan kesendirian yang mengancamku.
“Kisah
itu…” aku tertegun di ambang pintu kelasku yang sepi. Seorang wanita cantik
sebayaku bersandar di dinding diluar kelasku. Matanya menatap lantai kramik
yang kusam. Aku menatapnya penuh Tanya. “Kisah yang kau ceritakan kepada
mereka, adalah kisahmu kan?”
Aku
terdiam.
“Kita
semua memiliki masa lalu,” bisiknya. Aku tersenyum sarkastis. “Meski mungkin
dalam kasusmu sedikit berbeda.” Ia menatapku dengan matanya yang sendu. “Kini
aku mengerti mengapa seorang gadis cantik sepertimu datang ke panti asuhan tua
ini di hari berhujan beberapa bulan yang lalu.” Ia tersenyum tipis. “Tapi aku
ingin tahu apa yang kau lakukan setelah kau bertemu dengan koki masakan prancis
itu?”
Aku
mendesah. “Aku mengirim undangan makan malam kepadanya,”
“Mengapa
kau mengundangnya?”
“Bukankah
sudah ku atakana? Aku hanya ingin memiliki momen yang indah dengan keluarga
kecilku sebelum akhirnya aku menikah,” aku merasakan diriku tersenyum mengejek
ketika mengucapkan seluruh perkataan itu.
“Lena
tentu sudah mengingatkanmu akan sesuatu,”
“Tidak.
Dia tidak mengingatkanku tentang apapun. Tapi dia menunjukan semuanya padaku.
Menuntunku untuk menemukan sesuatu yang tersembunyi di dalam rumah ku sendiri.”
“Aku tidak
mengerti,”
“Lena
selalu datang. Lena selalu hadir menemaniku, sebanyak apapun aku mengucapkan
kata selamat tinggal padanya.” Aku terdiam sejenak. “Dan kemudian semuanya
terasa begitu mudah. Malam itu aku mengendap-endap ke kamar Savanna yang gelap.
aku tidak tau mencari apa, namun tangaku terus sibuk membuka laci demi laci.
Mencari sesuatu yang mungkin menarik. Kemudian setumpuk kertas jatuh begitu
saja dari dalam lemari. Aku tau itu perbuatan Lena, terkadang ia selalu tidak
sabar dengan sikapku yang lambat.”
Aku
bisa merasakan tubuh wanita di sampingku menegang. “Itu adalah skenario
kehidupanku. Skenario yang ditulis saat aku siuman dari komaku, dan dengan
tegas dokter menjelaskan bahwa aku kehilangan seluruh ingatanku.” Wanita itu
menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangannya. “Sejujurnya, itu adalah
naskah yang sangat sederhana dan indah. Tapi kau tau, itu terlalu indah untuk
menjadi sebuah cerita di dunia yang fana ini. Savanna bukan adikku. Dia artis
pendatang baru yang entah bagaimana bisa begitu mirip denganku.” Aku tersenyum
tipis ketika membayangkan sosok ceria Savanna. Andai matanya tidak seindah itu…
“Bagaimana
kau mengetahui jika itu adalah dirinya? Pemilik cincin itu?”
Aku
membeku. Tanpa sadar tanganku menggenggam erat jemari yang kosong itu. “Sejak
pertama kali melihatnya, aku bisa merasakannya. Klise memang, tapi aku melihat
semuanya dari balik tatapnya yang dingin. Ia menyimpan rindu yang sama
sepertiku. Namun ia begitu pandai menyembunyikannya, sedangkan aku hanya bisa
menghirup aroma hujan dan menanti suatu keajaiban akan datang.
“Saat
pertama kali melihatnya, aku sadar itu adalah dia. Cincin itu memang masih
membisu. Namun aku merasakan hatiku mulai sesak. Aku tidak mengingatnya, tapi
jemariku ingin menyentuhnya. Merasakan sosoknya, merasakan keberadaannya. Tidak
peduli sedingin apa tatapannya padaku. Tidak peduli seangkuh apa sikapnya. Aku
hanya ingin memeluknya, membisikan kata rindu yang tidak ku mengerti. Mungkin
aku akan menganggap diriku sudah gila jika ia tidak memalingkan pandangannya
dariku. Karena sejujurnya, saat itulah aku benar-benar sadar, bahwa ia lah yang
ku tunggu selama ini, kepingan hatiku yang hilang.
“Tapi
sebagian dari diriku tidak ingin mempercayainya. Aku masih berharap jika Ethan
memang pemilik cincin itu. karena… sungguh, aku tidak bisa menerima kenyataan
bahwa ia berusaha menyingkirkanku dengan skenarionya. Ia berusaha
meninggalkanku, ia berusaha menghancurkanku,”
“Isabella…”
tangan gadis itu terulur kearahku, namun ia tidak pernah menyentuh pundakku. Ia
malah kembali menariknya.
“Ini
seperti sebuah drama yang begitu panjang dan mengharu biru. Terutama ketika
akhirnya aku menulis surat panjang untuk mereka yang ku tinggalkan,” aku
menyeka air mataku yang mengalir perlahan. “Sudahlah.” Bisikku.
“Kau
tentu sangat merindukannya,” bisiknya ketika aku berjalan perlahan di koridor
sekolah yang sepi. Aku terdiam sejenak.
“Aku
kehilangan ingatanku, seluruhnya. Bahkan ingatan tentang seluruh perasaanku.
Termasuk perasaan cinta itu.” gadis itu berdeham. “Aku hanya merasa kosong,”
tambahku seraya menekan dadaku erat-erat. “Hanya itu,”
****
Daarr!!!
Aku
terhenyak ketika mendengar suara letusan balon itu. seorang gadis kecil tampak
menangis di sudut ruangan. Beberapa anak berdiri mengelilinginya. Kami sedang
mempersiapkan acara ulang tahun panti, dan betapa terkejutnya aku ketika
mendapati beberapa balon pecah.
“Ada
apa?” tanyaku. Mereka semua terdiam, membisu karena takut di salahkan. Aku
mendesah dan berjalan mendekati sosok mungil berkaca mata itu. “Leona, ada
apa?” tanyaku lembut. Namun gadis kecil itu malah menangis semakin keras.
“Aku
hanya mencoba melindunginya,” bisik seorang bocah bernama Alvin. Aku menatap
Alvin tidak mengerti. “Balon-balon itu akan merusak rambutnya, jadi aku
memecahkannya,” tambahnya ragu-ragu. Aku mengernyit. Masalah apa yang akan
diberikan oleh sebuah balon kepada tatanan rambut yang hanya di sisir lurus
ini? Aku menggeleng lelah.
Tapi
seseorang mengetuk pintu hatiku. Bukan itu fokusnya, tapi kepedulian si bocah
itu lah yang harusnya ku lihat.
Aku
tersenyum. “Tenanglah, sebentar lagi bu Silvia dan bu Riana akan segera pulang
dari pasar. Mereka pasti membawa balon lagi. Kau harus membantunya meniupkan
sebuah balon berwarna warni,” ujarku pada bocah kecil itu. dengan antusias ia
menggangguk setuju.
“Bu
guru!!!” teriak Andini, seorang gadis berusia 10 tahun. Wajahnya yang bulat
tampak di penuhi oleh tetesan keringat. Aku mengerutkan keningku bingung. “Bu
guru ada di… hh… hh…” aku menepuk-nepuk punggungnya ketika gadis it uterus
berbicara di tengah-tengah nafasnya yang tersenggal-senggal.
“Tenanglah
dulu,” bisikku pelan.
“Ibu
guru… hh… ada di bioskop,” ujarnya. aku terpaku menatapnya, apa yang sedang ia
katakan? Apa maksudnya?
“Isabella,”
suara itu terdengar penuh kekhawatiran. Aku menoleh, Silvia berdiri di
sampingku. Tangannya masih mendekap kantong belanjaan. “Ini….” Bisiknya seraya
menyerahkan sebuah majalah.
Seorang
gadis cantik tampak berpose indah di bagian depan majalah itu. rambutnya yang
ikal ia biarkan tergerai. Menutupi sebagian bahunya yang hanya berbalut kain
tipis. Bibirnya yang indah tidak tersenyum sama sekali, bahkan tampak seperti
sedang mencibir, atau… menahan tangis. foto itu begitu cantik, begitu
ekspresif, bahkan kedua mata indahnya dengan jelas menyiratkan luka yang begitu
dalam.
“Savanna…”
desisku pelan. Silvia menatapku sedih. Kemudian aku membuka-buka halaman
majalah itu. sebuah berita menarik perhatianku, berita tentang dunia perfilman.
“Film
itu sudah diputar di bioskop kota,” bisiknya. “Aku sudah menontonnya, itu tentang
dirimu, seluruh masa lalumu,” Silvia menyentuh pundakku. “Kisahmu,” tambahnya.
“Dia mencarimu,”
“Aku
tidak memiliki masa lalu,” ujarku dingin. Ku belai wajah polos Andini dengan
sayang. Beberapa anak masih sibuk dengan kegiatan mereka menghias aula panti
asuhan itu. mereka begitu bersemangat, begitu bahagia.
“Isabella,”
aku terdiam. Hatiku terpilin ketika mendengar suara dingin itu. Ku pejamkan
mataku, mencoba meresapi seluruh keangkuhan yang mengalir dari suaranya.
Anak-anak itu langsung terdiam. Bagai sebuah bunyi wuzz yang menghentikan
setiap langkah. Aku tidak ingin menoleh kebelakang, dan kemudian mengutuki
kebodohanku karena mengharapkan keberadaannya di belakangku. Aku tidak ingin
bergerak. Aku hanya ingin terus bermimpi.
“Ibu
guru…” Andini menyentuh wajahku, membuat mataku terbuka. “Ini bukan mimpi,”
bisiknya. Dan kata-kata singkatnya spontan meruntuhkan seluruh kekuatan diriku.
Aku menoleh ke pintu aula.
Ia
berdiri di sana. dengan salah satu tangannya mencengkram daun pintu. Rambutnya
berantakan, namun entah bagaimana ia tetap terlihat tampan dengan stelan jas
abu-abunya. Ya, ia masih begitu tampan meski dengan wajahnya yang terlihat
begitu lelah. Mata coklat mudanya menatapku tajam di balik kaca matanya.
Wajahnya begitu rapuh, membuatku ingin merengkuhnya. Mengutarakan rasa rindu
yang tidak ku mengerti.
Untuk
sesaat kami hanya terdiam. Hingga hembusan angin itu menerpa wajahku,
menyadarkanku untuk kembali ke dalam nyataku.
“Kita
harus bicara,” bisiknya. Aku melirik Silvia yang menatapku dengan tatapan
memohon maaf. Bahkan bocah-bocah itu turut terpaku di tempat mereka. “Kita
perlu bicara,” ulangnya tegas. Aku menundukan kepalaku.
“Maaf
tuan, tapi saya harus pergi,” ujarku sebelum berjalan melewatinya. “Kita tidak
perlu membicarakannya lagi.” Desisku kaku. Ia terdiam, membeku dalam
pikirannya.
“Izzi…”
panggilnya. Ia menyentuh tanganku, yang secara spontan mengalirkan perasaan
aneh dalam hatiku.
“Kumohon.
Tinggalkan aku,”
“Aku
tidak bisa,”
“Kalau
begitu biarkan aku pergi!” aku menghempaskan cengkramannya dan berjalan
menjauh. “Tidakkah kau mengerti perihnya menjadi yang terbuang?” bisikku pelan.
bahkan terlampau pelan hingga rasanya telingaku tidak bisa memahaminya.
Tidakkah mereka mengerti?
7 komentar:
Galau bgt si cherr :((
Cherryyyyy,,,keyeeennnn bgtz....
Hukz,,hukz,,gr2 G+ eror jd g update prkmbgn dsna,,huaaaaaaa....
Cm bs update blog2 ny tiap jam..
Keyeennnn,,,kpn lnjutanny kr2 Cher?? ;D
Cherr.. Can't waitttt.. Unpredictible bgt Cher.. Next chapter plisss:-)
Btw, ini sampe bab brp ya? :-)
next chapternya ga galau kok mba Ren... :) :) keep smiling yahh...
hehehe mba Vie, tenang, nnti aku krim klo udh selesaii...
hai christine, ini sampe bab 28, huhuhuhuhu long story bngt yahh...
*tulisannya benar2 berantakan* hehehe
nangis bombay deh akuuuuuuuuuuuuu
hiks cherry tega gak pernah kasih tau kalo dah posting.....
Cher, aku minta epubnya nt yah..:-)
Thank you Cher.. Big hugs for u..
sipp christine, :)
Posting Komentar